Liurku terteguk seketika. Jemari yang tadinya jijik, hidung yang tadinya takut kebauan, kini seperti memperlihatkan kebisaannya untuk mengendus dan menyelidik.
Nur, kamu tidak pintar, tapi kamu selalu bisa menilai sesuatu dari pengalaman.
Dan betapa terenyuhnya batin ini sekarang. Sempak yang dengan sadis kuendus ini ternyata baunya masih seperti baru. Ya, masih bau-bau obat celup pabrikan. Ini sama dengan sempak yang aku beli 20 ribu tiga di pasar Senen. Tapi yang dagangnya aku kenal, dia masih orang sini. Karena di jembatan tol setiap Senin ada pasar tumpah.
Ah, aku sekarang malah jadi detektif celana dalam. Kampret!
Heurkh! Benar-benar Mbak Widya sedang bermain-main dengan ini semua. Lantas kenapa di malam itu Mbak Widya bermain dan sebut-sebut nama Mas Aryo? Dan suamiku saat itu ada di kamar mandi. Apa mungkin Bang Panjul lempar dalamannya ke kamar Mbak Widya? Dan kalau iya, kakak kandungku itu pasti akan marah dan jijik.
Berkali-kali liur ini kuteguk sembari terus memperhatikan segitiga yang warna dan ukurannya persis sama. Ah, dan apa yang aku lihat lagi sekarang? Begitu tersentak hebat dada ini. Sesak sudah bila dirasa, dan seakan musnah saja jiwa ini. Terkutuk kau Mbak Widya, kenapa celana ini masih ada mereknya di bagian lingkar pinggang. Aku ingat juga saat membeli benda yang sama, ada dua perekat sebagai mereknya. Yang satu sebagai ukuran, dan satunya bandrol harga. Dan jni, ada ukuranannya belum dilepas, M, yang artinya medium. Sedangkan Mas Aryo setahuku kalau lihat di jemuran, pakaian XL.
Ah, lesu sudah lututku saat ini. Tadinya pikiranku yang jingkrak-jingkrak ingin mencecar, seakan nyawa ini lenyap seketika. Seluruh tubuh gemetar, bahkan tangan ini pun begitu kebas. Mana mungkin? Mana mungkin Bang Panjul semalam ke kamar Mbak Widya? Bahkan, kami sudah bertempur, dan apa iya nama yang disebut Mbak Widya itu hanya tipu daya? Bisa sekali dia!
Sialan!
Aku melempar sempak yang baru saja kuselidik kebenarannya. Tapi, bodohnya aku, lebih baik kuambil lagi dan akan aku simpan untuk kujadikan bukti. Tapi, aku akan simpan ini di lemarinya Mbak Widya. Aku akan pura-pura tidak tahu kalau celana dalam ini baru. Mungkin aku memang bodoh, sehingga Mbak Widya tak hati-hati dalam menunjukkan bukti. Bahkan aku juga masih ingat dengan baunya yang agak amis, tapi sekarang tidak sama sekali. Ya, ini memang sempak baru. Akan sengaja juga tak aku copot mereknya.
Karena sudah terlanjur, ya aku cuci saja pakaian Mbak Widya dengan cara kuinjak-injak dengan kaki, bukan dengan tangan lagi. Saking geramnya dan saking penasarannya, apa sebenarnya hal yang terjadi dengan Mbak Widya. Apalagi aku sama sekali tidak menemukan kecurigaan dari keduanya. Kalau ada suamiku, Mbak Widya cuek bebek, bahkan bertatapan pun tak pernah aku pergoki.
Menginjak-injak pakaian Mbak Widya aku mengibaratkan sedang menginjak-injak dirinya. Entah permainan apa yang ia lakukan dengan sempak ini? Ah, dan aku faham, kenapa dia menyuruhku untuk mencuci pakaian ini, dan satu lagi, kini aku benar-benar tak percaya dengan IQ rendah ini, malah pikiran laknat muncul, kalau Mbak Widya lah yang sengaja menyebar bulir-bulir tanah di kamar, supaya aku menyapu dan aku membersihkan semuanya dengan apik. Lantas aku menemukan dalaman Bang Panjul yang kupikir hilang itu.
