Bram berkata, "Yang aku tahu, ada kebun Mawar, Lily dan Bunga Matahari. Tapi karena sekarang masih bulan Oktober sehingga nggak begitu banyak bunga. Kalau musim panas, bunga di sini akan sangat indah."Chintya menurunkan kaca jendela mobil. Dia menatap ke arah kejauhan dan sambil berdecak kagum bertanya, "Tempat yang kulihat ini milik keluarga Adhitama? Orang-orang di sana juga orangnya keluarga Adhitama?""Tempat yang kamu lihat sekarang adalah milik keluarga Adhitama. Orang-orang yang kamu lihat juga karyawannya keluarga Adhitama. Untuk merawat kebun bunga dan buah ini memerlukan banyak sekali karyawan.""Ada sebagian orang yang berasal dari keluarga Adhitama sendiri. Pokoknya mereka keluarganya Stefan.""Rumah-rumah itu juga sama. Ada sebagian ditempati oleh anggota keluarga Adhitama. Ada juga tempat tinggalnya karyawan. Mereka memperlakukan karyawan dengan sangat baik. Kalau lajang, mereka akan mendapat sebuah kamar yang terdapat dapur kecil dan kamar mandi. Bisa masak untuk diri s
Bram tertawa dan berkata, "Bu Chintya, sudah dibilang jangan mengucapkan terima kasih padaku lagi. Sekarang kita sudah berteman, apalagi kamu adalah penolongku."Perempuan itu ikut tertawa dan berkata, "Iya, iya. Kita jangan bersikap sungkan lagi. Aku juga merasa canggung kalau selalu bersikap sungkan seperti itu. Aku orang yang kasar dan akan terasa aneh kalau terlalu sungkan,""Pak Bram juga jangan selalu bilang aku penolongmu. Aku hanya ikut membantu karena sedang jalan santai."Keduanya tertawa bersama-sama. Chintya tidak berencana turun dari mobil untuk menikmati pemandangan bunga. Oleh karena itu, Bram langsung melajukan mobilnya kembali. Dia menebak kemungkinan perempuan itu tidak begitu menyukai bunga.Mobil mereka tiba-tiba berhenti ketika baru tiba di pertengahan gunung. Chintya melihat ada sebuah pos satpam di sana. Mereka menghentikan mobil yang melintas. Ketika mereka melihat sosok Bram, dengan cepat membiarkan lelaki itu melintas."Di gunung ada pemeriksaan?” tanya Chinty
Bram tersenyum dan mereka saling bertegur sapa, “Bu Chintya, ini adalah Pak Joni, Kepala Pengurus di Vila Permai.”“Pak Joni, ini adalah Bu Chintya, anak dari Sanggar Bela Diri Keluarga Baruna di Kota Malinjo. Dia penolongku.”Dalam hati Pak Joni dia berkata, “Pak Bram, kamu sedang bercanda? Kamu ada penolong?”Dengan kemampuan yang dimiliki oleh lelaki itu, memangnya siapa yang berani menyentuhnya? Jangankan menyentuh, bahkan mengusiknya saja juga tidak berani. Namun Stefan sudah berpesan bahwa dia hanya perlu mengikuti apa saja yang dikatakan oleh Bram.“Bu Chintya,” sapa Pak Joni dengan santun.Dengan cepat perempuan itu membalas, “Maafkan kami yang datang mengganggu, Pak Joni.”Pak Joni tersenyum dan berkata, “Nggak repot, Pak Bram kenal dengan Pak Stefan dan beliau sudah menitip pesan. Hari ini izinkan saya yang menjadi pemandu kalian dan bawa kalian berkeliling di vila.”“Terima kasih, Pak Joni.”“Pak Joni, saya pernah datang ke sini dua kali dan nggak bisa dibilang mengenal temp
“Nenek Sarah.”Dia sudah tidak bisa menghindar sehingga mau tidak mau harus menghadapinya. Bram langsung menoleh dan tersenyum pada Nenek Sarah.Sedangkan Chintya menghampiri sosok perempuan tua yang tampak ramah tersebut. Dia adalah Bu Sarah dari keluarga Adhitama. Dia melihat pakaian Nenek Sarah yang tidak ada bedanya dengan orang tua pada umumnya. Terlihat sangat sederhana sekali. Namun dia ada aura elegan dan mewah yang terpancar dari dirinya.Nenek Sarah melangkah dengan cepat. Tubuhnya masih terlihat begitu kuat dan sehat hingga membuatnya terlihat seperti perempuan berusia 50 hingga 60 tahun. Sama sekali tidak terlihat usianya yang sesungguhnya.“Bram, ini siapa?” tanya Nenek Sarah pura-pura tidak tahu sambil menatap Chintya.“Bu Sarah,” panggil Bram kemudian memperkenalkan mereka.Sarah tersenyum lebar dan membalas sapaan Chintya. Dia menatap perempuan itu penuh penilaian. Sosok Chintya terlihat muda dan cantik. Wajahnya terlihat berani dan juga anggun. Kesan pertamanya terhada
