"Berikan Kak Ridwan padaku, Kak." Mika yang mendengar ucapan adiknya yang santai itu melotot seketika. Ditatapnya Olip, sang adik, yang tampak sibuk dengan kuku-kuku jarinya. Mengagumi mereka yang baru saja mendapatkan perawatan."Kamu ngomong apa tadi?'' Mika memastikan apa yang baru saja dia dengar."Aku yakin Kak Mika mendengar dengan jelas,” balas Olip tenang. “Aku ingin Kak Mika memberikan Kak Ridwan untuk aku." "Gila kamu?" tanya Mika kemudian. Masih tidak percaya dengan yang ia dengar. "Yang kamu minta barusan itu orang loh, Lip. Pacar kakak. Bukan makanan.”Olip hanya mengedikkan bahunya tak acuh. "Aku hanya merasa kalau Kak Ridwan itu lebih pantas untuk aku ketimbang Kakak,” ucap Olip kemudian. “Makanya aku minta Kakak putus saja sama dia dan berikan dia padaku."Mika menunjukkan ekspresi tidak paham. Satu alisnya menukik naik."Dari mana kamu bisa mengatakan hal itu?" tanya gadis itu.Bagian mananya yang tidak pantas antara dirinya dan sang pacar? Olip mengembuskan napas
"A-ah–pelan-pelan, Kak Ridwan–" Tubuh Mika membeku. Suara familier yang disertai desahan itu membuat jantungnya berdebar tak karuan.Tidak … tidak mungkin–“Ah! Ya–umh, lebih cepat, Kak ….”Suara itu kembali terdengar. Mika mendekati sumber suara, sebuah pintu di mana dia tahu itu adalah kamar sang kekasih. Logikanya sudah bisa menduga apa yang terjadi di dalam, tapi hatinya menolak untuk percaya.Hingga perlahan, tangannya bergerak pelan meraih handle pintu lalu membukanya. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kekasihnya bergerak liar di atas tubuh sang adik tanpa memakai busana apa pun. Tanpa terasa air asin sudah jatuh membasahi pipi."Jadi ini kelakuan kalian di belakangku?'' ucap Mika kemudian dengan suara tertahan, tapi cukup keras untuk bisa didengar. Wajahnya sudah basah dengan air mata.Ridwan dan Olip yang mendengar itu pun terkejut. Ridwan langsung melepaskan penyatuannya dengan Olip dan bangkit. "Mi---Mika." Suara Ridwan terbata. Pandangannya mengedar dan l
“Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan pulang dalam penampilan seperti itu.”Mika tertegun. Bingung.Pria ini … apakah benar sedang peduli padanya.“Sudah. Aku keluar dulu.”“Tunggu.” Mika kembali menarik tangan Noval. Ia teringat pada kejadian di jalan tadi. “Lukamu … bagaimana? Ayo kubantu obati dulu.”“Hanya luka kecil.”“Tetap saja berdarah.” Mika menghapus sisa air matanya, mencoba memfokuskan diri pada hal lain. Perempuan itu sedikit memutar lengan Noval untuk melihat luka di siku pria itu, bekas terjatuh tadi. “Kan. Berdarah.” Ia mendongak. “Punya obat merah tidak?”“Tidak.”Mika menghela napas pelan. “Aku ke warung depan dulu,” katanya. Lalu sebelum Noval bisa menjawab, perempuan itu sudah bangkit dan berlari keluar dan kembali ke sisi Noval dengan obat merah dan plester luka.“Berlebihan,” komentar Noval. Namun, ia pasrah saja saat Mika membersihkan dan mengobati lukanya. Ekspresinya bahkan tidak berubah. Pria itu hanya menatap Mika dengan tatapan datar. Kemudian, Noval
“Noval mengatakan kalau ia ingin melamar Nak Mika.”Kalimat itu sontak mengejutkan tidak hanya kedua orang tua Mika dan Olip, melainkan juga Mika yang mau tidak mau mendengarnya karena antara kamar dan ruang tamu hanya dibatasi kain kelambu tipis saja.“Apa? Maksudnya bagaimana, Pak?”Mika langsung keluar kamar. Tangisannya tadi sudah hilang sempurna. Ia menatap Pak Heru dengan sepasang mata yang membola, terkejut dan bingung. "Kenapa Noval melamar saya, Pak? Noval kan pacarnya Olip?" tanya Mika dengan rasa bingung yang tidak bisa ditutupi.Padahal ia baru saja bertemu Noval tadi. Pria itu juga tidak mengatakan apa-apa. Kenapa tiba-tiba Noval melamarnya? Mika tidak habis pikir.Sedangkan Pak Heru sendiri juga merasa bingung. Dia menatap Pak Purnomo dan juga Mika secara bergantian. ''Sa–saya juga tidak tahu. Noval tadi hanya mengatakan kalau dia ingin saya melamarkan Mika untuk dia,'' ujarnya dengan jujur.“Mungkin salah, Pak.”Pak Heru menggeleng. “Saya dengan jelas dengar dia menye
“Penjaga toko dan tukang bengkel, sementara sebagai guru, Kak Ridwan cocoknya memang dengan aku, calon bidan.”Usai mengatakan itu, Olip meninggalkan Mika sendirian untuk pergi ke kamarnya.Sementara itu, Mika masih kebingungan. Ia baru saja memproses kekasihnya selingkuh dengan adiknya sendiri, lalu ternyata kedua orang tuanya sendiri rupanya mendukung perselingkuhan itu.Belum pulih dari dua hal tersebut, Noval, mantan kekasih adiknya, kini justru melamarnya tanpa mengatakan apa pun sebelumnya.Kenapa semua jadi seperti ini? Apa maksud Noval melakukannya? Apakah pria itu mau membalas Olip? Atau bagaimana?“Ah, pusing,” keluh Mika, menghapus sisa air matanya dengan kasar. Perempuan itu menghela napas. "Kenapa semuanya bisa menjadi serumit ini? Apa maksud Noval dengan melakukan ini?"Namun, tidak ada jawab untuk pertanyaannya. Bahkan hingga Mika terlelap larut, akibat memikirkan kemungkinan-kemungkinan mengapa Noval melamar dirinya, alih-alih Olip, pacarnya.***"Mika! Bangun!"Teria
“Lebih baik uang hajatan itu langsung diberikan pada kami karena kami menikah tidak lama setelah Kakak.” “Benar juga. Sebagai anak sulung, sudah sepantasnya membantu kebutuhan adiknya.” Respons sang ibu sendiri membuat Mika kembali tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Tapi, itu hanya jika Mika tidak keberatan, Bu,” ucap Ridwan, seperti tengah berperan sebagai pria baik-baik. “Jika tidak, mungkin kami bisa buat pesta yang lebih sederhana saja.” “Kak, tapi menikah kan hanya sekali,” ucap Olip sambil bergelayut manja. “Tidak apa-apa. Kak Mika pasti mengerti.” Ia menoleh pada Mika. “Iya kan, Kak?” Mika diam. Ia berusaha mengontrol kemarahan yang bergolak di dalam dadanya agar ia bisa menjaga wibawa dan nada bicaranya. “Iya, aku mengerti,” ucap Mika kemudian. “Tapi bukan berarti aku mengiakan.” Olip mengernyit. “Maksudnya? Kakak tidak mau membantuku?” “Aku pergi dulu.” Sebelum Olip lanjut bicara, Mika sudah berdiri. Ia menatap adiknya dan Ridwan dengan sorot mata jijik. “Kala
“Dua hari ini, kenapa kamu selalu muncul di depanku sambil menangis, hm?”Mika menghapus air mata di pipinya sekalipun itu sia-sia karena ia masih terus menangis.“Noval?” ucapnya dengan suara serak. Baru kemudian ia menoleh ke sekeliling, menyadari bahwa lokasinya saat ini tidak jauh dari bengkel milik Noval."Kenapa menangis di sini?" tanya pria itu kemudian. Mika kembali terfokus pada alasannya menangis saat ini dan hal itu membuat tangisnya makin keras.“Ck.” Noval berdecak, kemudian menarik napas panjang. Sepertinya kebiasaan Mika saat menangis memang demikian. Tapi bukan berarti ia akan memakluminya. "Nangis sih nangis. Tapi lihat sekitar. Kalau kamu menangis di pinggir jalan seperti ini bisa-bisa disangka gila."Meski mendengar itu, Mika tidak mampu menghentikan tangisnya. Padahal jika di rumah, ia tidak pernah bertingkah begini.Lalu kenapa selalu pria itu yang memergokinya dalam kondisi seperti ini?“Astaga,” gumam Noval, terdengar kesal, tapi juga pasrah. Pria itu kemudian
“Kenapa tiba-tiba kamu mengirimkan lamaran kemarin?” tanya Mika tiba-tiba. “Salah sasaran? Atau memang sengaja?”Wajah Noval tidak tampak terkejut, sekalipun topik itu cukup jauh dari curahan hati wanita itu beberapa saat yang lalu. Namun, sepertinya Noval maklum karena cepat atau lambat, Mika pasti akan bertanya. Namun, bukan berarti Noval ingin membicarakannya saat ini. Tidak saat Mika masih kelihatan ingin menangis."Tenangkan dirimu dulu, Mika. In–"Mika menggeleng cepat. "Tidak. Jawab pertanyaanku tadi,” ucapnya tegas. Sekalipun wajahnya masih sembab dan air mata masih mengancam turun, ada sorot yang tak bisa dibantah di matanya. “Apa pun rencanamu, itu melibatkanku.”Tatapan dan ucapan Mika yang tidak bisa dibantah membuat Noval menghela napas berat. Pria itu akhirnya memutuskan untuk duduk kembali.“Paling tidak, hapus dulu ingusmu.” Noval berucap dengan nada tak acuh seperti biasanya.Kali ini, Mika menurut. Ia mengambil beberapa lembar tisu yang tadi diberikan oleh Noval, m
Pagi hari di rumah tangga Olip kembali dipenuhi kegaduhan. Suara bentakan dan amarah terdengar dari dalam kontrakan, menyebar ke seluruh sudut kontrakan. Ridwan berdiri di depan kasur lipat dengan ekspresi marah, tangannya terkepal di sisi tubuhnya."Olip! Aku sudah bangunkan kamu tadi, sudah kasih uang buat belanja! Kenapa kamu masih tidur dan belum buat sarapan?" suaranya menggelegar, memenuhi ruangan.Olip mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan yang baru saja menyambutnya di pagi hari. Dia menatap Ridwan dengan mata yang masih mengantuk, malas beranjak dari tempat tidur."Aku capek," jawabnya lirih. "Kenapa aku yang harus masak? Kenapa kamu nggak beli saja di luar kalau memang butuh sarapan?"Ridwan semakin tersulut amarahnya."Kamu istri, tugasmu ngurus rumah! Apa susahnya bangun lebih awal dan masak buat suami sendiri?"Olip memalingkan wajahnya, enggan terlibat lebih jauh dalam pertengkaran yang sudah menjadi rutinitas mereka. Namun, sikapnya itu justr
Ridwan melangkah keluar dari rumah orang tuanya dengan wajah masam. Suasana tegang masih terasa di dalam rumah, terutama setelah Pak Eko, ayahnya, mengusirnya tanpa basa-basi tepat setelah sarapan. Dengan napas panjang dan langkah tergesa dia menaiki motornya untuk pergi, Ridwan terus menggerutu sepanjang perjalanan menuju kontrakannya.“Heran sama Bapak ini. Seperti nggak sayang sama anak sendiri. Anak ada masalah bukannya didukung malah diusir. Heran,” gumamnya sambil menarik gas dengan kencang dan lirih. Di kepalanya, percakapan panas dengan Pak Eko terus terngiang. Ridwan merasa diperlakukan tidak adil, seperti selalu menjadi kambing hitam dalam setiap masalah keluarga.Padahal dia yang salah memangSaat sampai di kontrakan, Ridwan mencoba membuka pintu, tetapi pintunya terkunci. Dia pun membuka dengan kunci cadangan. Namun, pandangannya langsung mengitari ruangan. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Olip, istrinya. Rumah yang biasanya dipenuhi suara Olip kini terasa sunyi senyap. Ri