Ah …
Kini kakiku seakan tak bernyawa lagi saat menginjak-injak pakaian Mbak Widya. Setelah ada dugaan membagongkan barusan, ini si hati kecil malah menyuarakan keyakinannya, bahwa yang aku pikirkan ini benar.
Gusti Allah … andai aku punya banyak uang, pasti akan kupasang CCTV di rumah untuk mengintai pergerakan Mbak Widya dan Bang Panjul. Biadab, masak iya kami menikah hanya belum satu bulan, tapi dia telah main serong dengan kakak kandungku?
Tidak, Nur, meski kamu urakan, kamu tidak boleh menebar fitnah di otakmu. Cerdik, Nur, cerdik, walaupun kamu dianggap oon oleh Mbakmu.
Kulanjutkan mencuci pakaian Mbak Widya dengan penuh amarah. Entah bersih atau tidak, yang jelas saat ini bibirku manyun mengulum emosi. Bahkan pakaian Mbak Widya saja saat aku bersihkan malah menggunakan kekuatan Mpu Tantular. Kuremas dan kuperas sekuat tenaga, sampai-sampai tubuh yang gemetaran ini berkeringat deras.
Wekk!
Deg!
Kaget dengan suara barusan. Ah, ternyata pakaian Mbak Widya yang mini dan tipis sobek seketika di tanganku. Jelas aku kaget dan gugup. Bisa saja Mbak Widya marah karena hal ini. Ah, tapi pada akhirnya pikiranku masa bodoh! Bahkan ada ide brilian untuk merobek semua bajunya, tapi tidak, jangan sampai aku brutal hingga pada akhirnya dia menaruh kecurigaan terhadapku.
Meski kamu tidak cantik dan glowing seperti mbakmu, Nur, tapi kamu bisa kan main cantik?
Batinku seakan menyuarakan dukungan bak supporter klub sepak bola. Ah, iya, aku harus bisa cerdik. Entah bagaimana, aku harus bisa.
Sampai usai menjemur pakaian Mbak Widya di pinggir rumah, karena sekarang sudah sore, jadi aku tidak menjemur di jemuran biasa. Takutnya awan itu malah menangis melihat kondisi pikiranku, yang akhirnya hujan badai. Lalu akan capek angkat jemuran, jadinya aku angin-anginkan saja.
Tiba-tiba terdengar hape berbunyi. Gegas aku segera menjemput bola meraih hape layar towel itu yang tersimpan di meja.
Bang Panjul wajahnya sudah mampang di layar. Aku memang kuper, tapi aplikasi hijau selalu kupakai karena sudah terdownload dulu. Meski ya hanya ini, karena seperti yang aku bilang, memori penuh. Nah, aku juga tidak pernah melihat status Mbak Widya dan Bang Panjul yang mencurigakan. Ah, tapi mana iya kalau bangsat menampakkan kegilaannya. Pasti punya taktik sendiri.
"Ya, halo, Bang?" Aku berusaha menyembunyikan bibir yang bergetar yang pada akhirnya menghasilkan suara yang menggigil. Sebenarnya aku ingin menjerit sampai burung yang terbang berjatuhan saking kerasnya. Kenapa? Karena skandal di sempak itu.
"Halo, Sayang. Oiya, Abang gak jadi nginep di sini. Abang mau pulang nanti sore. Kamu siapin makanan yang lezat, ya."
Aneh, tadi saat pergi katanya akan menginap, tapi sekarang berubah pikiran. Tapi aku harus sumringah. "Oh, iyakah, Bang? Aduh, aku jadi kangen dan gak sabar nunggu Abang." Padahal bibirku ini komat-kamit dimainkan sedemikan rupa sampai ingin menggigit hape ini.
