Share

Rasa Trauma

Author: Nay Dinanti
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Siang ini, langit tampak cerah. Semilir angin sepoi-sepoi terasa menyapu ke wajahku. Harusnya aku bisa mengantuk karenanya. Namun lantaran benakku masih dibayangi perihal mimpi buruk semalam, alhasil aku pun menjadi agak sedikit ketakutan, hingga tak terpikir sama sekali  agar kedua mataku bisa mengantuk.

Sebenarnya, setelah Mas Wira menyelimutiku tadi malam, mataku menolak untuk dipejamkan lagi. Bagaimana tidak, mimpi buruk itu selalu datang setiap mataku mulai terpejam.

Sungguh aku sangat takut sekali, namun sebisa mungkin kutahan. Untung Mas Wira tak melihatku sebab posisi tidurku yang membelakanginya. Setelahnya, kedua mataku pun tetap terbuka lebar hingga pagi menjelang.

"Dicariin ke mana-mana ternyata malah enak-enakan duduk di sini. Kamu ini ya! kerjaannya ngelamun terus tiap hari! jangan berpikir kamu bisa jadi tuan putri di rumah ini! Enak saja!" 

Lagi. Mertuaku mencerocos tiada henti seraya berdiri di ambang pintu. Aku pun bergegas bangkit dan berjalan mendekatinya.

"Ada yang bisa Yessi bantu, Ma?" tanyaku lembut penuh pengertian.

"Ada, belanja sana! beli ikan sekilo, cabe setengah kilo, bawang merah setengah kilo, sayurannya sekalian!" mama menyerahkan selembar uang berwarna merah kepadaku.

Aku menerimanya dengan perasaan ragu-ragu.

"Me-memangnya uang segini cukup, Mah?" tanyaku sembari menatap gambar sosok proklamator yang terlihat sedang tersenyum di dalamnya.

"Ya kamu pinter-pinterlah ngaturnya gimana! Usahakan uang segitu cukup. Kalo bisa pun lebih!" 

Belum lagi mulutku terbuka hendak menanyakan sesuatu, mama sudah masuk ke dalam rumah sembari membanting pintunya.

Brak!!

Mataku sontak ikut berkedip tatkala pintu itu tertutup dengan kasar.

Meskipun aku belum pernah berbelanja sama sekali, namun jika mengingat banyaknya jumlah barang yang ingin dibeli, membuatku ragu akan kecukupan uang yang sekarang ada di dalam genggamanku ini. Bukankah sekarang harga semua barang sudah pada naik?

Mungkin, hanya harga diriku yang turun.

Jangan bilang bahwa aku memiliki banyak uang karena orang tuaku kaya raya. Semua kartu milikku telah dibekukan oleh papi semenjak kejadian itu. 

Lalu suamiku? ah, aku tak pernah terpikir diberi uang olehnya. Aku juga tak pernah berpikir untuk memintanya. Entahlah, aku sendiri tak tahu dengan jalan pikiranku ini. Rasanya semua buntu semenjak kehamilan yang sama sekali tak pernah kuharapkan ini.

Aku miskin sekarang.

Dan juga terluka ... sangat terluka.

Mengingat uang di tanganku hanya segini, dari pada mama mertuaku semakin berang jika uangnya berkurang untuk ongkos, aku pun memutuskan untuk berjalan kaki ke pasar. 

Aku sendiri belum tahu seluk beluk daerah ini. Entah sejauh apa letak pasarnya pun aku tak tahu. Aku hanya melangkah atas dasar yakin saja.

Di persimpangan, aku bertemu dengan seorang ibu-ibu. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku pun bertanya padanya.

"Bu, maaf mau tanya, letak pasar sayur ada di mana ya? apakah masih jauh dari sini?" 

"Ada di belakang pabrik kertas yang di sono itu. Kalo jauhnya ya lumayan, Neng.  Cuma kalo jalan kaki ya capek juga," sahut ibu itu sembari menatapku dari atas hingga ke bawah.

Aku memahami maksud tatapannya, mungkin ibu tersebut merasa aneh melihatku hendak ke pasar dengan hanya berjalan kaki.

