Noval duduk di ruang tamu bersama papanya, yang sedang membaca koran. Suasana sore itu tenang, hanya terdengar suara burung berkicau di luar jendela."Mika sudah bertemu dengan keluarga kandungnya. Mereka menerima keberadaannya dengan sangat baik."Untuk ejenak, papanya Noval terdiam. Kemudian, dia menghela napas lega dan tersenyum. "Syukurlah. Itu berita yang sangat baik, Nak. Aku tahu selama ini dia mencari keluarganya. Jika mereka menerimanya dengan baik, itu berarti dia bisa merasakan cinta yang seharusnya dia dapatkan sejak dulu."Noval mengangguk. "Iya, Pa. Aku juga senang untuknya.Papanya Noval menarik napas dalam. "Itu artinya, kamu juga harus segera mengatakan pada Mika tentang kamu yang sebenarnya." Dia menasihati Noval.Noval tersenyum tipis, walaupun ada sedikit keraguan di matanya. "Aku akan menunggu waktu yang tepat, Pa. Aku ingin melakukannya dengan cara yang tidak menyakitinya. Aku tidak ingin dia merasa dikhianati atau kecewa."Papanya Noval mengangguk dengan penuh p
"Kamu ngapain sih nutup tokonya buru-buru amat?" tanya Mika ketika melihat Sinta menutup toko mereka, sedangkan Mika sendiri sedang menunggu mie ayam yang mereka pesan dibuatkan.Sinta baru saja selesai mengunci toko dan dia kini berdiri di samping Mika. "Aku sudah nggak sabar tahu, Mik. Aku nggak sabar untuk mendengarkan cerita kamu tentang keluarga kandung kamu itu. Udah sejak beberapa hari lalu aku menunggunya karena kamu nggak masuk. Dan tadi, waktu aku mau tanya sama kamu, toko lagi banyak orang. Jadi, aku putuskan untuk menundanya lagi. Bisa bayangkan nggak betapa stresnya aku menunggu hal ini?" jelas Sinta panjang kali lebar.Mika terkekeh. "Yelah gitu aja. Lagian nih mie ayam kita juga belum selesai," ujar Mika menunjuk ke arah penjual mie ayam keliling yang sedang meracik pesanan mereka.Sinta langsung menatap ke arah penjual mie ayam. Dia menepuk pundaknya. "Cepetan, Bang. Kami sedang dikejar deadline kehidupan," ujarnya kemudian."Kamu ini." Mika menggeleng pelan. Tak lama,
Definisi tambeng adalah Olip. Mika sudah mengatakan pada perempuan itu untuk tidak sering-sering datang ke sini. Akan tetapi, Olip masih saja datang seolah lupa apa yang dikatakan Mika padanya.Dia memarkirkan motor miliknya di depan pintu rumah kedua orang tuanya. Pandangan Olip jatuh pada keberadaan Mika dan temannya yang menyebalkan bernama Sinta yang sedang asyik makan di teras rumah baru kakaknya. Bagi Olip Sinta memang menyebalkan."Dih. Dasar. Enak-enakan makan sama temen di teras rumah. Nggak mikirin adiknya yang lagi kesusahan sampai tinggal di kontrakan kumuh, kecil dan sempit. Dasar. Kakak egois." Olip menggerutu.Membuang muka, dia pun langsung berjalan cepat memasuki rumah kedua orang tuanya karena merasa tidak tahan melihat sesuatu yang membuatnya panas."Ibu?" panggil Olip ketika melihat ibunya yang sedang makan di depan tivi. "Makan apa tuh?" tanya Olip. Dia duduk di kursi yang ada di samping ibunya sembari mengintip isi mangkok yang ada di tangan ibunya."Mie ayam,"
