"Saya terima nikah dan kawinnya Gendhis Ayuningtyas dengan maskawin uang tunai senilai delapan ratus tujuh puluh ribu rupiah, dibayar tunai." ucap Dewandraru dalam satu tarikan nafas. "Gimana saksi? Sah?" tanya penghulu. "Sah!" jawab para saksi bersamaan. "Alhamdulillah." ucap penghulu diikuti hampir seluruh orang yang ada disana, kemudian dilanjutkan dengan doa. Tak terkecuali Dewa, tangannya menengadah keatas seolah ia sedang memanjatkan doa yang terbaik untuk pernikahannya, meskipun pada kenyataan ia justru sedang meruntuki dirinya sendiri, dan menyesali semuanya. "Alhamdulillah kalian sekarang telah resmi menjadi pasangan suami istri, kalau sudah begini kalian boleh melakukan hubungan suami istri dengan halal, hanya saja ingat, jangan juga disembaranga tempat, lebih baik jika dilakukan dirumah saja," ucap Dukuh Paino setengah menyidir. Seluruh warga yang mendengarpun bersorak bahagia, sebab diyakini dengan begini
Suasana hening dalam mobil yang membawa sepasang pengantin yang baru saja menikah.Wajahnya sendu, menggambatkan kesedihan yang tengah dirasakan oleh Gadis manis yang duduk disamping Dewa. Ia menatap kosong kearah depan. Sedangkan Dewa, wajahnya yang tampan menekuk, bak baju yang tak disetrika. "Andai saja tadi aku nggak nekat pergi bersepeda, mungkin semua ini nggak akan terjadi. Aku nggak akan digrebek massa bersama cewek yang tidak kukenal. Andai tadi saya mengizinkan Pak Joko untuk ikut, mungkin pernikahan ini nggak akan pernah terjadi. Dasar b**doh, kenapa juga tadi aku harus mampir ke gubuk itu. Sekarang, yang bisa aku lakikan hanya menyesali semuanya." batin Dewa meruntuki dirinya sendiri. Memorinya kemudian kembali berputar mengingat kejadian sore tadi. Meski awalnya Dewa merasa ragu, untuk pergi bersepada, dikarenakan langit yang sedikit mendung, namun pada akhirnya ia nekat untuk pergi juga. Ya,
"Saya minta maaf." ulang Dewa dengan sungguh-sungguh. Gendhis melepaskan lipatan tangannya, lalu menoleh pada Dewa, "Aku juga minta maaf, karena sudah bicara kasar sama kamu, maaf juga ya." Dewa tersenyum, lalu mengulurkan tangannya pada gadis disampingnya, Gendhis pun menyambut uluran tangan Dewa. "Sama-sama saling maafkan ya." Gendhis mengangguk, segaris senyuman tersungging di bibirnya. "Pikiranku kacau, yang terjadi pada kita sangat cepat, membuat saya nggak bisa mencerna semuanya dengan baik, hingga membuat saya bingung bagaimana harus bersikap." curhat Dewa begitu saja. "Aku paham, apa yang kamu rasakan, sama dengan yang aku rasakan.Hufftt," Gendhis membuang nafasnya kasar, lalu menyandarkan punggung dan kepalanya pada jok mobil. "Entah siapa yang salah, aku, kamu, kita, warga kampung, ataukah----." ucap Dewa memandang nanar kearah depan. "Keadaan, keadaan yang salah, dan kita sedang dipe
"Kita akan tidur seranjang?" tanya Gendhis, yang mendapati hanya ada sebuah ranjang berukurang medium di kamar itu. "Menurutmu?" tanya Dewa balik bertanya. "Tempat tidurnya hanya ada satu, jangan bilang kita---." Gendhis mulai cemas. "Nggak." jawab Dewa singkat, jelas dan padat. "Alhamdulillah, terus, aku tidur dimana?" "Kamu di tempat tidur, aku di sofa, tapi ingat jangan ngorok, aku nggak bisa tidur kalau ada yang berisik. Paham?" "Mana aku tau aku ngorok atau nggak, kan aku tidur," jawab Gendhis tanpa dosa, membuat Dewa seketika memandang tajam dirinya."Hehe," Gendhis tersenyum nyengir. "Ehm ... Mas." panggil Gendhis lagi. "Apalagi sih, saya ngantuk, mau tidur," jawab Dewa sengak."Aku boleh nanya lagi kan?" tanya Gendhis hati-hati. "Apa? Cepetan." "Jadi malam ini, kita nggak---." "Tidak," jawab Dewa tegas, yang tau arah pertanyaan gadis itu.
