Stefan naik ke lantai dua. Dia membuka pintu kamar dan langsung mendengar suara mual milik Olivia dari kamar mandi. Setiap harinya setiap terbangung, perempuan itu pasti akan berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan muntahannya.“Olivia.”Stefan mempercepat langkah kakinya ke arah kamar mandi. Dia melangkah ke belakang punggung perempuan itu dan menepuknya dengan perlahan sembari berkata, “Setiap hari selalu muntah setiap bangun. Bocah ini suka sekali menyiksa orang.”Mungkin dia anak yang bandel.“Reaksi dari ibu hamil itu berbeda-beda. Belum tentu ibu hamil tersiksa karena anaknya.”Stefan menarik selembar tisu dan dan mengusap bagian mulut Olivia yang tengah membela bayi di perutnya.“Aku ingin sekali menggantikanmu merasa mual.”“Kalau kamu bisa menggantikanku, berarti kamu sudah bisa hamil dan melahirkan anak. Kamu bisa menolong kaum perempuan seperti kami dari kehamilan.”Stefan terdiam. Dia menggandeng Olivia keluar dari kamar mandi dan duduk sejenak di sofa. Setelah itu, dia men
Sepuluh menit kemudian, Olivia sudah selesai mengganti pakaian dan digandeng turun oleh Stefan. Samuel dan Nenek tengah menikmati sarapan mereka di ruang makan. Ketika melihat pasangan suami istri tersebut, Samuel langsung menghentikan makannya dan berdiri sambil menyapanya, “Kak.”Olivia berdeham merespons. Dia sudah terbiasa pada sikap santun yang ditunjukkan para adik iparnya. Dia juga tahu jika semuanya menghormatinya karena Stefan. Olivia meminta Samuel untuk duduk kembali.“Nenek,” panggil Olivia.Nenek Sarah bertanya dengan penuh sayang, “Hari ini lebih mendingan?”“Masih sama. Nggak tahu sebulan lagi akan membaik atau nggak.”“Pasti akan lebih membaik.”Sarah melirik Stefan sekilas. Jika Olivia terus mual, cucunya ini pasti akan tidak tega.“Olivia, Stefan bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan sarapan untukmu. Nenek kebagian keberuntunganmu sedikit,” ujar Sarah sambil tersenyum lebar.“Nenek bilang seakan-akan aku nggak berbakti. Asal Nenek ingin makan, aku mana berani nggak t
Pak Arif tersadar dan langsung menjawab, "Bu, sekarang juga akan saya siapkan mobil.""Cepat, cepat. Hari ini saya nggak pulang makan. Besok baru kembali lagi. Nanti bilang sama Stefan waktu dia pulang," pesan Sarah."Baik, Ibu."Sarah memang senang sekali berpindah-pindah dan Pak Arif juga sudah terbiasa dengan hal itu. Perempuan tua itu pulang ke rumahnya sendiri sehingga tidak perlu membawa apa pun. Dia mengambil ponselnya dan langsung berjalan ke arah luar rumah.Pak Arif sudah mempersiapkan mobil. Sarah ingin mengendarai sendiri, tetapi langsung ditolak mentah-mentah oleh Pak Arif. Meski kondisi tubuh majikannya itu masih sangat kuat, bagaimanapun dia tetap orang tua. Bagaimana jika terjadi sesuatu di tengah jalan? Pak Arif tidak akan sanggup mengemban tanggung jawab tersebut. Apalagi Sarah sangat suka balap.Baik Stefan atau kedua orang tua lelaki itu, mereka menitipkan pesan bahwa jangan pernah mengizinkan Sarah untuk menyetir sendiri."Baik, baik. Saya buru-buru pulang dan ngga