"Aku mau cerita," ujar Mika ketika melihat suaminya yang baru saja menyelesaikan makan malamnya. Noval baru saja pulang sedangkan Mika tidak makan karena dia masih merasa kenyang setelah makan bersama Sinta tadi sore."Apa?" Tanya Noval. Pria itu menyilangkan kaki di atas ranjang dan menatap Mika."Tapi Om Andra dan Nenek datang." Dia berujar."Oh iya?" Sebenarnya Noval tidak terkejut. Dia tahu mereka pasti akan sering datang mengingat istrinya ini yang menolak untuk tinggal di rumah keluarga Saseka."Mereka membicarakan sesuatu? Atau mau Membujuk kamu kembali untuk tinggal bersama?" tanyanya kemudian.Mika menggeleng. "Mereka tidak membujukku untuk tinggal di ruang Saseka. Tapi, Nenek mau memberi aku mobil dan sopir," ujarnya kemudian.Noval tampak mengangguk beberapa kali. "Lalu?""Ya aku bum menerimanya. Aku bilang sama Nenek kalau aku akan membicarakannya sama kamu dulu." Dia berujar dengan jujur.Noval tersenyum. Dia senang dengan keputusan Mika yang akan membicarakan perihal in
"Jadi hari ini?" tanya Mika. Dia memberikan jus jeruk yang diinginkan Noval di hadapan pria itu. Noval menganngguk. "Terima kasih." Dia menerima jus jeruk buatan istrinya lebih dulu dan meneguknya sedikit. Setelahnya dia kembali mengangguk. "Iya jadi. Makanya aku tidak pergi ke bengkel." Noval menjawab. "Ya sudah. Kalau begitu aku siap-siap dulu." Mika melihat suaminya yang hanya mengangguk. Dia pun lekas pergi ke kamar untuk bersiap-siap. Sedangkan Noval memilih untuk sibuk dengan ponselnya. Namun, tak lama Mika sudah keluar dari kamar. "Yuk," ajak Mika. Noval mengangguk. "Yuk." Memasukkan ponsel pada saku celana, meneguk minumannya hingga tandas, dia langsung bangkit dari duduknya. "Kalian mau ke mana?" tanya Bu Tuti ketika melihat Noval dan Mika keluar bersama. Bukan hal aneh mereka keluar bersama. Anehnya, Noval berpakain normal, bukan pakaian bengkel yang penuh dengan Oli. "Kami mau beli perabotan untuk rumah baru, Bu," ujar Mika. "Oh." Hanya itu jawaban dari Bu Tuti. Dia
Noval dan Mika sampai di rumah keluarga Saseka. Setelah berbelanja hanya barang, keduanya memang menyempatkan diri untuk mampir ke rumah ini, karena Mika ingin membicarakan perihal mobil dan sopir yang kemarin ditawarkan oleh neneknya. "Kalian datang." Nyonya Saseka menyambut bahagia kedatangan cucunya. Mika pun langsung mendekati neneknya yang sedang duduk di sofa lalu memeluk sang nenek. "Selamat siang, Nek," ujar Mika. "Kamu kok nggak ngomong dulu kalau mau ke sini. Kan Nenek bisa minta pelayan masakin makanan buat kalian," ujarnya menatap Mika dan Noval secara bergantian. "Ah. Nggak usah, Nek." Pandangan Mika mengedar. "Om Andra mana?" "Om kamu ya lagi kerja." Nyonya Saseka berujar. "Kalau Tante?" "Lagi ngajar. Sepertinya sebentar lagi pulang." Nenek Saseka mengelus pundak cucunya. "Duduk gih. Kita ngobrol." Nenek Saseka menunjuk sofa sebelahnya. Dia juga meminta pelayan untuk membawakan camilan serta minuman. "Kalian ini habis dari mana? Atau dari rumah mau ke rumah Nene
Mika mendekati ibunya dengan uang yang ada di tangan. pagi ini, Bu Tuti harus belanja ke pasar untuk membeli semua bahan makanan yang akan disajikan di acara syukuran rumah Mika nanti. Dia sudah membawa kertas berisi tulian daftar apa saja yang harus dia beli untuk ditunjukkan pada Mika. "Ini. Bahan-bahan yang harus dibeli." Bu Tuti memberikan kertas di tangan pada Mika. Mika mendorong tangan Bu Tuti kembali. "Sudah. Mika percaya sama Ibu. Ibu pasti lebih paham soal ini," ujarnya kemudian. Jujur saja, ada sedikit hal yang terasa aneh di hatinya kala mendengar Mika mengatakan hal itu. Mengedipkan mata beberapa kali, dia pun berdehem. "Ya sudah." Dia kembali melipat kertas berisi daftar belanjaan. "Ini uangnya, Bu untuk beli bahan masakannya," ujar Mika dengan memberikan lembaran kertas berwarna merah bergambar dua pria karismatik berpeci dengan senyum yang sangat menawan. Bu Tuti yang melihat itu langsung melotot. Bibirnya menyunggingka senyum lebar. Dia merasa segar melihat banya
