“Miss Emily Hale, anda belum melakukan reservasi. Saya perlu memastikan ada private dining room yang tersedia.”
Aku hanya mengangguk setelah receptionist itu melakukan scan pada kartu member yang aku berikan kepadanya. Ini kali pertama aku datang ke sini, karena ingin mengambil hadiah ulang tahun yang diberikan oleh kakakku–Theodore.
Aneh sekali. Restoran ini cukup sepi, tapi aku harus masuk ke dalam waiting list? Jujur ini adalah restoran termewah yang selama ini pernah aku datangi. Entah kenapa, Theodore memberikan hadiah yang tidak biasa kali ini.
Sebenarnya aku sudah melakukan riset tapi tidak ada ulasan di internet tentang restoran ini.
Namun, karena ingin menghargai pemberian terakhir sebelum dia meninggal dunia, aku pun akhirnya memutuskan untuk menggunakannya hari ini.
“Miss Hale, silahkan ikut saya.”
Receptionist perempuan itu berdandan jauh lebih cantik dan elegan daripada aku.
Restoran ini didesain seperti exclusive lounge dengan gaya futuristik yang modern. Penataan lampu yang hangat dan minim seakan menjaga privasi pengunjungnya.
Receptionist bernama Angel itu membawaku ke sebuah ruangan pribadi.
“Silahkan masuk.”
Angel membuka pintu ruangan dan aku cukup terkejut tidak yakin dengan apa yang kulihat.
“Ini private dining room-nya?” tanyaku ragu.
Angel hanya tersenyum dan memberi sinyal untuk masuk ke dalam ruangan yang hampir mirip dengan playroom Mr. Grey di film 50 Shades of Grey. Hanya saja ada meja dan kursi makan.
Restoran macam apa ini?
Aku menghela nafas dan memberanikan diri untuk masuk. Lagipula ini hadiah ulang tahunku. Tidak ada yang salah dengan makan malam yang sedikit liar.
“Mantel anda please Mam,” kata Angel.
Aku segera melepas mantelku. Menyisakan midi dress hitam tanpa lengan di tubuhku.
Angel menarik kursi untukku dan aku segera duduk. Kemudian receptionist sexy itu mengambil lipatan kain sutera panjang di meja dan menutup mataku.
“Apa yang–”
“Tenang Miss. Anda akan sangat menikmatinya. Anda berada di tangan yang handal.”
Angel memotong pertanyaanku. Baiklah, aku berada di restoran erotik. Aku benar-benar tidak tahu tempat semacam ini ada di Crowded Dream Tower yang berdiri tepat di Los Angeles, jantung California. Lantai paling atas.
Setelah menutup mataku, Angel menarik kedua tanganku ke belakang dan mengikatnya pada punggung kursi. Kemudian mengikat pergelangan tanganku dengan kain. Jantungku mulai berdegup.
Aku mencoba menggerakkan tanganku memastikan apakah aku benar-benar tidak bisa meloloskan diri. Ternyata Angel memang sudah ahli menyekap “sandera”.
“Miss. Hale, Chef anda akan segera datang.” Setelahnya, aku mendengar Angel meninggalkan ruangan dan menutup pintu.
Aku menghela nafas sekali lagi untuk menenangkan diri. Angel bahkan tidak mengeluarkan menu dan membiarkanku memilih makan malamku. Sepertinya, aku lah makan malamnya di sini.
Aku mencoba berpikir apa yang Theodore coba berikan kepadaku lewat wasiatnya setelah kematiannya yang mendadak. Apakah dia juga member di restoran ini?
Tiba-tiba aku mendengar suara pintu terbuka dari arah lain. Aku mendengar langkah kaki seseorang berjalan mendekatiku. Aku juga mendengar roda troli makanan bergerak ke arahku.
Aku mencoba mengatur nafas. Dan itulah saat aku mendengar seseorang bertanya kepadaku tepat di telingaku sambil setengah berbisik.
“Are you hungry, Baby?”
Aku menelan ludah.
Bulu romaku berdiri. Aku sudah tidak merasakan lapar. Aku menggerakkan tanganku yang terikat.
“Ya, aku lapar,” jawabku sedikit tercekat.
Orang itu tidak bicara lagi. Dia berada di belakangku dan menyentuh rambutku. Kemudian merapikannya dan mengikatnya dengan lembut.