Bram tersenyum menjawab sapaan mereka semua. Setelah itu, dia mengajak semuanya untuk sarapan. Anak-anak yang sudah tinggal di Mambera Hotel selama beberapa hari sudah tahu tempat-tempat di hotel tersebut. Mereka bergegas ke arah restoran ketika mendengar Bram mengajak mereka sarapan.Bram dan Chintya otomatis mengikuti dari belakang para anak-anak. Melihat ekspresi bahagia para bocah itu membuat Chintya terkekeh dan berkata,"Iri sekali dengan mereka yang jauh lebih bahagia dari aku kecil dulu. Waktu aku seusia mereka, aku sering mengikuti lomba. Tapi papaku nggak akan membawaku bermain.""Setelah selesai lomba, aku hanya akan dibawa keliling ke taman yang gratis. Kemudian beli dua es krim dan setelah itu pulang."Tidak seperti dia yang mengeluarkan uang sendiri agar anak-anak itu makan dan minum enak. Tentu saja dia sendiri juga menikmatinya."Kamu seorang guru yang sangat baik. Muridmu sangat menghormatimu."Bram kembali melontarkan pujiannya dengan berkata, "Ada yang dikorbankan pa
“Kamu tenang saja. Setelah aku mempelajari bela diri dari keluarga Baruna, aku akan membantu mengangkat nama kalian saja dan nggak akan melakukan kejahatan.”Bram yang memang sudah memiliki keahlian bela diri berpura-pura tidak bisa. Dia mengajukan diri untuk belajar di Sanggar Bela Diri Keluarga Baruna. Dengan begitu, dia bisa bersama dengan Chintya setiap harinya. Lambat laun, perempuan itu pasti akan menyukainya.Di dunia ini, hanya Chintya yang bisa membuatnya menjadi lelaki normal. Dia tidak akan melepaskan Chintya begitu saja dan tidak akan membiarkan orang lain mendekati perempuan itu.Chintya menoleh dan menatap Bram. Dia terkekeh sambil berkata, “Pak Bram sudah sedikit berumur. Kalau kamu mau belajar untuk dijadikan sebuah olahraga dan nggak mengejar apa pun, kamu bisa tanya papaku atau kakakku. Kalau mereka bersedia, kamu boleh ke sana.”“Bukan kamu yang mengajariku?” tanya Bram.“Biasanya aku hanya mengajar anak kecil saja. Orang dewasa langsung sama papaku. Orang dewasa yan
Para anak-anak sudah mendapatkan makanan kesukaan mereka. Mereka memilih dua buah meja dan duduk berkeliling. Chintya sangat suka makan terutama makanan di hotel. Dia mengambil dua piring dan memenuhi piringnya dengan berbagai jenis makanan.Setelah itu dia mengambil sebuah piring lagi dan mengisinya dengan kue dan mengambil segelas kopi panas. Bram juga mengambil banyak sekali makanan untuk dirinya sendiri.Chintya memang sangat kuat makan, jika Bram makannya lebih sedikit maka perempuan itu akan merasa malu. Jika selanjutnya mereka makan bersama, kemungkinan Chintya akan bersikap pura-pura anggun dan berakhir kelaparan. Calon istrinya itu juga harus disayang meski masih belum menjadi istri sesungguhnya.Setelah Chintya mengambil makanan yang ingin dia makan, dia duduk di kursinya. Mendadak perempuan itu merasa dia mengambil terlalu banyak makanan. Ketika melihat Bram yang juga mengambil beberapa piring, rasa malu di dalam dirinya mendadak sirna.Tidak hanya Chintya yang jago makan, p
Reiki adalah asisten utama direktur Adhitama Group. Dia cukup terkenal di Mambera dan sering muncul di publik dibandingkan Bram. Orang-orang bisa menemukan foto Reiki di internet dan mengetahui identitasnya.Berbeda dengan Bram yang selalu misterius. Biasanya jika Stefan ingin bertemu dengan Bram, dia akan meminta Reiki membuat janji terlebih dahulu. Di internet juga tidak bisa menemukan foto lelaki itu dan tidak ada yang melihat sosok Bram sesungguhnya.Terkadang mereka bersisian dengan Bram, tetapi tidak tahu identitas lelaki itu yang sesungguhnya. Reiki tebak seharusnya kakaknya itu takut jika Chintya tahu identitas dirinya dan setelah itu mengetahui identitas Bram dan akhirnya memilih mundur.“Lelaki yang tadi mengenakan setelan jas itu kenapa nggak asing?”Begitu keluar dari hotel, Chintya langsung menoleh ke dalam sambil berkata pada Bram.“Itu adalah petinggi dari Adhitama Group. Mungkin mereka datang untuk bertemu denga tamu. Mambera Hotel adalah salah satu perusahaan dari Adhi