Butuh waktu 1.5 jam untuk Gendhis menyiapkan berbagai menu sarapan untuk seisi rumah suaminya, dibantu oleh bik Siti yang meracik racik bahan untuk dimasak. Meskipun Gendhis baru saja berkenalan dengan Bik Siti, tapi Art yang sudah bekerja lebih dari 15 tahun di kediaman Rajasa itu kini terlihat sangat akrab dengan menantu dirumah keluarga Rajasa. "Alhamdulillah selesai juga." "Makasih ya Mbak, kerjaan Bibik jari banyak dibantu, kalau tidak pasti belum selesai nih sebagain kerjaan Bibik lainnya." "Nggak apa apa Bik, saya justru sangat senang bantuin Bik Siti disini." Gendhis tersenyum senang, lalu mulai bergerak membereskan perkakas yang tadi digunakan untuk masak. "Biar Bibik saja yang beres-beres, Mbak Gendhis sudah banyak bantuin Bik Siti lho pagi ini, sudah ... sudah Mbak," Larang Art itu tak enak hati. "Saya bantuin cuci piring dulu ya Bik, nggak apa-apa Bik, dirumah saya juga terbiasa kok melakukam hal kaya gini," uca
"Kamu apaan sih Gendhis, ngagetin aja," keluh Dewa lalu bangun dari tidurnya dan duduk. "Bukannya makasih sudah dibuatkan kopi, malah gerutu." Gendhis mengomel. "Sini kopinya," pinta Dewa kasar, Gendhis pun memberikan secangkir kopi yang dibuatnya pada lelaki dihadapannya. Dewa mengambil kopi yang masih terlihat asap yang mengepulnya diatasnya, ia lalu menyesapnya pelan, menikmati secangkir kopi panas ditemani dengan seorang wanita yang bergelar istrinya. Ya, meski istri dadakan, namun keduanya ternyata cukup nyambung mengobrol, terbukti dengan keduanya yang langsung saja terlihat akrab. Gendhis kemudian bangkit dari duduknya lalu membuka semua gorden dan jendela yang menutupi kamar itu. "Ngapain dibuka sih Gendhis," keluh lelaki itu lagi. "Biar sinar mataharinya masuk Mas, biar sehat kamar kamu ini, lagian biar sirkulasi udaranya berganti, nggak pengap, apalagi bau-bau rokok kamu itu, supaya berganti dengan udara
"Iya hadiah pernikahan. Kenapa memangnya? Kok kamu seperti keberatan gitu sih, Dewa." tanya Ningrum dalam kebingungannya. "Ma, Pa, hadiah itu 'kan umumnya diberikan untuk sesuatu yang sifatnya bahagia. Tapi pernikahanku dan Gendhis kan karena terjebak dalam suatu keadaan. Bukan karena direncanakan. Jangankan bahagia, kami saja sebelumnya taj saling kenal. Jadi, mana bisa dapat hadiah?" "Aku setuju dengan Mas Dewa, Pa, Ma." timpal Gendhis membenarkan. "Iya Papa dan Mama tahu itu. Tapi bukannya pernikahan itu sudah terjadi. mau tak mau, suka tak suka, kalian sudah sah secara agama menjadi suami istri." "Cerai Pa, kami bisa cerai. Yang terpenting dimata warga disana 'kan kami telah menikah. Selanjutnya itu menjadi urusan kami. Gimana Ndhis, kamu setuju sama pendapatku juga kan?" Dewa meminta persetujuan. "Hah. Cerai? Aku jadi janda? diusiaku semuda ini? ya Allah ...." sahut Gendhis spontan. "Tuh kan, Dewa kamu jangan asal ya kalau ngomong. Kamu nggak kasihan sama anak orang, nggak