Dia berkata pada Chintya lagi, “Bu Chintya, kami semua orang yang sangat santai, jadi kamu jangan merasa sungkan. Jangan merasa kalau ke sini maka akan mengganggu kami. Di vila ini, kamu bisa makan dan minum yang enak. Yang penting kalian menyukainya dan sering datang ke sini.”Chintya terkekeh dan berkata, “Lain kali kalau aku bawa murid-murid datang untuk lomba, aku pasti akan datang ke sini lagi untuk mengganggu Bu Sarah.”Sarah ternyata jauh lebih ramah dari apa yang dia bayangkan. Sama sekali tidak ada kesan sombong. Dia sama seperti neneknya yang sangat ramah dan suka menjamu tamu.“Kalau nggak bawa murid untuk lomba juga boleh datang bermain. Biarkan Bram yang menjemputmu dan bertamu ke rumah kami. Nggak masalah juga kalau kamu mau menginap di sini. Di vila ini ada banyak kamar. Kamu nggak akan bosan kalau tinggal setengah bulan di sini.”Chintya hanya tersenyum santun. Dia tidak berani datang dengan sesuka hatinya. Datang sekali saja dia sudah berhutang budi pada Bram. Lelaki i
“Nenek Sarah, pernikahan Stefan dan Olivia sudah akan tiba, Nenek juga pasti sangat sibuk. Ini pernikahan cucu pertamanya Nenek. Kami nggak mengganggu waktu berharganya Nenek lagi. Chintya masih ada aku.”Bram langsung dengan jelas meminta Nenek jangan merebut perhatiannya. Berikan dia kesempatan untuk unjuk diri di hadapan Chintya.Nenek Sarah terkekeh dan berkata, “Pernikahan Stefan memang sudah dekat. Tapi Nenek nggak perlu melakukan apa pun. Nenek sudah tua dan bahkan nggak kuat jalan. Memangnya mereka berani kasih Nenek tugas?”“Nenek hanya perlu menggerakkan mulutnya saja maka mereka akan langsung menjalankan perintah Nenek. Nenek sangat santai dan mudah sekali merasa bosan. Vila Permai sudah lama nggak pernah begitu ramai.”“Nenek sudah lama sekali nggak melihat begitu banyak anak-anak bermain di Vila Permai. Nenek suka keramaian. Silakan saja kalau kamu mau unjuk diri, Nenek juga nggak akan menahanmu. Kalau kamu nggak bisa menang melawan perempuan tua seperti Nenek, bagaimana k
Chintya lebih mengenal muridnya daripada Bram. Dia tidak keberatan dengan saran Bram. Oleh karena itu, dia pun berbalik dan mengikuti Bram, berjalan menuju pohon besar yang ditunjuk pria itu. Ada sebuah kursi ayun di bawah pohon tersebut.“Aku lihat ada banyak kursi ayun di vila,” kata Chintya setelah duduk di kursi ayunan.“Lumayan banyak, tapi kebanyakan belakangan ini baru dipasang. Bu Olivia suka duduk di kursi ayun. Pak Stefan sayang istri. Dengar-dengar semua tempat yang akan mereka tinggali ada banyak kursi ayun.”“Oh, begitu. Bu Olivia tinggal di mana saja, di situ pasti ada kursi ayun.” Chintya berkata dengan iri, “Pak Stefan benar-benar baik banget pada istrinya. Bikin orang iri saja.”Di mana-mana terdengar cerita tentang Stefan yang sangat menyayangi istrinya. Perempuan mana yang tidak iri mendengarnya.“Bu Sarah mana?”Chintya spontan bertanya ketika menyadari sosok Sarah tidak terlihat. Dia ingat Sarah sedang bersama mereka tadi.“Bu Sarah itu porosnya keluarga Adhitama.
Bram tertawa pelan lalu berkata, “Kalau soal bisnis aku nggak perlu khawatir. Di perusahaan ada tim manajemen. Tapi aku nggak bisa tolak jadi pengiring pengantin pria di pernikahan Pak Stefan.”“Jangan ditolak. Banyak orang yang ingin hadir di pernikahan Pak Stefan tapi nggak punya kesempatan. Pak Bram sangat beruntung bisa jadi pengiring pengantin pria untuk Pak Stefan,” kata Chintya.Chintya sebenarnya sangat ingin menghadiri pernikahan Stefan dan Olivia. Namun, dia tidak berteman dengan pasangan yang penuh kasih itu. Dia bahkan belum pernah bertemu mereka. Sekalipun Bram bersedia membawa Chintya ke sana, Chintya juga tidak bisa pergi. Karena dia tidak akrab dengan orang-orang dalam lingkaran pertemanan itu.Terlebih lagi, Chintya juga benar-benar sudah harus mengantar anak-anak pulang. Anak-anak masih harus sekolah.Bram hanya tersenyum, tidak membantah perkataan Chintya. Tanpa gangguan Sarah, Bram dan Chintya menghabiskan waktu sepanjang hari bersama. Rasa canggung dan asing di ant
Olivia menjawab, "Baik, nanti biar Papa dan Mama yang menjaga Russel. Kami akan kembali lebih awal untuk urus pekerjaan. Menjelang Tahun Baru, kami akan kembali menjemput kalian."Para orang tua dari kedua keluarga sudah pensiun dan tidak banyak kesibukan. Jika mereka berkumpul, bahkan hanya untuk bermain kartu, pasti akan terasa ramai. Yose juga pasti akan menyetujuinya.Dewi tertawa senang, lalu pergi ke dapur untuk meminta koki menyiapkan beberapa hidangan favorit Olivia, sambil tetap memperhatikan selera makan putranya juga.Ketika keluar dari dapur, Nenek sudah kembali. Mendengar bahwa cucu pertama dan istrinya datang berkunjung mencarinya, Nenek pun meninggalkan sekumpulan teman lamanya dan kembali ke vila.“Nenek.”Olivia menyapa dengan manis.Senyum Nenek sangat ramah dan penuh kasih sayang. Setelah saling menyapa dengan hangat, Nenek menarik Olivia untuk duduk bersamanya di sofa.Dewi secara pribadi mempersiapkan buah-buahan, camilan, dan berbagai makanan ringan untuk menantu
Meskipun di rumah ada asisten rumah tangga, seorang ibu tetap harus berbagi perhatian untuk merawat anaknya. Mengurus anak sering kali membuat istri kurang memperhatikan suaminya. Jika ingin menikmati waktu berdua seperti sekarang, kesempatan itu tidak akan banyak lagi. Dewi, sebagai seorang yang berpengalaman, sangat memahami hal ini.“Baik, kalau libur musim dingin, aku bawa Russel untuk tinggal dua hari di sini.” Olivia tidak tega mengecewakan kebahagiaan ibu mertuanya, sehingga dia memutuskan untuk mengantar Russel ke sini selama dua hari. Setelah itu, mereka akan membawa bocah itu ke Kota Aldimo untuk bermain selama seminggu, sebelum pulang mempersiapkan Tahun Baru. “Hanya tinggal dua hari? Apa Russel akan pergi ke Cianter?” Dewi bertanya dengan penuh perhatian, “Cianter itu sangat dingin, sering turun salju. Apa Russel bisa tahan di sana? Kalau hanya tinggal satu atau dua hari, dia mungkin akan merasa senang. Tapi kalau setiap hari di sana, dia bisa masuk angin. Kita ini ngga