“Pak Bram.”Bram membawa sopir dan juga dua orang anak buah. Melihat majikan mereka datang, para anak buahnya bergegas menyambut lelaki itu. Sesuai dengan perintah lelaki itu sebelumnya, mereka hanya boleh memanggilnya dengan sebutan “Pak Bram” saja.Di mata anak buahnya, mereka merasa majikannya terlalu banyak berpikir. Keberanian calon nyonya besar mereka menunjukkan bahwa dia tidak takut akan apa pun. Bagaimana mungkin dia bisa takut dengan identitas Bram?“Iya,” sahut Bram sambil menganggukkan kepalanya. Setelah itu dia kembali berkata, “Mobilku nggak muat terlalu banyak orang. Makanya aku minta dua sopir kemari. Kita pakai tiga mobil biar nggak begitu sempit.”Chintya mengucapkan terima kasih padanya. “Maaf merepotkanmu. Ternyata Pak Bram sudah memikirkannya dengan baik.”Bram tertawa dan berkata, “Nggak repot. Bu Chintya saja nggak takut direpotkan olehku ketika nggak kenal. Bahkan sudah menolong nyawaku. Aku hanya bantu kamu menyiapkan mobil dan hanya masalah kecil. Bu Chintya n
Olivia menjawab, "Baik, nanti biar Papa dan Mama yang menjaga Russel. Kami akan kembali lebih awal untuk urus pekerjaan. Menjelang Tahun Baru, kami akan kembali menjemput kalian."Para orang tua dari kedua keluarga sudah pensiun dan tidak banyak kesibukan. Jika mereka berkumpul, bahkan hanya untuk bermain kartu, pasti akan terasa ramai. Yose juga pasti akan menyetujuinya.Dewi tertawa senang, lalu pergi ke dapur untuk meminta koki menyiapkan beberapa hidangan favorit Olivia, sambil tetap memperhatikan selera makan putranya juga.Ketika keluar dari dapur, Nenek sudah kembali. Mendengar bahwa cucu pertama dan istrinya datang berkunjung mencarinya, Nenek pun meninggalkan sekumpulan teman lamanya dan kembali ke vila.“Nenek.”Olivia menyapa dengan manis.Senyum Nenek sangat ramah dan penuh kasih sayang. Setelah saling menyapa dengan hangat, Nenek menarik Olivia untuk duduk bersamanya di sofa.Dewi secara pribadi mempersiapkan buah-buahan, camilan, dan berbagai makanan ringan untuk menantu
Meskipun di rumah ada asisten rumah tangga, seorang ibu tetap harus berbagi perhatian untuk merawat anaknya. Mengurus anak sering kali membuat istri kurang memperhatikan suaminya. Jika ingin menikmati waktu berdua seperti sekarang, kesempatan itu tidak akan banyak lagi. Dewi, sebagai seorang yang berpengalaman, sangat memahami hal ini.“Baik, kalau libur musim dingin, aku bawa Russel untuk tinggal dua hari di sini.” Olivia tidak tega mengecewakan kebahagiaan ibu mertuanya, sehingga dia memutuskan untuk mengantar Russel ke sini selama dua hari. Setelah itu, mereka akan membawa bocah itu ke Kota Aldimo untuk bermain selama seminggu, sebelum pulang mempersiapkan Tahun Baru. “Hanya tinggal dua hari? Apa Russel akan pergi ke Cianter?” Dewi bertanya dengan penuh perhatian, “Cianter itu sangat dingin, sering turun salju. Apa Russel bisa tahan di sana? Kalau hanya tinggal satu atau dua hari, dia mungkin akan merasa senang. Tapi kalau setiap hari di sana, dia bisa masuk angin. Kita ini ngga