"Memangnya nggak capek jalan, Neng? mending naik ojek aja," tuturnya lagi.

"Nggak, Bu. Mau sekalian jalan sehat," sahutku beralasan.

Setelah mengucapkan terimakasih padanya, aku pun kembali melanjutkan perjalanan.

***

Kepalaku mendongak ke atas, menatap langit yang kini berwarna kelabu. Ternyata, langit juga sukar ditebak. Awalnya cerah, tiba-tiba berubah jadi mendung. 

Sama halnya seperti Mas Wira.  Setelah perilakunya semalam yang membuat hatiku tiba-tiba menghangat , lalu pagi tadi pria itu kembali berubah menjadi sedingin es. 

Belum sampai di tujuan, gerimis sudah mulai turun rintik-rintik. Padahal aku sudah cukup jauh berjalan, dan kedua betisku juga mulai terasa pegal, namun pasar sayurnya belum juga kelihatan.

Beberapa orang yang menaiki kendaraan beroda dua terlihat menghentikan kendaraannya, dan memilih berteduh di emperan toko ketika hujan mulai deras. Aku sendiri kelabakan dan bingung harus ke mana.

Mendadak, ada sebuah mobil berhenti di sebelahku. Mataku terbelalak ketika melihat orang di dalamnya menurunkan kaca mobil. 

Mas Wira!

"Sedang apa kamu di sini, Yessi?" tanyanya dengan tatapan tajam.

"M-mau belanja, Mas," jawabku.

Mas Wira kemudian membukakan pintu mobil.

"Ayo, naik!" 

Tanpa membuang waktu, aku pun naik ke mobilnya. 

Mas Wira kemudian melajukan mobilnya.

"Ngapain kamu hujan-hujan gini belanja?Memangnya tidak ada orang lain lagi di rumah? Ini bukan tugas kamu." Raut wajah Mas Wira terlihat geram sembari meremas kemudinya.

"Jangan bilang mama yang nyuruh," lanjut Mas Wira sembari menatapku.

Tanpa menjawab, sepertinya suamiku itu sudah dapat menebak dari raut wajahku. 

"Ah, mama! memangnya tidak ada orang lain yang bisa disuruh? lalu apa gunanya ada ART tiga orang di rumah?" Mas Wira tampak seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. Raut kesal di wajahnya belum juga hilang.

Mama sengaja menyuruhku, Mas. Dia tidak suka melihatku duduk-duduk sebentar, batinku berucap.

Kami saling diam beberapa saat.

Sementara aku sibuk memijit betisku yang serasa membengkak.

Mas Wira kemudian melihatku.

" Kamu jalan kaki dari rumah?" 

Aku mengangguk.

Suamiku itu terlihat menghembuskan napasnya.

"Mas itu pasarnya, bukan?" tunjukku ketika melewati pasar tradisional yang keberadaannya bisa dilihat dari jalan raya.

Namun Mas Wira diam saja. Ia terus melajukan mobilnya tanpa bersuara. 

Karena merasa tak mendapat jawaban, aku pun menurunkan jari telunjuk. Sesekali aku melirik Mas Wira yang tampak serius mengemudi. Entah akan dibawa ke mana diriku. Aku tak berani menanyakannya.

"Wajahmu terlihat lesu sejak pagi tadi," ucap Mas Wira tanpa melihat ke arahku.

Ah, rupanya dia memperhatikanku. Jelas saja lesu, aku tak bisa tidur sejak tengah malam itu.

Setelah berkendara cukup jauh, mobil akhirnya berhenti di sebuah tanah lapang. Hujan deras masih belum berhenti.

Mas Wira kemudian mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.

"Saya sudah sampai di tempat. Baiklah, saya ke sana sekarang." 

Setelah menyimpan ponselnya, Mas Wira kemudian berkata padaku.

"Aku ada janji sama seseorang di sini. Tapi karena terjebak hujan, dia tidak bisa datang. Dan aku  diminta untuk menemuinya di hotel."

Hotel? tiba-tiba rasa takut menjalari hatiku ketika mendengar kata hotel.

"Mas, bisa antarkan aku belanja dulu, lalu pulang?" pintaku dengan hati-hati.

