Daniel merasa kasihan pada Odelina, tapi dia tetap tidak ingin merepotkan Odelina. Dia berkata dengan dingin, “Sudah kubilang, aku akan memberimu 1,2 miliar, dua kali lipat dari yang diberikan ibuku padamu. Tinggalkan aku sekarang. Sekarang juga!”“Pak Daniel, aku nggak menginginkan 1,2 miliar darimu itu. Bu Yanti memintaku untuk datang bekerja di sini. Ini adalah investasi jangka panjang. Apa yang Bapak mau berikan padaku itu hanya satu kali. Aku bisa rugi besar. Kalau Bapak mau memberiku 1,2 miliar setiap bulan secara gratis, aku nggak enak menerimanya. Lebih baik bekerja untuk mencari uang, supaya bisa membelanjakannya dengan pikiran tenang.”Raut muka Daniel sangat masam. “Investasi jangka panjang? Apa kamu berencana melakukan ini selama sisa hidupmu?”“Melihat mental Pak Daniel saat ini, aku rasa aku bisa bekerja seumur hidup di sini.”Daniel berkata, “ .... Aku akan membaik! Aku pasti akan membaik!”Odelina tersenyum dan berkata, “Kalau begitu, itu tergantung apa Bapak mau bekerj
“Odelina!” Daniel berteriak dari dalam kamar pasien.“Bu Yanti, aku masuk untuk melihatnya dulu.”Odelina dengan lembut menarik tangannya dan kembali ke dalam kamar pasien.Yanti tidak mengikutinya masuk.Selama Odelina ada di sana dan tidak meminta bantuan mereka, orang tua Daniel sepakat untuk tidak masuk dan membiarkan mereka berdua sendirian.Sikap putra mereka memang buruk dan amarahnya memang tak kunjung reda, tapi Yanti dan suaminya tahu putra mereka sangat ingin Odelina tetap tinggal dan merawatnya.Yanti kembali duduk di samping suaminya, menghela napas dan berkata, “Aku yang terlalu keras kepala waktu itu. Mulai sekarang, aku akan belajar dari Dewi.”Darius berkata kepada istrinya, “Aku sudah menasihatimu berkali-kali, tapi kamu tetap nggak mau dengar. Anak kita sudah nggak muda lagi. Orang lain yang seusianya mgkn sudah punya anak yang sudah mau SMP. Daniel bahkan nggak punya pacar. Jarang-jarang dia bisa menyukai seseorang, nggak peduli berapa kali wanita itu sudah bercerai
Di Vila Puncak Bukit.Setelah menelepon kakaknya dan menunggu Russel selesai makan pangsit, Olivia mengukur suhu badan Russel lagi dan berkata kepada Stefan, “37.7 derajat. Bagaimana kalau kita memandikannya air hangat lagi?”Stefan menuangkan segelas air hangat untuk Russel, menyuruh anak itu untuk minum air hangat dan berkata, “Russel baru makan, biarkan dia istirahat sebentar dulu, lalu baru mandikan dia air hangat. Menurunkan demam butuh proses, nggak perlu terburu-buru dan khawatir, Dokter sudah meresepkan obat dan sudah ada di rumah.”“Kring. Kring. Kring.” Ponsel Stefan berdering.Olivia berkata, “Demam Russel sudah turun. Kamu sibuk di kantor, jadi berangkat kerja saja dulu. Aku akan menjaganya di rumah.”Stefan tidak menjawab perkataan Olivia. Dia mengangkat telepon terlebih dahulu. Panggilan itu dari Petrus.“Pak Petrus.”Stefan memang tidak suka pada Stella, tapi dia tetap bersikap sopan kepada Petrus. Bagaimanapun juga, perusahaan mereka akan bekerja sama. Namun, jika Stell
“Russel lagi sakit. Aku benar-benar nggak tenang meninggalkannya di rumah, dan kamu juga nggak tenang, ‘kan? Kalau aku ikut denganmu, kamu bisa tenang?”Stefan terdiam. Dia juga tidak tenang meninggalkan anak itu di rumah.“Lain kali. Aku pasti akan menemanimu lain kali. Jangan memasang muka cemberut seperti itu. Naiklah ke atas dan ganti bajumu sebelum pergi. Jangan biarkan Petrus menunggu.”“Ayo ke atas bersamaku dan bantu aku memilih pakaian,” pinta Stefan.Olivia menggendong Russel dan berdiri. “Bukannya aku yang membelikan semua pakaianmu? Semuanya warna hitam, warna yang kamu suka. Nggak ada bedanya. Pilihlah salah satu. Semuanya cocok untukmu. Badanmu itu seperti patung pakaian. Pakai apa pun bagus.”“Dasi yang kamu pakai sehari-hari juga aku yang belikan untukmu. Kamu nggak perlu repot-repot memilih. Pilih saja salah satu, pasti akan bisa membuatmu semakin keren.”Stefan bergumam pelan, “Aku ingin kamu membantuku memakainya.”Olivia menoleh ke arah suaminya itu dan berkata samb
“Kalau aku nggak peduli padamu, aku peduli pada siapa? Russel kan lagi nggak enak badan, kalau nggak, aku pasti akan pergi bersamamu,” kata Olivia pada Stefan dengan geli.Stefan memeluk Russel sebelum masuk ke dalam mobil dan berkata kepada Russel, “Russel, Om iri banget sama kamu. Kamu bisa lengket sama tantemu sepanjang hari. Beda sama Om, ada banyak urusan yang harus Om selesaikan setiap hari.”“Om, nanti kalau aku sudah besar dan hebat, aku akan membantu Om, supaya Om bisa berlibur.”Perkataan Russel yang kekanak-kanakan itu membuat Stefan tertawa.“Russel anak yang baik. Pantas saja Om menyayangimu.”Saking senangnya, Stefan mengecup manis wajah dan kecil Russel dan berkata sambil tersenyum, “Kerjaan Om sulit untuk ditangani. Kalau Russel ingin membantu Om, Russel bisa belajar dengan giat nanti kalau sudah masuk sekolah. Supaya bisa membantu Om kalau sudah besar nanti.”Russel mengangguk dengan penuh semangat dan berkata, “Om, aku akan belajar dengan serius. Kata Mama, ilmu bisa
“Pak Arif, ini bunga dari siapa? Stefan yang minta diantar kembali ke rumah?” tanya Olivia yang mengira Stefan yang mengirimkan untuknya.“Stefan kasih apa saja ke aku? Baju saja sudah sangat banyak sekali.”Semua pakaian lelaki itu menjadi tugas Olivia untuk membeli dan memesankannya, sedangkan sebaliknya milik Olivia juga menjadi tugas Stefan. Pak Arif hanya terdiam saja sambil memberikan bunga tersebut pada Olivia. Di dalam sana terdapat sebuah kartu ucapan kecil. Olivia membukanya dan tertulis,“Stefan, bunga ini untukmu. Semoga kamu bahagia selalu, love you!”Tidak tertulis siapa nama pengirim dari bunga yang ditujukan untuk Stefan. Olivia terdiam dan mencoba mencerna bahwa bunga tersebut merupakan pemberian seorang perempuan pada Stefan. Siapa orang yang mengirimkan bunga ini untuk suaminya?Pak Arif memberikan beberapa kantong plastik di hadapan Olivia sambil berkata, “Bu, masih ada beberapa baju dan dasi. Di dalamnya ada kartu yang menuliskan tulisan yang sama.”Sebelum Olivia
Setelah memastikan keponakannya baik-baik saja, Olivia mengeluarkan ponsel dan mengambil foto bunga dan baju tersebut untuk dikirimkan pada Stefan. Tidak butuh waktu lama bagi lelaki itu untuk menghubunginya.“Sayang, siapa yang kasih kamu bunga?” tanya Stefan dengan suara berat dan dingin. Siapa lelaki yang begitu kurang ajar mengirimkan bunga pada istrinya?!“Kamu nggak lihat itu jas dan dasi? Barang itu buat kamu, bunganya juga untukmu.”“Buat aku?”Semua emosinya hilang seketika. Siapa yang berani melakukan ini?! Apakah orang itu ingin membuatnya dan Olivia berantem?“Sayang, aku nggak ada hubungan dengan siapa pun di luar sana, nggak mungkin lagi aku melakukan hal yang mengkhianatimu. Di kartu ucapannya ada tulis siapa pengirimnya? Biar aku kasih dia pelajaran.”“Nggak ada tulis nama pengirimnya, jadi nggak tahu siapa yang kirim.”Olivia menebak sepertinya Stella yang mengirimkannya. Kemarin malam Stefan baru bercerita kalau Stella tertarik padanya. Sekarang sudah ada orang yang m