"Sama, Abang juga kangen sama kamu, Sayang. Makanya, karena Abang juga tidak perlu di sini, ada yang handle, jadinya Abang mau pulang aja. Oiya, uang yang kemarin Abang kasih masih ada? Sisa berapa?" Langsung Bang Panjul bahas soal uang. Aku yang masih menggerutu kesal pun terus saja bersandiwara seperti aktor Hollywood papan atas.
"Oh, kenapa memangnya? Masih ada dua ratus ribu, Bang." Aku menjawab sok manis. Untung saja bukan video call, jadi aku bebas berekspresi.
"Oh enggak. Kamu beli itu sana, em … beli pakaian seksi. Beli lingerie gitu loh, Yang. Yang warnanya merah menyala, ya! Atau seadanya saja yang penting seksi. Abang lihat waktu itu di toko Mbak Yuyun ada. Kamu beli di sana saja, ya. Sudah ada bandrolnya juga. Nanti uangnya Abang ganti dua kali lipat."
Mendengar titahannya itu membuat bulu kudukku merinding membayangkan malam nanti, tapi tetap saja, pikiran liar laknat menuduh dia selingkuh masih mendominasi.
"Ah, Abang, aku kan malu. Ah." Sengaja aku sedikit mendesah supaya penyelidikan Nur nanti lancar jaya. Kuharap beribu harap, si tikus atau kucing tetangga membawa sempak suamiku itu. Bukan ada hubungannya dengan Mbak Widya. Dan aku harap, Mbak Widya melakukan itu semua supaya aku tidak curiga atas hal yang tidak pernah terjadi.
"Aduh, si jagur langsung kencang denger suara kamu yang begitu, Sayang. Aduh, makin ingin cepet pulang aja. Tapi, tetep harus nunggu nanti. Nanti aku sampai pukul tujuh ya ke rumah." Dia bicara dengan ayu, meski namanya Panjul.
"Emh, Abang, ah. Nur jadi … AW!" Aku bar-bar begini ya? Tapi ini akan bagus untuk melancarkan semuanya. Lagipula aku berkata begitu dengan suami, bukan dengan siapa-siapa.
"Aw, kamu ih, gemes deh. Ya udah, Abang kerja dulu ya, Sayang. Muach!" Dia mengecupkan bibir untukku di udara sana.
"Ih, Abang. Malu ah, Bang, nanti didenger Mbak Widya. Dia ada di sini, lagi duduk di kursi." Aku sengaja berbisik-bisik menjawabnya. Sebenarnya aku malas saja mengecup muuach, muach. Suasana hatiku masih belum mereda emosinya. Untuk memonyongkan bibir mengecup itu terlalu berat bagiku untuk detik ini.
"Ah kok gitu sih? Emang Mbak Widya ada di sana, ya? Abang pikir lagi di luar ke minimarket. Hihi."
Deg!
Entah kenapa aku jadi teringat, kalau Mbak Widya tadi ijin ke minimarket untuk beli bedak. Dan memang dia tidak ada di sini, aku saja maksudnya tadi hanya bercanda supaya tidak memonyongkan bibir untuk pura-pura beri dia kecupan.
Ah, dadaku memanas lagi. Tadinya sedikit mereda kagum dengan penyelidikan yang aku lakukan, kini malah sesak lagi dengan pernyataan Bang Panjul barusan. Dia hanya pura-pura sok tebak Mbak Widya di minimarket, atau memang dia benaran tahu? Arkh, tubuhku seperti akan meledak seperti dipasang bom waktu.
"Nur, Nur Sayang?" Sapaan manja Bang Panjul tak berhasil meredakan pikiran liar ini. Kalau aku menganga, ini kenapa rasanya ingin menangis dan berteriak. Bibirku bergetar semakin kuat. Ah, kenapa ini? Kenapa semuanya jadi serba kebetulan begini?
"Nur, masih di sana?" tanyanya agak heran karena belum ada jawaban.
Ah, aku ada ide. Gegas aku menjauh dari hape sekitar lima meteran, hampir dekat ke kamar mandi. "Ah, iya, Bang? Aku lagi balikin ini, ceplok telor! Bentar ya, Bang!" Aku sengaja berteriak untuk menyuarakan hati yang begitu gundah gulana.
