“Apa yang akan saya sampaikan pasti bermanfaat untuk Anda. Jadi, silakan duduk.”Stella mendengus, merasa direndahkan. Berani-beraninya pelayan ini menyuruh Stella menemuinya!Namun, rasa penasarannya mengalahkan harga dirinya. Sindy menyinggung soal Raynar, dan itu membuatnya tertarik.“Tidak usah berbasa-basi. Apa yang ingin kau katakan?” tanya Stella setelah menjatuhkan diri di kursi hadapan Sindy, melipat tangan di depan dada dan menatap Sindy tajam.“Saya tahu Anda pasti tidak suka Tuan Raynar menikah, ‘kan? Saya ke sini untuk membantu Anda,” jawab Sindy seraya mengamati reaksi Stella.Mata Stella menyipit curiga. Apa maksudnya ini? Namun, Stella menunggu Sindy melanjutkan ucapannya.“Apa yang ingin saya bahas ini juga demi keuntungan Anda. Memangnya Anda sudi Tuan Raynar dimiliki wanita kampung itu?”“Katakan saja langsung!” perintah Stella tak sabar.Sindy mulai menceritakan semua yang ia ketahui tentang Arunika, nyonya baru di mansion Raynar. Ia melebih-lebihkan cerita tentang
Sindy duduk di tepi ranjang kamarnya, menatap lekat-lekat pil kecil di tangannya.Dia mendapatkan obat itu dari apotek siang tadi, setelah pertemuannya dengan Stella.Pikirannya bekerja keras menyusun rencana untuk menyingkirkan Arunika.Kesepakatan dengan Stella terngiang di telinganya. Sindy akan mendapatkan jaminan hidup layak jika dia berhasil membuat Arunika pergi dari kehidupan Raynar.“Wanita itu memang gila,” gumam Sindy menyeringai sambil masih memerhatikan obat di tangannya, “tapi, apa boleh buat? Aku yang menawarkan kerjasama dan dia telah sepakat.”Sindy sadar, Raynar tak akan pernah memandangnya, tak peduli seberapa besar pun perasaannya terhadap Raynar.Karena itu, dia rela Raynar bersama Stella, daripada bersama Arunika. Setidaknya, Stella sepadan dengan Raynar.“Kalau rencanaku berhasil, setidaknya aku tidak perlu lagi melihat wanita miskin itu menjadi nyonya di rumah ini.” Senyum sinis masih terukir di wajahnya. Ia segera menyembunyikan pil itu di saku kemejanya, dan
Raynar kembali meletakkan cangkir setelah menyesap sedikit cairan hitam buatan Sindy, lalu kembali fokus pada berkas-berkas di hadapannya.Namun, baru beberapa menit, dia mulai menguap berulang kali. Raynar menggelengkan kepala, berusaha mengusir rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang.Raynar melirik jam di atas meja kerjanya. Malam memang sudah larut jadi wajar dirinya sudah mengantuk.Dia menutup berkas-berkasnya dan memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya besok. Dia bangkit dari kursi dan menguap lagi. Namun, saat berdiri, tubuhnya terasa lemas. Dia terhuyung, dan harus berpegangan pada meja agar tak jatuh.Dari celah pintu ruang kerja yang tak tertutup rapat, Sindy masih ada di sana dan mengintip. Senyum licik mengembang di wajahnya. Dia senang karena rencananya berhasil.Dia bersiap melangkah masuk untuk melancarkan aksi keduanya."Sedang apa kamu di situ?!"Suara keras itu membuat Sindy tersentak. Dia menoleh dan wajahnya langsung memucat.Itu Arunika!"Apa yang kamu lakukan di