"Ke mana sih si Ridwan ini? Udah beberapa hari kok nggak datang. Biasanya datang cari makanan?" tanya Bu Lestari yang merasa bingung karena tidak melihat Ridwan datang beberapa hari ini."Kan mau ada yang aku tanyakan," ujarnya sekali lagi. Dia bahkan mondar-mandir di ruang tamu sembari menggigit jarinya.Suara motor terdengar mendekat. Bu Lestari tahu itu suara motor siapa. "Itu suara motor Ridwan," ujarnya semangat.Bu Lestari pun dengan bersemangat langsung keluar dari rumah. Dia tersenyum melihat putranya memarkirkan motornya."Kamu ini ke mana aja sih, Wan? Kok dua hari ini nggak ke sini?" tanya Bu Lestari.Ridwan yang mendengar perkataan ibunya pun mengerutkan keningnya, merasa heran dengan ibunya. "Ada apa memang, Bu?" tanyanya kemudian."Ada yang mau ibu tanyain," ujar Bu Lestari. Dia langsung meraih tangan Ridwan dan menariknya memasuki rumah dan mengajaknya duduk."Ibu mau tanya," ujar Bu Lestari kemudian.Ridwan berdecak. "Nanti aja deh, Bu. Ridwan laper nih. Pengen makan,"
Keluarga Noval dan juga neneknya Mika saling mengobrol bersama di sebuah ruangan yang terpisah dengan tempat acara syukuran berjalan. Kedua keluarga berkenan dan bercerita mengenai kilas balik.Mika dan Noval memasuki ruangan. "Maaf, ya. Kami baru bisa menemani," ujar Mika merasa bersalah."Tidak apa. Namanya juga lagi punya hajatan. Pasti sibuk ngurusin para tamu." Nenek Saseka berujar dengan senyuman.Nyonya Maysa tersenyum. Dia menepuk punggung tangan Mika. "Semoga di rumah baru ini hubungan kalian semakin erat," ujarnya mendoakan yang terbaik."Dan yang pasti, semoga kalian segera mendapat momongan," lanjutnya dengan senyuman mengembang.Noval yang mendengar itu langsung menatap papanya di mana sang papa hanya memberikan senyum miring di sana."Benar tidak Nyonya Saseka?" tanya Nyonya Maysa pada nenek Mika."Betul itu. Saya juga pengen segera dapat cicit dari Mika. Saya sudah tua. Harus cepet. Takutnya keburu diambil sama yang maha kuasa." Nyonya Saseka berujar.Mika yang mendenga
Bu Tuti yang kepikiran mengenai Olip setelah mendapat pertanyaan dari beberapa tetangganya tadi gegas menuju tempat paling belakang agar tida diketahui orang. Tidak. Dia bukannya ingin berbuat curang. Dia hanya ingin mencoba menghubungi Olip karena merasa heran putrinya itu bum datang juga. Padahal, dia sudah memberitahu mengenai acara ini."Jangan-jangan dia beneran tidak mau datang lagi. Kemarin, kan dia bilang gitu." Bu Tuti mulai berkutat dengan ponsel miliknya, mencari nomor milik Olip dan mencoba untuk menghubunginya.Panggilan pertama tidak mendapat jawaban meski dia tahu kalau nomor Olip aktif. Hingga percobaan ketempat, dia pun akhirnya bisa mendengar suata Olip. Bu Tuti terlihat lega akan hal itu."Olip. Kamu ini ke man aja sih? Dihubungi dari tadi coba," ujar Bu Tuti yang langsung mengomel. Padahal beberapa saat lalu dia terlihat khawatir."Maaf, Bu. Tadi Olip dari kamar mandi. Ibu tahu sendiri kalau kamar mandi di kontrakan ini harus antre." Olip berujar dari seberang sana