Stefan tetap rutin berolahraga setiap hari, menjaga pola makan seperti sebelum menikah. Berat badannya pun hampir tidak pernah berubah, selalu stabil di angka yang sama. "Vitamin milik menantumu memang ada aku makan sedikit, tapi itu karena Olivia nggak bisa menghabiskannya, jadi dia memintaku membantunya makan. Baru setelah itu aku makan." Stefan ingin menegaskan bahwa dia tidak akan pernah memakan suplemen milik istrinya. Namun,mengingat dia hampir setiap hari membantu istrinya menghabiskan makanan tersebut, dia tidak bisa berkata tidak. Yang lebih dia khawatirkan adalah bentuk tubuhnya. Dengan cemas dia bertanya kepada istrinya, "Olivia, lihat aku, apa aku gemuk? Apa aku punya perut buncit?" Dia bahkan mencubit perutnya sendiri untuk memastikan. Melihat reaksi suaminya, Olivia tertawa hingga memegang perutnya. Suaminya benar-benar lucu, ternyata dia sangat peduli dengan penampilannya yang tampan. "Sayang, kamu nggak gemuk dan nggak buncit. Bentuk tubuhmu masih sangat bagus, te
Dewi melanjutkan, "Keluarga ini memang selalu didominasi laki-laki, sudah beberapa generasi nggak ada anak perempuan. Kalau bisa punya seorang anak perempuan, tentu saja semua orang akan memanjakannya.""Aku hanya ingin dia bisa hidup tanpa beban, melakukan apa pun yang dia inginkan dan nggak perlu memikul tanggung jawab besar keluarga." "Masih banyak saudara laki-laki yang bisa membantunya memikul tanggung jawab dan melindunginya, memastikan badai sehebat apa pun nggak akan mengenainya," tambahnya. Olivia berpikir sejenak, lalu tersenyum dan berkata, "Mama benar juga, tugas berat seperti menjadi penerus keluarga memang lebih baik diberikan kepada anak laki-laki." Mengetahui pandangan keluarga suaminya sudah cukup bagi Olivia. Dia pun tidak ingin jika suatu saat anak perempuannya harus memikul tanggung jawab besar keluarga. Namun, dia berpikir sambil tertawa kecil, "Kalau pun aku benar-benar bisa melahirkan anak perempuan, aku rasa itu mungkin terjadi di kehamilan kedua atau bahkan
"Nggak ada, sangat baik." Keluarga suaminya menunjukkan tingkat perhatian yang berlebihan terhadapnya, tetapi itu juga menandakan betapa mereka peduli padanya dan tentu saja pada bayi kecil yang ada di dalam perutnya. "Bagus kalau begitu. Mama sekarang paling takut mendengar kabar bahwa kamu mengalami sesuatu." Dewi akhirnya merasa lega, lalu berkata, "Ada seorang teman Mama, menantunya juga lagi hamil lima bulan. Tapi dua hari yang lalu, bayinya nggak berkembang lagi. Dia menangis sampai seperti kehilangan akal. Bayinya laki-laki dan sudah terbentuk, tapi entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba janinnya nggak berkembang." "Ah, Cih! Olivia sehat, dan bayi kita juga sangat sehat." Kekhawatiran Dewi terhadap Olivia memang dipicu oleh kejadian yang menimpa menantu temannya itu. "Hamil lima bulan masih bisa mengalami janin nggak berkembang?" Dewi menggandeng tangan menantunya dengan hangat. Keduanya masuk ke dalam rumah dengan akrab layaknya ibu dan anak kandung. Sedangkan Stefan? Di
Olivia berkata, "Aku hanya mau bilang, kamu sekarang sudah setegang ini, nanti saat aku melahirkan, apakah kamu akan seperti Amelia, langsung mengemudi sendiri ke rumah sakit?" Stefan menjawab dengan serius, "Jangan bandingkan aku dengan Amelia. Aku nggak akan seperti itu. Memang aku pasti akan tegang, tapi nggak sampai lupa padamu. Aku akan menemanimu masuk ke ruang bersalin." "Kamu mau masuk ke ruang bersalin bersamaku?" "Iya, aku akan menemanimu. Nggak peduli kapan dan apa yang terjadi, aku harus ada di sisimu." Olivia tersenyum, senyumnya begitu manis. "Stefan, terima kasih. Terima kasih karena sangat mencintaiku dan memperlakukanku dengan begitu baik!"Stefan kembali mengoreksinya, "Panggil aku "Sayang". Aku suka mendengar kamu memanggilku begitu. Seharusnya aku yang berterima kasih sama kamu karena mau melahirkan anak untukku. Kamu adalah pahlawan besar di keluarga kita." "Kita nggak perlu saling berterima kasih terus." Olivia tertawa kecil sambil menyandarkan dirinya ke p