“Saya adalah private Chef anda malam ini. Apa anda menyukai makanan manis, pedas atau asin?” tanya orang yang mengaku chef itu.
Aku berpikir apa dia benar-benar membicarakan tentang makanan?
“Sedikit pedas,” jawabku mencari pilihan yang aman.
“Baiklah. Saya akan menyiapkan makanan spesial untuk anda. Katakan, yes Chef.”
Dia menyuruhku dengan suara yang dalam dan tegas. Aku sedikit terkejut. Oh, Tuhan! sialan kau, Theodore!
“Yes, chef!” kataku mengikuti perintah Chef.
Aku mendengar chef menuangkan cairan ke dalam gelas, dan memasukkan beberapa es batu. Kemudian dia menurunkan level punggung kursi hingga posisiku setengah tertidur.
Chef menempelkan bibir gelas ke mulutku.
“Ini adalah wine terbaik. 1995 Château Pétrus untuk ulang tahun anda,” kata Chef.
Setiap kali chef berbisik di telingaku, setiap kali itu juga darahku berdesir.
Chef meminumkan wine ke mulutku, dan aku meneguknya seperti air putih. Chef menarik gelas wine saat aku masih meneguk, membuat beberapa tetes wine membasahi mulut dan leherku.
Kemudian chef mengecup tetesan wine itu. Jantungku berpacu. Perasaanku tak menentu. Chef terus mencium daguku dan leherku, hingga hampir mengenai belahan dadaku. Aku merasakan ujung dadaku mengejang.
Aku memejamkan mataku yang terpejam. Aku mencium aroma tubuh Chef yang maskulin dan wangi. Gairahku muncul tak tertahankan.
Aku merasakan Chef duduk di depanku dan melepas high heels-ku. Chef menyingkap pakaian bawahku. Dia menciumi betis hingga pahaku dengan mulutnya yang basah.
Tubuhku menggeliat, mulutku terbuka. Aku menantikan bibir Chef datang ke mulutku. Setetes wine benar-benar sudah membuatku mabuk kepayang.
“Apakah wine-nya enak?” tanya Chef menggoda.
“Ya.”
“Yes, Chef!” hardiknya.
Dia adalah Alpha Chef malam ini. Dan aku adalah submissive-nya.
“Yes, Chef!”
Aku mulai mengikuti dan menikmati makan malam liar ini.
“Silahkan buka mulut Anda.”
Chef memberikan instruksi. Aku segera membuka mulutku.
Kemudian chef menyuapiku dengan spaghetti dari atas. Mulutku berusaha meraih spaghetti itu. Lidahku menjilati saos yang bercecer di mulutku.
“Chef tidak senang. Anda makan dengan berantakan. Anda mendapatkan hukuman. Yes, Chef?”
“Sorry—”
“Yes, Chef!” tangkasnya.
Oh, sial!
“Yes, Chef!” jawabku cepat berusaha terus mengikuti permainan ini.
Chef melepaskan ikatan tanganku dan mengangkatnya ke atas. Chef menarik badanku untuk berdiri dan berjalan mengikutinya ke sebuah sudut. Dia merentangkan tanganku dan mengikatnya di kanan kiriku.
Nafasku naik turun membayangkan apa yang akan terjadi. Aku terkejut mendapati diriku sangat menikmati permainan ini.
Chef membuka resleting bajuku dan merobeknya. Dadaku terekspose. Lalu aku merasakan sentuhan suatu benda berbulu membelai dadaku. Chef berdiri di belakangku. Aku merasakan tubuhnya menempel di badanku. Tanpa busana. Oh God!
Chef memutariku dan menghentikan cambuk bulunya di perutku. Kemudian mencambukku keras dan halus. Aku tercekat.
“Apa itu sakit?” tanyanya.
“No….”
Nafasku memburu.
“No, Chef!”
Dia membentakku dan mencambukku lagi karena aku terus melakukan kesalahan.
“No, Chef!” sahutku.
Kemudian chef melucuti pakaianku. Saat ini aku hanya memakai pakaian dalam saja.
Sesaat, aku menyesali pemilihan pakaian dalamku kali ini. Seharusnya aku memakai pakaian dalam yang lebih bagus. Aku benar-benar tidak menduga hal ini akan terjadi.
Tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu. Aku mulai diserang panik. Sedangkan Chef sudah berdiri di depanku, bersiap mengangkat badanku.
“Apa Anda siap untuk hidangan utama?”
Oh tidak! Aku benar-benar kacau dan ragu.
Chef merengkuh tubuhku dengan kuat dan aku tidak sabar untuk menyajikan hidangan utama. Namun, aku menahan hasratku dan berkata sambil setengah berteriak.
“Tunggu Chef! Maafkan aku. Tapi aku masih perawan.”
Chef tidak berkata apa-apa. Dia masih mengangkat dan merengkuh tubuhku. Namun aku merasakan tubuhnya diam tidak bergerak.
Kemudian aku merasakan helaan nafasnya. Perlahan dia menurunkanku.
“Kau apa?” tanyanya lagi.
“A-aku masih perawan.”
“Apa maksudmu?” tanya Chef. Aku merasa Chef berusaha menjaga nada suaranya. Andai saja aku tahu bahwa restoran ini adalah restoran erotik alias restoran prostitusi high class!Well, bagaimanapun juga aku adalah customer. “A-aku berkata kalau aku masih perawan, bukan aku tidak menginginkannya.” Aku berujar dengan ragu. “Aku sungguh-sungguh tidak tahu bahwa kakakku akan memberikan hadiah semacam ini untuk ulang tahunku. Maaf, aku mengacau.”Aku benar-benar mengacaukan makan malam penuh fantasi ini. “Jadi, apa yang kau inginkan?” tanya Chef. “Aku ingin merasakannya. Aku ingin terbebas dari rasa malu yang menyedihkan karena sebuah penolakan di masa lalu. Kumohon!” Aku ingin merasakan kenikmatan seksual, tapi aku tidak yakin bisa melakukannya untuk pertama kali dengan cara seperti ini. Itu yang sebenarnya ingin aku katakan. “Kau ingin melepas keperawananmu bersama dengan orang yang tidak kau kenal?” Alpha Chef mencoba memastikan keputusanku. “Aku berbicara tentang sex pertama, bukan
“Miss. Emily Hale? Apakah anda salah satu penggemar Mr. Hart?” Aku sudah menduga pertanyaan ini akan diajukan.Aku sedang melakukan wawancara kerja untuk menjadi Personal Asisten CEO di perusahaan Hugo. Hanya itu lowongan pekerjaan yang paling memungkinkan untuk mendapatkan akses data rahasia perusahaan.Hugo Sebastian Hart dikenal sebagai celebrity chef yang kritis namun kharismatik. Perawakannya tinggi dengan badan yang atletis melengkapi profilnya sebagai bujangan paling diminati saat ini. Pahatan wajahnya yang simetris tampak sempurna dengan mata biru jernih bagai lautan berlian yang hanya bisa diakses oleh orang-orang kaya. Apa aku penggemarnya? tentu saja iya. Dalam satu tarikan nafas aku memberikan jawaban terbaikku kepada pewawancara.“Meskipun saya mengakui pesona Mr. Hart, namun saya adalah seorang yang lebih menghargai nilai dari dalam diri seseorang. “Jika ada yang bisa saya idolakan dari Mr. Hart, itu adalah kemampuan bisnis yang berkembang pesat di tengah fenomena b
Aku melakukan reservasi di restoran Are You Hungry Baby untuk besok malam. Tapi aku lupa sesuatu. “Maaf, tapi bisakah kau memberitahu chef–oh, sayang sekali aku tidak tahu namanya,” kataku kepada petugas reservasi. Aku tidak pernah terpikir untuk bertanya nama sang Alpha Chef. Tidak pernah terpikir untuk kembali lagi ke sana. “Kami mengerti, jangan khawatir Miss. Kami menantikan kedatangan anda besok Miss. Hale.”Bagus sekali! Aku menutup telepon dengan hati senang. Tak sabar untuk bertemu dengan Alpha Chef!***Aku berdandan cantik sore ini dan mengenakan underwear sexy yang baru saja kubeli. Aku masih belum percaya aku ketagihan mendatangi restoran prostitusi. Bahkan melepas keperawananku di sana. Petugas receptionist masih sama, Angel yang cantik. Angel segera membawaku ke sebuah ruangan. Berbeda dengan kunjungan sebelumnya, ruangan kali ini lebih gelap dengan lampu dim dan beberapa cermin di dinding. Ini lebih panas dan menegangkan dari kemarin. Angel pergi meninggalkanku se
Ini adalah hari yang mendebarkan. Hugo sudah tahu siapa diriku sebenarnya. Felix menelponku untuk bertemu dengannya di apartemen Hugo. Aku hanya mengiyakan. Kepalaku masih pening dan aku belum mengatur strategi untuk menghadapi Hugo hari ini. Aku melihat beberapa pesan masuk dan ada pesan dari Anthony. Dia mengirimkan pesan bahwa pengerjaan makam Theo sudah selesai semuanya. Aku membuat kopi dan menyantap roti panggang. Kemudian kuputuskan untuk pergi ke makam Theo sebelum ke apartemen Hugo. Makam Theo terletak cukup jauh di Forest Lawn Memorial Park. Lokasinya berada di California selatan. Setibanya di daerah itu aku berhenti terlebih dahulu untuk membeli bouquet bunga. Graveyard itu adalah salah satu makam paling indah di California. Suasana Hollywood Hill yang tenang membuat perasaanku juga sedikit lebih tenang.Aku mencari makam Theo sesuai petunjuk Anthony. Namun aku terkejut melihat seseorang sudah berada disana. Seorang pria mengenakan mantel hitam dan setelan suit hitam.