Acara syukuran rumah Mika berlangsung. Jika siang ini diperuntukan untuk para ibu-ibu, naka di acara malam nanti akan diperuntukan untuk para bapak-bapak. Biar tidak tercampur begitu. Terlihat Bu Tuti yang tampak sibuk dan juga kerepotan karena perempuan itu memang diserahi tugas untuk mengatur makanan oleh Mika. Bukan karena semangat, tetapi diahanya tidak ingin kalau acara ini apan memiliki masalah pada makanannya karena itu akan menjadi hal yang tidak baik nantinya. Para tamu sudah datang. Mereka mulai pengajian dengan seseorang yang memimpin. Namun, kita tahu kalau seperti ini pasti ada saja beberapa orang yang tidak fokus. "Bu Tuti tumben giat gitu bantuin Mika." Ya. Beberapa ibu-ibu malah salfok sama keberadaan Bu Tuti yang terlihat sangat sibuk mengatur menu yang ada di acara syukuran ini. "Iya. Dia seperti paling sibuk ngatur menu sejak tadi." 'Tumben. Kan ini acaranya Mika." "Memang kenapa kalau acaranya Mika?" tanya salah satu ibu-ibu yang sejak tadi mendengar pembicar
Olip meringkuk ketakutan. Dia menunduk sembari menangis, sesekali melirik ke arah keberadaan suaminya dengan tubuh bergetar. Bagamana tidak? Ridwan yang biasanya akan selalu menurutmu kemauannya, selalu mengalah kikadia marah, kini berubah seratus delapan pukul derajat. Bahkan kini Olip sangat ketakutan melihat suaminya itu. "Enak?" tanya Ridwan dengan senyum miring. Pria itu pun bangkit lalu mengenakan pakaianya secara cepat semampu melirik sinis ke arah Olip. Terlihat ekspresi penuh kepuasan di wajah pria itu. Setelah mengenakan pakaiannya dengan lengkap, dia pun mendekati Olip. Hal itu membuat Olip kembali merasakan takut. Dia menarik tubuhnya untuk semakin merapat ke dinding yang ada di belakangnya. Sedikit gerakan saja dia sudah berdesis. Olip merasakan kesakitan di sekujur tubuhnya karena mendapat penyiksaan dari Ridwan. Yang paling parah adalah bagian intinya karena Ridwan sudah menggangg*hinya secara brutal dan kasar. "Jangan," bisik Olip. Ridwan pun hanya terkekeh. Tak
Ridwan merasa marah dan kesal dengan insiden yang terjadi padanya di warung kopi tadi. Niat hati bertemu teman lama yang dulunya sama-sama bekerja mejadi guru, dia malah dipermalukan oleh ibu mertuanya. "Sial*n! Kurang ajar sekali orang tua itu. Berani-beraninya dia mempermalukan aku di tempat umum," ujar Ridwan yang terus menggerutu sepanjang perjalanan tadi. "Mana pukulannya sakit semua lagi?" Dia masih di atas motor menuju kontrakannya. Sesekali Ridwan melihat lengannya yang tadi juga terkena pukulan dari Bu Tuti. Terlihat beberapa ruam di sana akibat cubitan juga. Tiba-tiba pandangannya menajam lurus ke arah depan. Giginya bergemerut satu sama lain menandakan amarah pria itu. "Olip" Dia mengucapkan nama istrinya dengan suara menggeram. Kilat emosi terpancar di sorot matanya. Entah seberapa marah pria itu saat ini. "Awas saja kau Olip. Kau sudah membuat aku dipermalukan oleh ibumu di tempat umum. Tungu saja pembalasanku," ujarnya kemudian. Meski sejak dipukuli tadi dia terus
Tepat ketika mobil sampai di rumahnya Bu Tuti langsung turun dan berjalan cepat memasuki rumahnya."Ada apa, Bu?" tanya Pak Purnomo yang melihat istrinya baru datang. Namun, ekspresinya membuat dia bertanya-tanya.Bu Tuti hanya menoleh sekilas pada suaminya lalu kembali membuang muka dan melanjutkan langkah untuk memasuki rumah. Dia kembali merasa kesal pada sang suami kala mengingat kalau suaminy itu duku tidk mau membela Olip ketika mendapat perlakuan tidak baik dari Ridwan.Pak Purnomo semakin merasa bingung dengan keadaan istrinya. "Ada apa sih? Ditanya bukannya jawab malah nyelonong aja." Dia menggeleng pelan sembari berkacak pinggang.Pak Purnomo berniat duduk kembali ketika pandangannya menangkap keberadaan Bu Ane yang sedang menurunkan belanjaan dibantu sopir Mika.Dia pun mengurungkan niatnya untuk duduk dan memilih untuk membantu Bu Ane. "Banyak sekali belanjaannya, Bu?" tanya Oak Purnomo uang terkejut melihat isi bagasi mobil itu.Bu Ane mengangguk. "Iya, Pak. Ini saja belu