"Kita pulang sama-sama nanti. Tapi setelah bertemu dengan orang itu," sahutnya datar.

Mendengar jawabannya barusan, aku memilih diam. Rasanya sia-sia jika aku tetap bersikeras. Namun, aku juga takut jika mama terlalu lama menunggu barang belanjaannya. Aku takut  mertuaku itu akan memarahiku lagi.

"Tapi, gimana kalau mama udah nungguin belanjaannya, Mas?" tanyaku ketika Mas Wira sudah menjalankan mobilnya.

"Gampang," sahut suamiku singkat.

Tinggal menjawab saja memang gampang, Mas. Aku merutuk dalam hati.

Hatiku mendadak gelisah ketika Mas Wira mulai menambah kecepatan laju mobilnya. Itu artinya, kami akan semakin cepat tiba di hotel.

***

"Ayo, turun. Kita sudah sampai," ucap Mas Wira sembari membuka sabuk pengaman yang dipakainya.

Tanganku sekarang panas dingin sembari menatap bangunan hotel bintang lima yang kini berdiri gagah di hadapanku. 

Rasanya seperti dejavu. Mimpi buruk itu kembali hadir menggangguku. Keringat dingin sebesar jagung mulai mengucur deras dan bertotol-totol di dahiku.

"Kamu kenapa?" tanya Mas Wira terdengar sedikit panik.

"Yessi?? wajahmu pucat. Kamu baik-baik saja, kan?" Mas Wira menyentuh ujung daguku demi bisa mengamati keseluruhan raut wajahku.

"M-Masss ... aku mau pulang." 

Mendadak tangisku pun pecah.

"Bawa aku pulang, Mas. Aku tidak mau di sini. Aku mohon," ratapku sembari memegangi tangannya.

Mas Wira tampak kebingungan melihatku yang seperti itu.

"Kamu kenapa? apa yang terjadi padamu, Yessi?" 

Kedua tangan Mas Wira kini menangkup wajahku. Sembari mengusap peluh yang membanjir di seluruh wajahku.

Tak tahan lagi, aku pun menghambur ke pelukannya. Tak peduli jika tubuh kekarnya menegang karena mungkin terkejut dengan tindakanku. Aku hanya butuh tempat bersandar.

Perlahan, kurasakan tangannya yang bergerak mengelus belakang rambutku. Mencoba menenangkan tangisku yang kian menjadi-jadi.

"Apa yang terjadi denganmu sebenarnya? Kenapa kamu berubah? kamu seperti bukan Yessiku yang dulu," ucapnya lirih.

Aku tak mampu lagi menalar maksud ucapannya. Yang kutahu, aku hanya perlu menumpahkan segala kepiluan yang sejak lama bersarang di dada.

 

Related chapters

  • Pernikahan Berselimut Noda   Terpaksa Menginap

    Setelah dibujuk oleh Mas Wira sedemikian rupa, akhirnya aku pun bersedia ikut masuk ke dalam. Kami berdua kemudian duduk di lobby hotel guna menunggu seseorang yang Mas Wira maksud.Tak lama kemudian, pria setengah baya berjalan menghampiri kami. Mas Wira pun bangkit, demikian juga aku. Tangan Mas Wira terulur menyalaminya."Kenalkan, ini istri saya, Pak." Hatiku lagi-lagi kembali menghangat mendengar pengakuan Mas Wira barusan. Rasanya aku merasa dihargai dan juga diakui."Oh, Pak Wira sudah menikah ternyata. Saya kira ini tadi pacarnya," sahut bapak itu tersenyum sembari menjabat tanganku."Baru satu minggu lebih kami menikah, Pak," ucap Mas Wira."Wah pengantin baru ternyata," timpal sang bapak. Mereka kemudian membicarakan masalah pekerjaan. Aku menyibukkan diri dengan pura-pura memainkan ponsel agar tidak tampak terlalu menganggur. Meskipun hanya scrol-scrol tidak jelas karena ponselku kehabisan pulsa dan juga kuota internet."Sekali-sekali menginap di hotel ini, Pak. Cocok unt

  • Pernikahan Berselimut Noda   Pelukan Sang Suami

    Mas Wira kembali menutup pintu ketika karyawan hotel tersebut keluar setelah menata berbagai menu di atas meja.Sementara aku masih berdiri dengan dada yang naik turun menahan rasa emosi yang masih mengendap di ubun-ubun.Mas Wira menatapku sekilas, kemudian berjalan menuju meja yang kini terhidang berbagai menu lezat. Pria itu lalu duduk di kursi sofa."Temani saya makan, Yessi," ucapnya.Aku memalingkan wajah, merasa enggan menuruti permintaannya."Yessi!" panggilnya sekali lagi.Mau tak mau, aku pun berjalan ke arahnya. Kemudian duduk di sebelahnya dan memilih jarak agak jauh darinya.Mas Wira menggeser kopi beserta kudapan ke hadapanku.Keheningan menyertai kami untuk beberapa detik."Maaf untuk yang tadi. Aku memang sengaja melakukannya," ucap Mas Wira."Sebagai seorang suami, aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi denganmu." "Beberapa kali aku menemukanmu mengigau dalam tidur. Dan kamu juga tadi sangat ketakutan ketika aku membawamu ke sini. Aku yakin ini semua ada h

  • Pernikahan Berselimut Noda   Si Kaku Yang Lembut

    Ceezzzzz!Cezzzz!Samar-samar telingaku mendengar sesuatu yang disemprot. Sedetik kemudian, indera penciumanku menangkap aroma yang membuat perutku terasa mual dengan tiba-tiba.Refleks, aku pun bangkit dan langsung berlari ke arah wastafel, lalu muntah di sana.Mas Wira bergegas menghampiriku, niatnya ingin membantu memijit tengkukku. Namun kehadirannya justru semakin memperparah rasa mual di perutku.Tangan kiriku terangkat memberi isyarat padanya agar tak mendekat."Maaf ... maaf, Yessi!" ucapnya terdengar menyesal. Ia pun berjalan menjauhiku.Aku kembali berjalan ke arah sofa selesai mengeluarkan semua isi perutku. Tubuhku rasanya lemas, namun aku lega."Pakai masker." Mas Wira mendekat dan menyerahkan masker untukku. Aku segera memakainya. Tangan Mas Wira terulur mengusap perutku. Mendadak tubuhku seperti tersengat aliran listrik yang membuatku menegang selama beberapa detik. "Sepertinya bayinya tak suka padaku. Buktinya dia selalu menolak aroma parfumku," tuturnya.Aku tertawa

  • Pernikahan Berselimut Noda   Setitik Harapan

    Jantungku semakin berdetak kencang kala Mas Wira membelokkan mobilnya memasuki pelataran rumahnya.Tanpa sadar tanganku sampai meremas dress selutut yang sedang kukenakan. "Wah, wah! enak ya yang sedang berbulan madu," sindir mama mertuaku ketika kami memasuki pintu rumah."Bukan bulan madu, Ma. Kami terjebak hujan, mobil pun mogok. Bukannya Wira udah kasih tau mama di telpon? Ini aja tadi benerin mobil dulu baru belanja ke pasar," sahut Mas Wira menjelaskan."Iya, tau. Yang mama herannya kok kalian bisa barengan? apa Yessi nelpon kamu, ya?" sangka mama."Kemarin Wira mau ketemu klien, Ma. Nggak sengaja malah ketemu Yessi di jalan, katanya mau belanja.""Lagian, ngapain sih mama pakai nyuruh-nyuruh Yessi belanja segala? memangnya Bik Inah ngapain aja? bukannya biasanya yang belanja Bik Inah?" lanjut suamiku.Sementara aku terus menundukkan kepala sejak tadi."Eeee! enak saja kamu tuduh mama yang nyuruh dia belanja. Orang dia yang mau sendiri, kok!" sangkal mama dan langsung ngeloyor

  • Pernikahan Berselimut Noda   Yudha?