“Dimana semua pakaianku?” aku bertanya kepada diriku sendiri. “Di ruang tengah,” sahut seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi. Tidak mungkin! Hugo?Aku panik dan menutupi tubuhku dengan selimut. Hugo keluar dari kamar mandi dengan telanjang dada dan hanya mengenakan celana tidur. Apa yang terjadi semalam? “Hugo?” “Pakaianmu ada di ruang tengah. Aku tidak sempat membawanya kesini tadi malam,” jawabnya. Mataku masih membelalak tak percaya. “Apa yang terjadi?” aku bertanya setengah depresi. “Ayolah Emily, ini bukan pertama kalinya kita bercinta,” kata Hugo dengan tenang. “Ini yang pertama kalinya aku tahu siapa lawan mainku.” Aku membalas sambil sibuk melilitkan selimut ke badanku sebelum menuju ruang tengah. “Kau tau aku tidak bercinta dengan sembarang pria,” kataku lagi. Pagi itu aku cukup kacau dan malu pada diriku sendiri. Tapi aku melampiaskannya kepada Hugo. Dan anehnya aku merasa lebih baik. Well, sebenarnya aku tidak terlalu menyesal menghabiskan malam denga
“Emily, waktunya shopping,” kata Hugo. Aku masih terdiam. Siapakah “dia” yang mereka maksud tadi. Aku tidak mungkin bertanya kepada David, dan akan berbahaya jika aku langsung bertanya kepada Hugo. “Shopping?” tanyaku. Hugo menganggukkan kepala. Dia berjalan ke arahku. Gerak bola matanya melihatku dari ujung rambut ke ujung kakiku. “Kau terlihat sexy. Tapi kau perlu baju baru,” kata Hugo. “Tidak, terima kasih. Aku tidak terlalu suka belanja,” balasku.“Emily, jika kau terus berpakaian seperti itu aku tidak bisa menahan diriku untuk-” “Oke. Ayo shopping!” sahutku cepat. Aku seperti berada di kandang predator. Mata Hugo seperti memiliki kekuatan super tembus pandang dan dia baru saja menelanjangiku.Aku mendengar Hugo berpura-pura mendesah kecewa. Wajahnya menahan senyum yang menggelikan. Dia sangat menikmatinya ketika menggodaku. Aku berlari ke kamar dan mengambil tasku dan segera kembali ke ruang depan. Hugo sudah siap dengan wajah tampannya.“Hugo, kau tahu aku bukan pelacurmu
“Emily, lihat aku. Lihat aku,” Hugo memegang pipiku berusaha menyadarkanku.“Semua akan baik-baik saja. Kau akan kembali ke apartemenku,” kata Hugo. Dia menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Mataku terbuka lebar. Pelukan Hugo tidak mampu menghangatkan tubuhku kaku. Sekilas aku teringat pesan Anthony. Aku benci berada dalam pusaran cinta dan benci ini!“Hugo, apa kau ada hubungannya dengan ini semua?” tanyaku dengan serius. “Kau bercanda?” balasnya. Kami saling memandang dengan tajam layaknya musuh.“Kau boleh berpikir apapun, tapi aku tidak ada kaitannya dengan ini,” kata Hugo lagi. Aku tidak menjawab. Tiba-tiba seseorang masuk.“Miss. 512?” tanyanya. Aku terkejut dan menatap laki-laki itu. “Aku tetangga apartemenmu. Ada kerusuhan tadi sore. Seorang laki-laki datang merusak kamarmu mengira kau adalah penghuni lama. Entah apa yang dia cari tapi dia menggila,” katanya. “Seorang laki-laki?” Aku tertegun. “Apa ada barangmu yang hilang? Pihak keamanan sudah menghubungimu?” tanyanya la
Aku berpikir sejenak. Mencoba untuk menjadikan penjelasan Hugo masuk akal untuk diterima oleh logikaku.“Aku tetap akan menghubungi Anthony,” balasku. Aku berusaha menyembunyikan kecurigaanku.“Tentu. Sampaikan salamku,” ucap Hugo. “Kau mengenalnya?” tanyaku reflek.“Bagaimana tidak? Dia pengacara Theodore sebelum menjadi pengacaramu,” jawabnya. “Apa kau mengenal baik Anthony?” tanyaku lagi. “Oh, tidak tidak. Jangan lakukan itu kepadaku Yang Mulia Pengacara Sexy…” Hugo mendekatiku dan merengkuh tubuhku. Dia menciumku dengan bibir rasa kopi yang wangi dan lembut. Aku reflek membalas ciumannya. “Kau tidak akan menginterogasiku di pagi yang cerah ini,” bisiknya. Suara seksi Hugo hampir saja membawaku terbang ke dunia fantasi. “Chef, pancake-mu…” kataku mengingatkan Hugo yang langsung beranjak ke kompor listriknya dan membalik pan-nya dengan lincah.Handphone-ku berdering. Kulihat di layar ada panggilan masuk dari Anthony. Kebetulan sekali.“Anthony, Hi. Aku baru saja akan meneleponm
“Apa kau sudah gila?” Aku menjauhkan wajahku dari Benjamin. Dia masih merapatkan tubuhnya. Kedua tangannya merengkuh pinggangku. Dia benar-benar tidak peduli apapun. “Tidak ada CCTV disini,” sahutnya. Benjamin benar-benar membuat skandal ini menjadi sesuatu yang sangat serius. Harus kuakui aku sedikit menikmati tantangan ini, namun aku harus lebih hati-hati. “Aku tau. Tapi bukan berarti kau bisa berbuat semaumu. Kenapa kau sudah datang?” tanyaku mengalihkan perhatiannya. “Apa lagi? Tentu saja agar aku bisa mengunjungi kantor barumu.” Ben akhirnya melepaskan pelukannya dan merebahkan tubuhnya di sofa. “Ruangan ini dulu juga seperti ruanganku sendiri. Apa kau tau Theo memiliki ruangan rahasia?” Pertanyaan Ben membuatku melirik ke arahnya. “Apa maksudmu?” tanyaku. “Theo menghabiskan hampir sebagian waktunya di gedung ini. Ada penthouse di lantai atas yang sering dia gunakan untuk istirahat. Anehnya karyawan disini hampir tidak ada yang melihat Theo. Melihat kebiasaannya, dia pas
Aku masih menunggu jawaban Hugo. Apakah dia akan membiarkanku menjadi pengacara Hugo, atau dia akan melarangku seperti sebelumnya. Hugo memandangku dengan tatapan dingin. Aku sudah tidak menemukan lagi dimana tatapan Hugo yang penuh cinta kepadaku sebelumnya. “Sepertinya kau sudah mulai akrab dengan Benjamin, Emily.” Kata-kata Hugo membuat jantung Emily mulai berdebar. “Entahlah, ku pikir juga begitu. Dia mencarimu. Aku mencarimu. Tapi justru aku dan dia yang bertemu karena kami tidak tau kemana kau pergi,” jawab Emily dengan nada bicara menyindir. “Kau mencari masalah yang seharusnya tidak harus kau temui karena aku sudah berusaha menjauhkan dari semua itu. Tapi sepertinya usahaku sia-sia. Kau benar. Kau berhak tau apapun mulai dari sekarang. Semakin lama kau semakin salah paham. Baiklah, mengapa kita tidak makan malam bersama dengan Benjamin. Layaknya sebuah keluarga,” kata Hugo. Aku terkejut mendengar rencana Hugo untuk mengadakan makan malam bersama Benjamin. Kami bertiga akan
“Sampai kapan kau akan memelukku, Ben? Seseorang bisa saja memergoki kita,” kataku. Aku sudah menyerah untuk mencoba melepaskan diri dari Benjamin yang tiba-tiba memelukku dari belakang. “Anak-anak berada di rumah barat bersama Mathilde. Hugo masih akan kembali saat akhir pekan. Kenapa kau tidak bisa tenang, Em?” keluh Benjamin. “Tidakkah kau sadar saat ini aku sedang berselingkuh dengan adik iparku sendiri?” balasku. Menyebutkan kata berselingkuh membuatku ngeri. “Berselingkuh? Emily, kau tau Hugo tidak benar-benar mencintaimu. Dia menikahimu karena rasa bersalahnya kepada Theo. Dan kau pemilik saham utama. Berselingkuh? Yang benar saja,” jawab Benjamin. Aku masih merasakan sedikit sakit hati saat Benjamin mengatakan bahwa Hugo tidak benar-benar mencintaiku. “Aku berpikir apa yang kita lakukan kemarin adalah kesalahan saja. Dan kita tidak akan mengulanginya,” kataku lirih sambil menghela nafasnya. Benjamin mendekatkan bibirnya ke telingaku, dia masih memeluk tubuhku dari belaka
