Chintya ingin berkata jika itu akan merepotkan Bram. Namun, dia urungkan niatnya dan mengangguk sambil berkata, “Kalau begitu aku akan merepotkanmu.”Ketika Bram di Malinjo, Chintya sudah menjamunya. Ketika mereka ke Mambera, maka sudah sewajarnya Bram menjamu mereka.“Chintya, selain biskuit bunga, kamu masih ada pemikiran lainnya?” tanya Bram lagi. Chintya menatap lelaki yang juga tengah menatapnya. Setelah keduanya berpandangan sejenak, perempuan itu coba bertanya,“Aku perlu pemikiran apa? Merasa kamu suka sama aku karena kamu kasih aku bunga? Aku tahu kamu suka aku, karena aku juga suka kamu. Kalau kita nggak saling menyukai, mana mungkin bisa jadi teman?”Bram hening sejenak dan kemudian berkata, “Apa kamu nggak pernah terbersit kalau rasa suka yang aku rasakan bukan suka antara teman. Tetapi rasa suka lelaki terhadap perempuan.”“Kamu lelaki dan aku perempuan. Kalau kamu suka aku, bukankah itu lelaki suka perempuan? Lalu apa bedanya?”“Maksudku, Chintya, aku cinta kamu dan mau m
Bram bangkit berdiri dan hendak mengejarnya. Namun tangannya ditahan oleh Rama. Dia menoleh dan mendapati Rama kemudian berkata, “Kak Rama, aku keluar sebentar.”“Sekarang jangan pergi dulu, biarkan adikku tenang sejenak. Biarkan dia pikirkan, dia bukan nggak suka denganmu. Dia butuh waktu untuk mencerna semuanya dan menerima kamu sebagai pasangan, bukan teman.”Bram berkata, “Di luar sangat dingin dan turun salju. Aku takut dia kedinginan.”“Kamu bisa kedinginan, tapi dia nggak. Kami tumbuh di sini dan sudah terbiasa cuaca dingin. Sedangkan kamu berbeda, kamu datang dari Mambera. Bisa dibilang kalau di sana nggak ada musim dingin. Chintya nggak akan kedinginan, kamu nggak perlu khawatir. Biarkan dia keluar sebentar dan tenangkan diri.”Rama sangat mengerti adiknya.“Kamu mendadak menyatakan perasaan dan dia nggak ada persiapan. Mendadak pikirannya kacau, tapi bukan masalah besar. Kamu juga, memangnya nggak bisa tunggu waktu yang tepat baru menyatakan perasaan? Memangnya dia bisa langs
“Kak Rama, sekarang aku bisa buat apa?” tanya Bram setelah tahu Rama merestui dirinya.“Kamu bisa tetap di sini atau pulang untuk bantu ibuku masak. Yang jelas, kamu nggak perlu memikirkan apa yang sedang dilakukan Chintya. Dia pasti pulang malam ini. Setelah dia pulang, kalian berdua baru bicarakan baik-baik.”“Kamu hanya perlu buat dia percaya kalau kamu tulus dan nggak bercanda.”Bram berkata, “Aku pasti akan melakukannya. Terima kasih, Kak. Kalau begitu aku bantu Tante masak saja.”Chintya bukan dibuat takut karena pernyataan perasaan Bram. Dia hanya tidak percaya karena baru pertama kalinya mendengar lelaki mengatakan mencintainya. Chintya berjalan keluar dan menggigil karena angin yang berembus. Seketika pikirannya langsung jernih.Dia juga tidak berjalan di luar terlalu lama dan memutuskan untuk pulang. Untungnya jarak dari sanggar ke rumah tidak jauh. Ibunya tengah mempersiapkan hotpot untuk makan malam. Cuaca dingin memang lebih enak makan hotpot.Jika bukan karena di rumah ad
Ketika pertama kali bertemu dengan Bram, jantungnya berdegup cepat dan bisa berpikiran kesana kemari. Setelah lama saling mengenal, dia merasa hubungan mereka seperti dirinya dengan para kakak seniornya yang lain. Kebersamaan mereka sangat alami dan tidak akan deg-degan lagi.Chintya pikir hubungannya dan Bram seperti sahabatan. Ternyata lelaki itu bilang cinta padanya. Perempuan itu merasa wajahnya memanas. Dia menyentuh wajahnya dan menepuknya sambil bergumam,“Chintya, kamu lagi malu? Apakah karena ada lelaki yang bilang suka sama kamu, kamu langsung berbunga-bunga? Tenang!”Bram tidak seperti pasangan kencan butanya yang lain khawatir bahwa dia akan melakukan kekerasan rumah tangga. Semua karena Bram juga bisa bela diri dan sangat hebat. Dia bisa mengalahkan Rama.Chintya duduk di kasur dan duduk di depan meja rias. Dia menatap dirinya di cermin kemudian terkekeh dan berkata, “Aku juga nggak jelek. Bram seleranya bagus.”Dalam hatinya tidak yakin apakah dirinya cocok dengan Bram. D
Chintya membawa teh jahe hangat ke dalam kamar dan duduk di sofa.“Chintya, kamu ada pikiran?” tanya ibunya sambil duduk di sampingnya.“Nggak ada.”Chintya tidak berani bertatapan dengan ibunya karena takut ketahuan. Dia menyesap minumannya dan kemudian berkata, “Ma, Mama masukkan semua jahe di rumah? Kenapa pedas sekali? Nggak enak! Aku nggak mau minum.”“Kamu datang bulan nggak normal, minum ini untuk menghangatkan badan.”“Ma, sebenarnya aku bohong sama Mama. Aku sehat-sehat saja.”“Bohong? Kamu ini! Masalah kesehatan kenapa harus bohong? Mama masih ingin beli vitamin buatmu. Masih muda dan belum menikah. Kalau siklusnya berantakan, harus periksa ke dokter untuk diperbaiki. Kalau nggak, bisa berpengaruh pada proses kehamilan. Perempuan itu harus mementingkan siklus datang bulan. Jangan malu.”“Ibu, aku baik-baik saja. Aku bohong karena takut Mama marah aku pulang lebih awal dan minta Ayah potong gajiku.”Lana menatapnya datar dan berkata, “Kamu ada masalah apa? Cerita ke Mama. Kala
“Bram itu seorang pengusaha. Tetapi dia hanya pengusaha biasa. Dia pasti akan menyembunyikan sesuatu dari kita. Ada hal-hal yang dia belum ceritakan,” ujar ibunya.“Setiap orang pasti ada rahasia mereka pribadi. Nggak mungkin semuanya diceritakan pada orang lain,” bela Chintya.Ibunya balas menjawab, “Pikirkan saat pertama kali kamu ketemu. Bukankah dia pura-pura nggak bisa bela diri? Setelah kamu membantunya, dia selalu bilang kamu penyelamatnya dan mau balas budi. Setelah itu dia begitu baik denganmu.”“Mungkin Mama terlalu banyak nonton drama. Mama selalu merasa kalau dia dari awal menjebakmu agar menjadi penyelamatnya. Dengan begitu, dia bisa mendekatimu terang-terangan dan baik denganmu. Kamu juga nggak akan curiga.”“Jangan-jangan, malam ketika kamu menolongnya itu memang sudah rencananya. Keamanan sekarang sudah sangat bagus dan nggak banyak geng motor yang muncul. Apalagi geng motor yang jumlahnya banyak. Memangnya polisi Mambera bisa membiarkan mereka berkeliaran?”Chintya men
Wajah Chintya memerah seketika.Dengan kecil dia berkata, “Tadi Bram kasih kami sate. Ma, bukan aku yang bilang mau makan, tapi anak muridku. Bram memang selalu sayang dengan mereka, jadi dia beli untuk mereka.”“Aku hanya kebagian jatah. Lalu waktu aku sedang makan, tiba-tiba Bram bilang kalau dia suka aku. Katanya bukan rasa suka sebagai teman, tapi antar lelaki dan perempuan. Dia bilang rasa sukanya itu adalah cinta. Dia cinta sama aku dan mau menikahiku.”“Oh, dia juga kasih aku satu ikat bunga. Dia tanya aku pemikiranku waktu terima bunga. Waktu itu aku hanya kepikiran biskuit mawar.”Nada bicara Chintya mendadak mengecil karena mendapat pelototan dari ibunya. Dengan tanpa rasa bersalah dia berkata, “Dia kasih aku bunga mawar, jadi aku teringat biskuit mawar. Dia yang tanya pemikiranku. Aku hanya bicara jujur.”Lana kembali melotot dan berkata, “Kenapa kamu bodoh sekali? Sepanjang hari hanya memikirkan makanan. Kalau bukan karena kamu suka makan sate, dia nggak mungkin beli begitu
“Makan hotpot, nggak perlu masak-masak.”Lana masih ingin bercerita dengan putrinya.“Kebersamaanmu dengan Bram sangat menyenangkan dan obrolannya juga lancar. Dia tulus padamu. Berpikirlah dengan tenang selama beberapa hari dan sudah boleh kasih dia jawaban.”Chintya berdeham kemudian dengan khawatir berkata, “Ma, menurut Mama, Bram bisa cari suatu hal yang baru? Dia begitu kaya dan pasti banyak bertemu perempuan cantik. Aku memang sedikit menarik, tapi aku nggak merasa bahwa sisi menarikku berhasil memikatnya.”“Jangan-jangan dia hanya mau mempermainkanku saja? Mungkin sekarang dia tulus padaku, tapi kalau sudah menikah dan berubah lalu selingkuh, aku nggak akan terima. Nanti aku nggak bisa menonjoknya dan jauh di Mambera. Kalian juga sulit datang membelaku. Bagaimana?”Lana berpikir sejenak dan berkata, “Ini sulit ditebak. Tapi, pernikahan itu mengandalkan diri kita sendiri untuk membangunnya. Kalian harus membangunnya dengan hati. Seharusnya nggak akan ada hal yang seperti itu. Ngg
Raisa selalu merasa senang dan santai setiap kali minum kopi ketika suaminya masih hidup. Namun sekarang, dia harus minum kopi agar bisa tetap segar ketika bekerja. Daniel meminta sekretarisnya untuk menyiapkan kopi bagi Raisa dengan berkata, “Siapkan kopi untuk Bu Raisa saja dan segelas air hangat untuk saya. Saya sudah minum kopi di kantornya Stefan.”Daniel terbiasa minum kopi di pagi hari. Dia jarang sekali minum kopi di sore hari karena dia takut tidak bisa tidur ketika malam hari dan akan membuat matanya kelelahan. “Pak Daniel pergi ke Adhitama Group tadi?” tanya Raisa dengan senyuman lembut di wajahnya. “Ya, ada urusan mendesak, makanya saya pergi ke sana untuk mendiskusikannya dengan Pak Stefan,” jawab Daniel seadanya. Raisa memutuskan untuk tidak menanyakan hal itu lebih lanjut setelah mendengar jawaban Daniel yang seakan tidak ingin membicarakannya secara detail. Semua masyarakat kelas atas Mambera mengetahui kalau Stefan, Daniel dan Reiki adalah sahabat yang sangat dekat
Raisa mengambil alih posisi berdiri sekretaris Daniel dan mulai mendorong kursi roda Daniel menuju ruang CEO. Kedua sekretaris mereka mengikuti dari belakang dalam diam. “Bu Raisa, saya bisa melakukannya sendiri,” ujar Daniel yang menolak Raisa untuk mendorong kursi rodanya karena kursi roda yang digunakannya sekarang adalah kursi roda otomatis. Raisa langsung tersenyum seraya berkata, “Saya tidak mendorongnya, kok. Pak Daniel yang menggerakkannya sendiri.”Raisa sengaja tidak mengenakan pakaian kerjanya seperti biasa. Dia memilih untuk mengenakan pakaian kasual dan tidak menyanggul rambutnya. Dia membiarkan rambutnya tergerai dan mengenakan perhiasan yang biasa dia kenakan ketika suaminya masih hidup. Ditambah lagi, dengan riasan wajah yang membuatnya semakin cantik dan awet muda seakan dia masih berusia 20 tahun. Semua orang pastinya tidak akan menyangka kalau Raisa adalah seorang janda berusia 30 tahunan dan memiliki putra berusia 9 tahun. Bahkan putranya memuji Raisa ketika dia
“Sudah, jangan terlalu banyak berpikir. Hujan dan badai yang kalian berdua harus hadapi, jauh lebih banyak daripada pasangan lainnya. Kalian selalu bisa melihat pelangi setelah badai. Kak Odelina sedang sangat sibuk sekarang. Dia benar-benar tertekan dengan perusahaan barunya. Kamu juga tahu itu, kan?”“Walaupun dia pernah bekerja cukup baik sebelum menikah, tapi dia adalah ibu rumah tangga setelah menikah. Dia menarik diri dari dunia sosial selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya, dia berhasil mendirikan usahanya sendiri, tapi itu juga belum lama. Sekarang, dia harus membuka perusahaan baru yang dibangun secara khusus untuk menyaingi Gatara Group.”“Pengalamannya masih belum cukup dan dia berada dalam tekanan yang cukup besar. Selain itu, penerus Gatara Group juga bukan orang biasa yang tidak bisa apa-apa. Mereka berdua sama-sama sedang berjuang keras. Dia mengatakan tidak ingin terburu-buru untuk meresmikan pernikahan kalian pasti karena dia ingin fokus untuk mengurus perusahaan barun
Selain itu, ketiga kakaknya juga akan membantunya mengurus perusahaan, jadi Daniel bisa memulihkan tubuh dan mengejar calon istrinya dengan lebih leluasa. “Oke, kita bicarakan lagi nanti malam,” pungkas Odelina lalu menutup panggilan teleponnya yang telah mempersilakan sekretarisnya masuk.Sekretaris mengetuk pintu ruangannya untuk memberitahu kalau ada seorang klien yang datang. Odelina sendiri yang akan menerima dan menemui semua kliennya saat ini agar dia bisa segera mendapatkan kontrak kerja sama dari berbagai klien. Dia ingin agar perusahaannya memiliki pekerjaan yang bisa mereka kerjakan setelah libur tahun baru. Daniel melepaskan ponsel dari telinganya setelah Odelina mengakhiri panggilan mereka. Namun, wajah Daniel tampak kosong sambil terus memegangi ponselnya. Stefan sedang menikmati kopi sambil menatap sahabatnya itu sampai akhirnya tatapan mereka saling beradu. “Kenapa kamu menatapku begitu?” tanya Daniel sambil meletakkan ponselnya. “Kamu mikirin apa, sih? Pikiranmu pa
“Proses pembuatan surat nikah nggak lama, kok. Kita bisa melakukannya setelah kamu pulang,” ujar Daniel yang bersikeras untuk mendapatkan surat nikah terlebih dahulu. Odelina pasti akan lebih tenang setelah mereka resmi menikah karena tidak akan lagi ada perempuan di luar sana yang berpikiran untuk bisa merebut Daniel dari sisinya. “Daniel, kita bicarakan masalah ini nanti saja kalau aku ada waktu kosong. Sekarang, lebih baik kita pertimbangkan dulu semuanya baik-baik.”“Kita nggak bisa bertindak impulsif karena pernikahan adalah hal besar di dalam hidup kita. Terlebih lagi, aku adalah seorang janda, jadi aku harus ekstra hati-hati dalam menghadapi pernikahan keduaku nantinya.”Daniel langsung berpikir kalau Odelina mungkin terlalu sibuk atau mungkin karena mimpi itu telah mengubah pikiran Odelina sampai ingin menunda peresmian hubungan mereka. Sebenarnya, apa yang dikatakan Odelina sudah cukup jelas, kegagalan pernikahannya terus membayangi keputusannya untuk menikah kembali. Kerag
"Aku akan terus melakukan terapi, pasti akan sembuh total dan nggak akan menjadi beban bagimu. Meski aku nggak bisa menjanjikan kapan akan pulih sepenuhnya, sekarang aku sudah menggunakan kursi roda otomatis yang bisa kujalani sendiri, jadi setidaknya bisa mengurangi beban bagi orang yang merawatku," ujar Daniel dengan lembut. "Aku sudah memikirkannya, lebih baik kita mengurus pernikahan dulu, dan setelah aku benar-benar pulih, baru kita adakan pesta pernikahan." Daniel teringat ucapan sahabatnya, bahwa mungkin Odelina masih memiliki trauma dari pernikahan sebelumnya. Pikiran-pikiran itu membuatnya khawatir jika Daniel akan direbut orang. Maka, menurutnya, menikah adalah solusi terbaik. Setelah menjadi suami Odelina secara resmi, siapa pun tidak akan bisa merebut dirinya. Daniel bukan orang yang mudah jatuh cinta. Jika tidak, di usia 36 tahun dia sudah menikah sejak lama. Namun, begitu dia jatuh cinta, itu adalah cinta seumur hidup. Hatinya begitu sempit, hanya cukup untuk satu oran
