Share

Luka Yessi

Author: Nay Dinanti
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Anak kurang ajar! tak tau malu! beraninya kamu mencoreng nama baik keluarga dengan aib yang kamu lakukan itu!" hardik papi saat itu.

Plak! Plak! 

Belum puas papi mencaciku kini tangannya melayang menampar pipi kanan dan kiriku, membuat mami menjerit histeris karenanya.

Sementara Yessa, kakak perempuanku yang karakternya cenderung tomboy, hanya melihatku dari kejauhan dengan tatapan sinis.

Abangku yang bernama Yossi terus menenangkan papi yang kalap. Kalau bukan karena ditahan Bang Yossi, mungkin aku sudah mati bersimbah darah karena ditusuk oleh beliau menggunakan pisau. 

Ya, papi sangat kalap menghajarku sampai berlari ke dapur dan mengambil pisau. Bang Yossi dengan sigap langsung menerjang papi yang hendak melukai putri bungsunya. Abangku yang memang dulunya seorang atlet taekwondo tak menyia-nyiakan kemampuannya itu. Entah bagaimana caranya pisau tersebut dapat terlempar dari tangan papi.

Sedangkan mami menjerit-jerit sembari memelukku, berusaha melindungi putri tersayangnya dari amukan papi. Aku sendiri hanya mematung tak bergerak dalam dekapannya. Rasanya sangat sulit untuk mencerna semuanya.

Rupanya aku yang belakangan sering muntah di pagi hari membuat orang tuaku menjadi curiga dan akhirnya mereka berinisiatif membawaku pada seorang dokter.

Aku sendiri yang memang belum menyadari jika telah berbadan dua, mendadak limbung begitu mendengar vonis dokter tersebut.

Duniaku serasa hancur saat itu juga. Masa depan yang telah kurancang dengan sangat baik di kepala, mendadak hilang begitu saja. Bekasnya pun tidak ada.

Belum hilang rasa syokku, papi mencaci dan menghajarku hingga bertubi-tubi. 

"Harusnya tadi Bang Yossi biarin papi bunuh Yessi, Mi. Biarin Yessi mati aja ditangan papi. Yessi udah bikin malu keluarga," ucapku lirih tak berdaya dalam pelukannya.

Mami yang mendengar hal itu langsung membekap mulutku. 

"Kamu bilang apa, hm? bilang apa barusan? jangan ngaco kalo ngomong. Mami nggak suka kamu ngomong gitu." Mami menangis sembari kian erat memelukku.

Sedangkan papi sudah dibawa masuk ke kamar oleh Bang Yossi untuk menenangkan dirinya.

"Kamu berbuat sama siapa, Nak? siapa yang udah melakukan ini sama kamu? apakah Bram?" tanya mami.

Aku menggeleng. Bram memang kekasihku. Tapi sudah dua minggu ini kami tidak bertemu karena dia keluar kota. 

"Lalu siapa? cerita sama mami, Nak ...," rintih mami pilu.

Sementara aku hanya diam. Lidahku kelu untuk bercerita. Rasanya semuanya sangat gelap, dan membuatku bingung bagaimana hendak menceritakannya dari awal.

Beberapa hari kemudian, Bram memutuskanku begitu saja melalui sebush chat setelah aku mengungkapkan semua yang terjadi padanya. 

Lagi-lagi aku tertawa miris. Lelaki yang kupercaya dengan baik setelah keluargaku itu  juga tega meninggalkan pada saat masalah besar sedang menimpaku. Padahal aku tak pernah memintanya untuk bertanggung jawab, sebab memang bukan dia pelakunya. Hanya sekadar berbagi beban, itu saja.

Brakk!! Brukk!!

Aku tersentak, dan lamunanku seketika buyar mendengar suara pot bunga dibanting. Disusul suara ibu mertuaku yang mengomel sembari menyindirku.