"Papa tidak berani janji, kita b saja kedepannya seperti apa." ucap Rajasa menjawab pertanyaan anak laki-lakinya. "Tapi kalau kalian tidak pergi berbulan madu, dari mana kami tahu kalau kalian memang telah berusaha mempertahankan rumah tangga ini. Kalian harus tetap berangakat ke Bali. Manfaatkan waktu yang kalian punya untuk saling mengenal lebih dekat dan saling menerima, siapa tahu nantinya rasa nyaman dan terbiasa perlahan akan kalian rasakan. Sekarang, mungkin karena diantara kalian masih kaku, jadi belum nyaman dengan kehadiran masing-masing." timpal Ningrum ikut menyampaikan pendapatnya. "Mama kalian benar, yang terpanting kalian berdua berangkat saja dulu. Urusan nanti, kita bahas dan lihat dari seiringnya waktu berjalan. Bagaimana?" Dewa menoleh ke arah gadis disampingnya. "Menurut kamu gimana?" Gendhis menggeleng pelan, matanya menatap sedig kearah suaminya. "Terserah kamu, Mas. aku bahkan nggak tahu harus gimana?" "Kamu mau kita menolak?" "Terserah. Bukan bulan madu
Dewa terbangun ketika suara alarm dari ponselnya berbunyi keras. Tangannya meraba meja kecil di samping sofa, mencari ponselnya dengan mata yang masih setengah terpejam. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia meregangkan tubuhnya, menyadari bahwa ia masih tidur di sofa di kamar hotel, terpisah dari ranjang besar di mana istrinya, beristirahat.Matanya perlahan terbuka, dan samar-samar ia menangkap sosok Gendhis yang sedang bersujud, lengkap dengan mukena berwarna putih tulang yang membalut tubuhnya. Dewa terdiam sejenak, memperhatikan gadis itu dalam hening. Gendhis sedang menunaikan shalat dhuha, begitu khusyuk hingga seolah-olah dunia di sekitarnya menghilang."Gadis ini memang berasal dari kampung, tapi kenapa setiap melihatnya aku merasakan ada ketenangan dan keindahan yang terpancar darinya, terutama saat ia sedang beribadah. Wajahnya tampak bersih dan bercahaya, mungkin karena sering terkena air wudhu." batin Dewa
Gendhis duduk di sofa ruang tamu, melipat kedua kakinya sambil memeluk bantal kecil. Matanya terus menatap jam dinding yang berputar perlahan, seakan menghitung setiap detik dengan cemas. Rasanya sudah hampir tengah malam, dan Dewa, lelaki yang kini resmi menjadi suaminya, belum juga kembali ke kamar mereka. Ia tak pernah benar-benar mengenal lelaki itu sebelum pernikahan mereka yang dipaksakan oleh keadaan. Bahkan, bisa dibilang, Dewa masih terasa seperti orang asing baginya.Namun meski begitu, ada rasa tak nyaman yang menggelayut di hati Gendhis. Apakah wajar menunggu seseorang yang nyaris tak ia kenal? Ia tak tahu mengapa, tetapi pikirannya terus saja bertanya-tanya ke mana lelaki itu pergi, dan kenapa belum kembali. Tidur sendiri di kamar terasa salah. Setelah beberapa kali membolak-balik posisi di atas tempat tidur, Gendhis akhirnya menyerah dan memilih menunggu di ruang tamu, meski kantuk perlahan menyerangnya."Ya Allah, kenapa