"Oh, lagi goreng, ya?" Dia juga mengencangkan suara.
"Iya, Bang! Bentar, ya!" Aku menyahut dengan bola mata yang sudah matang mendadak dengan rona merah sepertinya. Malah, kini berkaca-kaca seakan-akan sedang mengiris bawang merah lalu menangis menjatuhkan bulir beningnya.
"Ya sudah, Abang tutup, ya. Dah, Sayang!"
"Hem, iya, Bang!"
Setelah tak terdengar lagi suaranya, aku pun segera meraih lagi benda pipih yang sudah jadul di jamannya ini. Sialan, jangan-jangan Bang Panjul sedang chatingan dengan Mbak Widya, sampai-sampai dia bisa menduga Mbak Widya di minimarket. Dan terkadang, kepolosan dan kebodohanku ini mengantarkan untuk memperkuat bukti. Andai aku tidak berbohong ada Mbak Widya tadi, pasti aku tidak akan tahu perihal prasangka ini. Heurkh!
Awas saja kalau sampai kalian benar ada main, Mbak, Bang! Kukebiri milikmu, Bang! Dan kamu, Mbak, akan aku bakar rambut bawahmu itu. Harkh!
Namun meski kesal, aku pun segera menuju toko pakaian sederhana milik Mbak Yuyun. Aku akan membeli lingerie. Di sana serba ada, dari mulai sandal, sepatu, dalaman, luaran, kerudung, sampai peralatan dan perlengkapan bayi juga ada. Aku akan segera bergegas. Ah, dan aku juga akan tanyakan berapa harga CCTV pada Mbak Yuyun. Dia kan tokonya dipasang kamera pengintai itu. Ya, mungkin saja bisa kubeli.
***
"Eh, Nur?"Setibanya di toko sederhana Mbak Yuyun, aku disapanya lebih dulu. Lantas mana mungkin aku tidak menjawab sapaannya."Assalamualaikum, Mbak, saya ada yang mau dibeli," jawabku setelah mengucap salam. Mbak Yuyun melihatku lebih dulu, jadi aku salam belakangan. Dia memang orangnya santai dan ramah. Asli orang sini."Oh, iya, silahkan. Dipilih-pilih, ya!" seru Mbak Yuyun yang usianya lebih tua dari Mbak Widya beberapa tahun. Aku pun langsung menuju ke arah di mana lingerie bermacam-macam warna tergantung dengan harga yang sudah tertera di bandrol.Karena kami tidak begitu kaku, lantas mengobrol adalah hal yang tidak pernah luput. Sembari aku mencari lingerie yang pantas, Mbak Yuyun bicara. "Tadi juga Mbakmu kemari, Nur." Mendengar kalimat yang agak sedikit menohok di telinga ini pun aku sejenak menahan nafas. Kulirik Mbak Yuyun dan dia tak melirikku. Tapi masih sibuk berkutat.Teg!"Mbak siapa, Mbak?" tanyaku heran. Mungkin saja yang dimaksud bukan Mbak Widya."Ya Widya, Mbakm
Malam ini Bang Panjul sudah pulang. Dia sedang ke kamar mandi, dan dia meminta aku untuk pakai lingerie yang ia suruh itu. Langsung saja aku pun memakainya namun yang diberi dari Mbak Widya. Yang warna gold, renda-renda menggairahkan, bahannya lumayan bagus, kalau digigit pun sepertinya agak kuat. Karena terkadang gaya Bang Panjul itu seperti anjing menerkam mangsa. Taringnya menggigit.Aku pun segera rebahan di atas kasur sengaja supaya terlihat menggoda. Tapi ingin kulihat juga ekspresi dia saat aku memakai aroma ini dan lingerie ini. Ya, siapa tahu dia yang kreditkan ini untuk Mbak Widya.Dia sudah balik dari kamar mandi. "Nur Sayang?" Suaranya manja, hueeek."Ehem, Bang?" Aku menjawab manja juga.Keningnya mengkerut heran. "Kenapa gak pakai yang warna merah menyala? Gak ada, ya? Warna gold itu kamu dapat dari mana? Kok parfum kamu juga beda? Gak seperti yang Abang kasih." Ia jalan mendekat sembari menggaruk benda pusakanya hal biasa yang pria lakukan jika sudah kembali dari kamar