"Mending beres-beres, kerjaan cepet kelar dari pada bengong nggak jelas. Ujung-ujungnya kesambet setan! malah jadi nyusahin orang!" Mertuaku mengomel sembari meletakkan pot bunga dengan sangat kasar. Untung tidak pecah.

Karena tidak mendapatkan izin dari ibu mertua untuk berkunjung ke rumah orang tuaku, aku pun memutuskan duduk-duduk di teras. Tak terasa malah keterusan melamun.

Merasa tidak enak, aku pun dan bergegas bangkit untuk membantunya.  Meskipun sebenarnya aku juga bingung apa yang harus dikerjakan karena tidak ada yang salah dengan kebun bunga mini ini. Semuanya telah tertata cantik dan rapi karena setiap harinya ada tukang kebun yang datang merawat dan membersihkannya.

"Tuh! pot-pot pada dipindahin ke sana! kalo di sini nggak enak dipandang mata. Bikin jelek! sekalian cabutin rumputnya!" rutuknya lagi. Setelah puas mengomel, beliau pun beranjak masuk ke dalam.

Aku menarik napas dalam-dalam dan  kembali berlapang dada. Mencoba berpikir positif jika mungkin mertuaku bersikap seperti itu karena beliau belum mengenalku. Bukankah memang  sebagian orang memiliki karakter seperti itu?

Setelah lebih mengenal satu sama lain, baru sikap kakunya akan mulai melunak. 

Mobil Mas Wira memasuki halaman ketika aku sedang memindahkan pot ketiga. Tumben, jam segini dia sudah pulang. Padahal, selama seminggu menikah dengannya, paling cepat dia pulang jam 8 malam. Itu pun baru sekali.

Bibirku tersenyum ketika menyambutnya turun dari mobil. Meskipun senyumku hanya dibalas dengan raut wajah dingin serta alis yang bertaut. 

Mas Wira menghampiriku sembari menatapku dari atas hingga ke bawah. Membuatku turut serta mengikuti pandangannya dan melihat kedua tanganku yang belepotan tanah akibat mencabuti rumput-rumput kecil di dalam pot. 

"Kamu ngangkatin pot? siapa yang nyuruh?

 bukannya ada Pak Diman yang ngurusin kebun?" tanyanya dengan beruntun.

"Ma—" Ucapanku mendadak terpotong ketika ibu mertuaku berjalan keluar dengan tergopoh-gopoh.

"Eh, Wira udah pulang. Tumben hari ini cepet pulangnya, Nak?" mama tersenyum manis sekali sembari menatap putranya.

"Iya, Ma. Kebetulan kerjaan cepet siap hari ini. Ini kenapa Yessi yang ngerjain? memangnya Pak Diman hari ini nggak masuk?" Mas Wira gantian bertanya pada mamanya.

"Oh .... Ini Yessi udah mama larang nggak usah ngurusin kebun malah ngeyel. Udah Yes, nggak usah dikerjain. Nanti kamu capek." Mama kemudian merangkul dan membawaku masuk ke dalam rumah. 

Hmm, pintar bersandiwara rupanya.

Setelah berada di dalam rumah dan memastikan jika Mas Wira tak melihat, mama lalu mencubit lenganku dengan sedikit keras.

Sontak, aku pun memekik tertahan.

"Aww! sakit, Ma!"

"Makanya kamu jangan goblok jadi orang. Harusnya kamu langsung lari masuk ke dalam rumah waktu mobil Wira sampai!" omel mama dengan suara tertahan sembari memelotot tajam.

Aku menjadi serba salah tak tahu harus menjawab apa, karena kejadiannya memang begitu cepat. Tahu-tahu mobil Mas Wira sampai dan tak ada lagi kesempatan bagiku untuk lari.

Mama langsung berjalan ke dapur begitu melihat Mas Wira telah berdiri di ambang pintu. Aku pun bergegas mengikuti mama sebab ingin mencuci tanganku yang kotor.

***

Di kamar, aku sibuk mengusap lengan yang barusan dicubit oleh mama. Bukan apa-apa, kulitku sangat sensitif jika terkena benturan ataupun cubitan sedikit saja. Akibatnya,  warnanya akan langsung berubah menjadi kebiruan, dan baru hilang setelah beberapa hari.

Itulah sebabnya, ketika menikah dengan Mas Wira, riasan makeup-ku sedikit agak tebal. Tentunya agar dapat menutupi bekas tamparan papi yang tampak membiru di pipi. Meskipun sebelumnya aku pernah mempunyai cita-cita jika menikah nanti ingin menggunakan makeup tipis, agar terkesan alami.

Hal itu juga yang sempat menjadi pertanyaan Mas Wira tatkala dia datang melamarku. Saat itu kami diberi kesempatan untuk mengobrol berdua, agar bisa mengenal satu sama lain. Meskipun saat itu aku lebih banyak diam dan menunduk karena fokus pada luka lahir dan batinku.

"Itu kenapa?" tanyanya menunjuk pipiku.

"Ditampar papi" sahutku datar.

Raut wajahnya berubah menjadi rasa iba ketika melihatku. Namun bukan itu yang kubutuhkan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
membuat anak haram berani tapi membela diri g berani. ternyata si yessi type wanita pengumbar selangkangan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pernikahan Berselimut Noda   Mimpi Buruk

    Aku bergegas menoleh ke belakang begitu pintu kamar terbuka. Lalu tersenyum tatkala melihat suamiku masuk. Sembari berusaha menutup lebam di lengan kananku dengan pose yang seharusnya tidak mencurigakan sama sekali. Pria itu kemudian terlihat membuka jasnya."Mestinya tadi kamu nggak usah ngangkatin berat-berat seperti itu," ujarnya.Aku hanya memandangnya dari tempatku berdiri."Kamu tau kan, kalau itu bisa berakibat fatal sama kandungan kamu?" Mas Wira mulai membuka kancing kemejanya dan membuatku seketika membalik badan ketika ia melepasnya.Hmm. Sudah berani rupanya pria itu bertelanjang dada di depanku. Padahal sebelumnya ia akan memilih berganti baju di kamar mandi."Kenapa berbalik? bukankah kamu sudah terbiasa melihat tubuh polos lelaki?" Sindirannya sontak membuat tubuhku menegang. Hatiku serasa dikoyak. Kemudian darahnya mengalir tanpa henti. Luka itu basah lagi.Dadaku bergemuruh hingga tanpa sadar kedua tanganku mengepal. Aku pun memutuskan meninggalkan kamar, tak berni

  • Pernikahan Berselimut Noda   Rasa Trauma

    Siang ini, langit tampak cerah. Semilir angin sepoi-sepoi terasa menyapu ke wajahku. Harusnya aku bisa mengantuk karenanya. Namun lantaran benakku masih dibayangi perihal mimpi buruk semalam, alhasil aku pun menjadi agak sedikit ketakutan, hingga tak terpikir sama sekali agar kedua mataku bisa mengantuk.Sebenarnya, setelah Mas Wira menyelimutiku tadi malam, mataku menolak untuk dipejamkan lagi. Bagaimana tidak, mimpi buruk itu selalu datang setiap mataku mulai terpejam.Sungguh aku sangat takut sekali, namun sebisa mungkin kutahan. Untung Mas Wira tak melihatku sebab posisi tidurku yang membelakanginya. Setelahnya, kedua mataku pun tetap terbuka lebar hingga pagi menjelang."Dicariin ke mana-mana ternyata malah enak-enakan duduk di sini. Kamu ini ya! kerjaannya ngelamun terus tiap hari! jangan berpikir kamu bisa jadi tuan putri di rumah ini! Enak saja!" Lagi. Mertuaku mencerocos tiada henti seraya berdiri di ambang pintu. Aku pun bergegas bangkit dan berjalan mendekatinya."Ada yan

  • Pernikahan Berselimut Noda   Terpaksa Menginap

    Setelah dibujuk oleh Mas Wira sedemikian rupa, akhirnya aku pun bersedia ikut masuk ke dalam. Kami berdua kemudian duduk di lobby hotel guna menunggu seseorang yang Mas Wira maksud.Tak lama kemudian, pria setengah baya berjalan menghampiri kami. Mas Wira pun bangkit, demikian juga aku. Tangan Mas Wira terulur menyalaminya."Kenalkan, ini istri saya, Pak." Hatiku lagi-lagi kembali menghangat mendengar pengakuan Mas Wira barusan. Rasanya aku merasa dihargai dan juga diakui."Oh, Pak Wira sudah menikah ternyata. Saya kira ini tadi pacarnya," sahut bapak itu tersenyum sembari menjabat tanganku."Baru satu minggu lebih kami menikah, Pak," ucap Mas Wira."Wah pengantin baru ternyata," timpal sang bapak. Mereka kemudian membicarakan masalah pekerjaan. Aku menyibukkan diri dengan pura-pura memainkan ponsel agar tidak tampak terlalu menganggur. Meskipun hanya scrol-scrol tidak jelas karena ponselku kehabisan pulsa dan juga kuota internet."Sekali-sekali menginap di hotel ini, Pak. Cocok unt

  • Pernikahan Berselimut Noda   Pelukan Sang Suami

    Mas Wira kembali menutup pintu ketika karyawan hotel tersebut keluar setelah menata berbagai menu di atas meja.Sementara aku masih berdiri dengan dada yang naik turun menahan rasa emosi yang masih mengendap di ubun-ubun.Mas Wira menatapku sekilas, kemudian berjalan menuju meja yang kini terhidang berbagai menu lezat. Pria itu lalu duduk di kursi sofa."Temani saya makan, Yessi," ucapnya.Aku memalingkan wajah, merasa enggan menuruti permintaannya."Yessi!" panggilnya sekali lagi.Mau tak mau, aku pun berjalan ke arahnya. Kemudian duduk di sebelahnya dan memilih jarak agak jauh darinya.Mas Wira menggeser kopi beserta kudapan ke hadapanku.Keheningan menyertai kami untuk beberapa detik."Maaf untuk yang tadi. Aku memang sengaja melakukannya," ucap Mas Wira."Sebagai seorang suami, aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi denganmu." "Beberapa kali aku menemukanmu mengigau dalam tidur. Dan kamu juga tadi sangat ketakutan ketika aku membawamu ke sini. Aku yakin ini semua ada h

  • Pernikahan Berselimut Noda   Si Kaku Yang Lembut

    Ceezzzzz!Cezzzz!Samar-samar telingaku mendengar sesuatu yang disemprot. Sedetik kemudian, indera penciumanku menangkap aroma yang membuat perutku terasa mual dengan tiba-tiba.Refleks, aku pun bangkit dan langsung berlari ke arah wastafel, lalu muntah di sana.Mas Wira bergegas menghampiriku, niatnya ingin membantu memijit tengkukku. Namun kehadirannya justru semakin memperparah rasa mual di perutku.Tangan kiriku terangkat memberi isyarat padanya agar tak mendekat."Maaf ... maaf, Yessi!" ucapnya terdengar menyesal. Ia pun berjalan menjauhiku.Aku kembali berjalan ke arah sofa selesai mengeluarkan semua isi perutku. Tubuhku rasanya lemas, namun aku lega."Pakai masker." Mas Wira mendekat dan menyerahkan masker untukku. Aku segera memakainya. Tangan Mas Wira terulur mengusap perutku. Mendadak tubuhku seperti tersengat aliran listrik yang membuatku menegang selama beberapa detik. "Sepertinya bayinya tak suka padaku. Buktinya dia selalu menolak aroma parfumku," tuturnya.Aku tertawa