“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Kita juga harus menunda keberangkatan kita ke Afrika karena ada masalah di Kimberly,” jawab Ben. Kurasa dia meneleponku bukan untuk mengajakku ke Afrika. Ada urusan lain yang dia inginkan dariku. “Apa maksudmu? Kenapa kita ada masalah dengan Kimberly?” tanyaku. Semua berlian yang diperjualbelikan di hampir seluruh dunia harus memiliki sertifikat dari organisasi Kimberly buatan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka bertugas untuk memastikan bahwa berlian yang dijual perusahaan-perusahaan perhiasan adalah hasil dari penambangan legal. “Tidak semua berlian yang kita peroleh adalah berlian bebas konflik. Sebagian adalah berlian berdarah,” kata Ben. Kurasakan kakiku gemetar mendengar informasi dari Ben. Oh God. Apa yang telah mereka semua lakukan selama ini? “Em, dengarkan aku. Aku juga baru mengetahuinya. Tapi kita hanya perusahaan pembeli. Kita akan menyalahkan penjual yang memberikan berlian dari daerah konflik. Aku tidak bisa sembarangan menyer
Ben membalas tamparanku dengan ciuman yang kasar dan keras. Tubuhku reflek memberontak. Namun Ben mencengkeram erat kedua tanganku hingga aku tidak bisa bergerak. Aku tak berdaya menghadapi Ben yang terus melumat habis bibirku. Tenagaku melemah. Perlawananku tidak ada artinya. Namun saat Ben mencium leherku, aku merasakan getaran yang hebat di sekujur tubuhku. “Emily, aku lebih pantas untukmu. Kau akan bahagia bersamaku. Kau dan aku. Kita bersama akan menaklukkan semuanya. Percayalah padaku.” Ben menatapku tajam. Dia bicara kepadaku sambil memegang kedua pipiku untuk memastikan aku mendengar ucapannya. Mataku nanar melihat Ben seakan aku sedang beradu pandang dengan Hugo, laki-laki yang pernah membuatku tergila-gila. Mata sayu Benjamin membuat hatiku ragu. Pandangannya dalam dan tajam. Sosok yang selama ini datang di setiap mimpi burukku berubah dari seoramg monster menjadi bajingan liar yang menawan. Sial! Aku pasti sudah gila.Ben mendekatkan bibirnya yang gemetar oleh desahan n
“Kau dengr aku, Em. Tinggalkan Hugo dan pergi bersamaku.” Benjamin mengulangi perkataan yang sama sekali tidak masuk akal untukku. Ini seperti kisah drama telenovela murahan. Aku jelas tidak ingin mengiyakan, namun terlalu takut untuk menolak. Bagaimana jika Benjamin berbuat nekat?Belum ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Dadaku sesak penuh penyesalan karena keputusanku yang salah kaprah. Suasana menjadi hening dan menegangkan. Aku tidak mendengar pergerakan Benjamin. Tiba-tiba kedua tangan Benjamin memegang lenganku. Dia berada di depanku. Sepertinya dia sedang berjongkok menghadap ke arahku. Perlahan tangannya mulai membuka tali penutup mataku. Aku mengerjap beberapa kali, kemudian mataku beradu pandang dengan mata tajam Benjamin. Sepasang mata yang terlihat tidak mengenal rasa takut. Benjamin belum melepaskan kedua tanganku yang masih terikat u kursi. “Maafkan aku, Emily. Seharusnya kau mengenalku lebih dulu. Tapi kematian Theo sangatlah tidak mudah. Jika saja kita berte