Terutama sejak Olivia hamil, Stefan berharap bisa menemani istrinya selama 24 jam sehari. Namun, Olivia tidak mengizinkannya untuk terus menempel padanya. “Aku masih harus kerja,” katanya sambil tersenyum. Melihat istrinya yang sedang hamil tetap bekerja, Stefan merasa tidak enak jika dirinya sendiri bermalas-malasan. “Harus kerja juga, cari uang buat beli susu bayi,” katanya sambil bercanda. Russel bilang, bayinya nanti laki-laki. Kalau benar anak laki-laki, Stefan mulai berpikir tentang masa depannya. “Harus cari uang buat beli rumah, mobil, dan biaya menikah. Itu semua butuh banyak uang.” Namun, kemudian dia tersenyum lega. Sebagai pewaris keluarga Adhitama, dia memiliki kekayaan melimpah. “Bisa dibilang, aku kekurangan segalanya kecuali uang. Uangku cukup untuk anakku hidup nyaman seumur hidup. Kelak ada cucu dan cicit, harus tetap menjaga keluarga Adhitama sebagai keluarga terkaya di Mambera, dari generasi ke generasi.” “Nicho mulai kerja tahun depan, ya?” Olivia merasa s
"Olivia, mari kita kembali ke rumah lama sebentar dan beri tahu Nenek. Dia pasti ingin bertemu dengan para tetua itu," kata Stefan. Mereka adalah orang-orang dari masa yang sama. Di zamannya, Nenek adalah sosok yang cukup terkenal di Mambera. Kemungkinan besar, para tetua itu juga mengenal neneknya. Namun, memikirkan bahwa Olivia sudah bangun pagi-pagi, Stefan mengubah keputusannya. Dia berkata, "Kamu pulang saja untuk istirahat. Aku sendiri yang akan pergi ke rumah lama. Kalau Nenek ingin datang, aku akan mengantarnya ke sini." Olivia menjawab, "Aku nggak lelah. Aku akan menemanimu pergi." "Sudah lama kita nggak pulang ke sana. Akhir pekan ini, kita bawa Russel untuk menginap dua hari. Sekalian beri tahu keluarga, setelah libur musim dingin minggu depan, aku mau bawa Russel ke Kota Aldimo untuk bermain beberapa hari." Stefan dengan perhatian bertanya, "Apa kamu nggak akan merasa terlalu capek? Kalau lelah, sebaiknya istirahat saja, jangan memaksakan diri." Olivia menepuk ringan
Yuna mengangguk."Sore nanti ajak Russel bersama ke sini." Setelah berpikir sejenak, Yuna menambahkan, "Dokter Panca bilang, waktu Kakek Setya nggak banyak lagi. Biarkan dia bertemu dengan anak-anak satu per satu." Semua orang saling memandang. Olivia dengan cemas bertanya, "Penyakit apa yang diderita Kakek Setya?" "Mungkin karena luka lama yang meninggalkan efek samping, ditambah usia lanjut. Orang tua pasti punya penyakit kecil di sana-sini," jawab Yuna sambil menghela napas, dia tidak melanjutkan lebih jauh. Dokter Panca sudah menyuruh mereka bersiap secara mental. "Sore nanti, aku akan menjemput Russel, lalu kita akan datang bersama." Olivia juga memahami bahwa usia Setya yang sudah sangat tua, ditambah keinginannya yang sudah terpenuhi, mungkin tidak akan bertahan lama lagi. "Apakah perlu memberi tahu Kak Odelina agar pulang?" "Untuk sementara nggak perlu. Kakek Setya belum menyerahkan bukti-buktinya ke aku, jadi dalam waktu dekat sepertinya nggak akan ada apa-apa. Saat dia