Sudah pasti ini adalah ulah Stella!Ekspresi Stefan menggelap seketika. Perempuan itu memang tidak ikut datang, tetapi dia tidak menyerah dan justru mengirimkan bunga dan baju ke rumahnya. Kedatangan Petrus hari ini ke sini untuk membahas kerja sama juga pasti sudah diketahui oleh Stella.Perempuan itu memilih untuk mengirimkan baju dan bunga ketika Stefan tidak ada di rumah. Dia sengaja membuat Olivia salah paham dan berantem dengan dirinya. Perempuan ini membahayakan sekali!“Baik. Awalnya sudah ada kesepakatan kerja sama, sekarang aku pikir-pikir sepertinya mau melepaskan proyek ini saja,” ujar Stefan.Petrus hanya ada satu anak perempuan saja yang didapatkan dengan susah payah. Kedua suami istri juga sangat menyayangi Stella. Meski Petrus bersikap profesional dengan tidak membawa Stella serta tidak mendukung putrinya mengejar Stefan, Stefan pribadi tidak ingin mengambil resiko.Orang tua yang menyayangi anaknya juga pasti akan menyerah dan membela anak mereka sendiri. Jika Stefan m
Olivia menjawab, "Baik, nanti biar Papa dan Mama yang menjaga Russel. Kami akan kembali lebih awal untuk urus pekerjaan. Menjelang Tahun Baru, kami akan kembali menjemput kalian."Para orang tua dari kedua keluarga sudah pensiun dan tidak banyak kesibukan. Jika mereka berkumpul, bahkan hanya untuk bermain kartu, pasti akan terasa ramai. Yose juga pasti akan menyetujuinya.Dewi tertawa senang, lalu pergi ke dapur untuk meminta koki menyiapkan beberapa hidangan favorit Olivia, sambil tetap memperhatikan selera makan putranya juga.Ketika keluar dari dapur, Nenek sudah kembali. Mendengar bahwa cucu pertama dan istrinya datang berkunjung mencarinya, Nenek pun meninggalkan sekumpulan teman lamanya dan kembali ke vila.“Nenek.”Olivia menyapa dengan manis.Senyum Nenek sangat ramah dan penuh kasih sayang. Setelah saling menyapa dengan hangat, Nenek menarik Olivia untuk duduk bersamanya di sofa.Dewi secara pribadi mempersiapkan buah-buahan, camilan, dan berbagai makanan ringan untuk menantu
Meskipun di rumah ada asisten rumah tangga, seorang ibu tetap harus berbagi perhatian untuk merawat anaknya. Mengurus anak sering kali membuat istri kurang memperhatikan suaminya. Jika ingin menikmati waktu berdua seperti sekarang, kesempatan itu tidak akan banyak lagi. Dewi, sebagai seorang yang berpengalaman, sangat memahami hal ini.“Baik, kalau libur musim dingin, aku bawa Russel untuk tinggal dua hari di sini.” Olivia tidak tega mengecewakan kebahagiaan ibu mertuanya, sehingga dia memutuskan untuk mengantar Russel ke sini selama dua hari. Setelah itu, mereka akan membawa bocah itu ke Kota Aldimo untuk bermain selama seminggu, sebelum pulang mempersiapkan Tahun Baru. “Hanya tinggal dua hari? Apa Russel akan pergi ke Cianter?” Dewi bertanya dengan penuh perhatian, “Cianter itu sangat dingin, sering turun salju. Apa Russel bisa tahan di sana? Kalau hanya tinggal satu atau dua hari, dia mungkin akan merasa senang. Tapi kalau setiap hari di sana, dia bisa masuk angin. Kita ini ngga