Arunika kepayahan memapah Raynar sampai akhirnya mereka sampai di kamar.Dengan hati-hati Arunika berusaha membaringkan Raynar dengan tidak membangunkan pria itu lalu membenarkan posisi tidurnya. Kelopak mata Raynar sudah terpejam, napasnya teratur, tetapi Raynar tidak benar-benar terlelap.Saat akan melepas tangan Raynar yang merangkul lehernya, Arunika terhuyung karena kedua kakinya tidak berpijak dengan benar.Akibatnya, Arunika ikut terjatuh ke ranjang dengan posisi Raynar yang ada di bawahnya.Wajah mereka sangat dekat. Tanpa sadar, Arunika menyentuh dada pria itu untuk menahan dirinya agar tubuh bagian atasnya tak bersentuhan dengan Raynar.Sejenak Arunika terpaku mengamati wajah tampan Raynar yang tenang dalam lelapnya. Bulu mata yang lentik, alis tebal yang tegas. Suaminya memang begitu tampan.Dengan perlahan, satu jari Arunika terangkat untuk menyentuh hidung bangir Raynar.Namun, lenguhan pelan terdengar dari bibir Raynar.Arunika tersentak, buru-buru menegakkan tubuhnya.‘
Arunika baru saja sampai di perusahaan Raynar. Dia berdiri memandang bangunan tinggi itu dengan seulas senyum di wajahnya.“Semangat, Aru!” Arunika mengepalkan tangan di udara, menyemangati dirinya demi masa depannya.Arunika pergi melapor ke HRD. Setelah mendapat briefing, Arunika diantar melapor ke departemen hukum.“Pak Nichole tidak suka pekerja yang lamban atau suka datang terlambat, jadi usahakan kamu datang tepat waktu. Paling tidak sebelum beliau datang,” ucap kepala HRD saat berjalan di koridor bersama Arunika.“Baik, Bu.” Arunika mengangguk seraya terus mengikuti langkah kepala HRD.Mereka sampai di depan ruang salah satu pengacara di perusahaan itu. Arunika melihat beberapa staff yang bekerja di departemen itu memperhatikan dirinya.Seolah kedatangannya ke sana membuat aneh, sampai semua pandangan tertuju padanya.“Ayo!” ajak kepala HRD setelah membuka pintu ruang pengacara.Arunika mengangguk. Dia masuk bersama kepala HRD.“Pak Nichole.” Kepala HRD itu menyapa seraya berja
Tepat saat jam kerja berakhir, Arunika menyelesaikan tumpukan berkas yang diberikan Nichole.Lega, dia merentangkan tangannya untuk mengusir pegal. Senyum tipis terukir di wajahnya, lalu dia menoleh ke arah meja Nichole, dan melihat pria paruh baya itu sudah bersiap pulang."Anda sudah mau pulang, Pak?" tanya Arunika seraya berdiri dari duduknya.Nichole menatap Arunika datar. "Besok jangan datang terlambat!" perintahnya sebelum melangkah ke luar ruangan.Arunika mengangguk, meskipun Nichole tak melihatnya. Dia segera merapikan mejanya dan meja kerja atasannya sebelum beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.Arunika bekerja di ruangan yang sama dengan Nichole, jadi Arunika belum sempat berinteraksi dengan staf lain.Saat keluar dari ruang kerja Nichole, Arunika mendapati area kantor divisinya sudah kosong. Sepertinya Arunika menjadi staff terakhir yang pulang dari divisi itu.Hari sudah menjelang malam ketika Arunika melangkah keluar gedung. Di depan gedung, Arunika memandang langit y