Daniel terdiam sejenak sebelum berkata, "Ya, meskipun semua orang bisa bermimpi, kamu belum pernah menceritakan mimpi seperti ini sebelumnya. Kamu bermimpi seperti itu tadi malam, apa karena kamu memikirkan hubungan kita sebelum tidur? Apakah kamu khawatir?" "Atau mungkin ada seseorang yang mengatakan sesuatu di depanmu jadi kamu nggak bisa menahan diri untuk berpikir berlebihan dan akhirnya bermimpi seperti itu?" Odelina tertawa kecil dan berkata, "Mana mungkin? Siapa yang akan mengatakan sesuatu sama aku? Aku bahkan nggak ada di Mambera sekarang. Kalaupun kamu benar-benar punya pengagum, mereka harus menungguku kembali ke Mambera sebelum mereka bisa datang padaku." "Aku hanya kebetulan bermimpi seperti itu. Aku hanya ingin memberitahumu dan melihat apakah kamu tahu jawabannya. Apakah kamu, tanpa sadar sudah menarik hati wanita lain?" Stefan tidak memberi tahu Daniel bahwa Olivia mencurigai Raisa memiliki perasaan pada Daniel. Odelina pun tidak akan mengatakan itu. Tanpa bukti, di
“Aku bukan Ronny dan nggak akan seperti dia. Nggak peduli ada berapa banyak wanita di luar sana yang lebih baik dari Odelina, aku nggak akan menyukai mereka. Aku sudah yakin dengan pilihanku, dan hanya dia yang akan kunikahi seumur hidup,” kata Daniel dengan serius. Setelah berhenti sejenak, dia bertanya kepada sahabatnya, “Stefan, menurutmu, apakah aku harus segera menikah dengan kakakmu? Dulu dia yang nggak mau menikah denganku. Kemudian, aku merasa diriku lumpuh dan nggak ingin menjadi beban baginya. Sebelum aku pulih sepenuhnya, aku nggak akan mau menikahinya.” “Apakah karena itu dia kehilangan kepercayaan? Mungkin dia merasa perasaanku sudah mulai goyah? Aku benar-benar takut nggak bisa sembuh dan harus pakai kursi roda seumur hidup. Pada akhirnya malah membebaninya.” “Setelah cerai, dia harus hidup sendiri dengan Russel. Dan itu sudah cukup berat. Kalau ditambah denganku yang lumpuh, hidupnya pasti makin sulit. Aku mencintainya, aku hanya ingin memberinya kebahagiaan, bukan me
Odelina hanya mengatakan bahwa dia bermimpi, tetapi Daniel langsung membatalkan rencananya kembali ke kantor dan memilih mengganggu waktu berharga sahabatnya. Dia khawatir akan ditertawakan oleh sahabatnya. Namun, hati kecilnya tidak tenang, dia merasa bahwa mimpi Odelina itu bukan tanpa alasan. Seperti kata pepatah, “Siang dipikirkan, malam terbawa mimpi.”Apakah ada seseorang yang mengatakan sesuatu pada Odelina sehingga dia berpikir terlalu jauh, dan akhirnya bermimpi seperti itu sepanjang malam? “Apa pun yang ingin kamu katakan, katakan saja. Kita ini teman lama, sahabat baik. Masih ada hal yang nggak bisa dibicarakan?” Stefan bangkit dan berjalan keluar dari meja kerjanya sembari bertanya, “Kamu mau minum kopi, teh, atau air hangat?” “Aku mau kopi.” “Seharusnya masih ada kopi. Aku periksa dulu. Kalau habis, aku buatkan air hangat saja.” Tidak lama kemudian, lelaki itu keluar dari sebuah ruangan dengan membawa dua cangkir kopi panas yang mengepul. “Masih ada. Ini satu untukm