Stefan tetap rutin berolahraga setiap hari, menjaga pola makan seperti sebelum menikah. Berat badannya pun hampir tidak pernah berubah, selalu stabil di angka yang sama. "Vitamin milik menantumu memang ada aku makan sedikit, tapi itu karena Olivia nggak bisa menghabiskannya, jadi dia memintaku membantunya makan. Baru setelah itu aku makan." Stefan ingin menegaskan bahwa dia tidak akan pernah memakan suplemen milik istrinya. Namun,mengingat dia hampir setiap hari membantu istrinya menghabiskan makanan tersebut, dia tidak bisa berkata tidak. Yang lebih dia khawatirkan adalah bentuk tubuhnya. Dengan cemas dia bertanya kepada istrinya, "Olivia, lihat aku, apa aku gemuk? Apa aku punya perut buncit?" Dia bahkan mencubit perutnya sendiri untuk memastikan. Melihat reaksi suaminya, Olivia tertawa hingga memegang perutnya. Suaminya benar-benar lucu, ternyata dia sangat peduli dengan penampilannya yang tampan. "Sayang, kamu nggak gemuk dan nggak buncit. Bentuk tubuhmu masih sangat bagus, te
Dewi melanjutkan, "Keluarga ini memang selalu didominasi laki-laki, sudah beberapa generasi nggak ada anak perempuan. Kalau bisa punya seorang anak perempuan, tentu saja semua orang akan memanjakannya.""Aku hanya ingin dia bisa hidup tanpa beban, melakukan apa pun yang dia inginkan dan nggak perlu memikul tanggung jawab besar keluarga." "Masih banyak saudara laki-laki yang bisa membantunya memikul tanggung jawab dan melindunginya, memastikan badai sehebat apa pun nggak akan mengenainya," tambahnya. Olivia berpikir sejenak, lalu tersenyum dan berkata, "Mama benar juga, tugas berat seperti menjadi penerus keluarga memang lebih baik diberikan kepada anak laki-laki." Mengetahui pandangan keluarga suaminya sudah cukup bagi Olivia. Dia pun tidak ingin jika suatu saat anak perempuannya harus memikul tanggung jawab besar keluarga. Namun, dia berpikir sambil tertawa kecil, "Kalau pun aku benar-benar bisa melahirkan anak perempuan, aku rasa itu mungkin terjadi di kehamilan kedua atau bahkan
"Nggak ada, sangat baik." Keluarga suaminya menunjukkan tingkat perhatian yang berlebihan terhadapnya, tetapi itu juga menandakan betapa mereka peduli padanya dan tentu saja pada bayi kecil yang ada di dalam perutnya. "Bagus kalau begitu. Mama sekarang paling takut mendengar kabar bahwa kamu mengalami sesuatu." Dewi akhirnya merasa lega, lalu berkata, "Ada seorang teman Mama, menantunya juga lagi hamil lima bulan. Tapi dua hari yang lalu, bayinya nggak berkembang lagi. Dia menangis sampai seperti kehilangan akal. Bayinya laki-laki dan sudah terbentuk, tapi entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba janinnya nggak berkembang." "Ah, Cih! Olivia sehat, dan bayi kita juga sangat sehat." Kekhawatiran Dewi terhadap Olivia memang dipicu oleh kejadian yang menimpa menantu temannya itu. "Hamil lima bulan masih bisa mengalami janin nggak berkembang?" Dewi menggandeng tangan menantunya dengan hangat. Keduanya masuk ke dalam rumah dengan akrab layaknya ibu dan anak kandung. Sedangkan Stefan? Di
Olivia berkata, "Aku hanya mau bilang, kamu sekarang sudah setegang ini, nanti saat aku melahirkan, apakah kamu akan seperti Amelia, langsung mengemudi sendiri ke rumah sakit?" Stefan menjawab dengan serius, "Jangan bandingkan aku dengan Amelia. Aku nggak akan seperti itu. Memang aku pasti akan tegang, tapi nggak sampai lupa padamu. Aku akan menemanimu masuk ke ruang bersalin." "Kamu mau masuk ke ruang bersalin bersamaku?" "Iya, aku akan menemanimu. Nggak peduli kapan dan apa yang terjadi, aku harus ada di sisimu." Olivia tersenyum, senyumnya begitu manis. "Stefan, terima kasih. Terima kasih karena sangat mencintaiku dan memperlakukanku dengan begitu baik!"Stefan kembali mengoreksinya, "Panggil aku "Sayang". Aku suka mendengar kamu memanggilku begitu. Seharusnya aku yang berterima kasih sama kamu karena mau melahirkan anak untukku. Kamu adalah pahlawan besar di keluarga kita." "Kita nggak perlu saling berterima kasih terus." Olivia tertawa kecil sambil menyandarkan dirinya ke p