“Benjamin! Demi Tuhan aku adalah kakak iparmu! Lepaskan aku.” Aku tidak percaya Ben berani menutup mataku dan mengikat kedua tanganku persis seperti adegan saat pertama kali aku mengunjungi Restoran Are You Hungry Baby. Ben tidak menghiraukanku dan tetap mengikat tanganku. Dia tidak melepaskanku. Aku mencoba melepaskan ikatan tanganku tapi usahaku sungguh sia-sia. “Hanya dengan cara seperti ini kau mendengarkanku, Em. Aku mencoba membuatmu terkesan dengan hati-hati, tapi kau menolaknya.” Suara Ben terdengar menjauh. Aku tidak tau pasti apa yang dia lakukan. Jantungku berdegup kencang memikirkan apa yang akan Ben lakukan terhadapku. Apakah dia akan membunuhku? Atau… Oh, shit! Tidak mungkin dia akan menjadikanku submisif-nya. Aku adalah kakak iparnya. Istri dari saudara kembarnya. Ini semua benar-benar salah. Seharusnya aku mendengar nasehat Anthony untuk menunggu Hugo menyeleseaikan masalah ini. Semua terlambat. Kini aku menjadi tawanan Benjamin. Aku masih belum mendengar pergera
“Em, tunggu dulu. Kau sebaiknya menunggu Hugo.” Anthony mencoba mencegahku menghubungi Benjamin dan bertemu dengannya.“Hugo pasti memiliki alasan yang kuat untuk tidak atau belum melibatkanmu. Tenangkan dirimu, Em. Benjamin bisa menjadi pilihan yang lebih buruk daripada menunggu keputusan Hugo,” kata Anthony panjang lebar. Aku menahan tanganku untuk tidak menjawab panggilan dari Benjamin. Setelah Natal yang terasa salah kaprah, jelas aku tidak bisa berdiam diri. Seharusnya Sinterklas yang datang menemui anak-anakku. Bukan sekelompok penguntit yang menyeramkan dan membuatku kehilangan akal sehat. “Aku sudah memberikan cukup waktu kepada Hugo. Kau tau betapa aku sangat menghindari untuk terlibat dalam kegilaan ini. Penyelundupan berlian. Kau percaya semua itu? Sial!” bentakku.Anthony mengatupkan bibirnya dan menarik nafas panjang. Aku pun tidak kalah frustasi mendengar kenyataan kelam itu. Bahkan kini semua aset warisan dari Theo akan terancam hilang jika kasus ini sampai diketahu
“Dia jelas mengincarku,” kataku sambil melambaikan tangan kepada Everly yang sedang belajar berjalan. Aku sedang bersama Anthony di halaman belakang rumah saat dia berkunjung. “Bagaimana hubunganmu dengan Hugo setelah anak kalian lahir?” tanya Anthony. Setengah hati aku menjawab, “Tidak lebih baik.” Anthony menghela nafas. Cepat atau lambat dia akan menghadapi perceraianku dengan Hugo, dan itu membutuhkan tenaga extra. “Aku harus menyelematkan semua asetku untuk masa depan anak-anakku. Saat ini Hugo masih sibuk memisahkan bisnis ilegal untuk membersihkan hartanya. Kau tau itu hampir mustahil untuk dilakukan,” kataku.“Kau benar. Hubungan Hugo dan Benjamin semakin intens karena rencana pemisahan yang Hugo lakukan. Em, ini berpotensi menyebabkan masuknya pihak ketiga. Kau tidak khawatir dengan itu?” Anthony menatapku dan mata kami beradu. “Jika ada pihak ketiga yang muncul, mereka pasti bukan orang baru. Mereka selama ini bersembunyi dibalik bayang-bayang. Aku harus segera pergi seb