    "Mau makan dulu, atau belanja dulu?" tanya Mas Wira menawarkan pilihan ketika kami berdua memasuki pintu sebuah mall."Terserah Mas saja.""Hmm, sampai sekarang aku bingung kenapa wanita suka sekali mengeluarkan senjata ampuhnya itu," gumam Mas Wira."Hah? senjata apa, Mas?" Aku mengernyitkan dahi."Kata 'terserah'. Nggak mama, Rena, kamu, suka sekali bilang terserah," ucap Mas Wira."Terus, siapa lagi yang suka bilang 'terserah' ke Mas Wira?" godaku.Lelaki itu hanya tersenyum dan tak menjawab pertanyaanku. Aku juga tak berharap mendapat jawaban darinya. Niatku tadi hanya ingin menggodanya saja.Kami berdua pun menaiki eskalator. Mas Wira memutuskan untuk mengisi perut dulu. Alasannya, karena perempuan tidak boleh telat makan, begitu katanya. Aku hanya mengiyakan saja. Meski aku tidak tahu apa alasannya. Kalau lelaki berarti boleh telat makan, begitukah?Ketika sedang menunggu makanan tiba, tak sengaja pandangan mataku menangkap Bang Yossi yang juga tengah makan bersama dengan anak

  • Pernikahan Berselimut Noda   Menutupi Kehamilan

    Bibirku terus menyunggingkan senyum sembari berbaring di atas ranjang. Hatiku berbunga-bunga mendapati kenyataan bahwa Mas Wira ternyata terlalu peduli padaku. Menunggunya di atas ranjang adalah hal yang tepat kulakukan saat ini.Hingga lelaki itu keluar dari kamar mandi, setelah selesai membersihkan diri. Sebuah rutinitas yang biasa kami lakukan ketika akan mulai menyambangi alam mimpi.Ekor mataku seakan tak ingin lepas darinya. Aku merasa diriku ini mulai tidak waras karenanya. Aku menginginkan sesuatu yang lebih. Ya, lebih dari malam-malam kemarin selama kami menikah. Bagaimanapun, aku ini wanita normal yang butuh kasih sayang dari seorang suami. Bukan, bukan berharap melakukan aktivitas seperti yang biasa dilakukan oleh pasangan suami istri. Hanya ingin tidur di pelukannya seperti di hotel kemarin, itu saja. Akan tetapi, hingga Mas Wira selesai memakai piyamanya, pria itu malah tak mendekatiku sama sekali. Ia memilih beranjak ke sofa yang kini telah beralih fungsi menjadi tempat

  • Pernikahan Berselimut Noda   Ke Psikiater

    Tepat pada saat jam makan siang tiba, Mas Wira datang menjemputku. Ia langsung masuk ke dalam kamar guna menemuiku."Sudah siap, Yessi?"Aku yang baru saja selesai berdandan, seketika menoleh dan mendapati dirinya telah berdiri di ambang pintu. "Sudah, Mas," sahutku seraya meraih slingbag yang sebelumnya sudah kupersiapkan di atas nakas.Kami pun berjalan beriringan. Ketika melewati ruang tengah, ada mama di sana yang sedang asik menonton televisi. "Mau pergi ke mana kalian?" tanyanya seolah menginterogasi. "Ke rumah teman, Ma," sahut Mas Wira."Penting banget ya temen kamu itu, sampai-sampai kamu pulang cepet dari kantor." "Kamu tau kan Wira, kalau perusahaan kita itu sedang tidak baik-baik saja. Itu artinya perusahaan sedang butuh sentuhan tangan kamu.""Ayolah, tunjukkan totalitas kerja kamu. Semangat untuk menaikkan kembali nama perusahaan kita. Jangan seenaknya keluar-keluar sementara jam kantor masih panjang."Aku tak tahu mengapa mama malah jadi membahas perusahaannya. Namu

  • Pernikahan Berselimut Noda   Ngidam Malam-Malam

    Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba pandanganku menangkap sosok seperti Bram. Dia terlihat akan menaiki sepeda motornya yang sedang terparkir di depan sebuah ruko.Mataku sampai memicing demi memastikannya. Ya! aku tak salah lihat kalau orang itu adalah Bram. Meskipun hanya sekilas, aku sangat yakin jika itu dia. Tiga tahun menjalin kasih, tak membuatku lupa tentang bagaimana bentuk postur tubuhnya. Tapi, kenapa lelaki itu ada di sini? bukankah katanya dia sedang berada di Palembang karena katanya hendak merintis usaha baru milik ayahnya, dan akan kembali setelah lima bulan? Sementara sekarang ini baru dua bulan semenjak kepergiannya. Aku jelas tahu. Sebab, dia pergi meninggalkan kota ini di saat hubungan kami masih baik-baik saja. Dan memutuskanku begitu saja pada saat dia sedang berada di luar kota."Ada apa, Yessi? kamu sedang melihat apa?" tanya Mas Wira tiba-tiba dan hampir membuatku terlonjak saking kagetnya."A-anu, Mas ... itu—""Pingin rujak lagi?" potong Mas Wira."Buk

Latest chapter

  • Pernikahan Berselimut Noda   Akhir Dari Sebuah Kisah

    Perlahan namun pasti, kedua mataku akhirnya terbuka. Aku lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menyadari bahwa aku tengah berada di sebuah ruangan yang tampak sangat asing.Sontak aku pun bangun dan terduduk, sembari berusaha mengingat kejadian yang telah menimpaku.Rasa takut kembali menyergap kala kusadari kedua tanganku sudah dalam kondisi terikat.Aku lantas berteriak meminta tolong, namun hanya suara gumaman yang berhasil keluar, mulutku disumpal kain.'Ya Allah, siapa yang telah tega berbuat jahat terhadapku? Apa salahku sampai orang itu tega memperlakukanku seperti ini?' Batinku menjerit.Air mataku sudah tumpah ruah saking takutnya.Di tengah rasa keputus-asaanku, mendadak terdengar suara pintu berderit, menandakan ada orang yang akan masuk. Seorang laki-laki berkepala plontos serta berpenampilan serba hitam telah berdiri di hadapanku. Perawakan dan gayanya persis seperti pemeran penjahat di film-film. Bibirnya yang berwarna hitam menyeringai kala menatapku. Ia lanta

  • Pernikahan Berselimut Noda   Seseorang Yang Menyergap

    POV Yessi."Mas, aku boleh nanya sesuatu sama kamu, nggak?" tanyaku hati-hati."Boleh. Mau nanya apa?" tanyanya seraya mengalihkan tatapan dari ponsel miliknya.Inilah salah satu yang kusukai dari Mas Wira. Sedikit pun tidak pernah merasa keberatan dengan pertanyaan yang hendak kuajukan. Tak peduli jika ia bisa menjawabnya atau tidak, bahkan apabila pertanyaannya itu akan menyinggung perasaannya, ia tak peduli. Yang pasti jika aku meminta izin mau bertanya, ia akan langsung memperbolehkan."Mas kenal sama Bram?" Lelaki itu tak langsung menjawab. Diletakkannya ponselnya di atas meja, lantas sorot matanya menatapku lekat."Kenal. Dia temanku."Jawabannya cukup membuatku terkejut. "Teman? Kok Mas nggak pernah cerita?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi. "Memangnya harus?" Dia malah balik bertanya sambil memamerkan senyum tipis."Eng ... ya nggak harus, sih. Cuman, kan ...." Aku sengaja tak meneruskan kalimatku. Rasa gugup membuatku bingung mengeluarkan kata-kata.Suamiku tertawa melih

  • Pernikahan Berselimut Noda   Yessiku

    Kudapati mama yang tengah duduk santai di teras sembari membaca majalah. Ia tampak terkejut melihat kedatanganku. Mungkin heran karena aku pulang cepat hari ini."Mana Yessi, Ma?!" tanyaku tanpa basa-basi."Nggak tau. Di dalem kali,"jawab mama acuh tak acuh. Ia kembali fokus menatap majalah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Tampak Bik Inah mendatangiku dengan tergopoh."Mas! Non Yessi nggak ada," ujarnya panik."Kok bisa? Mungkin di kamarnya?!" sahutku sambil bergegas menaiki anak tangga. Baru dua langkah, seruan Bik Inah sontak menghentikanku."Nggak ada, Mas! Bibik barusan ke kamar nggak ada juga. Non Yessi kabur. Tadi Rahma ngeliat Non Yessi keluar dari pintu samping." Bi Inah kembali menangis."Astaga! Kenapa nggak dilarang??!" Nada suaraku meninggi saking paniknya."Bibik juga nggak tau, Mas. Rahma cuman ngeliat sekilas tadi," jawab Bi Inah takut-takut."Mana Rahma?! Panggilkan dia, Bik!" titahku sambil memijat pelipis. Aku benar-benar tak menyangka jika situasinya akan jadi g

