Arunika baru saja sampai di perusahaan Raynar. Dia berdiri memandang bangunan tinggi itu dengan seulas senyum di wajahnya.“Semangat, Aru!” Arunika mengepalkan tangan di udara, menyemangati dirinya demi masa depannya.Arunika pergi melapor ke HRD. Setelah mendapat briefing, Arunika diantar melapor ke departemen hukum.“Pak Nichole tidak suka pekerja yang lamban atau suka datang terlambat, jadi usahakan kamu datang tepat waktu. Paling tidak sebelum beliau datang,” ucap kepala HRD saat berjalan di koridor bersama Arunika.“Baik, Bu.” Arunika mengangguk seraya terus mengikuti langkah kepala HRD.Mereka sampai di depan ruang salah satu pengacara di perusahaan itu. Arunika melihat beberapa staff yang bekerja di departemen itu memperhatikan dirinya.Seolah kedatangannya ke sana membuat aneh, sampai semua pandangan tertuju padanya.“Ayo!” ajak kepala HRD setelah membuka pintu ruang pengacara.Arunika mengangguk. Dia masuk bersama kepala HRD.“Pak Nichole.” Kepala HRD itu menyapa seraya berja
Tepat saat jam kerja berakhir, Arunika menyelesaikan tumpukan berkas yang diberikan Nichole.Lega, dia merentangkan tangannya untuk mengusir pegal. Senyum tipis terukir di wajahnya, lalu dia menoleh ke arah meja Nichole, dan melihat pria paruh baya itu sudah bersiap pulang."Anda sudah mau pulang, Pak?" tanya Arunika seraya berdiri dari duduknya.Nichole menatap Arunika datar. "Besok jangan datang terlambat!" perintahnya sebelum melangkah ke luar ruangan.Arunika mengangguk, meskipun Nichole tak melihatnya. Dia segera merapikan mejanya dan meja kerja atasannya sebelum beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.Arunika bekerja di ruangan yang sama dengan Nichole, jadi Arunika belum sempat berinteraksi dengan staf lain.Saat keluar dari ruang kerja Nichole, Arunika mendapati area kantor divisinya sudah kosong. Sepertinya Arunika menjadi staff terakhir yang pulang dari divisi itu.Hari sudah menjelang malam ketika Arunika melangkah keluar gedung. Di depan gedung, Arunika memandang langit y
Arunika merasa tidak senang. Terlebih dua wanita dewasa di kedai es krim itu terus menatap Raynar, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan mereka pada Raynar membuat Arunika tiba-tiba jadi sebal.Saat Arunika masih mengamati dua wanita itu, Raynar tiba-tiba berkata, "Tunggulah di sini. Aku mau menghubungi asistenku dulu."Tanpa menunggu jawaban Arunika, Raynar berbalik pergi. Tepat saat Raynar keluar dari kedai, kedua wanita itu mendekati Arunika.‘Mau apa mereka?’ batin Arunika curiga. Kedua wanita itu tersenyum aneh pada dirinya."Hai, Adik," sapa salah satu wanita.‘Adik? Memangnya aku adiknya?’ Arunika ingin membalas, tetapi dia tahan.Kedua wanita itu masih terus tersenyum, lalu salah satunya melirik ke arah Raynar pergi."Pria tadi itu pamanmu, ya?" tanya wanita itu.Mata Arunika membulat.‘Apa?!’ Ingin rasanya dia menyangkal, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan."Kamu imut sekali," kata wanita yang satunya lagi.Arunika ternganga. Apa dia sekecil itu sampai dibilang ‘i