Arunika merasa tidak senang. Terlebih dua wanita dewasa di kedai es krim itu terus menatap Raynar, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan mereka pada Raynar membuat Arunika tiba-tiba jadi sebal.Saat Arunika masih mengamati dua wanita itu, Raynar tiba-tiba berkata, "Tunggulah di sini. Aku mau menghubungi asistenku dulu."Tanpa menunggu jawaban Arunika, Raynar berbalik pergi. Tepat saat Raynar keluar dari kedai, kedua wanita itu mendekati Arunika.‘Mau apa mereka?’ batin Arunika curiga. Kedua wanita itu tersenyum aneh pada dirinya."Hai, Adik," sapa salah satu wanita.‘Adik? Memangnya aku adiknya?’ Arunika ingin membalas, tetapi dia tahan.Kedua wanita itu masih terus tersenyum, lalu salah satunya melirik ke arah Raynar pergi."Pria tadi itu pamanmu, ya?" tanya wanita itu.Mata Arunika membulat.‘Apa?!’ Ingin rasanya dia menyangkal, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan."Kamu imut sekali," kata wanita yang satunya lagi.Arunika ternganga. Apa dia sekecil itu sampai dibilang ‘i
Arunika terkesiap mendengar pertanyaan Raynar. Akan tetapi, dia mencoba bersikap biasa saja, meskipun kekesalan masih menggerogoti hatinya. Masalahnya adalah Arunika sendiri tidak paham mengapa dia merasa kesal."Tidak ada apa-apa," jawabnya datar dan menghindari tatapan Raynar.Arunika memainkan jari telunjuknya, itu adalah kebiasaannya ketika merasa gelisah dan tak bisa dia sembunyikan.Raynar masih menatap Arunika. Namun, dering ponselnya memecah keheningan. Raynar mengalihkan pandangannya ke ponsel di atas meja, lalu menjawab panggilan dari Erik. Tanpa merespon Arunika pun menunggu istrinya itu mengatakan sesuatu, Raynar langsung bangkit, dan melangkah keluar kamar.Arunika menghela napas kasar, menatap punggung Raynar yang menjauh. Sekarang tiba-tiba dia jadi merasa sebal, tetapi masih tetap tidak tahu mengapa harus sesebal ini.Dia melipat tangannya di depan dada dan mulai mengomel tak jelas. "Lain kali, memang jangan pergi dengannya lagi!” Arunika menganggukkan kepala keras. “O
Akhirnya Arunika diperbolehkan pulang setelah Nenek Galuh memberi perintah pada Raynar. Arunika sangat senang karena dia memang tidak betah dan trauma dengan rumah sakit semenjak kecelakaan menimpa orang tuanya.Nenek Galuh ikut mengantar Arunika pulang, sekarang mereka sudah sampai di mansion dan Nenek Galuh terus menggandeng Arunika masuk mansion bersama.Saat baru saja sampai di ruang tamu, Nenek Galuh menghentikan langkah dengan tatapan mata tertuju pada salah satu dinding di ruangan itu.“Kalian sudah memasang foto pernikahan kalian? Ini cantik sekali,” ucap Nenek Galuh menatap penuh kagum pada foto pernikahan berukuran besar yang terpajang di ruang tamu.Arunika melongo, sejak kapan foto itu di pasang di sana Seingat Arunika, pagi tadi foto itu belum ada di sana. Dan, siapa yang menduga kalau dua foto yang dicetak Raynar, ternyata salah satunya dipasang di ruang tamu.Nenek Galuh menoleh Arunika yang hanya diam. Dia menepuk pelan punggung tangan Arunika.“Kalian memang pasangan
Nenek Galuh sedang duduk bersantai di halaman samping seraya menikmati secangkir teh. Beberapa minggu ini perasaannya semakin tenang setelah Raynar bersedia menikah.“Nyonya.” Miranda–asisten kepercayaan Nenek Galuh datang dan langsung berdiri di samping kursi wanita itu sambil sedikit membungkukan badan.“Duduklah, minum teh bersamaku,” ajak Nenek Galuh sambil mempersilakan Miranda duduk.“Terima kasih, Nyonya,” balas Miranda, “tapi saya ke sini mau menyampaikan sesuatu,” kata Miranda kemudian.Nenek Galuh meletakkan cangkir teh di meja, lalu menoleh pada asisten pribadinya itu.“Menyampaikan apa?” tanya Nenek Galuh.