"Entahlah Mas, kalau aku jujur sih aku mau gunakan waktuku untuk memperdalam materi pelajaraan buat bekal aku ngajar juga, ya ... mencoba untuk mengisi waktu luang dengan hal-hal yang positif, sembari baca-baca mungkin, mumpung gratis juga kan karena ada wifi disini," ujar Gendhis tertawa. "Oh ya, aku hanya tau kamu seorang guru, tapi aku nggak tau kamu ngajar dimana dan kelas berapa. Sory ya, karena semua terjadi begitu cepat, sampai aku juga nggak banyak tau tentang kamu." Gendhis tersenyum, senyuman tipis namun sangat manis. "Nggak apa-apa kok Mas, aku juga hanya tau kamu seorang CEO sebuah perusahaan tapi nggak tau lebih jauh soal itu, bahkan tentang hidupmu lainnya. Maaf juga ya tadi aku sempat bilang kamu aneh, ya ... meskipun sampai saat ini aku masih belum percaya sih kamu masih perjaka tapi setidaknya alasan kamu tadi cukup buat aku tau sedikit tentang kamu.""Perkenalan kita memang tak biasa Ndhis, namun aku senang kita bertemu, setid
Dewa menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan, pandangannya kosong menatap jauh kedepan. "Dia marah padaku Dhis, bahkan dia menyalahkan aku, katanya, aku penyebab semua ini, padahal jika ditanya aku pun nggak mau berada dalam posisi seperti saat ini," ucap Dewa melemah. "Entahlah Ndhis, bagaimana akhir semua ini, yang aku tau aku sangat mencinta Rebeca, kekasihku," curhat lelaki berkharismatik itu."Aku paham Mas, kita semua tak ingin ada dalam Posisi ini, tapi kita bisa apa untuk saat itu. ya kan?" Dewa mengangguk setuju. "Hufftt, sama saja Mas, Bagas juga kalau kami lagi telpon ngambek melulu, mana mikirnya yang nggak-nggak tentang kita. Dia takut ..., takut kalau saja kamu---," ucapan Gendis terpotong oleh Dewa. "Dia takut aku menyentuh kamu, ya kan? takut aku melakukan kewajibanku memberimu nafkah batin? Aku tau itu." "Eeiitttss tapi kamu beneran kan Mas nggak ada niat itu kepadaku?" Dewa tersenyum si
Wanita yang kini berstatus Istri Putra Dewandaru ini, masih tak habis pikir atas perubahan statusnya dalam sekejap mata. Jodoh memang tak ada yang tahu, ternyata itu benar adanya. Gendhis dan Dewa yang sebelumnya telah memiliki pasangan masing-masing siapa sangka akhirnya harus menerima takdir mereka untuk bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan. Pagi itu, Gendhis duduk disebuah sofa yang menghadap keluar jendela kamar hotelnya. Ia termenung, memikirkan nasibnya yang dianggap sial, juga ide suaminya yang jauh dari kata normal itu. "Apa memungkinkan kalau aku mengajak mas Bagas kemari, apa dia mau?Sebenarnya ide mas Dewa cukup bagus juga, karena dengan begitu tidak akan membuat pikiran negative atau kecemburuan dihati pasangan kami. Tapi, sudah jelas ini adalah sebuah kesalahan, bagimana pun, aku dan mas Dewa sudah sah dihadapan Tuhan. Bukannya seharusnya aku menjaga marwahku sebagai seorang wanita bersuami?" batin Gendhis menggalau.