Mika berdiri tegak di depan Pak Purnomo dan Bu Tuti yang terlihat sangat terkejut. Suasana di ruang tamu itu begitu tegang, hanya terdengar desahan napas mereka yang berusaha menenangkan diri. Mika menatap keduanya dengan tatapan yang tajam, seolah-olah sedang menimbang sesuatu yang besar.“Jika kalian tidak mau masalah ini menjadi lebih buruk, kalian harus berhenti melakukan apa yang kalian lakukan pada saya dan rumah ini,” ujar Mika dengan suara yang datar namun penuh ancaman. "Jika tidak, maka aku benar-benar akan melaporkan kalian ke polisi atas tuduhan perampasan aset rumah mendiang ibu kandungku."Pak Purnomo terdiam sejenak, wajahnya berubah pucat. Bu Tuti, yang berada di sebelahnya, langsung menggenggam tangan suaminya dengan ketakutan. "Mika ... kamu pasti tidak serius, kan?" kata Bu Tuti, suaranya terdengar gemetar. "Kami sudah merawat kamu sejak kecil. Tega kamu melakukan ini? Kamu pasti tidak akan melaporkan kami, bukan?"Namun, Mika hanya tersenyum sinis. "Kalian mungkin
"Gimana? Kamu suka?" tanya Noval ketika dia baru saja mengantarkan Mika untuk melihat-lihat rumah baru mereka.Mika tersenyum, dia masih mengedarkan pandangan ke segala ruangan mengamati interior yang dipakai oleh Noval. Dia baru saja berkeliling melihat kamar, ruang tamu dan juga dapur.Mika menatap Noval lalu mengangguk bersemangat. "Suka. Terima kasih, ya," ucapnya tulus. Sebenarnya Mika merasa malu saat ini, tetapi juga merasa bahagia."Ada yang kurang menurut kamu?" Noval bertanya."Ha?" Mika segera menggeleng. "Tidak. Tidak ada kok. Semuanya bagus. Aku suka," ujar Mika."Syukurlah. Aku sengaja mengosongkan rumahnya karena aku ingin kamu yang mendesain perabotannya. Adil bukan? Aku yang mendesain rumahnya, kamu yang mengatur rumahnya." Nival menjelaskan."Boleh?" tanya Mika bersemangat.Nova menggeleng. "Tentu saja. Kenapa tidak? Ini, kan rumah kamu juga.""Terima kasih." Mika benar-benar terharu."Sebenarnya, dulu aku berniat bertanya sama kamu mengenai rumah yang kamu inginkan.
Menguap lebar, Ridwan baru saja terbangun dari tidurnya. Dia duduk lalu menggaruk kepalanya yang terasa gatal dan merembet pada ujung bibir."Udah pagi aja," ujarnya ketika dia lihat kilatan cahaya dari sela-sela lubang ganteng rumah.Ridwan mengelus perutnya yang rata. "Udah laper aja." Dia pun bangkit lalu keluar daru kamar.Mengedarkan pandangan dia tak mendapati siapa pun di sana. "Sepi banget nih rumah," ujarnya kemudian. Dia memasang ekspresi berpikir kemna orang-orang di duma ini mengingat ini hari minggu.Ya. Meskipun Ridwan tidak bekerja, dia masih bisa mengingat hari. Biasanya, kan orang yang tidak bekerja akan lupa hari karena merasa itu tidak penting. Mau hari libur atau Tidak, dia juga tetap tidak bekerja.Mengedikkan bahu, dia bersikap acuh. "Biarin lah. Lebih baik aku cari makan saja," ujarnya kemudian yang berjalan menuju meja makan.Pria itu membuka tudung saji dan melihat makanan sudah tersedia di sana. Ridwan tampak menjilat ludahnya sendiri merasa tidak sabar untuk
Bu Tuti terkejut dengan perkataan Mika. "Mak---Maksud kamu?" tanya Bu Tuti kemudian. Dia tampak gelisah.Sedangkan Mika masih menatap ibu tirinya lamat-lamat. "Iya. Ibu mau ngusir aku dari rumah aku sendiri?" Mika kembali mengulang pertanyaannya."Siapa yang bilang begitu?" Bu Tuti mengelak. Dia menggeleng pelan. "Ibu tidak mengusir kamu kok," ujarnya kemudian. Akan tetapi Bu Tuti tidak berani menatap Mika.Namun, beberapa detik kemudian dia kembali menatap putri tirinya itu. "Ibu itu hanya memberi saran sama kamu. Secara kamu, kan sejak lahir berpisah dari keluarga kandung kamu. Dan sekarang sudah bertemu. Apa salahnya kalau kamu tinggal bersama mereka? Bukankah itu lebih baik?""Terserah Mika dong mau tinggal di mana." Mika memberi jawaban yang membuat Bu Tuti kesal.Namun, Bu Tuti menahanya. "Kasihan, Mika nenek kamu. Dia Pasti ingin sekali tinggal sama kamu. Apa salahnya kamu memberi kebahagiaan untuk nenek kamu?""Pertama." Mika mengangkat satu jarinya. "Terserah Mika mau tinggal
"Sumpah. Ibu nggak pernah menyangka kalau keluarga kandung mendiang ayahnya Mika akan datang, Pak," ujar Bu Tuti dengan menggeleng pelan.Pasangan suami istri itu tengah duduk di ranjang kamar Olip sembari menjaga anak mereka yang masih belum sadarkan diri. Mereka menatap ke depan sembari memikirkan apa yang baru saja mereka lewati."Bapak juga, Bu," sambung Pak Purnomo. Pria itu menunpu dagu pada kepalan tangannya."Mengingat bagaimana hubungan mendiang orang tuanya Mika dulu, rasa-rasanya seperti mustahil kalau mereka akan memikirkan satu sama lain," lanjut Pak Purnomo."Ya, kan tapi dulu yang marah akan hubungan kedua orang tua Mika itu yang pria, Pak. Kita dengar sendiri tadi kalau dia sudah meninggal." Bu Tuti berujar dengan ingatannya akan pemicaraan Mika tadi."Bisa jadi, Bu. Neneknya juga, kan yang mencari. Apalagi neneknya tadi sedang sakit, bukan?"Dua orang itu mengangguk beberapa kali. Tiba-tiba saja Bu Tuti mengingat sesuatu. "Pak. Kira-kira Mika akan tinggal di rumah kel
"Lah? Dia pingsan?" Para warga menatap heran Olip."Dia kenapa?" tanya pria yang tadi datang bersama perempuan tua yang memanggil Mika cucu."Biasa itu, Om. Drama queen lagi tantrum," ujar Sinta yang sudah berhasil menguasai rasa terkejutnya melihat adegan sang sahabat bersama orang-orang yang baru dia lihat keberadaannya."Astaga. Ada-ada saja." Pria bernama Andra itu menggeleng pelan menatap Olip.Sedangkan Bu Tuti yang melihat putrinya tak sadarkan diri langsung panik. Dia berjongkok di samping Olip. "Olip. Olip. Bangun Olip. Bangun. Kamu kenapa pingsan di sini sih?" Astaga. Itu pertanyaan macam apa? Bukankah orang pingsan tak bisa merencanakan di mana dia akan pingsan?"Aduh." Bu Tuti pun langsung menatap orang-orang yang berkumpul di depan ruang baru Mika."Hei kalian! Kenapa diam aja sih? Bantuin dong. Angkatin kek minimal," ujar Bu Tuti yang merasa mesa sebab anaknya pingsan malah dilihatin saja tanpa ada yang membantu.Para warga saling tatap satu sama lain. "Kita tolongin jan
Bu Tuti dan Olip sama-sama melotot dan membuka mulutnya lebar-lebar kala semua warga bersorak seiring bersamanya banner yang sejak tadi ditunggu kini sudah terbuka menampilkan sebuah tulisan yang tidak bisa dia percaya."Jadi itu beneran rumah mereka?" tanya Olip kemudian. Entah kenapa tiba-tiba saja dia merasakan panik saat ini.Mata perempuan itu tiba-tiba saja berkaca-kaca, dia menggeleng pelan dan meremas rambutnya dengan kasar. "Tidak mungkin!" teriaknya kemudian.Dia menatap ibunya dengan tangis yang mana air matanya sudah berjatuhan banyak. "Bu. Tidak mungkin, kan, Bu? Tidak mungkin, kan itu rumah Noval dan Kak Mika?" Dia bertanya pada ibunyaSedangkan Bu Tuti yang mendengar pertanyaan putrinya pun merasa bingung harus menjawab apa. Dia menatap putrinya yang menangis lalu menatap kumpulan para warga yang ikut Noval memberi kejutan pada Mika."Em ... em ...." Bu Tuti bingung harus mengatakan apa. Mau dibilang tidak pun nyatanya itu memang rumahnya Noval dan Mika."Bu. Kok diam s