  • Pernikahan Berselimut Noda   Membuatnya Yakin

    Malam itu ponselku tiba-tiba berdering. Alisku bertaut menatap sebaris angka yang tertera di layar ponsel. Feelingku langsung tidak enak. Mungkin karena beberapa hari ini sering diteror.[Halo!] kujawab panggilan tersebut.Terdengar suara kekehan tawa seorang pria di seberang sana. Aku mengenali suaranya. Dia merupakan orang yang tempo hari menerorku. Kebetulan Yessi sedang keluar kamar. Aku bergegas menuju balkon sebelum ia kembali.[Breng*ek!! Aku tau siapa dirimu. Kau jangan macam-macam. Aku bisa melaporkanmu ke polisi!] ancamku.[Silakan. Aku tidak takut. Yang jelas kau harus tau mengenai satu hal, bahwa akulah yang pertama kali meniduri istrimu. Bukan kau! Sepertinya akan jadi menarik kalau aku juga meneror istrimu,] ejeknya seraya terkekeh.[Ba*ing*n! Jangan pernah ganggu istriku! Kau hanya bisa merusaknya saja! Ke mana pun kau lari, aku akan terus mengejarmu!][Haha! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu. Kau harus tau satu hal! Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja! Te

  • Pernikahan Berselimut Noda   Mencari Peneror

    "Bram!" Pria itu lantas menoleh ketika aku memanggilnya. Senyum sinis mengembang di salah satu sudut bibirnya ketika melihatku."Sudah lama tidak kelihatan, sekali ketemu udah jadi suami orang. Gimana enak teman makan teman?" sindirnya.Rupanya ia telah mendengar kabar pernikahanku dengan Yessi. Entah dari mana dia tahu. Padahal kami tidak mengundangnya. "Kami dijodohkan. Aku juga tidak tau kalau jadinya akan seperti ini. Maafkan aku kalau kau tidak berkenan."Bram membuang ludah tepat di depanku. "Cuih! Jelas saja aku tidak berkenan. Tak kusangka kau ternyata seorang pecundang. Pagar makan tanaman. Kau tidak pantas disebut sebagai teman!" ucapnya marah. Setelahnya ia berlalu begitu saja. Padahal aku ingin bertanya sesuatu mengenai Yessi. Apakah sebelum kami menikah ia pernah bertemu dengan Yessi? Aku tidak menuduh Bram yang melakukannya. Namun, setidaknya ia pasti tahu ke mana saja Yessi pergi dan dengan siapa perginya sebelum peristiwa itu terjadi.***"Saudari Yessi mengalami t

  • Pernikahan Berselimut Noda   Segala Bentuk Asumsi

    "Dengar Wira! Saya titipkan anak saya. Dalam artian, saya tidak ingin kalau anak saya sampai terluka barang secuil pun," pesan calon ayah mertuaku sembari menyodorkan amplop cokelat tebal ke hadapanku.***Pernikahanku dengan Yessi memang berjalan lancar, namun tidak dengan hatiku. Rasa sesak terus-menerus kurasakan hingga napasku nyaris tersendat-sendat sepanjang kami duduk bersanding di pelaminan. Kulihat wajahnya muram. Ah, terang saja. Mungkin ia juga terpaksa menerima pernikahan ini. Karena setahuku ia juga masih memiliki kekasih. Berharap menikah dengan Bram, namun malah dijodohkan denganku. Tidak ada malam pertama. Menggauli gadis yang sedang mengandung anak orang lain, siapa yang selera? Yang ada, aku malah semakin merasa benci dengannya. Meskipun aku tak memungkiri jika ayahnya telah banyak berjasa pada keluargaku, namun tetap saja keegoisanku mengalahkan segalanya.Kami tidak tidur bersama. Aku memilih tidur di sofa, sementara dia kubiarkan tidur di ranjangku.Hingga pada

  • Pernikahan Berselimut Noda   Tentang Dia

    POV Wira.Aku mengenalnya sebagai seorang gadis yang ceria dan juga cantik. Pertama kali melihatnya adalah ketika ia menjadi salah satu siswi baru di sekolahku. Pada saat itu aku langsung tertarik padanya. Hingga secara kebetulan, aku dan dia saling berkenalan ketika kami sedang sama-sama menunggu jemputan sepulangnya dari sekolah."Yessi." Suaranya terdengar merdu ketika menyebutkan namanya.Keakraban pun terjalin di antara kami. Tanpa kusadari, rasa tertarik yang sebelumnya kurasakan, lambat laun tumbuh menjadi cinta. Meski aku juga pernah merasakan jatuh cinta pertama kalinya saat masih duduk di bangku SMP, namun entah mengapa kali ini rasanya amat berbeda.Gelombangnya begitu kuat, sampai-sampai aku susah tidur akibat memikirkannya. Akan tetapi, aku cukup tahu diri untuk tidak mengungkapkan padanya. Dengan tubuh super gendut yang kumiliki, gadis mana yang bersedia menerimaku. Andai pun mau, mungkin saat itu dia sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri alias terhipnotis.Yessi yang

  • Pernikahan Berselimut Noda   Buku Agenda Di Rumah Baru

    Hunian baru ini terdiri dari dua lantai. Warnanya didominasi oleh cat putih. Bentuknya simpel namun tampak elegan. Ada taman kecil di sekeliling rumah yang ditumbuhi oleh rumput jepang, menambah kesan asri pada hunian minimalis tersebut."Ini semua Mas yang nanem?" tanyaku begitu tiba di taman belakang rumah yang juga berbentuk minimalis.Mas Wira mengangguk. "Suka nggak?" "Suka sekali. Aku nggak nyangka Mas pinter soal tanam-menanam," pujiku.Terdapat beberapa tanaman hias di dalam pot-pot kecil yang ditata apik sedemikian rupa. Serta di pojok taman ada sebuah kolam ikan hias berbentuk mini, cantik sekali. Semuanya dibuat serba mini, namun itulah yang kusuka."Kamu suka rumah ini, Yessi?" Aku mengangguk secara antusias. "Rumahnya nyaman, Mas. Juga sejuk."Mas Wira tersenyum lalu memelukku dari belakang. "Semoga kamu betah tinggal di sini, ya?""Aamiin.""Boleh aku tanya sesuatu, Yessi?""Hm. Mas mau nanya apa?" tanyaku sembari agak mendongak, agar aku dapat melihat wajahnya."Tadi

  • Pernikahan Berselimut Noda   Perjanjian

    Tanganku panas dingin sambil duduk menunggu di ruang tengah dengan penuh ketegangan. Kesannya seperti menunggu salah satu keluarga yang sedang menjalani operasi. Namun, di dalam sana adalah keluarga Mas Wira yang sedang disidang oleh papi.Beberapa kali terdengar gebrakan meja. Aku takut jika terjadi keributan dan mereka berkelahi. Mami yang duduk di sebelahku kemudian meremas tanganku, seolah ingin mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Sementara Kak Yessa berdiri sambil menyilangkan tangannya, tubuhnya disandarkannya di sofa.Tak berapa lama, terdengar bunyi bel pintu. Itu pasti Bang Yossi. Barusan dia menelepon dan memberi tahu kalau akan datang ke sini. Bi Rum kemudian berlari tergopoh-gopoh guna membukakan pintunya.Bang Yossi kemudian menghampiri kami dengan tergesa-gesa. Ia datang sendirian tanpa membawa anak dan istrinya."Gimana?" tanyanya."Masih disidang." Kak Yessa yang menjawab sembari menunjuk ke ruang kerja papi menggunakan dagunya. Bang Yossi kemudian beralih memperha

DMCA.com Protection Status