Terutama sejak Olivia hamil, Stefan berharap bisa menemani istrinya selama 24 jam sehari. Namun, Olivia tidak mengizinkannya untuk terus menempel padanya. “Aku masih harus kerja,” katanya sambil tersenyum. Melihat istrinya yang sedang hamil tetap bekerja, Stefan merasa tidak enak jika dirinya sendiri bermalas-malasan. “Harus kerja juga, cari uang buat beli susu bayi,” katanya sambil bercanda. Russel bilang, bayinya nanti laki-laki. Kalau benar anak laki-laki, Stefan mulai berpikir tentang masa depannya. “Harus cari uang buat beli rumah, mobil, dan biaya menikah. Itu semua butuh banyak uang.” Namun, kemudian dia tersenyum lega. Sebagai pewaris keluarga Adhitama, dia memiliki kekayaan melimpah. “Bisa dibilang, aku kekurangan segalanya kecuali uang. Uangku cukup untuk anakku hidup nyaman seumur hidup. Kelak ada cucu dan cicit, harus tetap menjaga keluarga Adhitama sebagai keluarga terkaya di Mambera, dari generasi ke generasi.” “Nicho mulai kerja tahun depan, ya?” Olivia merasa s
"Olivia, mari kita kembali ke rumah lama sebentar dan beri tahu Nenek. Dia pasti ingin bertemu dengan para tetua itu," kata Stefan. Mereka adalah orang-orang dari masa yang sama. Di zamannya, Nenek adalah sosok yang cukup terkenal di Mambera. Kemungkinan besar, para tetua itu juga mengenal neneknya. Namun, memikirkan bahwa Olivia sudah bangun pagi-pagi, Stefan mengubah keputusannya. Dia berkata, "Kamu pulang saja untuk istirahat. Aku sendiri yang akan pergi ke rumah lama. Kalau Nenek ingin datang, aku akan mengantarnya ke sini." Olivia menjawab, "Aku nggak lelah. Aku akan menemanimu pergi." "Sudah lama kita nggak pulang ke sana. Akhir pekan ini, kita bawa Russel untuk menginap dua hari. Sekalian beri tahu keluarga, setelah libur musim dingin minggu depan, aku mau bawa Russel ke Kota Aldimo untuk bermain beberapa hari." Stefan dengan perhatian bertanya, "Apa kamu nggak akan merasa terlalu capek? Kalau lelah, sebaiknya istirahat saja, jangan memaksakan diri." Olivia menepuk ringan
Yuna mengangguk."Sore nanti ajak Russel bersama ke sini." Setelah berpikir sejenak, Yuna menambahkan, "Dokter Panca bilang, waktu Kakek Setya nggak banyak lagi. Biarkan dia bertemu dengan anak-anak satu per satu." Semua orang saling memandang. Olivia dengan cemas bertanya, "Penyakit apa yang diderita Kakek Setya?" "Mungkin karena luka lama yang meninggalkan efek samping, ditambah usia lanjut. Orang tua pasti punya penyakit kecil di sana-sini," jawab Yuna sambil menghela napas, dia tidak melanjutkan lebih jauh. Dokter Panca sudah menyuruh mereka bersiap secara mental. "Sore nanti, aku akan menjemput Russel, lalu kita akan datang bersama." Olivia juga memahami bahwa usia Setya yang sudah sangat tua, ditambah keinginannya yang sudah terpenuhi, mungkin tidak akan bertahan lama lagi. "Apakah perlu memberi tahu Kak Odelina agar pulang?" "Untuk sementara nggak perlu. Kakek Setya belum menyerahkan bukti-buktinya ke aku, jadi dalam waktu dekat sepertinya nggak akan ada apa-apa. Saat dia