Gendhis mengambil minuman kalengnya. Dicucupnya seteguk, lalu melirik kearah Dewa yang juga nampak sedang kacau, "Pacarmu marah Mas Dewa?""Yaaa begitulah kira-kira," jawab Dewa masih dalam posisi kedua tangannya di atas rambut dan kepalanya,"Bagasmu juga kan?""Lebih dari itu. Dia juga terbakar cemburu. tadi aja sampai mukulin bantal lantai, sampai merintih kesakitan gitu deh, Ada tiga kali kayaknya.""Hah? Hahahaaaaaaaa." tawa Dewa. Baru kali ini Dewa terhibur dan melepaskan kedua tangannya dari atas rambut dan kepalanya."Wajar sih mereka sampai semarah dan secemburu itu.""Ya, Memang sangat wajar." Gendhis menyahut sambil menerawang ke langit-langit ruang santai itu. Keduanya pun kembali terdiam untuk beberapa saat."Aku punya ide." Dewa memecah keheningan dan wajahnya tampak berbinar, "Coba kamu pertimbangkan ya Dhis," sambungnya lagi."Ide? Soal apa?", Gendhis menoleh dan mengerenyit dahinya, penasar
"Koper dan barang bawaan lain saya letakkan disini Tuan," ucap Guest Helper hotel, "Ada lagi yg bisa saya bantu?" sambungnya dengan tanya."Eeeemm sementara cukup Mas," jawab seorang pria muda berbadan tegap ideal itu. "Eh sebentar Mas," sambungnya, seraya menolah pada seorang gadis tak jauh darinya. "Gendhis, Kamu butuh bantuan lain dari Mas Helper nggak?" tanya si pria tegap pada gadis manis yg baru saja masuk ke bagian kamar utama ruangan itu. "Nggak Mas Dewa, sudah cukup kok, selebihnya nanti aku bisa handle sendiri," jawab gadis manis itu seraya berjalan keluar dari kamar utama ke ruangan santai kamar hotel dimana Dewa, si Pria tegap itu, sedang dilihatnya memberikan satu atau dua lembar uang tip untuk si Helper.Kamar dari Hotel mewah yang sengaja di pilih untuk pasangan bulan madu ini memang cukup luas dan besar, selain ruang kamar yang terpisah, terdapat juga ruang tamu, ruang keluarga dan juga ruang makan, serta kamar mandi y
"Papa tidak berani janji, kita b saja kedepannya seperti apa." ucap Rajasa menjawab pertanyaan anak laki-lakinya. "Tapi kalau kalian tidak pergi berbulan madu, dari mana kami tahu kalau kalian memang telah berusaha mempertahankan rumah tangga ini. Kalian harus tetap berangakat ke Bali. Manfaatkan waktu yang kalian punya untuk saling mengenal lebih dekat dan saling menerima, siapa tahu nantinya rasa nyaman dan terbiasa perlahan akan kalian rasakan. Sekarang, mungkin karena diantara kalian masih kaku, jadi belum nyaman dengan kehadiran masing-masing." timpal Ningrum ikut menyampaikan pendapatnya. "Mama kalian benar, yang terpanting kalian berdua berangkat saja dulu. Urusan nanti, kita bahas dan lihat dari seiringnya waktu berjalan. Bagaimana?" Dewa menoleh ke arah gadis disampingnya. "Menurut kamu gimana?" Gendhis menggeleng pelan, matanya menatap sedig kearah suaminya. "Terserah kamu, Mas. aku bahkan nggak tahu harus gimana?" "Kamu mau kita menolak?" "Terserah. Bukan bulan madu
"Iya hadiah pernikahan. Kenapa memangnya? Kok kamu seperti keberatan gitu sih, Dewa." tanya Ningrum dalam kebingungannya. "Ma, Pa, hadiah itu 'kan umumnya diberikan untuk sesuatu yang sifatnya bahagia. Tapi pernikahanku dan Gendhis kan karena terjebak dalam suatu keadaan. Bukan karena direncanakan. Jangankan bahagia, kami saja sebelumnya taj saling kenal. Jadi, mana bisa dapat hadiah?" "Aku setuju dengan Mas Dewa, Pa, Ma." timpal Gendhis membenarkan. "Iya Papa dan Mama tahu itu. Tapi bukannya pernikahan itu sudah terjadi. mau tak mau, suka tak suka, kalian sudah sah secara agama menjadi suami istri." "Cerai Pa, kami bisa cerai. Yang terpenting dimata warga disana 'kan kami telah menikah. Selanjutnya itu menjadi urusan kami. Gimana Ndhis, kamu setuju sama pendapatku juga kan?" Dewa meminta persetujuan. "Hah. Cerai? Aku jadi janda? diusiaku semuda ini? ya Allah ...." sahut Gendhis spontan. "Tuh kan, Dewa kamu jangan asal ya kalau ngomong. Kamu nggak kasihan sama anak orang, nggak