Arunika terkejut mendengar kata yang meluncur dari bibir Raynar. Apa dia tak salah mendengar? Apa suaminya salah bicara?“Maaf tak bisa menjagamu dengan baik.”Kalimat kedua yang diucapkan Raynar membuat perasaan Arunika begitu hangat, suaminya ternyata begitu mencemaskan dirinya.Namun, rasa tak percaya, cemas, takut, dan kelegaan bercampur menjadi satu di dalam hatinya membuat Arunika tiba-tiba meneteskan air mata.Bahkan karena tak mampu membendung gejolak yang meledak di hatinya, Arunika langsung menangis sampai terisak dengan kedua bahu yang bergetar hebat.“Aru.” Raynar terkejut mendengar suara isakkan Arunika lalu melepas pelukan. Dia menatap wajah Arunika yang sudah banjir air mata.Arunika terisak sampai sesenggukan.“Apa aku memelukmu terlalu keras? Mana yang sakit?” tanya Raynar panik mengira jika dia menyakiti Arunika.Raynar berdiri untuk memanggil dokter, tetapi tangannya lebih dulu ditahan Arunika.Raynar menatap Arunika yang menggelengkan kepala. Dia kembali duduk di t
Tatapan mata Raynar menajam saat melihat Nathan datang. Bahkan dia kini memutar posisi sehingga berdiri berhadapan dengan Nathan.“Bagaimana kondisimu?” tanya Nathan tanpa memedulikan keberadaan Raynar di sana.Arunika sedikit memiringkan kepala agar bisa melihat Nathan karena pandangannya pada Nathan tertutup tubuh Raynar. Belum juga Arunika menjawab, Raynar sudah lebih dulu bicara.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Raynar menatap begitu dingin.Pandangan Nathan beralih pada Raynar. Bibirnya tersenyum samar hampir tak terlihat saat melihat Raynar menatap dingin padanya.“Tidak ada alasan untukku tak boleh berada di sini, ini fasilitas umum,” jawab Nathan dengan sikap tenang.
Raynar berada di lift untuk naik ke lantai teratas gedung anak cabang miliknya agar bisa segera pulang menggunakan helikopter yang dipesannya.Raynar mengepalkan telapak tangan begitu erat di samping tubuhnya. Baru beberapa jam dia meninggalkan Arunika, tetapi kejadian tak terduga menimpa sang istri.“Helikopternya sudah siap di atas, Pak,” kata Erik yang berdiri di samping Raynar.Raynar tak membalas. Tatapan matanya begitu tajam meski tertutup kacamata hitam yang bertengger di hidungnya.Raynar mengeluarkan ponsel saat lift terbuka di lantai teratas gedung itu. Dia berjalan keluar dari lift lalu menaiki anak tangga terakhir untuk menuju rooftop sambil berusaha menghubungi Arunika.Beberapa kali Raynar mencoba menghubungi, hasilnya tetap nihil. Nomor ponsel Arunika dalam kondisi tidak aktif, dia mencengkram erat ponselnya.Saat sampai di rooftop, Raynar menghentikan langkah lalu mencoba menghubungi Nichole lagi.“Apa Aru sudah ketemu?” tanya Raynar sambil menatap helikopter yang siap
Polisi tiba di lokasi dan langsung meringkus Adrian. Belati yang ada di tangan Adrian terlepas, sehingga Nathan pun ikut melepas dan memperlihatkan satu telapak tangannya yang terluka akibat sayatan belati yang ditahannya.Arunika begitu lega melihat polisi datang dan menangkap Adrian. Dia mencoba berdiri lalu berjalan menghampiri Nathan yang terluka.“Kak Nathan, tanganmu ….” Arunika mengeluarkan sapu tangan dari saku blazer lalu mengikatnya di telapak tangan Nathan agar darah bisa berhenti mengalir.