"Dasar laki-laki tidak tahu diri. Tidak berguna. Bisanya hanya menyusahkan saja. Laki-laki macam apa kamu. Tidak bertanggung jawab. Pria macam apa kamu? Sukanya main tangan. Kurang ajar!" Bu Tuti terus menyerocos tiada henti untuk meluapkan kekesalannya. Tak lupa tangannya yang terus bergerak memukuli Ridwan."Berani-beraninya kamu, ya. Berani-beraninya kamu menampar putriku. Kurang ajar kamu. Laki-laki kurang ajar kamu," ujar Bu Tuti dengan terus memukuli pundak Ridwan."Apa sih, Bu?" tanya Ridwan yang mencoba menghindari pukulan Bu Tuti. Namun, ibu mertuanya itu terus saja memukulinya."Apa sih, Bu. Apa sih, Bu. Jangan pura-pura kamu. Laki-laki tidak tahu malu. Beraninya main tangan sama perempuan. Kamu laki-laki apa banc*?" Bu Tuti terus memberikan pukulan pada Ridwan.Ridwan yang terkejut akan kedatangan Bu Tuti dan segala tingkah lakunya kini mulai merasa kesal. Dia pun segera menepis tangan ibu mertuanya itu."Apa-apaan sih, Bu? Bikin malu aja," ujar Ridwan. Dia menatap ke seki
"Ke mana sih si Ridwan ini? Udah beberapa hari kok nggak datang. Biasanya datang cari makanan?" tanya Bu Lestari yang merasa bingung karena tidak melihat Ridwan datang beberapa hari ini."Kan mau ada yang aku tanyakan," ujarnya sekali lagi. Dia bahkan mondar-mandir di ruang tamu sembari menggigit jarinya.Suara motor terdengar mendekat. Bu Lestari tahu itu suara motor siapa. "Itu suara motor Ridwan," ujarnya semangat.Bu Lestari pun dengan bersemangat langsung keluar dari rumah. Dia tersenyum melihat putranya memarkirkan motornya."Kamu ini ke mana aja sih, Wan? Kok dua hari ini nggak ke sini?" tanya Bu Lestari.Ridwan yang mendengar perkataan ibunya pun mengerutkan keningnya, merasa heran dengan ibunya. "Ada apa memang, Bu?" tanyanya kemudian."Ada yang mau ibu tanyain," ujar Bu Lestari. Dia langsung meraih tangan Ridwan dan menariknya memasuki rumah dan mengajaknya duduk."Ibu mau tanya," ujar Bu Lestari kemudian.Ridwan berdecak. "Nanti aja deh, Bu. Ridwan laper nih. Pengen makan,"
Mika mendekati ibunya dengan uang yang ada di tangan. pagi ini, Bu Tuti harus belanja ke pasar untuk membeli semua bahan makanan yang akan disajikan di acara syukuran rumah Mika nanti. Dia sudah membawa kertas berisi tulian daftar apa saja yang harus dia beli untuk ditunjukkan pada Mika. "Ini. Bahan-bahan yang harus dibeli." Bu Tuti memberikan kertas di tangan pada Mika. Mika mendorong tangan Bu Tuti kembali. "Sudah. Mika percaya sama Ibu. Ibu pasti lebih paham soal ini," ujarnya kemudian. Jujur saja, ada sedikit hal yang terasa aneh di hatinya kala mendengar Mika mengatakan hal itu. Mengedipkan mata beberapa kali, dia pun berdehem. "Ya sudah." Dia kembali melipat kertas berisi daftar belanjaan. "Ini uangnya, Bu untuk beli bahan masakannya," ujar Mika dengan memberikan lembaran kertas berwarna merah bergambar dua pria karismatik berpeci dengan senyum yang sangat menawan. Bu Tuti yang melihat itu langsung melotot. Bibirnya menyunggingka senyum lebar. Dia merasa segar melihat banya