PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
"Semoga Mbak tetap tabah ya, Mbak. Nur sangat sedih, Mbak. Nur baru saja menikah belum satu bulan, tapi Mbak malah bercerai dari Mas Aryo. Benar-benar nyesek hati Nur, Mbak." Kuseka bulir bening yang sudah berjatuhan sejak setengah jam yang lalu. Mendadak dada sesak dan ikut iba karena kakak kandungku Mbak Widya baru saja diceraikan oleh suaminya, Mas Aryo. Tak ada penjelasan detail dari kakak ipar, dia hanya langsung pergi dengan membawa tas hitam berukuran agak besar. Yang sakunya sudah butut sebelah."Hiks, Mbak akan menjanda, Nur, Mbak akan menjanda. Hiks." Lagi isakan tangis dan ingus ibaratnya naik turun dari hidung Mbak Widya. Kakak kandungku satu-satunya, dan kami memang hanya hidup berdua setelah orang tua meninggal. Aku dan Mbak Widya masih tinggal satu atap. Karena aku baru saja menikah, Bang Panjul sang suami belum bisa membelikanku hunian. Tapi tidak apa-apa, semoga kedepannya usaha Bang Panjul makin melejit dan legit seperti lapis."Rujuk, Mbak, gimana? Kan belum talak
Malam tadi aku melakukan rutinitas malam bersama suami. Eh, maksudnya di atas ranjang menggunakan parfum yang amat wangi yang baru dia beli dari tiktok itu. Entah kenapa dia ada ide pakek beli-beli segala. Sepertinya nurutin artis-artis di film. Atau para conter coretor, pwuah, maksudnya content creator di YouTube dan di tiktok sana. Sekarang kan jaman umbar-umbar tata cara bermalam. Tadi malam saja si Bang Panjul tunjukkan gaya baru. Aku baru tahu gaya bercinta seperti itu. Sebelumnya juga aku tidak pernah menonton video-video tak senonoh, kecuali kalau tak sengaja lewat di film Bollywood dan Hollywood itu pun sebatas melihat dari teman.Dan perlu diketahui, aku ini tidak secerdas Mbak Widya. Kalau di sekolah saja kakak kandungku itu sering masuk tiga besar, paling mentok 5 besar, sedang aku paling bagus ya masuk 10 besar. Itu pun juara sepuluhnya.Mbak Widya dengan aku wajahnya mirip-mirip tipis. Jelas saja, karena kami satu produk. Tapi yang namanya sebrojolan, pastinya punya sifa
"Hah, sempak ini? Kok mirip yang dipakek Bang Panjul semalam? Ah iya, merek dan warnanya sama." Aku menelisik dalam hati. Sempat ada perasaan aneh, tapi semalam jelas aku dengar nama Mas Aryo di kamar inj. Bahkan sedang mendesah-desah dengan Mbak Widya, sampai lupa apa dia pakai dalaman?"Nur–."Akhirnya Mbak Widya sudah kembali. Aku dalam keadaan memegang sempak dengan dijinjing menggunakan jari telunjuk dan ibu jari karena tadi ingin memastikan."Hup." Aku kaget lalu menjatuhkan lagi sempak itu. Mbak Widya bola matanya melebar seperti ingin jatuh saja copot dari kelopaknya."Hah?" Mbak Widya terkaget-kaget. Tapi aku juga harus menanyakan, kok sempak Mas Aryo sama dengan yang dipakai Bang Panjul semalam? Bukankah aku sering lihat jemuran sempak Mas Aryo, beda merek?Mbak Wiyda seperti melihat hantu. Ah, harus aku tanyakan."Nur, kamu kok ih, pegang-pegang sempak itu. Lancang kamu, Nur!" Mbak Widya marah dan secepat kilat menjiwir sempak yang sudah aku jatuhkan ke lantai. Ia masukkan
Bergetar terus dada ini sejak tadi menepi kenyataan kalau sempak Bang Panjul hilang satu. Sampai-sampai berjalan pun lututku ikut lemas. Aku fasih betul, aku orangnya apik dan dalaman pribadi Bang Panjul itu tidak ada yang hilang sebelum ini. Jumlahnya aku hafal, dia bukan artis yang punya sempak banyak gonta-ganti 30 kali dalam sebulan. Huwh … kuelus dada, berharap sesuatu hal aku lihat untuk memastikan. Tidak mungkin tikus bawa kain segi tiga itu dan kebetulan yang warna itu.Aku saat ini dari arah dapur, namun agak heran melihat Mbak Widya yang baru saja seperti jalan dari arah kamarku. "Mbak?" Kutegur dia secepatnya. Wajah Mbak Widya biasa saja, sepertinya tidak ada yang aneh. "Eh, Nur, kamu di sana? Mbak cariin kamu." Dia menjawab tanpa ada mimik wajah keraguan yang kutangkap."Ngapain Mbak cari aku?" Aku masih agak kesal, "nyari aku jam segini 'kan gak mungkin di kamar," sambungku menyanggah."Jangan ketus, Nur, Mbak mau pinjam lagi casan hapemu. Oiya, kamarmu lantainya ngeres
Liurku terteguk seketika. Jemari yang tadinya jijik, hidung yang tadinya takut kebauan, kini seperti memperlihatkan kebisaannya untuk mengendus dan menyelidik. Nur, kamu tidak pintar, tapi kamu selalu bisa menilai sesuatu dari pengalaman. Dan betapa terenyuhnya batin ini sekarang. Sempak yang dengan sadis kuendus ini ternyata baunya masih seperti baru. Ya, masih bau-bau obat celup pabrikan. Ini sama dengan sempak yang aku beli 20 ribu tiga di pasar Senen. Tapi yang dagangnya aku kenal, dia masih orang sini. Karena di jembatan tol setiap Senin ada pasar tumpah. Ah, aku sekarang malah jadi detektif celana dalam. Kampret!Heurkh! Benar-benar Mbak Widya sedang bermain-main dengan ini semua. Lantas kenapa di malam itu Mbak Widya bermain dan sebut-sebut nama Mas Aryo? Dan suamiku saat itu ada di kamar mandi. Apa mungkin Bang Panjul lempar dalamannya ke kamar Mbak Widya? Dan kalau iya, kakak kandungku itu pasti akan marah dan jijik.Berkali-kali liur ini kuteguk sembari terus memperhatika
"Eh, Nur?"Setibanya di toko sederhana Mbak Yuyun, aku disapanya lebih dulu. Lantas mana mungkin aku tidak menjawab sapaannya."Assalamualaikum, Mbak, saya ada yang mau dibeli," jawabku setelah mengucap salam. Mbak Yuyun melihatku lebih dulu, jadi aku salam belakangan. Dia memang orangnya santai dan ramah. Asli orang sini."Oh, iya, silahkan. Dipilih-pilih, ya!" seru Mbak Yuyun yang usianya lebih tua dari Mbak Widya beberapa tahun. Aku pun langsung menuju ke arah di mana lingerie bermacam-macam warna tergantung dengan harga yang sudah tertera di bandrol.Karena kami tidak begitu kaku, lantas mengobrol adalah hal yang tidak pernah luput. Sembari aku mencari lingerie yang pantas, Mbak Yuyun bicara. "Tadi juga Mbakmu kemari, Nur." Mendengar kalimat yang agak sedikit menohok di telinga ini pun aku sejenak menahan nafas. Kulirik Mbak Yuyun dan dia tak melirikku. Tapi masih sibuk berkutat.Teg!"Mbak siapa, Mbak?" tanyaku heran. Mungkin saja yang dimaksud bukan Mbak Widya."Ya Widya, Mbakm
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa