"Oooo itu toh rupanya biang masalahnya!" seru seorang lelaki paruh baya yang membawa arit dari arah jalan, saat mendapati pemandangan yang seketika menyulut amarahnya. "Ada apa to Lek?" sahut seseorang di samping lelaki tadi, yang membawa cangkul. "Lihat tuh di dalam warungnya Mbokde Par, ada orang lagi mesum. Ayo tangkep saja!" sarkas orang pertama lagi. "Mosok to Lek!" tanya seorang lainnya yang hanya memakai caping sebagai penutup kepalanya."Wo iyooooo cah ..., Astaqfirulloh," ucap lelaki kedua yang memanggul cangkul membenarkan. Ketiga lelaki yang usianya sekitar setengah abad itu bergegas manghampiri sepasang muda mudi yang masih dalam posisi bertindihan, oleh sebab hujan yang begitu deras, membuat suara si gadis yg masih histeris berteriak-teriak, terdengar seolah melepas rintihan. Ketiga petani yang baru saja pulang dari sawah itu, tampak sangat marah dalam sapuan badai yang masih menggila."Ternyata kalian
Suara dering telpon dari gawai milik Rajasa, lama-kelamaan mengusik ketenangannya, yang sedang menghadiri acara resepsi pernikahan seorang rekan bisnisnya. "Siapa Pa?" tanya sang istri---Ningrum saat suaminya mengeluarkan benda pipih dari balik saku celananya. "Dewa, Ma," jawabnya membaca nama yang tertera pada layar handphonenya. "Ada apa?" "Entahlah Ma, tapi sedari tadi memang nelpon terus, tapi Papa abaikan, setelah Papa cek baru tau kalau Dewa yang telpon." "Coba di angkat, barangkali ada yang penting, kalau nggak penting, jarang-jarang kan anak itu telpon," sahut NingrumGegas, Rajasa melipir kesudut ruangan yang ramai tersebut, lalu menekan tombol hijau pada layar ponselnya, panggilan dengan Dewa pun tersambung. Ningrum menyusul sang suami, saat ia melihat perubahan raut wajah suaminya, dan memasang telinganya untuk mendengar percakapan dua orang laki-laki yang disayanginya itu. [Apa? Dipaksa menika
"Huuuuuu," teriak warga menyoraki Ningrum. "Nggak mikir apa anaknya yang berbuat mesum sembarangan, kampung kita bisa terkena murka Allah kalau sampai mereka nggak segera di nikahkan, enak saja, sudah, nikahi saja mereka, cepat Pak Dukuh," sarkas warga lainnya tak terima. "Iya nikahin saja mereka," timpal beberapa warga lainnya, yang membuat suara riuh di rumah Dukuh Paino kembali terdengar. "Maaf Pak, Bu, pernikahan ini harus segera dilakukan, warga benar-benar tak terima kampung kami dicemari, jadi saya selaku kepala Dukuh minta pengertiannya dari semua pihak yang terkait. Bagaimana," paksa Pak Dukuh secara tidak langsung."Untuk apa ditanyakan lagi Pak Dukuh, cepat nikahkan saja." "Iya nikah kan saja mereka sekarang juga." Seru warga bersahut-sahutan membuat suasana semakin riuh dan tegang. "Jadi bagaimana, Pak ... Bu, tolong jangan mempersulit posisi kami sebagai perangkat desa disini." "Kami ..
Jam menunjukkan pulul 21.15. Meski begitu, suasana dirumah Kepala Dukuh Tirto masih nampak ramai. Warga masih berkumpul ditempat disana, demi memastikan pernikahan dadakan itu tetap berlangsung. Gendhis sudah tampak cantik dalam balutan kebaya sederhana, dengan jilbab berwarna sedana dengan kebayanya. Gadis yang sebentar lagi akan menikah itu, kemudian memutar memorinya. Mengingat kejadian sore tadi yang dalam sekejap saja merubah nasibnya. Sore itu, Gendhis sangat bersemangat untuk berangkat kerumah pintar, sebab ia membawa beberapa judul buku cerita baru yang didapatnya dari sumbangan salah satu sahabat, dan sejak pagi Gendhis sudah sangat tak sabar ingin cepat sampai di rumpin. "Rasanya sangat membahagiakan ketika melihat wajah anak-anak itu berseri, dan tersenyum bahagia sebab bisa membaca judul cerita baru. Tak hanya itu dalam bayanganku juga anak-anak itu saling berebutan demi bisa membaca terlebih dulu, hal yang memang layak terjadi pada anak-anak namum terkadang membuat h
"Saya terima nikah dan kawinnya Gendhis Ayuningtyas dengan maskawin uang tunai senilai delapan ratus tujuh puluh ribu rupiah, dibayar tunai." ucap Dewandraru dalam satu tarikan nafas. "Gimana saksi? Sah?" tanya penghulu. "Sah!" jawab para saksi bersamaan. "Alhamdulillah." ucap penghulu diikuti hampir seluruh orang yang ada disana, kemudian dilanjutkan dengan doa. Tak terkecuali Dewa, tangannya menengadah keatas seolah ia sedang memanjatkan doa yang terbaik untuk pernikahannya, meskipun pada kenyataan ia justru sedang meruntuki dirinya sendiri, dan menyesali semuanya. "Alhamdulillah kalian sekarang telah resmi menjadi pasangan suami istri, kalau sudah begini kalian boleh melakukan hubungan suami istri dengan halal, hanya saja ingat, jangan juga disembaranga tempat, lebih baik jika dilakukan dirumah saja," ucap Dukuh Paino setengah menyidir. Seluruh warga yang mendengarpun bersorak bahagia, sebab diyakini dengan begini
Suasana hening dalam mobil yang membawa sepasang pengantin yang baru saja menikah.Wajahnya sendu, menggambatkan kesedihan yang tengah dirasakan oleh Gadis manis yang duduk disamping Dewa. Ia menatap kosong kearah depan. Sedangkan Dewa, wajahnya yang tampan menekuk, bak baju yang tak disetrika. "Andai saja tadi aku nggak nekat pergi bersepeda, mungkin semua ini nggak akan terjadi. Aku nggak akan digrebek massa bersama cewek yang tidak kukenal. Andai tadi saya mengizinkan Pak Joko untuk ikut, mungkin pernikahan ini nggak akan pernah terjadi. Dasar b**doh, kenapa juga tadi aku harus mampir ke gubuk itu. Sekarang, yang bisa aku lakikan hanya menyesali semuanya." batin Dewa meruntuki dirinya sendiri. Memorinya kemudian kembali berputar mengingat kejadian sore tadi. Meski awalnya Dewa merasa ragu, untuk pergi bersepada, dikarenakan langit yang sedikit mendung, namun pada akhirnya ia nekat untuk pergi juga. Ya,
"Saya minta maaf." ulang Dewa dengan sungguh-sungguh. Gendhis melepaskan lipatan tangannya, lalu menoleh pada Dewa, "Aku juga minta maaf, karena sudah bicara kasar sama kamu, maaf juga ya." Dewa tersenyum, lalu mengulurkan tangannya pada gadis disampingnya, Gendhis pun menyambut uluran tangan Dewa. "Sama-sama saling maafkan ya." Gendhis mengangguk, segaris senyuman tersungging di bibirnya. "Pikiranku kacau, yang terjadi pada kita sangat cepat, membuat saya nggak bisa mencerna semuanya dengan baik, hingga membuat saya bingung bagaimana harus bersikap." curhat Dewa begitu saja. "Aku paham, apa yang kamu rasakan, sama dengan yang aku rasakan.Hufftt," Gendhis membuang nafasnya kasar, lalu menyandarkan punggung dan kepalanya pada jok mobil. "Entah siapa yang salah, aku, kamu, kita, warga kampung, ataukah----." ucap Dewa memandang nanar kearah depan. "Keadaan, keadaan yang salah, dan kita sedang dipe
"Kita akan tidur seranjang?" tanya Gendhis, yang mendapati hanya ada sebuah ranjang berukurang medium di kamar itu. "Menurutmu?" tanya Dewa balik bertanya. "Tempat tidurnya hanya ada satu, jangan bilang kita---." Gendhis mulai cemas. "Nggak." jawab Dewa singkat, jelas dan padat. "Alhamdulillah, terus, aku tidur dimana?" "Kamu di tempat tidur, aku di sofa, tapi ingat jangan ngorok, aku nggak bisa tidur kalau ada yang berisik. Paham?" "Mana aku tau aku ngorok atau nggak, kan aku tidur," jawab Gendhis tanpa dosa, membuat Dewa seketika memandang tajam dirinya."Hehe," Gendhis tersenyum nyengir. "Ehm ... Mas." panggil Gendhis lagi. "Apalagi sih, saya ngantuk, mau tidur," jawab Dewa sengak."Aku boleh nanya lagi kan?" tanya Gendhis hati-hati. "Apa? Cepetan." "Jadi malam ini, kita nggak---." "Tidak," jawab Dewa tegas, yang tau arah pertanyaan gadis itu.