Arunika terkesiap mendengar pertanyaan Raynar. Akan tetapi, dia mencoba bersikap biasa saja, meskipun kekesalan masih menggerogoti hatinya. Masalahnya adalah Arunika sendiri tidak paham mengapa dia merasa kesal."Tidak ada apa-apa," jawabnya datar dan menghindari tatapan Raynar.Arunika memainkan jari telunjuknya, itu adalah kebiasaannya ketika merasa gelisah dan tak bisa dia sembunyikan.Raynar masih menatap Arunika. Namun, dering ponselnya memecah keheningan. Raynar mengalihkan pandangannya ke ponsel di atas meja, lalu menjawab panggilan dari Erik. Tanpa merespon Arunika pun menunggu istrinya itu mengatakan sesuatu, Raynar langsung bangkit, dan melangkah keluar kamar.Arunika menghela napas kasar, menatap punggung Raynar yang menjauh. Sekarang tiba-tiba dia jadi merasa sebal, tetapi masih tetap tidak tahu mengapa harus sesebal ini.Dia melipat tangannya di depan dada dan mulai mengomel tak jelas. "Lain kali, memang jangan pergi dengannya lagi!” Arunika menganggukkan kepala keras. “O
Arunika merasakan tatapan datar dari Raynar. Apa pria itu tidak senang dengan penolakannya? Memang Arunika berulang kali menolak Raynar, tetapi itu ada alasannya.Sebelum pikiran Raynar mungkin akan ke mana-mana, buru-buru Arunika menjelaskan. “Di perusahaan, tidak ada yang tahu soal pernikahan kita. Aku juga karyawan baru di sana. Menghindari gosip yang macam-macam jika mereka melihat kita datang bersama.” Dia melirik Raynar, berharap suaminya itu mengerti."Kamu menikah denganku supaya tidak digosipkan macam-macam. Bukankah itu yang kamu katakan malam itu?" Raynar mengingatkan ucapan Arunika di malam pernikahan mereka.Arunika tersentak. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Apa yang dikatakan Raynar benar juga, tetapi dia juga masih bingung.Kalau Arunika bekerja di perusahaan lain, akan lebih mudah baginya mengaku sebagai istri pria itu. Setidaknya, dia tak akan dicap masuk perusahaan karena koneksi."Ya ... itu ... nanti, gampang. Jangan sekarang," elak Arunika gugup, mencoba
‘Apa benar Pak Raynar yang membuatku lolos? Tapi kenapa?’ Pertanyaan itu terus berputar di kepala Arunika saat dia merapikan meja Nichole. Arunika berusaha fokus pada pekerjaannya, menyalakan komputer, memastikan semua yang dibutuhkan Nichole siap sebelum pria itu datang. Namun, ucapan Winnie terus mengganggunya. Wawancaranya memang terasa terlalu mudah, tidak seperti wawancara kerja pada umumnya. Dia juga sudah bertanya pada Raynar dan pria itu menjawab tidak. Arunika menghela napas berat, bahunya naik turun. Dia masih tenggelam dalam lamunannya saat Nichole masuk ke ruangan. Nichole melihat Arunika berdiri mematung, wajahnya terlihat kusut. Dia juga melihat mejanya sudah rapi dan komputer sudah menyala. "Ehem ...." Nichole berdeham, membuat Arunika tersentak. Arunika menegakkan tubuhnya, buru-buru menjauh dari meja Nichole. "Selamat pagi, Pak," sapanya, sedikit membungkuk. "Pagi," jawab Nichole dingin seperti kemarin. Arunika menunduk saat Nichole melewatinya dan du
Di ruang rapat, Nichole menyampaikan hal-hal penting terkait pekerjaan yang tak bisa dia ungkapkan di depan Hendry saat rapat tadi. Dia sudah bekerja untuk keluarga Raynar sejak ayah Raynar masih hidup. Dia berpihak pada Raynar karena dia melihat kemampuan dan ketekunan Raynar, sama seperti mendiang ayahnya."Aku akan pastikan berkas legal untuk pembangunan itu selesai secepatnya," kata Nichole, mengakhiri penjelasannya."Terima kasih," balas Raynar. Dia tak bersikap dingin pada Nichole yang memang setia padanya.Nichole hendak bangkit, tetapi dia kembali duduk dan menatap Raynar.Raynar menunggu dan memerhatikan Nichole. Pria itu seperti ingin menyampaikan sesuatu padanya."Aku terkejut, kamu meminta HRD menempatkan anak baru itu menjadi asistenku," kata Nichole, akhirnya.Raynar tetap terlihat tenang."Bagaimana kinerjanya?" tanya Raynar menanggapi ucapan Nichole."Apa yang mau dinilai? Dia baru satu setengah hari bekerja di sini," jawab Nichole.Senyum tipis terukir di bibir Raynar