"Jangan-jangan …." Dia semakin membelalakkan kelopak matanya."Apaan? Jangan mikir aneh-aneh ya." Tanggapan dia sama dengan Mbak Widya tadi. Hemh!"Jangan-jangan Abang pernah masuk ke kamar Mbak Widya lalu nyuri parfumnya, ya? Ngaku, Bang! Jangan-jangan Abang juga nyelidikin dari mana Mbak Widya beli parfum itu, ya? Sampai Abang beli dari tiktok kata Abang." Aku dengan enak bicara seakan jadi wanita yang benar-benar bodoh dan polos berkata begitu.Aku benar-benar melihat hembusan nafasnya yang seperti plong itu sembari mengusap keringat di jidat. "Huwh … kok kamu tahu, Nur? Emang sih, hihi, Abang tapi gak masuk kamar Mbakmu, Abang nanya aja, parfum apa dan dari mana. Tapi Abang belinya yang beda, masak iya sama sih, Nur. Ntar ketuker lagi pas kamu gak sengaja di kamar Mbak Widya, ada Mas Aryo dia langsung nubruk kamu." Pintar sekali bahasanya Bang Panjul ini. Karena sudah kurang bergairah, jadinya aku memancing dia untuk bergaya yang cepat keluarnya. Dan aku berhasil, hemh! Kalau lama
Aku seperti kucing yang ingin buang hajat. Untung saja kursi dari kain, bukan dari kayu, jadi tubuhku bisa tersembunyikan. Kalaupun Bang Panjul balik lagi ke kamar, aku akan pura-pura dari dapur juga. Tapi, aku curiga, dia akan ke kamar Mbak Widya.Dan kini batang hidung Bang Panjul sudah terlihat. Dia kembali dari kamar mandi, tapi airnya masih terdengar berjatuhan. Dia tidak menutup kerannya, hingga aku pun benar-benar heran. Apa yang aku lihat sekarang? Dia berjinjit pelan ke arah kamar Mbak Widya. Astaghfirullahaladzim!Aku sampai sesak melihatnya. Posisiku yang jongkok takut ketahuan ini pun sekarang agak merangkak. Dia benar-benar kulihat masuk ke dalam kamar Mbak Widya. Sadis, ini adalah pemandangan yang begitu menyakitkan. Semprul kamu, Bang! Kamu semprul, Mbak.Berkali-kali aku mengelus dada beristighfar untuk menetralisir getaran tubuh yang kini sudah bisa dibilang guncangan. Lutut lemas, dada sesak, bola mata pun kini malah tanpa permisi berair. Bagaimana perasaan seorang
Geram aku dibuatnya. Saat ini lantas aku masih menggedor-gedor pintu kamar mandi. "Bang … Bang …." Suaraku sepertinya akan terdengar ke kamar Mbak Widya. Lihat saja, akan dari mana si Panjul muncul! Kakiku masih sakit, untung tidak sampai keseleo parah. Ini gegara emosi sampai kaki gremet lalu terkulai. Jatuhlah. Untung aku punya jurus lari marathon. Heurkh! Kalau digrebek sendiri, mereka pasti bisa melawanku. Harusnya nanti panggil RT saja. Setelah aku dapatkan di mana surat-surat warisan itu. Asetnya di mana pun aku tidak tahu. Astaga, Mbak Widya jahat sekali. "Bang … Abang di dalam, gak? Nur mau pipis!" Lagi aku berteriak. Belum ada jawaban sedikit pun. Mereka berdua pasti panik dan memyudahi aktivitas yang belum terjadi. "Bang, Nur buka, ya? Ini pengen pipis banget!" Mulut ini tak henti berteriak ngoceh. Lumayan panas di dadaku tersalurkan dengan teriakan ini. Namun, baru saja kuancam akan membukanya, tiba-tiba Bang Panjul muncul dari arah lain. Dia begitu kaget melihat ini.