Stefan tetap rutin berolahraga setiap hari, menjaga pola makan seperti sebelum menikah. Berat badannya pun hampir tidak pernah berubah, selalu stabil di angka yang sama. "Vitamin milik menantumu memang ada aku makan sedikit, tapi itu karena Olivia nggak bisa menghabiskannya, jadi dia memintaku membantunya makan. Baru setelah itu aku makan." Stefan ingin menegaskan bahwa dia tidak akan pernah memakan suplemen milik istrinya. Namun,mengingat dia hampir setiap hari membantu istrinya menghabiskan makanan tersebut, dia tidak bisa berkata tidak. Yang lebih dia khawatirkan adalah bentuk tubuhnya. Dengan cemas dia bertanya kepada istrinya, "Olivia, lihat aku, apa aku gemuk? Apa aku punya perut buncit?" Dia bahkan mencubit perutnya sendiri untuk memastikan. Melihat reaksi suaminya, Olivia tertawa hingga memegang perutnya. Suaminya benar-benar lucu, ternyata dia sangat peduli dengan penampilannya yang tampan. "Sayang, kamu nggak gemuk dan nggak buncit. Bentuk tubuhmu masih sangat bagus, te
Dewi melanjutkan, "Keluarga ini memang selalu didominasi laki-laki, sudah beberapa generasi nggak ada anak perempuan. Kalau bisa punya seorang anak perempuan, tentu saja semua orang akan memanjakannya.""Aku hanya ingin dia bisa hidup tanpa beban, melakukan apa pun yang dia inginkan dan nggak perlu memikul tanggung jawab besar keluarga." "Masih banyak saudara laki-laki yang bisa membantunya memikul tanggung jawab dan melindunginya, memastikan badai sehebat apa pun nggak akan mengenainya," tambahnya. Olivia berpikir sejenak, lalu tersenyum dan berkata, "Mama benar juga, tugas berat seperti menjadi penerus keluarga memang lebih baik diberikan kepada anak laki-laki." Mengetahui pandangan keluarga suaminya sudah cukup bagi Olivia. Dia pun tidak ingin jika suatu saat anak perempuannya harus memikul tanggung jawab besar keluarga. Namun, dia berpikir sambil tertawa kecil, "Kalau pun aku benar-benar bisa melahirkan anak perempuan, aku rasa itu mungkin terjadi di kehamilan kedua atau bahkan
"Nggak ada, sangat baik." Keluarga suaminya menunjukkan tingkat perhatian yang berlebihan terhadapnya, tetapi itu juga menandakan betapa mereka peduli padanya dan tentu saja pada bayi kecil yang ada di dalam perutnya. "Bagus kalau begitu. Mama sekarang paling takut mendengar kabar bahwa kamu mengalami sesuatu." Dewi akhirnya merasa lega, lalu berkata, "Ada seorang teman Mama, menantunya juga lagi hamil lima bulan. Tapi dua hari yang lalu, bayinya nggak berkembang lagi. Dia menangis sampai seperti kehilangan akal. Bayinya laki-laki dan sudah terbentuk, tapi entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba janinnya nggak berkembang." "Ah, Cih! Olivia sehat, dan bayi kita juga sangat sehat." Kekhawatiran Dewi terhadap Olivia memang dipicu oleh kejadian yang menimpa menantu temannya itu. "Hamil lima bulan masih bisa mengalami janin nggak berkembang?" Dewi menggandeng tangan menantunya dengan hangat. Keduanya masuk ke dalam rumah dengan akrab layaknya ibu dan anak kandung. Sedangkan Stefan? Di
Olivia berkata, "Aku hanya mau bilang, kamu sekarang sudah setegang ini, nanti saat aku melahirkan, apakah kamu akan seperti Amelia, langsung mengemudi sendiri ke rumah sakit?" Stefan menjawab dengan serius, "Jangan bandingkan aku dengan Amelia. Aku nggak akan seperti itu. Memang aku pasti akan tegang, tapi nggak sampai lupa padamu. Aku akan menemanimu masuk ke ruang bersalin." "Kamu mau masuk ke ruang bersalin bersamaku?" "Iya, aku akan menemanimu. Nggak peduli kapan dan apa yang terjadi, aku harus ada di sisimu." Olivia tersenyum, senyumnya begitu manis. "Stefan, terima kasih. Terima kasih karena sangat mencintaiku dan memperlakukanku dengan begitu baik!"Stefan kembali mengoreksinya, "Panggil aku "Sayang". Aku suka mendengar kamu memanggilku begitu. Seharusnya aku yang berterima kasih sama kamu karena mau melahirkan anak untukku. Kamu adalah pahlawan besar di keluarga kita." "Kita nggak perlu saling berterima kasih terus." Olivia tertawa kecil sambil menyandarkan dirinya ke p
Terutama sejak Olivia hamil, Stefan berharap bisa menemani istrinya selama 24 jam sehari. Namun, Olivia tidak mengizinkannya untuk terus menempel padanya. “Aku masih harus kerja,” katanya sambil tersenyum. Melihat istrinya yang sedang hamil tetap bekerja, Stefan merasa tidak enak jika dirinya sendiri bermalas-malasan. “Harus kerja juga, cari uang buat beli susu bayi,” katanya sambil bercanda. Russel bilang, bayinya nanti laki-laki. Kalau benar anak laki-laki, Stefan mulai berpikir tentang masa depannya. “Harus cari uang buat beli rumah, mobil, dan biaya menikah. Itu semua butuh banyak uang.” Namun, kemudian dia tersenyum lega. Sebagai pewaris keluarga Adhitama, dia memiliki kekayaan melimpah. “Bisa dibilang, aku kekurangan segalanya kecuali uang. Uangku cukup untuk anakku hidup nyaman seumur hidup. Kelak ada cucu dan cicit, harus tetap menjaga keluarga Adhitama sebagai keluarga terkaya di Mambera, dari generasi ke generasi.” “Nicho mulai kerja tahun depan, ya?” Olivia merasa s
"Olivia, mari kita kembali ke rumah lama sebentar dan beri tahu Nenek. Dia pasti ingin bertemu dengan para tetua itu," kata Stefan. Mereka adalah orang-orang dari masa yang sama. Di zamannya, Nenek adalah sosok yang cukup terkenal di Mambera. Kemungkinan besar, para tetua itu juga mengenal neneknya. Namun, memikirkan bahwa Olivia sudah bangun pagi-pagi, Stefan mengubah keputusannya. Dia berkata, "Kamu pulang saja untuk istirahat. Aku sendiri yang akan pergi ke rumah lama. Kalau Nenek ingin datang, aku akan mengantarnya ke sini." Olivia menjawab, "Aku nggak lelah. Aku akan menemanimu pergi." "Sudah lama kita nggak pulang ke sana. Akhir pekan ini, kita bawa Russel untuk menginap dua hari. Sekalian beri tahu keluarga, setelah libur musim dingin minggu depan, aku mau bawa Russel ke Kota Aldimo untuk bermain beberapa hari." Stefan dengan perhatian bertanya, "Apa kamu nggak akan merasa terlalu capek? Kalau lelah, sebaiknya istirahat saja, jangan memaksakan diri." Olivia menepuk ringan
Yuna mengangguk."Sore nanti ajak Russel bersama ke sini." Setelah berpikir sejenak, Yuna menambahkan, "Dokter Panca bilang, waktu Kakek Setya nggak banyak lagi. Biarkan dia bertemu dengan anak-anak satu per satu." Semua orang saling memandang. Olivia dengan cemas bertanya, "Penyakit apa yang diderita Kakek Setya?" "Mungkin karena luka lama yang meninggalkan efek samping, ditambah usia lanjut. Orang tua pasti punya penyakit kecil di sana-sini," jawab Yuna sambil menghela napas, dia tidak melanjutkan lebih jauh. Dokter Panca sudah menyuruh mereka bersiap secara mental. "Sore nanti, aku akan menjemput Russel, lalu kita akan datang bersama." Olivia juga memahami bahwa usia Setya yang sudah sangat tua, ditambah keinginannya yang sudah terpenuhi, mungkin tidak akan bertahan lama lagi. "Apakah perlu memberi tahu Kak Odelina agar pulang?" "Untuk sementara nggak perlu. Kakek Setya belum menyerahkan bukti-buktinya ke aku, jadi dalam waktu dekat sepertinya nggak akan ada apa-apa. Saat dia