"Um, maaf tadi udah bikin kamu marah, kamu masih marah?" tanya Rara begitu mereka berdua berjalan sudah menjauh dari Sonya dan temannya. Keduanya lalu sepakat untuk duduk sejenak di bangku untuk berbicara sebelum menempuh perjalanan pulang.
"Marah karena apa?" Jodi malah balik bertanya pada istrinya itu.
"Iya marah karena hari pertama aku masuk kampus udah bikin ulah," jawab Rara seraya menatap Jodi dalam.
Jodi menggenggam tangan istrinya. Lelaki yang berstatus ayah muda itu menatap istrinya dengan tatapan dalam dan penuh sayang.
"Enggak, kenapa harus marah? Kamu kan niatnya baik mau nolongin orang. Lagian juga kamu kan ngelindungin diri kamu sendiri," balas Jodi.
"Ya enggak, aku takutnya kamu marah. Aku kan gak mau jadi istri yang bikin malu suami," ucap Rara dengan nada sendu.
Tanpa banyak bicara Jodi langsung menarik Rara ke dalam pelukannya, menyalurkan rasa aman dan nyaman untuk istrinya. "Maaf," cicit Jodi.
Rara sejenak diam, di
"Kalian gak ada rencana mau ngadain reuni SMA gitu?" tanya Hilda. Mereka kini terlihat masih berkumpul di rumah Rara, tetapi tidak terlihat Rara disana karena dia belum lama masuk ke dalam kamar untuk menidurkan baby D."Boleh juga tuh, gue setuju," seru Siska antusias."Ck, loe main setuju aja. Gue jujur males ikutan reuni karena teman yang asyik ya ujung-ujungnya kalian juga, jadi ngapain pake acara reuni segala kalo hampir tiap hari kita bisa ngumpul kek gini," sahut Rosa sambil mengunyah kuaci.Siska melemparkan sampah kuaci miliknya ke arah Rosa. "Loe mah ngomong gitu karena bingung aja mau gandeng Dodit atau Sam ke acara reuni SMA," ujar Siska sambil menjulurkan lidahnya."Eh, gimana menurut loe, Ra?" tanya Hilda pada Rara yang baru kembali bergabung bersama sahabatnya itu."Nanti coba gue pikir lagi deh, soalnya loe semua tau sendiri kan emak-emak kek gue udah bisa ada waktu untuk kuliah aja bersyukur banget. Gue juga bukan single kek kalian, mana mun
Baby D menoleh ke arah Rara, ia menurunkan mainan tersebut dari mulutnya kemudian merangkak menyusul Rara yang duduk menyandar ke kepala ranjang."Kenapa sayang?" tanya Rara ketika melihat baby D mendekat ke arahnya. Baby D mengulurkan tangannya pada Rara tanda bahwa bayi berusia delapan bulan itu minta di gendong ibunya. "Kamu minta di gendong ya?" tanya Rara yang kemudian mengambil baby D dan menaruhnya di pangkuannya."Mamamam," celoteh baby D sambil memukulkan tangannya di wajah ibunya."Enggak boleh gitu dong sayang," ucap Jodi sambil menurunkan tangan putranya itu dari wajah Rara."Enggak boleh, oke?" ucap Jodi lagi dengan lembut ketika putranya itu menatapnya."Yayayaya," celoteh baby D."Ih, pinter banget kek ayahnya bisa panggil 'Yayayaya' coba panggil 'ibu' iya coba," ucap Rara yang langsung mengajak sang anak untuk terus mengulangi permintaannya untuk di panggil ibu."Sabar, Yang," ucap Jodi yang mengelus lembut rambut istr
Rara mengerjakan matanya ketika mendengar suara tangis baby D yang cukup memekakkan telinga. Setelah matanya terbuka dengan sempurna, Rara langsung merubah posisinya menjadi duduk untuk sekadar mengumpulkan nyawanya. Ia pun berdiri dan mengambil baby D yang kini sedang menangis dalam boks bayinya. Sekilas Rara melirik jam yang ada di atas nakas, waktu menunjukkan pukul 02.10 WIB. "Baby D kenapa nangis sayang?" tanya Rara kepada baby D. Tetapi itu tidak membuat tangis baby D berhenti. Melihat tangis baby D yang tak kunjung reda membuat Rara menjadi khawatir, ia mencoba memberikan ASI tetapi bayi itu terus menolak. Rara menyentuh dahi baby D dan betapa terkejutnya ibu muda itu ketika merasakan dahi putranya panas. "Astaga, kamu demam sayang," ujar Rara panik. Rasa panik membuat Rara berjalan menghampiri suaminya yang masih tertidur lelap. Ia mengguncang tubuh Jodi agar suaminya itu terbangun. "Yang, Yang bangun dong!" pekik Rara panik yang berkali-kali
Dodit menatap nanar pintu UGD, tempat dimana sahabatnya itu sedang mendapatkan penanganan dan pemeriksaan oleh tim medis. Sejam telah berlalu namun tak jua dia dapat kabar baik hingga membuatnya gelisah. Dia mengacak-acak rambutnya kesal.Pemandangan tak biasa ini jelas memancing perhatian Jodi yang sejak tadi memperhatikan sahabatnya itu. Ada rasa ingin tahu yang begitu besar dalam diri Jodi akan penyebab keberadaan Dodit di tempat ini."Bro, siapa yang sakit?" suara yang tidak asing di telinga Dodit terdengar sangat dekat dengan posisi dirinya di ruangan itu.Sapaan pertama Jodi tak mendapat respon apapun dari Dodit yang masih asyik dengan pemikirannya sendiri.Jodi yang sejak tadi bertanya namun tidak mendapatkan jawaban dari Dodit mulai kesal. "Woy, loe jan bengong deh! Sebelah ruangan tuh kamar mayat, awas kesambet!" ujar Jodi berusaha menyadarkan sahabatnya karena dia tau siapapun yang ada di dalam ruang UGD pasti lah sosok yang penting bagi Dodit.Unt
Air mata terlihat di sudut mata Riko yang telah ditinggal pergi oleh Oppa Rudi untuk selama-lamanya. Memeluk makam yang dipenuhi oleh bunga mawar, isak tangis masih terdengar dari bibirnya.Beberapa sanak saudara bergantian berusaha untuk membujuknya agar tidak terlalu bersedih dan menangis. Mengatakan jika tidak baik menangis di makam. Menghambat jalan menuju ke surga. Namun, Riko yang sejak kecil banyak menghabiskan waktunya bersama oppa Rudi jelas tak bisa membohongi kesedihannya karena hanya sosok oppa Rudi yang paling mengerti dirinya melebihi kedua orang tuanya.Ya, sejak kecil Riko yang terbiasa ditinggal kerja oleh kedua orang tuanya memang lebih senang bermain bersama sang oppa. Tidak ada satu hal pun yang Riko lakukan tanpa bantuan sang oppa Rudi, termasuk mengatasi keterpurukannya dalam berusaha bangkit dan mengurus buah hatinya, Riyo.Makam mulai sepi ditinggal pelayat. Tinggallah Riko dan kedua orang tuanya. Posisi Riko masih memeluk erat maka
Dua hari sudah berlalu, namun Riko tak kunjung sadar. Seharusnya pengaruh anastesi akan segera hilang setelah beberapa jam, namun kenyataannya tidak seperti itu. Kondisi ini membuat kedua orang tua Riko menarik kesimpulan bahwa Riko mangalami fase vegetatif.Papa Riko menemui dokter Hendrik dan menanyakan keadaannya. Akhirnya tim dokter kembali melakukan pemeriksaan secara menyeluruh untuk memastikan kondisi Riko.Beberapa dokter spesialis didatangkan untuk menguji tingkat kesadaran Riko. Dokter saraf mulai memeriksa kondisinya secara detail. Melakukan berbagai tes pada beberapa bagian tubuhnya. Dan hasilnya nihil. Tubuhnya sama sekali tidak bereaksi.Dokter itu menatap dokter Hendrik sembari menggelengkan kepalanya. Wajah dokter Hendrik tampak mendung. Sebagai seorang dokter mereka telah mengupayakan yang terbaik untuk kesehatan Riko.Kenyataan ini membuat kedua orang tua Riko terpukul. Dokter Hendrik mendekat dan menepuk bahu Papa Riko sebagai penghiburan
Beberapa bulan berlaluSuara mesin penunjang dan deru monitor yang menampilkan grafik pergerakan jantung Riko membuat kedua orang tuanya gugup. Mereka takut sewaktu-waktu gerakan grafik itu akan berhenti dan hanya menyisakan satu garis lurus.Pria paruh baya yang merupakan Papa Riko itu masuk ke dalam ruang ICU dengan memakai pakaian khusus. Ia perhatikan sekujur tubuh putranya dengan seksama. Perasaan sakit melihat kondisi putra satu-satunya yang lemah seperti itu. Ia masih tidak menyangka Riko akan berakhir seperti ini."Ko, bangun. Sampai kapan kamu mau tidur seperti ini? Bangun anak nakal! Ambil tanggungjawab mu! Masih banyak tanggung jawab yang harus kamu penuhi. Kamu belum memenuhi tanggung jawabmu sebagai seorang anak.""Kamu juga belum melakukan tanggung jawabmu yang paling terpenting. Kamu harus bertanggung jawab penuh atas kehidupan Riyo! Itu tanggung jawab besar! Jangan jadi seorang pengecut dengan bersembunyi seperti ini! Bangunl
"Bagaimana kondisi anakku Dok?" pertanyaan itu meluncur begitu melihat dokter spesialis yang menjadi ketua tim berjalan diiringi tim dokter yang lain."Tenang Pak. Kondisi pasien baik-baik saja. Kami sudah memeriksa bagian vitalnya dan semuanya bekerja dengan normal. Ini bisa dikatakan sebagai keajaiban."Pasien yang mengalami koma lebih dari satu bulan memiliki resiko besar tidak akan pernah terbangun lagi. Namun kondisi Pak Riko sangat unik. Dia tersadar dengan kondisi tubuh yang secara keseluruhan stabil. Baik sistem gerak, saraf, respirasi, maupun sistem sirkulasinya stabil. Ini benar-benar suatu keajaiban. Selamat." Dokter memberikan ucapan selamat dan menyalami pria paruh baya yang tampak sempoyongan. Dokter segera mengangkat tubuhnya sebelum terjatuh."Dok... huuu... An-annakku sadar... huuu....""Iya Pak. Jangan menangis lagi." Dokter mengusap bahu Papa Riko."Kapan saya bisa menemui anak saya?" tanya pria paruh baya itu setelah mulai bisa menguasai