  • Pernikahan Berselimut Noda   Setitik Harapan

    Jantungku semakin berdetak kencang kala Mas Wira membelokkan mobilnya memasuki pelataran rumahnya.Tanpa sadar tanganku sampai meremas dress selutut yang sedang kukenakan. "Wah, wah! enak ya yang sedang berbulan madu," sindir mama mertuaku ketika kami memasuki pintu rumah."Bukan bulan madu, Ma. Kami terjebak hujan, mobil pun mogok. Bukannya Wira udah kasih tau mama di telpon? Ini aja tadi benerin mobil dulu baru belanja ke pasar," sahut Mas Wira menjelaskan."Iya, tau. Yang mama herannya kok kalian bisa barengan? apa Yessi nelpon kamu, ya?" sangka mama."Kemarin Wira mau ketemu klien, Ma. Nggak sengaja malah ketemu Yessi di jalan, katanya mau belanja.""Lagian, ngapain sih mama pakai nyuruh-nyuruh Yessi belanja segala? memangnya Bik Inah ngapain aja? bukannya biasanya yang belanja Bik Inah?" lanjut suamiku.Sementara aku terus menundukkan kepala sejak tadi."Eeee! enak saja kamu tuduh mama yang nyuruh dia belanja. Orang dia yang mau sendiri, kok!" sangkal mama dan langsung ngeloyor

  • Pernikahan Berselimut Noda   Yudha?

    "Mau makan dulu, atau belanja dulu?" tanya Mas Wira menawarkan pilihan ketika kami berdua memasuki pintu sebuah mall."Terserah Mas saja.""Hmm, sampai sekarang aku bingung kenapa wanita suka sekali mengeluarkan senjata ampuhnya itu," gumam Mas Wira."Hah? senjata apa, Mas?" Aku mengernyitkan dahi."Kata 'terserah'. Nggak mama, Rena, kamu, suka sekali bilang terserah," ucap Mas Wira."Terus, siapa lagi yang suka bilang 'terserah' ke Mas Wira?" godaku.Lelaki itu hanya tersenyum dan tak menjawab pertanyaanku. Aku juga tak berharap mendapat jawaban darinya. Niatku tadi hanya ingin menggodanya saja.Kami berdua pun menaiki eskalator. Mas Wira memutuskan untuk mengisi perut dulu. Alasannya, karena perempuan tidak boleh telat makan, begitu katanya. Aku hanya mengiyakan saja. Meski aku tidak tahu apa alasannya. Kalau lelaki berarti boleh telat makan, begitukah?Ketika sedang menunggu makanan tiba, tak sengaja pandangan mataku menangkap Bang Yossi yang juga tengah makan bersama dengan anak

  • Pernikahan Berselimut Noda   Menutupi Kehamilan

    Bibirku terus menyunggingkan senyum sembari berbaring di atas ranjang. Hatiku berbunga-bunga mendapati kenyataan bahwa Mas Wira ternyata terlalu peduli padaku. Menunggunya di atas ranjang adalah hal yang tepat kulakukan saat ini.Hingga lelaki itu keluar dari kamar mandi, setelah selesai membersihkan diri. Sebuah rutinitas yang biasa kami lakukan ketika akan mulai menyambangi alam mimpi.Ekor mataku seakan tak ingin lepas darinya. Aku merasa diriku ini mulai tidak waras karenanya. Aku menginginkan sesuatu yang lebih. Ya, lebih dari malam-malam kemarin selama kami menikah. Bagaimanapun, aku ini wanita normal yang butuh kasih sayang dari seorang suami. Bukan, bukan berharap melakukan aktivitas seperti yang biasa dilakukan oleh pasangan suami istri. Hanya ingin tidur di pelukannya seperti di hotel kemarin, itu saja. Akan tetapi, hingga Mas Wira selesai memakai piyamanya, pria itu malah tak mendekatiku sama sekali. Ia memilih beranjak ke sofa yang kini telah beralih fungsi menjadi tempat

Latest chapter

  • Pernikahan Berselimut Noda   Akhir Dari Sebuah Kisah

    Perlahan namun pasti, kedua mataku akhirnya terbuka. Aku lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menyadari bahwa aku tengah berada di sebuah ruangan yang tampak sangat asing.Sontak aku pun bangun dan terduduk, sembari berusaha mengingat kejadian yang telah menimpaku.Rasa takut kembali menyergap kala kusadari kedua tanganku sudah dalam kondisi terikat.Aku lantas berteriak meminta tolong, namun hanya suara gumaman yang berhasil keluar, mulutku disumpal kain.'Ya Allah, siapa yang telah tega berbuat jahat terhadapku? Apa salahku sampai orang itu tega memperlakukanku seperti ini?' Batinku menjerit.Air mataku sudah tumpah ruah saking takutnya.Di tengah rasa keputus-asaanku, mendadak terdengar suara pintu berderit, menandakan ada orang yang akan masuk. Seorang laki-laki berkepala plontos serta berpenampilan serba hitam telah berdiri di hadapanku. Perawakan dan gayanya persis seperti pemeran penjahat di film-film. Bibirnya yang berwarna hitam menyeringai kala menatapku. Ia lanta

  • Pernikahan Berselimut Noda   Seseorang Yang Menyergap

    POV Yessi."Mas, aku boleh nanya sesuatu sama kamu, nggak?" tanyaku hati-hati."Boleh. Mau nanya apa?" tanyanya seraya mengalihkan tatapan dari ponsel miliknya.Inilah salah satu yang kusukai dari Mas Wira. Sedikit pun tidak pernah merasa keberatan dengan pertanyaan yang hendak kuajukan. Tak peduli jika ia bisa menjawabnya atau tidak, bahkan apabila pertanyaannya itu akan menyinggung perasaannya, ia tak peduli. Yang pasti jika aku meminta izin mau bertanya, ia akan langsung memperbolehkan."Mas kenal sama Bram?" Lelaki itu tak langsung menjawab. Diletakkannya ponselnya di atas meja, lantas sorot matanya menatapku lekat."Kenal. Dia temanku."Jawabannya cukup membuatku terkejut. "Teman? Kok Mas nggak pernah cerita?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi. "Memangnya harus?" Dia malah balik bertanya sambil memamerkan senyum tipis."Eng ... ya nggak harus, sih. Cuman, kan ...." Aku sengaja tak meneruskan kalimatku. Rasa gugup membuatku bingung mengeluarkan kata-kata.Suamiku tertawa melih

  • Pernikahan Berselimut Noda   Yessiku

    Kudapati mama yang tengah duduk santai di teras sembari membaca majalah. Ia tampak terkejut melihat kedatanganku. Mungkin heran karena aku pulang cepat hari ini."Mana Yessi, Ma?!" tanyaku tanpa basa-basi."Nggak tau. Di dalem kali,"jawab mama acuh tak acuh. Ia kembali fokus menatap majalah.Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Tampak Bik Inah mendatangiku dengan tergopoh."Mas! Non Yessi nggak ada," ujarnya panik."Kok bisa? Mungkin di kamarnya?!" sahutku sambil bergegas menaiki anak tangga. Baru dua langkah, seruan Bik Inah sontak menghentikanku."Nggak ada, Mas! Bibik barusan ke kamar nggak ada juga. Non Yessi kabur. Tadi Rahma ngeliat Non Yessi keluar dari pintu samping." Bi Inah kembali menangis."Astaga! Kenapa nggak dilarang??!" Nada suaraku meninggi saking paniknya."Bibik juga nggak tau, Mas. Rahma cuman ngeliat sekilas tadi," jawab Bi Inah takut-takut."Mana Rahma?! Panggilkan dia, Bik!" titahku sambil memijat pelipis. Aku benar-benar tak menyangka jika situasinya akan jadi g

  • Pernikahan Berselimut Noda   Membuatnya Yakin

    Malam itu ponselku tiba-tiba berdering. Alisku bertaut menatap sebaris angka yang tertera di layar ponsel. Feelingku langsung tidak enak. Mungkin karena beberapa hari ini sering diteror.[Halo!] kujawab panggilan tersebut.Terdengar suara kekehan tawa seorang pria di seberang sana. Aku mengenali suaranya. Dia merupakan orang yang tempo hari menerorku. Kebetulan Yessi sedang keluar kamar. Aku bergegas menuju balkon sebelum ia kembali.[Breng*ek!! Aku tau siapa dirimu. Kau jangan macam-macam. Aku bisa melaporkanmu ke polisi!] ancamku.[Silakan. Aku tidak takut. Yang jelas kau harus tau mengenai satu hal, bahwa akulah yang pertama kali meniduri istrimu. Bukan kau! Sepertinya akan jadi menarik kalau aku juga meneror istrimu,] ejeknya seraya terkekeh.[Ba*ing*n! Jangan pernah ganggu istriku! Kau hanya bisa merusaknya saja! Ke mana pun kau lari, aku akan terus mengejarmu!][Haha! Kau pikir aku takut dengan ancamanmu. Kau harus tau satu hal! Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja! Te

  • Pernikahan Berselimut Noda   Mencari Peneror

    "Bram!" Pria itu lantas menoleh ketika aku memanggilnya. Senyum sinis mengembang di salah satu sudut bibirnya ketika melihatku."Sudah lama tidak kelihatan, sekali ketemu udah jadi suami orang. Gimana enak teman makan teman?" sindirnya.Rupanya ia telah mendengar kabar pernikahanku dengan Yessi. Entah dari mana dia tahu. Padahal kami tidak mengundangnya. "Kami dijodohkan. Aku juga tidak tau kalau jadinya akan seperti ini. Maafkan aku kalau kau tidak berkenan."Bram membuang ludah tepat di depanku. "Cuih! Jelas saja aku tidak berkenan. Tak kusangka kau ternyata seorang pecundang. Pagar makan tanaman. Kau tidak pantas disebut sebagai teman!" ucapnya marah. Setelahnya ia berlalu begitu saja. Padahal aku ingin bertanya sesuatu mengenai Yessi. Apakah sebelum kami menikah ia pernah bertemu dengan Yessi? Aku tidak menuduh Bram yang melakukannya. Namun, setidaknya ia pasti tahu ke mana saja Yessi pergi dan dengan siapa perginya sebelum peristiwa itu terjadi.***"Saudari Yessi mengalami t

  • Pernikahan Berselimut Noda   Segala Bentuk Asumsi

    "Dengar Wira! Saya titipkan anak saya. Dalam artian, saya tidak ingin kalau anak saya sampai terluka barang secuil pun," pesan calon ayah mertuaku sembari menyodorkan amplop cokelat tebal ke hadapanku.***Pernikahanku dengan Yessi memang berjalan lancar, namun tidak dengan hatiku. Rasa sesak terus-menerus kurasakan hingga napasku nyaris tersendat-sendat sepanjang kami duduk bersanding di pelaminan. Kulihat wajahnya muram. Ah, terang saja. Mungkin ia juga terpaksa menerima pernikahan ini. Karena setahuku ia juga masih memiliki kekasih. Berharap menikah dengan Bram, namun malah dijodohkan denganku. Tidak ada malam pertama. Menggauli gadis yang sedang mengandung anak orang lain, siapa yang selera? Yang ada, aku malah semakin merasa benci dengannya. Meskipun aku tak memungkiri jika ayahnya telah banyak berjasa pada keluargaku, namun tetap saja keegoisanku mengalahkan segalanya.Kami tidak tidur bersama. Aku memilih tidur di sofa, sementara dia kubiarkan tidur di ranjangku.Hingga pada

  • Pernikahan Berselimut Noda   Tentang Dia

    POV Wira.Aku mengenalnya sebagai seorang gadis yang ceria dan juga cantik. Pertama kali melihatnya adalah ketika ia menjadi salah satu siswi baru di sekolahku. Pada saat itu aku langsung tertarik padanya. Hingga secara kebetulan, aku dan dia saling berkenalan ketika kami sedang sama-sama menunggu jemputan sepulangnya dari sekolah."Yessi." Suaranya terdengar merdu ketika menyebutkan namanya.Keakraban pun terjalin di antara kami. Tanpa kusadari, rasa tertarik yang sebelumnya kurasakan, lambat laun tumbuh menjadi cinta. Meski aku juga pernah merasakan jatuh cinta pertama kalinya saat masih duduk di bangku SMP, namun entah mengapa kali ini rasanya amat berbeda.Gelombangnya begitu kuat, sampai-sampai aku susah tidur akibat memikirkannya. Akan tetapi, aku cukup tahu diri untuk tidak mengungkapkan padanya. Dengan tubuh super gendut yang kumiliki, gadis mana yang bersedia menerimaku. Andai pun mau, mungkin saat itu dia sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri alias terhipnotis.Yessi yang

  • Pernikahan Berselimut Noda   Buku Agenda Di Rumah Baru

    Hunian baru ini terdiri dari dua lantai. Warnanya didominasi oleh cat putih. Bentuknya simpel namun tampak elegan. Ada taman kecil di sekeliling rumah yang ditumbuhi oleh rumput jepang, menambah kesan asri pada hunian minimalis tersebut."Ini semua Mas yang nanem?" tanyaku begitu tiba di taman belakang rumah yang juga berbentuk minimalis.Mas Wira mengangguk. "Suka nggak?" "Suka sekali. Aku nggak nyangka Mas pinter soal tanam-menanam," pujiku.Terdapat beberapa tanaman hias di dalam pot-pot kecil yang ditata apik sedemikian rupa. Serta di pojok taman ada sebuah kolam ikan hias berbentuk mini, cantik sekali. Semuanya dibuat serba mini, namun itulah yang kusuka."Kamu suka rumah ini, Yessi?" Aku mengangguk secara antusias. "Rumahnya nyaman, Mas. Juga sejuk."Mas Wira tersenyum lalu memelukku dari belakang. "Semoga kamu betah tinggal di sini, ya?""Aamiin.""Boleh aku tanya sesuatu, Yessi?""Hm. Mas mau nanya apa?" tanyaku sembari agak mendongak, agar aku dapat melihat wajahnya."Tadi

  • Pernikahan Berselimut Noda   Perjanjian

    Tanganku panas dingin sambil duduk menunggu di ruang tengah dengan penuh ketegangan. Kesannya seperti menunggu salah satu keluarga yang sedang menjalani operasi. Namun, di dalam sana adalah keluarga Mas Wira yang sedang disidang oleh papi.Beberapa kali terdengar gebrakan meja. Aku takut jika terjadi keributan dan mereka berkelahi. Mami yang duduk di sebelahku kemudian meremas tanganku, seolah ingin mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Sementara Kak Yessa berdiri sambil menyilangkan tangannya, tubuhnya disandarkannya di sofa.Tak berapa lama, terdengar bunyi bel pintu. Itu pasti Bang Yossi. Barusan dia menelepon dan memberi tahu kalau akan datang ke sini. Bi Rum kemudian berlari tergopoh-gopoh guna membukakan pintunya.Bang Yossi kemudian menghampiri kami dengan tergesa-gesa. Ia datang sendirian tanpa membawa anak dan istrinya."Gimana?" tanyanya."Masih disidang." Kak Yessa yang menjawab sembari menunjuk ke ruang kerja papi menggunakan dagunya. Bang Yossi kemudian beralih memperha

DMCA.com Protection Status