Tiba-tiba Mbak Widya muncul. Dia sudah ganti kostum pakai piyama lengan pendek, juga rambutnya sudah agak semrawut. Ah, bisa sekali dia akting. Tadi pakai lingerie orange menyala, sekarang cling langsung seperti Jini Oh Jini ganti baju."Eh, Mbak, maaf ya, Mbak. Tadi aku mau ke kamar mandi, lama sekali Bang Panjul. Eh, malah nongol dari arah sana." Aku menunjuk ke arah pintu. Benar-benar ingin sekali kumakan mereka berdua mentah-mentah, tapi balik lagi, aku ini normal, hanya makan daging hewan saja. "Hadeuh, kamu ini, Nur! Berisik!" Mbak Widya marah."Maaf, Mbak. Maaf aku ganggu aktivitas tidur Mbak, ya. Namanya serumah ya gini, Mbak. Andai aku punya uang banyak, pasti akan aku belikan rumah besar, biar dari kamar ke kamar itu bisa pakek motor, Mbak, saking jauhnya. Ah, duit dari mana tapi." Sengaja aku ngoceh halu seperti burung beo. Aku selalu begitu terlihat udik sekali pasti di pandangan Bang Panjul. Bodo amat, tapi dengan begini, mereka pasti akan terus berpikir aku ini bodoh se
"Eh, Nur, masuk, Nur, masuk!"Aku sudah sampai di kediaman Pak RT dan Bu RT. Disapanya langsung dan dipersilahkan masuk oleh Bu RT, karena Pak RT sedang keluar katanya. Aku gerak cepat ingin tahu asal-usulku sebenarnya. Seingatku, sejak kecil aku memang tinggal di sini. Tanya ke tetangga dekat, mereka juga hanya tahunya Mbak Widya anak dari ibu dan bapak saja. Entah bagaimana ceritanya. Dan kebanyakan di sini tetangga baru, bukan orang asli sini."Ada keperluan apa, Nur? Tumben kemari?" Bu Ida langsung bertanya pada inti kedatanganku. Dia usianya di atas almarhumah ibu, jadi pasti tahu asal-usul Mbak Widya."Begini, Bu, maaf. Nur sebenarnya …."Begitu panjang lebar aku bertanya mengenai Mbak Widya dan almarhum orang tua. Dan aku juga menunjukkan sebuah foto yang usang dan sudah luntur itu pada Bu Ida.Benar-benar ingin kuketahui kebenarannya. Siapa pria itu? Kalau di foto anak kecil itu aku, jelas bukan, bola matanya bukan aku, apalagi hidungngnya. Jelas itu mirip Mbak Widya."Nur, i
Balik ke rumah emosiku bukannya meredam tapi malah semakin tersundut. Harta almarhum bapak masih ada? Dan aku anaknya sama sekali tidak tahu? Kehidupan apa ini?Mbak Widya dan Bang Panjul sudah keluar selama tiga jam, mereka satu pun belum ada yang kembali. Tapi, baru saja aku selesai masukannya beras untuk dimatangkan, tiba-tiba Mbak Wdiya pun pulang."Nur, Nur!" Dia meneriakiku."Apa, Mbak?"Dan begitu terkejutnya aku. Mbak Widya pulang dengan kantong-kantong belanjaannya. Dapat duit sebanyak itu dari mana dia? Dari Bang Panjul?"Belanja, Mbak?" heranku. Menyelidik jati dirinya dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Rambutnya juga sudah berganti model."Nur, sebentar lagi Mbak mau ajak kamu pindah rumah. Rumah ini boleh dijual ya? Karena Mbak udah punya rumah baru yang bagus. Biar agak luas."Jleb!"Rumah baru?" Aku terkaget-kaget bukan main. Uangnya dari mana?"Iya, Nur. Mbak dapat rezeki. Dapat lotre, ditambah uang tabungan Mbak yang cukup untuk beli rumah. Gimana?"Kalimatnya ba
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa