Share

Mimpi Buruk

Author: Nay Dinanti
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku bergegas menoleh ke belakang begitu pintu kamar terbuka. Lalu tersenyum tatkala melihat suamiku masuk. Sembari berusaha menutup lebam di lengan kananku dengan pose yang seharusnya tidak mencurigakan sama sekali. 

Pria itu kemudian terlihat membuka jasnya.

"Mestinya tadi kamu nggak usah ngangkatin berat-berat seperti itu," ujarnya.

Aku hanya memandangnya dari tempatku berdiri.

"Kamu tau kan, kalau itu bisa berakibat fatal sama kandungan kamu?" Mas Wira mulai membuka kancing kemejanya dan membuatku seketika membalik badan ketika ia melepasnya.

Hmm. Sudah berani rupanya pria itu bertelanjang dada di depanku. Padahal sebelumnya ia akan memilih berganti baju di kamar mandi.

"Kenapa  berbalik? bukankah kamu sudah terbiasa melihat tubuh polos lelaki?" 

Sindirannya sontak membuat tubuhku menegang. Hatiku serasa dikoyak. Kemudian darahnya mengalir tanpa henti. Luka itu basah lagi.

Dadaku bergemuruh hingga tanpa sadar kedua tanganku mengepal. Aku pun memutuskan meninggalkan kamar, tak berniat membalas sindiran pedasnya itu.

Namun, langkahku tiba-tiba terhenti ketika Mas Wira menahan tanganku. Lagi-lagi alis matanya bertaut ketika menatap lenganku dengan seksama.

"Ini kenapa?" tanyanya.

"Digigit binatang," jawabku asal sembari menahan kegetiran.

Kemudian kembali melanjutkan langkah keluar kamar. 

***

Aku memutuskan duduk di pinggir kolam ikan hias mini yang letaknya ada di halaman rumah. Air mancur kecil di atasnya membuat ikan-ikan mungil tersebut berenang riang ke sana kemari. 

Seketika senyuman terbit di bibirku. Membayangkan kalau saja diriku ini ikan, pasti sudah bebas berenang ke sana kemari tanpa membawa beban berat yang harus kupikul ke mana-mana.

Alih-alih membayangkan jadi seekor ikan, lagi-lagi aku malah tersedot ke dalam lamunan di mana aku bertemu dengan Mas Wira untuk pertama kalinya.

Mas Wira merupakan kakak tingkatku ketika kuliah dulu. Lumayan populer karena selalu menjadi buah bibir di antara para gadis yang berkuliah di sana. Termasuk temanku, dan juga ... aku. 

Tampan, cerdas, dan juga aktif di kegiatan mahasiswa. Saking terpesonanya, terkadang geng-ku itu sering menggodanya ketika melihatnya lewat di depan kami. Memang sudah jadi pembawaan sepertinya, dia hanya lurus-lurus saja tanpa mempedulikan godaan syaitan di sekelilingnya.

"Yessi, dapet salam dari Wira," ucap Siska suatu waktu. Aku mencibir karena tahu jika itu hanya karangannya saja, dan tak mungkin terjadi.

"Aku serius!" 

Ya, serius. Tapi sambil senyum-senyum tidak jelas membuatku harus mencari-cari keseriusan di wajahnya yang memang tidak ada.

"Berapa lembar? mau dimasak apa? nggak usah repot-repot karena di rumah udah banyak daun salam," jawabku.

"Kalo beneran jangan nyesel ya?" Siska pura-pura mengancamku.

"Nggak bakal. Oh, iya. Nanti mau ikut aku nggak?" tawarku.

"Ke mana?"

"Biasalah. Hang out sama Bram," jawabku.

"Idih, ogah jadi obat nyamuk," 

Aku pun terkikik geli mendengar jawabannya. Pada saat itu aku memang sudah berpacaran dengan Bram. Jadi dengan Mas Wira, aku hanya sebatas mengagumi saja tanpa pernah bertegur sapa sama sekali.

Hingga aku terkejut setengah mati tatkala Mas Wira datang ke rumah dan berniat melamarku. Karena memang tidak pernah terpikir sebelumnya.

Inikah anak teman papi yang dijodohkan untukku? aku bertanya-tanya sendiri dalam batin.

"Aku tau apa yang sudah terjadi padamu," ucap Mas Wira sembari melirik ke perutku tatkala kami diberikan kesempatan mengobrol berdua.

"Terus?" jawabku datar.

"Aku akan segera menikahimu," katanya dengan mimik wajah serius.

Aku tertawa miris mendengarnya.

"Mau tak mau aku memang akan segera menikah, bukan? Entah itu denganmu atau dengan pria lain. Aku tak kuasa menolak kemauan orang tuaku," sahutku sembari terus tertawa. Entah apa yang kutertawakan aku sendiri tak paham.

"Aku yang akan menikahimu, bukan orang lain," ulangnya seolah meyakinkanku.

"Masalahnya di sini, kenapa kamu mau menikahiku? padahal kamu tahu  kalau aku udah nggak perawan. Aku lagi hamil. Bagaimana bisa lelaki menikahi wanita yang rahimnya sudah terisi tanaman orang lain? kamu dibayar papiku?" 

Mas Wira tampak terkesiap mendengar pertanyaanku. Mungkin terdengar cukup sadis. Tapi biarlah. Hidupku bahkan jauh lebih sadis dari apa yang baru saja terlontar dari bibirku.

Belum sempat menjawab, Mas Wira keburu dipanggil papi. Entah apa yang akan mereka bahas. Kelihatannya serius karena pembicaraan dilakukan di dalam ruangan tertutup.

"Orang tuaku tak tahu masalah ini. Kamu hanya perlu menahan rasa mualmu ketika di depan keluargaku. Berusaha hindari apa saja yang membuatmu merasa mual. Selain parfum, apa ada hal lain yang membuatmu mual? misalnya makanan?" tanya Mas Wira di suatu malam ketika statusnya sudah berubah menjadi suamiku. 

Sebelumnya, mami memang pernah memberitahukan padanya jika penciumanku sangat sensitif dengan bau yang menyengat semenjak hamil ini, contohnya parfum.

"Selama ini baru durian. Pokoknya yang baunya tajam gitulah," sahutku.

Lucu memang, malam pertama bukannya membahas isi kamasutra, malah membahas soal kesepakatan.

Untungnya, selama ini aku memang tak pernah merasa mual jika sedang bersama dengan keluarga Mas Wira. Entah ketika sedang berada di meja makan, ataupun sedang memasak. Aku hanya tak dapat menahan rasa mualku ketika mencium aroma parfum. Dan selama tinggal di sini, aku sensitif  dengan aroma parfum yang dipakai suamiku saja, entah kenapa baunya terasa menyengat dan tak enak di hidungku. Padahal aromanya sangat lembut.

Sudah menjadi kebiasaan hingga saat ini jika Mas Wira akan memakai parfum setelah selesai sarapan dan akan berangkat kerja. Selebihnya, dia rela tak memakai wangi-wangian selama di rumah demi melihatku agar tidak mual di depan keluarganya.

Hanya satu hari setelah menikah aku langsung diboyong ke rumah keluarga Mas Wira. Sedih sebenarnya harus berpisah dengan mami. Namun akan lebih menakutkan lagi jika aku memutuskan tetap berada di rumah orang tuaku. Itu karena papi masih sangat membenciku. Hingga saat ini.

***

Tubuhku gemetar ketakutan ketika seseorang menyeretku ke dalam sebuah ruangan. Aku meronta sejadi-jadinya ketika pria itu mulai menindihku. Tak begitu jelas siapa orangnya karena hanya menyerupai sebuah bayangan hitam.

Tenaganya begitu besar, mustahil aku bisa melawannya. Di bawah kungkungannya aku terus menangis dan memohon agar dia melepaskanku. 

"Mami, tolong!" teriakku.

"Papi, Yessi bukan wanita nakal. Ada yang menjahati Yessi ...! tolong percaya, Pi ...!"

"Yessi bukan gadis nakal ..."

"Papi ..."

Aku terus menangis lirih.

Tiba-tiba aku terbangun ketika Mas Wira menepuk-nepuk pipiku. 

Aku langsung membuka mata dengan napas ngos-ngosan dan mendapati raut wajahnya begitu panik.

"Kamu kenapa?" tanyanya.

Aku menggeleng dan melihat sekujur tubuhku telah basah oleh keringat. Tak disangka, Mas Wira malah mengusap peluh di wajahku. 

"Kamu mimpi? tadi kamu meracau."

Mas Wira lalu berjalan ke arah kulkas di pojok kamar dan menuangkan air minum. Kemudian menghampiriku.

"Minum dulu," ujarnya sembari menyodorkan segelas air padaku. Berteriak dalam mimpi ternyata membuat kerongkonganku terasa sangat kering. Aku pun meminumnya hingga tandas.

"Tidurlah. Ubah posisinya jangan seperti tadi." 

Aku mencoba menuruti sarannya dengan merebahkan diri miring ke sebelah kanan. Dadaku yang tadinya berdegup kencang karena mimpi buruk, kini berubah menghangat seiring dengan perlakuan Mas Wira yang menaikkan selimut di atas tubuhku. Mataku pun kembali terpejam.

 

Related chapters

  • Pernikahan Berselimut Noda   Rasa Trauma

    Siang ini, langit tampak cerah. Semilir angin sepoi-sepoi terasa menyapu ke wajahku. Harusnya aku bisa mengantuk karenanya. Namun lantaran benakku masih dibayangi perihal mimpi buruk semalam, alhasil aku pun menjadi agak sedikit ketakutan, hingga tak terpikir sama sekali agar kedua mataku bisa mengantuk.Sebenarnya, setelah Mas Wira menyelimutiku tadi malam, mataku menolak untuk dipejamkan lagi. Bagaimana tidak, mimpi buruk itu selalu datang setiap mataku mulai terpejam.Sungguh aku sangat takut sekali, namun sebisa mungkin kutahan. Untung Mas Wira tak melihatku sebab posisi tidurku yang membelakanginya. Setelahnya, kedua mataku pun tetap terbuka lebar hingga pagi menjelang."Dicariin ke mana-mana ternyata malah enak-enakan duduk di sini. Kamu ini ya! kerjaannya ngelamun terus tiap hari! jangan berpikir kamu bisa jadi tuan putri di rumah ini! Enak saja!" Lagi. Mertuaku mencerocos tiada henti seraya berdiri di ambang pintu. Aku pun bergegas bangkit dan berjalan mendekatinya."Ada yan

  • Pernikahan Berselimut Noda   Terpaksa Menginap

    Setelah dibujuk oleh Mas Wira sedemikian rupa, akhirnya aku pun bersedia ikut masuk ke dalam. Kami berdua kemudian duduk di lobby hotel guna menunggu seseorang yang Mas Wira maksud.Tak lama kemudian, pria setengah baya berjalan menghampiri kami. Mas Wira pun bangkit, demikian juga aku. Tangan Mas Wira terulur menyalaminya."Kenalkan, ini istri saya, Pak." Hatiku lagi-lagi kembali menghangat mendengar pengakuan Mas Wira barusan. Rasanya aku merasa dihargai dan juga diakui."Oh, Pak Wira sudah menikah ternyata. Saya kira ini tadi pacarnya," sahut bapak itu tersenyum sembari menjabat tanganku."Baru satu minggu lebih kami menikah, Pak," ucap Mas Wira."Wah pengantin baru ternyata," timpal sang bapak. Mereka kemudian membicarakan masalah pekerjaan. Aku menyibukkan diri dengan pura-pura memainkan ponsel agar tidak tampak terlalu menganggur. Meskipun hanya scrol-scrol tidak jelas karena ponselku kehabisan pulsa dan juga kuota internet."Sekali-sekali menginap di hotel ini, Pak. Cocok unt

  • Pernikahan Berselimut Noda   Pelukan Sang Suami

    Mas Wira kembali menutup pintu ketika karyawan hotel tersebut keluar setelah menata berbagai menu di atas meja.Sementara aku masih berdiri dengan dada yang naik turun menahan rasa emosi yang masih mengendap di ubun-ubun.Mas Wira menatapku sekilas, kemudian berjalan menuju meja yang kini terhidang berbagai menu lezat. Pria itu lalu duduk di kursi sofa."Temani saya makan, Yessi," ucapnya.Aku memalingkan wajah, merasa enggan menuruti permintaannya."Yessi!" panggilnya sekali lagi.Mau tak mau, aku pun berjalan ke arahnya. Kemudian duduk di sebelahnya dan memilih jarak agak jauh darinya.Mas Wira menggeser kopi beserta kudapan ke hadapanku.Keheningan menyertai kami untuk beberapa detik."Maaf untuk yang tadi. Aku memang sengaja melakukannya," ucap Mas Wira."Sebagai seorang suami, aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi denganmu." "Beberapa kali aku menemukanmu mengigau dalam tidur. Dan kamu juga tadi sangat ketakutan ketika aku membawamu ke sini. Aku yakin ini semua ada h

  • Pernikahan Berselimut Noda   Si Kaku Yang Lembut

    Ceezzzzz!Cezzzz!Samar-samar telingaku mendengar sesuatu yang disemprot. Sedetik kemudian, indera penciumanku menangkap aroma yang membuat perutku terasa mual dengan tiba-tiba.Refleks, aku pun bangkit dan langsung berlari ke arah wastafel, lalu muntah di sana.Mas Wira bergegas menghampiriku, niatnya ingin membantu memijit tengkukku. Namun kehadirannya justru semakin memperparah rasa mual di perutku.Tangan kiriku terangkat memberi isyarat padanya agar tak mendekat."Maaf ... maaf, Yessi!" ucapnya terdengar menyesal. Ia pun berjalan menjauhiku.Aku kembali berjalan ke arah sofa selesai mengeluarkan semua isi perutku. Tubuhku rasanya lemas, namun aku lega."Pakai masker." Mas Wira mendekat dan menyerahkan masker untukku. Aku segera memakainya. Tangan Mas Wira terulur mengusap perutku. Mendadak tubuhku seperti tersengat aliran listrik yang membuatku menegang selama beberapa detik. "Sepertinya bayinya tak suka padaku. Buktinya dia selalu menolak aroma parfumku," tuturnya.Aku tertawa

  • Pernikahan Berselimut Noda   Setitik Harapan

    Jantungku semakin berdetak kencang kala Mas Wira membelokkan mobilnya memasuki pelataran rumahnya.Tanpa sadar tanganku sampai meremas dress selutut yang sedang kukenakan. "Wah, wah! enak ya yang sedang berbulan madu," sindir mama mertuaku ketika kami memasuki pintu rumah."Bukan bulan madu, Ma. Kami terjebak hujan, mobil pun mogok. Bukannya Wira udah kasih tau mama di telpon? Ini aja tadi benerin mobil dulu baru belanja ke pasar," sahut Mas Wira menjelaskan."Iya, tau. Yang mama herannya kok kalian bisa barengan? apa Yessi nelpon kamu, ya?" sangka mama."Kemarin Wira mau ketemu klien, Ma. Nggak sengaja malah ketemu Yessi di jalan, katanya mau belanja.""Lagian, ngapain sih mama pakai nyuruh-nyuruh Yessi belanja segala? memangnya Bik Inah ngapain aja? bukannya biasanya yang belanja Bik Inah?" lanjut suamiku.Sementara aku terus menundukkan kepala sejak tadi."Eeee! enak saja kamu tuduh mama yang nyuruh dia belanja. Orang dia yang mau sendiri, kok!" sangkal mama dan langsung ngeloyor

  • Pernikahan Berselimut Noda   Yudha?

    "Mau makan dulu, atau belanja dulu?" tanya Mas Wira menawarkan pilihan ketika kami berdua memasuki pintu sebuah mall."Terserah Mas saja.""Hmm, sampai sekarang aku bingung kenapa wanita suka sekali mengeluarkan senjata ampuhnya itu," gumam Mas Wira."Hah? senjata apa, Mas?" Aku mengernyitkan dahi."Kata 'terserah'. Nggak mama, Rena, kamu, suka sekali bilang terserah," ucap Mas Wira."Terus, siapa lagi yang suka bilang 'terserah' ke Mas Wira?" godaku.Lelaki itu hanya tersenyum dan tak menjawab pertanyaanku. Aku juga tak berharap mendapat jawaban darinya. Niatku tadi hanya ingin menggodanya saja.Kami berdua pun menaiki eskalator. Mas Wira memutuskan untuk mengisi perut dulu. Alasannya, karena perempuan tidak boleh telat makan, begitu katanya. Aku hanya mengiyakan saja. Meski aku tidak tahu apa alasannya. Kalau lelaki berarti boleh telat makan, begitukah?Ketika sedang menunggu makanan tiba, tak sengaja pandangan mataku menangkap Bang Yossi yang juga tengah makan bersama dengan anak

  • Pernikahan Berselimut Noda   Menutupi Kehamilan

    Bibirku terus menyunggingkan senyum sembari berbaring di atas ranjang. Hatiku berbunga-bunga mendapati kenyataan bahwa Mas Wira ternyata terlalu peduli padaku. Menunggunya di atas ranjang adalah hal yang tepat kulakukan saat ini.Hingga lelaki itu keluar dari kamar mandi, setelah selesai membersihkan diri. Sebuah rutinitas yang biasa kami lakukan ketika akan mulai menyambangi alam mimpi.Ekor mataku seakan tak ingin lepas darinya. Aku merasa diriku ini mulai tidak waras karenanya. Aku menginginkan sesuatu yang lebih. Ya, lebih dari malam-malam kemarin selama kami menikah. Bagaimanapun, aku ini wanita normal yang butuh kasih sayang dari seorang suami. Bukan, bukan berharap melakukan aktivitas seperti yang biasa dilakukan oleh pasangan suami istri. Hanya ingin tidur di pelukannya seperti di hotel kemarin, itu saja. Akan tetapi, hingga Mas Wira selesai memakai piyamanya, pria itu malah tak mendekatiku sama sekali. Ia memilih beranjak ke sofa yang kini telah beralih fungsi menjadi tempat

  • Pernikahan Berselimut Noda   Ke Psikiater

    Tepat pada saat jam makan siang tiba, Mas Wira datang menjemputku. Ia langsung masuk ke dalam kamar guna menemuiku."Sudah siap, Yessi?"Aku yang baru saja selesai berdandan, seketika menoleh dan mendapati dirinya telah berdiri di ambang pintu. "Sudah, Mas," sahutku seraya meraih slingbag yang sebelumnya sudah kupersiapkan di atas nakas.Kami pun berjalan beriringan. Ketika melewati ruang tengah, ada mama di sana yang sedang asik menonton televisi. "Mau pergi ke mana kalian?" tanyanya seolah menginterogasi. "Ke rumah teman, Ma," sahut Mas Wira."Penting banget ya temen kamu itu, sampai-sampai kamu pulang cepet dari kantor." "Kamu tau kan Wira, kalau perusahaan kita itu sedang tidak baik-baik saja. Itu artinya perusahaan sedang butuh sentuhan tangan kamu.""Ayolah, tunjukkan totalitas kerja kamu. Semangat untuk menaikkan kembali nama perusahaan kita. Jangan seenaknya keluar-keluar sementara jam kantor masih panjang."Aku tak tahu mengapa mama malah jadi membahas perusahaannya. Namu

Latest chapter

  • Pernikahan Berselimut Noda   Akhir Dari Sebuah Kisah

    Perlahan namun pasti, kedua mataku akhirnya terbuka. Aku lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menyadari bahwa aku tengah berada di sebuah ruangan yang tampak sangat asing.Sontak aku pun bangun dan terduduk, sembari berusaha mengingat kejadian yang telah menimpaku.Rasa takut kembali menyergap kala kusadari kedua tanganku sudah dalam kondisi terikat.Aku lantas berteriak meminta tolong, namun hanya suara gumaman yang berhasil keluar, mulutku disumpal kain.'Ya Allah, siapa yang telah tega berbuat jahat terhadapku? Apa salahku sampai orang itu tega memperlakukanku seperti ini?' Batinku menjerit.Air mataku sudah tumpah ruah saking takutnya.Di tengah rasa keputus-asaanku, mendadak terdengar suara pintu berderit, menandakan ada orang yang akan masuk. Seorang laki-laki berkepala plontos serta berpenampilan serba hitam telah berdiri di hadapanku. Perawakan dan gayanya persis seperti pemeran penjahat di film-film. Bibirnya yang berwarna hitam menyeringai kala menatapku. Ia lanta

  • Pernikahan Berselimut Noda   Seseorang Yang Menyergap

    POV Yessi."Mas, aku boleh nanya sesuatu sama kamu, nggak?" tanyaku hati-hati."Boleh. Mau nanya apa?" tanyanya seraya mengalihkan tatapan dari ponsel miliknya.Inilah salah satu yang kusukai dari Mas Wira. Sedikit pun tidak pernah merasa keberatan dengan pertanyaan yang hendak kuajukan. Tak peduli jika ia bisa menjawabnya atau tidak, bahkan apabila pertanyaannya itu akan menyinggung perasaannya, ia tak peduli. Yang pasti jika aku meminta izin mau bertanya, ia akan langsung memperbolehkan."Mas kenal sama Bram?" Lelaki itu tak langsung menjawab. Diletakkannya ponselnya di atas meja, lantas sorot matanya menatapku lekat."Kenal. Dia temanku."Jawabannya cukup membuatku terkejut. "Teman? Kok Mas nggak pernah cerita?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi. "Memangnya harus?" Dia malah balik bertanya sambil memamerkan senyum tipis."Eng ... ya nggak harus, sih. Cuman, kan ...." Aku sengaja tak meneruskan kalimatku. Rasa gugup membuatku bingung mengeluarkan kata-kata.Suamiku tertawa melih

  • Pernikahan Berselimut Noda   Yessiku

    Kudapati mama yang tengah duduk santai di teras sembari membaca majalah. Ia tampak terkejut melihat kedatanganku. Mungkin heran karena aku pulang cepat hari ini."Mana Yessi, Ma?!" tanyaku tanpa basa-basi."Nggak tau. Di dalem kali,"jawab mama acuh tak acuh. Ia kembali fokus menatap majalah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Tampak Bik Inah mendatangiku dengan tergopoh."Mas! Non Yessi nggak ada," ujarnya panik."Kok bisa? Mungkin di kamarnya?!" sahutku sambil bergegas menaiki anak tangga. Baru dua langkah, seruan Bik Inah sontak menghentikanku."Nggak ada, Mas! Bibik barusan ke kamar nggak ada juga. Non Yessi kabur. Tadi Rahma ngeliat Non Yessi keluar dari pintu samping." Bi Inah kembali menangis."Astaga! Kenapa nggak dilarang??!" Nada suaraku meninggi saking paniknya."Bibik juga nggak tau, Mas. Rahma cuman ngeliat sekilas tadi," jawab Bi Inah takut-takut."Mana Rahma?! Panggilkan dia, Bik!" titahku sambil memijat pelipis. Aku benar-benar tak menyangka jika situasinya akan jadi g

  • Pernikahan Berselimut Noda   Membuatnya Yakin

    Malam itu ponselku tiba-tiba berdering. Alisku bertaut menatap sebaris angka yang tertera di layar ponsel. Feelingku langsung tidak enak. Mungkin karena beberapa hari ini sering diteror.[Halo!] kujawab panggilan tersebut.Terdengar suara kekehan tawa seorang pria di seberang sana. Aku mengenali suaranya. Dia merupakan orang yang tempo hari menerorku. Kebetulan Yessi sedang keluar kamar. Aku bergegas menuju balkon sebelum ia kembali.[Breng*ek!! Aku tau siapa dirimu. Kau jangan macam-macam. Aku bisa melaporkanmu ke polisi!] ancamku.[Silakan. Aku tidak takut. Yang jelas kau harus tau mengenai satu hal, bahwa akulah yang pertama kali meniduri istrimu. Bukan kau! Sepertinya akan jadi menarik kalau aku juga meneror istrimu,] ejeknya seraya terkekeh.[Ba*ing*n! Jangan pernah ganggu istriku! Kau hanya bisa merusaknya saja! Ke mana pun kau lari, aku akan terus mengejarmu!][Haha! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu. Kau harus tau satu hal! Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja! Te

  • Pernikahan Berselimut Noda   Mencari Peneror

    "Bram!" Pria itu lantas menoleh ketika aku memanggilnya. Senyum sinis mengembang di salah satu sudut bibirnya ketika melihatku."Sudah lama tidak kelihatan, sekali ketemu udah jadi suami orang. Gimana enak teman makan teman?" sindirnya.Rupanya ia telah mendengar kabar pernikahanku dengan Yessi. Entah dari mana dia tahu. Padahal kami tidak mengundangnya. "Kami dijodohkan. Aku juga tidak tau kalau jadinya akan seperti ini. Maafkan aku kalau kau tidak berkenan."Bram membuang ludah tepat di depanku. "Cuih! Jelas saja aku tidak berkenan. Tak kusangka kau ternyata seorang pecundang. Pagar makan tanaman. Kau tidak pantas disebut sebagai teman!" ucapnya marah. Setelahnya ia berlalu begitu saja. Padahal aku ingin bertanya sesuatu mengenai Yessi. Apakah sebelum kami menikah ia pernah bertemu dengan Yessi? Aku tidak menuduh Bram yang melakukannya. Namun, setidaknya ia pasti tahu ke mana saja Yessi pergi dan dengan siapa perginya sebelum peristiwa itu terjadi.***"Saudari Yessi mengalami t

  • Pernikahan Berselimut Noda   Segala Bentuk Asumsi

    "Dengar Wira! Saya titipkan anak saya. Dalam artian, saya tidak ingin kalau anak saya sampai terluka barang secuil pun," pesan calon ayah mertuaku sembari menyodorkan amplop cokelat tebal ke hadapanku.***Pernikahanku dengan Yessi memang berjalan lancar, namun tidak dengan hatiku. Rasa sesak terus-menerus kurasakan hingga napasku nyaris tersendat-sendat sepanjang kami duduk bersanding di pelaminan. Kulihat wajahnya muram. Ah, terang saja. Mungkin ia juga terpaksa menerima pernikahan ini. Karena setahuku ia juga masih memiliki kekasih. Berharap menikah dengan Bram, namun malah dijodohkan denganku. Tidak ada malam pertama. Menggauli gadis yang sedang mengandung anak orang lain, siapa yang selera? Yang ada, aku malah semakin merasa benci dengannya. Meskipun aku tak memungkiri jika ayahnya telah banyak berjasa pada keluargaku, namun tetap saja keegoisanku mengalahkan segalanya.Kami tidak tidur bersama. Aku memilih tidur di sofa, sementara dia kubiarkan tidur di ranjangku.Hingga pada

  • Pernikahan Berselimut Noda   Tentang Dia

    POV Wira.Aku mengenalnya sebagai seorang gadis yang ceria dan juga cantik. Pertama kali melihatnya adalah ketika ia menjadi salah satu siswi baru di sekolahku. Pada saat itu aku langsung tertarik padanya. Hingga secara kebetulan, aku dan dia saling berkenalan ketika kami sedang sama-sama menunggu jemputan sepulangnya dari sekolah."Yessi." Suaranya terdengar merdu ketika menyebutkan namanya.Keakraban pun terjalin di antara kami. Tanpa kusadari, rasa tertarik yang sebelumnya kurasakan, lambat laun tumbuh menjadi cinta. Meski aku juga pernah merasakan jatuh cinta pertama kalinya saat masih duduk di bangku SMP, namun entah mengapa kali ini rasanya amat berbeda.Gelombangnya begitu kuat, sampai-sampai aku susah tidur akibat memikirkannya. Akan tetapi, aku cukup tahu diri untuk tidak mengungkapkan padanya. Dengan tubuh super gendut yang kumiliki, gadis mana yang bersedia menerimaku. Andai pun mau, mungkin saat itu dia sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri alias terhipnotis.Yessi yang

  • Pernikahan Berselimut Noda   Buku Agenda Di Rumah Baru

    Hunian baru ini terdiri dari dua lantai. Warnanya didominasi oleh cat putih. Bentuknya simpel namun tampak elegan. Ada taman kecil di sekeliling rumah yang ditumbuhi oleh rumput jepang, menambah kesan asri pada hunian minimalis tersebut."Ini semua Mas yang nanem?" tanyaku begitu tiba di taman belakang rumah yang juga berbentuk minimalis.Mas Wira mengangguk. "Suka nggak?" "Suka sekali. Aku nggak nyangka Mas pinter soal tanam-menanam," pujiku.Terdapat beberapa tanaman hias di dalam pot-pot kecil yang ditata apik sedemikian rupa. Serta di pojok taman ada sebuah kolam ikan hias berbentuk mini, cantik sekali. Semuanya dibuat serba mini, namun itulah yang kusuka."Kamu suka rumah ini, Yessi?" Aku mengangguk secara antusias. "Rumahnya nyaman, Mas. Juga sejuk."Mas Wira tersenyum lalu memelukku dari belakang. "Semoga kamu betah tinggal di sini, ya?""Aamiin.""Boleh aku tanya sesuatu, Yessi?""Hm. Mas mau nanya apa?" tanyaku sembari agak mendongak, agar aku dapat melihat wajahnya."Tadi

  • Pernikahan Berselimut Noda   Perjanjian

    Tanganku panas dingin sambil duduk menunggu di ruang tengah dengan penuh ketegangan. Kesannya seperti menunggu salah satu keluarga yang sedang menjalani operasi. Namun, di dalam sana adalah keluarga Mas Wira yang sedang disidang oleh papi.Beberapa kali terdengar gebrakan meja. Aku takut jika terjadi keributan dan mereka berkelahi. Mami yang duduk di sebelahku kemudian meremas tanganku, seolah ingin mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Sementara Kak Yessa berdiri sambil menyilangkan tangannya, tubuhnya disandarkannya di sofa.Tak berapa lama, terdengar bunyi bel pintu. Itu pasti Bang Yossi. Barusan dia menelepon dan memberi tahu kalau akan datang ke sini. Bi Rum kemudian berlari tergopoh-gopoh guna membukakan pintunya.Bang Yossi kemudian menghampiri kami dengan tergesa-gesa. Ia datang sendirian tanpa membawa anak dan istrinya."Gimana?" tanyanya."Masih disidang." Kak Yessa yang menjawab sembari menunjuk ke ruang kerja papi menggunakan dagunya. Bang Yossi kemudian beralih memperha

DMCA.com Protection Status