“Aku tidak apa-apa,” ucap Nathan saat melihat Arunika mengikat sapu tangan dengan gemetar.“Bagaimana tidak apa-apa, lukanya sangat lebar,” ucap Arunika hampir menangis. Dia ketakutan karena Nathan terluka demi menyelamatkannya.Nathan menatap Arunika yang sedang menutup perlahan luka di tangannya, lalu tatapannya beralih ke darah yang mengalir di leher Arunika.“Lehermu juga terluka, Aru.” Nathan ingin menyentuh dagu Arunika agar bisa melihat jelas luka di leher gadis itu, tetapi Arunik
“Lepaskan dia,” pinta Nathan dengan satu tangan terangkat ke depan sebagai isyarat waspada dan siaga.Bukannya melepas Arunika, Adrian malah semakin menekankan belati di leher sampai kulit Arunika terluka dan mengeluarkan darah.Arunika meringis sambil memejamkan mata menahan perih di lehernya itu. Dia tak berkutik karena bergerak sedikit saja, maka sayatan lebar akan menyentuh kulitnya.“Lebih baik kamu menyingkir dan jangan halangi jalanku!” perintah Adrian sambil terus menekan ujung belati yang ada di leher Arunika.Adrian menatap tajam penuh waspada. Dia melirik pada tiga temannya yang terkapar tak berdaya di bahu jalan, lalu memandang pada mobil Nathan yang menghalangi jalannya.Nathan menatap pad
Adrian tersenyum miring.“Tugasku hanya membuatmu berpisah dari Pak Raynar.” Adrian duduk dengan tenang setelahnya. Arunika tidak paham dengan rencana dan apa yang akan Adrian lakukan. Meski ditahan, tetapi bukan berarti Arunika akan diam dan pasrah.“Kamu tidak akan mendapatkan apa yang kamu inginkan! Jadi lebih baik mimpi saja!” hardik Arunika lalu berusaha memberontak lagi agar bisa melepaskan diri dari pria yang menahannya.“Lebih baik kamu diam, Aru!” bentak Adrian.Arunika tak mau diam begitu saja, dia terus memberontak bahkan kedua kakinya kini berusaha menendang.Adrian dan satu pria kewalahan menahan Arunika, bahkan Adrian harus memegang kedua kaki Arunika.Tanpa diduga, sebuah mobil melesat cepat di belakang mobil Adrian. Mobil SUV hitam berusaha untuk menyalip mobil Adrian.“Ada yang mengikuti kita,” kata teman Adrian yang menyetir. Dia mengamati dari spion jika mobil di belakang mereka itu terus berusaha untuk menyalip mereka.Adrian menoleh ke belakang. Dia menyipitkan m
Arunika benar-benar tak menyangka Adrian menculiknya setelah apa yang pria itu lakukan sebelumnya.“Kenapa? Kenapa kamu sangat kejam padahal aku menganggapmu teman?” tanya Arunika menatap tak percaya.“Teman?” Adrian tertawa mendengar Arunika benar-benar menganggapnya teman. Dia mengapit kedua pipi Arunika dan menekannya kuat dengan satu tangan. Dia mengarahkan tatapan mata Arunika ke wajahnya.“Asal kamu tahu, Aru. Membuatmu merasa aku adalah temanmu, memang jadi bagian rencanaku. Hanya saja, semua rencanaku gagal karena Pak Raynar, suamimu itu sudah tahu lebih dulu soal rencanaku,” ucap Adrian lalu melepas kasar pipi Arunika.“Harusnya aku bermain-main dulu denganmu, membuatmu jatuh cinta padaku lalu kamu meninggalkan suamimu, tapi semuanya berakhir setelah suamimu memergokiku berusaha menjebakmu,” ucap Adrian.Arunika sangat syok. Dia tak menyangka Adrian sangat jahat seperti ini. Sejak awal ternyata Adrian tahu kalau Arunika adalah istri Raynar, jadi apa motif Adrian ingin menjeba