Arunika duduk di depan cermin, menyisir rambutnya perlahan. Pikirannya melayang pada Hendry dan Raynar. Arunika penasaran dengan hubungan antara paman dan keponakan itu. Namun, dia masih mencari waktu yang tepat untuk bertanya soal hubungan Raynar dengan pamannya itu.Dia melirik bayangan Raynar di cermin. Pria itu sedang duduk di sofa dengan pandangannya yang fokus pada tablet pintar di tangannya.Arunika masih menyisir rambutnya, tenggelam dalam lamunan. Tatapannya terpaku pada bayangan Raynar."Apa ada masalah di kantor?"Suara Raynar mengejutkan Arunika. Dia baru sadar, Raynar juga sedang menatapnya dari pantulan cermin.Apa pria itu menyadari kalau sejak tadi Arunika sedang mengamati Raynar? Wajah Arunika memanas. Dia salah tingkah, takut Raynar akan salah paham karena dirinya memandang pria itu secara diam-diam.Belum sempat dia menjawab, Raynar sudah berdiri dan berjalan menghampirinya. Jantung Arunika berdebar semakin kencang.Raynar menyentuh rambut Arunika yang masih setenga
Arunika menoleh pada Raynar saat mendengar pertanyaan Clara. Dengan senyum penuh rasa bangga dia menjawab, “Ini suamiku, kamu belum pernah bertemu dengannya, kan? Sekalian saja kuperkenalkan.”Clara terkejut. Dia menatap Arunika dan Raynar bergantian karena rasa tak percaya.“Su-suami?” tanya Clara mengulang. Tentu Clara terkejut karena yang dia tahu, suami Arunika sudah tua seperti yang Arunika ceritakan sebelum menikah.Arunika mengangguk meyakinkan.Clara akhirnya memperkenalkan diri pada Raynar meski masih bingung, lalu mereka duduk bersama saling berhadapan. Arunika berhadapan dengan Clara, sedangkan Raynar berhadapan dengan Nathan.Suasana di sana berubah tegang. Arunika sesekali melirik pada Raynar, dia merasa bersalah karena ada Nathan di sana.Clara melirik pada Nathan dan Raynar secara bergantian, dua pria itu diam saling tatap sampai membuat kecanggungan yang begitu terasa di meja itu.“Aru, aku memesan camilan kesukaanmu. Makanlah,” ucap Clara untuk mencairkan suasana.Aru
Hari berikutnya. Raynar berada di ruang kerjanya seperti biasa saat Erik masuk membawa tumpukan berkas dan meletakkan di meja Raynar.“Pak, saya sudah mendapat sedikit informasi tentang Nathan. Apa Anda mau mendengarnya dulu?” tanya Erik yang berdiri di depan meja kerja Raynar.Raynar berhenti membubuhkan tandatangan di berkas, lalu pandangannya beralih pada Erik.“Apa yang kamu dapatkan?” tanya Raynar.“Informasi yang saya dapat dari beberapa teman yang satu jurusan dengan Arunika, mereka mengatakan kalau Arunika memang sering bertemu dan belajar bersama dengan Nathan meski mereka beda angkatan,” ujar Erik lalu membuka ponsel dan kembali membaca informasi yang sudah diringkasnya.“Mereka rata-rata berkata kalau Arunika memang sangat dekat dengan Nathan sampai dikira pacaran, padahal tidak,” ucap Erik lagi.“Hanya itu?” tanya Raynar dengan satu alis tertarik ke atas.“Ya, Pak. Hanya itu informasi yang saya dapat soal hubungan Arunika dengan Nathan saat mereka masih kuliah,” jawab Erik
Raynar menatap Arunika yang begitu antusias ingin mendengar tentang orang tuanya. Dari sorot mata gadis ini, Raynar tak pernah melihat kepura-puraan, semua begitu alami dari pemikiran polos Arunika. “Benar-benar ingin tahu?” tanya Raynar memastikan. Arunika mengangguk-angguk cepat. Raynar membetulkan posisi duduknya dengan benar. Dia kini tak menatap pada Arunika, tetapi memandang lurus ke depan. Arunika masih duduk miring menatap pada Raynar, menunggu suaminya itu bercerita. “Sejak kecil, aku tinggal di kota kecil bersama ibuku,” ucap Raynar memulai ceritanya. Arunika diam mendengarkan yang Raynar katakan. “Kami hanya hidup berdua, tidak tahu kenapa ayahku tidak pernah datang dan ibuku tidak pernah lagi menceritakan tentangnya.” Raynar tersenyum getir saat mengatakan itu. “Kenapa ayahmu tidak pernah datang? Apa dia sibuk bekerja atau apa?” tanya Arunika. Raynar menoleh Arunika, lalu menjawab, “Ibuku hanya berkata kalau mereka tidak mungkin bisa bersama, jadi lebih baik aku d
Setelah cukup lama berada di ruang kerja, Raynar kembali ke kamar untuk beristirahat.Akan tetapi, saat baru saja menginjakkan kaki di kamar, Raynar mendengar suara benda jatuh dari kamar ganti.Raynar mengedarkan pandangan di kamar dan tak melihat Arunika di sana, membuatnya seketika panik lantas berlari ke kamar untuk melihat apakah Arunika yang jatuh.Saat sampai di kamar ganti, Raynar melihat Arunika yang terduduk di lantai sambil mengusap kepala.“Apa yang kamu lakukan? Dan kenapa ….” Apa yang mau dikatakan Raynar terjeda saat melihat kotak dengan beberapa buku dan bingkai foto berserakan di lantai.“Aku mau naruh kotak di atas, tapi malah kejatuhan kotak lain. Sakit.” Arunika mengusap kasar kepalanya untuk menghilangkan sakitnya.Bukannya membantu Arunika berdiri, Raynar malah memunguti barang-barang yang berserakan lalu memasukkannya kembali ke kotak.Arunika keheranan, kenapa Raynar terburu-buru memasukkan semua barang itu? Lalu Arunika melihat buku bersampul biru dengan tali
Arunika kembali bekerja setelah banyak bercerita dengan Nichole. Meski menyenangkan bisa berbagi cerita dengan pria itu, tetapi Arunika tetap harus kembali mengerjakan tugasnya.Arunika sibuk mengecek berkas sebelum diserahkan pada Nichole, sampai dia melihat ponselnya berkedip beberapa kali, ada pesan masuk di ponselnya.[Bagaimana kabarmu?]Arunika membaca pesan yang dikirimkan Nathan. Dia mengetik pesan balasan dari Nathan karena bagaimanapun pria itu pernah menolongnya.[Aku baik, Kak. Ini sudah mulai bekerja.]Arunika ingin meletakkan ponselnya lagi, tetapi dia kembali mendapat balasan dari Nathan.[Apa siang atau sore ini kamu ada waktu? Aku ingin bertemu denganmu.]Arunika menggigit bibir bawahnya lalu mengetik pesan balasan untuk Nathan.[Maaf, Kak. Sepertinya tidak bisa, aku juga tidak bisa pergi tanpa izin suamiku dulu.]Arunika takut menyinggung Nathan, apalagi pria itu tidak membalas pesannya lagi. Arunika mencoba berpikir positif, mungkin Nathan sibuk bekerja lagi.**Saa
Arunika kembali ke ruang kerja Nichole. Dia langsung tersenyum sambil mengangguk pada atasannya itu.“Akhirnya keributannya teratasi,” kata Nichole seraya berjalan menuju meja kerjanya.Arunika merasa malu karena sudah menjadi penyebab keributan itu.“Iya, Pak. Maaf sudah membuat Anda tak nyaman,” kata Arunika lalu sedikit membungkukkan badan ke arah Nichole lagi.Nichole memandang Arunika yang sangat sopan dan bertanggung jawab. Dia duduk di kursinya lalu menghela napas pelan.“Apa ada masalah lain, Pak?” tanya Arunika karena Nichole seperti punya banyak beban.Nichole tersenyum menatap pada Arunika.“Tidak ada,” jawab Nichole, “kamu tidak salah, tapi kenapa kamu minta maaf?” Arunika hanya tersenyum kecil.“Tadi aku sempat cemas kalau semua pegawai bakal benar-benar dipecat oleh Raynar. Ya, siapa sangka kamu bisa menyakinkan Raynar untuk membatalkan niatnya.”Nichole menatap kagum pada Arunika.“Ah … itu ….” Arunika menggaruk belakang kepala karena malu sudah menjadi pemicu keributa
Raynar menoleh dengan tatapan tajam pada Erik yang ikut bicara.“Saya keluar dulu, ada urusan pekerjaan yang harus saya selesaikan.” Seolah tahu arti tatapan atasannya itu, Erik memilih buru-buru kabur daripada terkena masalah.Kini Raynar menatap pada Arunika yang berdiri di hadapannya.“Bagaimana bisa kamu masih membela para staff itu, sedangkan perbuatan mereka sudah sangat keterlaluan?” tanya Raynar begitu mereka hanya berdua di ruang kerjanya.Arunika menghela napas pelan, lalu mencoba menjelaskan. “Mereka hanya korban.”“Bukankah sejak awal aku juga salah karena tidak pernah menjelaskan status kita pada mereka, makanya mereka semakin salah paham,” ujar Arunika.Raynar menatap datar.Arunika tersenyum dan kembali membujuk.“Sekarang mereka sudah tahu, kalau masih tidak percaya, ya itu urusan mereka. Tapi bukan berarti kamu harus memecat mereka seperti itu,” ucap Arunika lagi.Raynar memalingkan muka dari Arunika. Tetap saja dia kesal karena baginya perbuatan para staff itu sangat
Semua terkejut melihat siapa yang datang. Beberapa staff itu termasuk Amel langsung menunduk tak ada yang berani mengangkat pandangan.Arunika tak menyangka Raynar datang ke sana. Dia langsung menoleh Erik dan langsung bisa menebak jika Eriklah yang menghubungi Raynar.Raynar berjalan tegap menghampiri Arunika dan yang lain, tiap suara derap langkahnya mampu membuat jantung setiap karyawannya berdegup cepat.Raynar menatap satu persatu staff itu, lalu tatapannya beralih pada Arunika. Raynar geram mengetahui Arunika selama ini masih dibully dan istrinya itu tidak bercerita sama sekali padanya.Arunika melipat bibir seraya menurunkan pandangan saat melihat tatapan tak senang suaminya yang tertuju padanya.“Siapa yang menuduhnya sebagai simpananku?” tanya Raynar kembali menatap satu persatu karyawannya itu.Raynar memerhatikan, staff-staff itu tadi begitu lantang menghina dan menuduh Arunika, sekarang semua nyali mereka menciut, bahkan tidak ada yang berani menjawab.“Siapa yang tadi den
Raynar memandang pipi Arunika yang baru saja diolesi salep.“Sudah mendingan?” tanya Raynar.Arunika mengangguk kecil. “Iya, terima kasih.”Arunika merasakan pipinya yang dingin, lalu tersenyum kecil.“Erik akan mengantarmu kembali ke departemen,” kata Raynar.Arunika mengangguk. Dia lalu berdiri karena Erik sudah menunggunya.Arunika menoleh pada Raynar sekilas, membuat pria itu menaikkan kedua sudut alis.“Ada apa lagi?” tanya Raynar.Arunika tersenyum lalu menggeleng pelan. Dia segera pergi diikuti Erik.Arunika dan Erik sudah berada di lift. Mereka sama-sama diam, sampai Arunika menoleh pada Erik. Dia mengamati wajah hingga postur tubuh asisten suaminya itu.“Erik.”“Ya.”“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Arunika.“Silakan, tanya saja,” balas Erik tak keberatan sama sekali.“Tapi jangan tersinggung,” kata Arunika lalu melihat Erik mengangguk pelan. “Kamu dan Pak Ray, ada hubungan spesial?”Erik hampir terbatuk karena tersedak ludah mendengar pertanyaan Arunika.Keterkejutan Erik mal