"Mbak, bukannya tadi suruh aku cepet-cepet ya? Mbak masih ngapain?" Kami akan segera pindah, ya mau bagaimana lagi, rumah ini sudah dijual dengan harga yang aku ketahui. "Iya, sebentar. Kamu sana dulu!" Dia mengusirku. Bukannya sibuk ikut bawa barang, ini malah diam di belakang rumah. Sedang apa pula dia? Jangan-jangan ada sesuatu."Ayok, Mbak!" Aku coba memaksa."Kamu dulu ke sana. Mbak lagi ini … lagi cari sesuatu. Oiya, barang Mbak masih ada di kamar Beberapa. Angkatin gih!" Dia menyuruhku lagi. Penasaran, sebenarnya apa yang ingin dia lakukan?"Iya deh, Mbak, iya. Cepetan ya, Mbak. Bukannya Mbak yang maksa kita pindah," ujarku sedikit kesal."Iya, iya, sana kamu, Nur!" Alhasil aku pun pergi saja. Tapi, hanya pura-pura. Ingin kuselidik apa yang sebenarnya yang Mbak Widya cari. Namun, yang kulihat Sekarang dia itu bukan sedang mencari. Seperti ada sesuatu di tangannya, dan dia juga seperti memegang korek api.Degh!Hatiku sudah lebam dengan kecurigaan yang tiada akhir. Begitu kag
Jleb!Begitu kagetnya dengan aksara yang berjejer rapi di kertas. Bola mata ini membelak mengetahui ini semua. Aku tak tahu ini tulisan siapa.… anakmu. Maafkan aku yang tidak bisa membiayainya. Suamimu sekarang orang kaya, pasti Widya bisa sekolah sampai SMP setidaknya. Jangan mencariku, aku sudah tak mau lagi hidup denganmu Ningsih. Aku juga sudah menikah lagi. Widya itu anakmu saja, bukan anakku. Aku gak mau akui dia.EndangItu isi di surat yang lebih dari separuhnya sudah terbakar. Jadi aku hanya bisa membaca ujungnya saja. Jadi kami memang bukan saudara sebapak? Ini adalah bukti yang membuatku semakin yakin. Ibu ditinggal suaminya yang pertama? Masya Allah.Lalu, ada secarik kertas lagi. Dan ini hanya terbakar seperempatnya. Ya Gusti, untung aku cepat menginjak api, jadi tidak sampai terbakar kertasnya.… ke kamu, karena kamu istri yang baik. Usia siapa yang tahu ya, Win. Jaga anak kita, dan aku menitipkan harta untuk Nurul. Abang menulis ini karena perasaan Abang kurang enak.
"Sayang, Abang pengen."Bang Panjul menghampiri ke kamar baru ini. Dia sepertinya sudah selesai menyeruput kopi. "Pengan apa, Bang?" tanyaku balik. Ini malam kedua di rumah ini. Badan juga masih ringsek setelah beres-beres. Baru beres hari ini. Rumah ini lumayan kotor di pojok-pojoknya. "Pengan anu dong, Yang," jawabnya sok manja.Entah bagaimana aku harus menolak karena jijik pada pria itu. Bu Ustazah bilang nolak suami itu dosa, tapi suami yang bagaimana? Borok-borok ingin berhubungan, melihat wajahnya saja kadang asam lambung kumat tanpa permisi.Ini seharusnya jadwal datang bulan. Aku harap, si tamu merah tiba. "Sebentar, Bang," ujarku karena tadi juga bawah perut sudah mules. Seperti biasa kalau ada tamu, pasti agak mules, dan pinggang juga serasa copot. Kuharap bukan hanya efek dari kerja berat tadi.Dan ternyata Dewi Fortuna, seperti apa kata di film berpihak. Benar saja, tamu merah ternyata sudah datang, namun warnanya masih agak gelap. Ada kesenangan tersendiri atas tamu in
"Tapi dingin, Sayang!" Dia hampir menyingkirkan es batu di kepalanya, tapi kurang berhasil."Eh, diem, Bang, Nur gak mau Abang geger otak. Ini bagus nih, biar sembuhkan luka." Padahal aku tidak tahu, hanya ingin kompres saja otaknya yang korslet."Ih, dingin, Nur, dingin!" Dia agak menggigil, aku lumayan puas."Eh, diam, Bang, Nur ini ahli beginian. Ini pengobatan tradisional," dalihku lagi. Terus sekamin kutekan saja es batu sampai kepalanya mungkin beku. Mampus kamu, Bang Panjul!"Hihi. Hihhhh. Hih … udah, dingin. Udah reda kok pening dan sakitnya." Dia berusaha mengendalikan."Alhamdulillah, Alhamdulillah. Jadi kalau semakin lama, justru ini semakin bagus, Bang. Bentar, tanggung, setengah jam lagi."Dia loncat kaget. "Hah, setengah jam? Mati membeku aku, Nur!" Hatiku tergelak tawa. Baguslah, biar otakmu yang panas dengan hasrat liar itu jadi sejuk sebentar.***"Nur, ini rumah sudah Mbak sertifikatkan. Masih dalam proses. Ini akan jadi atas nama Mbak ya? Lagian rumahnya juga ditem
"Oiya, Mbak, aku nemu foto ini. Kira-kira, ini foto Ibu sama siapa ya, Mbak?" Segera kuperlihatkan foto yang kutemukan waktu itu, "dan Nur juga pernah denger kalau bapak masih punya harta peninggalan, dari tetangga. Emang bener ya, Mbak? Kok aku gak tahu?" Seketika Mbak Widya pun seperti tertikam oleh belati tajam. Dia melotot meneguk liur saat kuberikan foto itu. Hayok, dia akan menjelaskan bagaimana?"Foto apaan ini?" Dia menyelidik benda tipis di tangannya."Itu anak kecil mirip sekali dengan Mbak. Kalau sama aku gak mungkin mirip, secara telinga anak kecil itu agak melebar ke pinggir. Itu Mbak 'kan? Dan ada tahi lalatnya di dagu sebelah kiri." Sebelum Mbak Widya beralasan, aku sudah mencecar duluan. Supaya apa, supaya dia tidak bilang kalau itu adalah gambar diriku."Eh, ini kamu dapat dari mana?" Mbak Widya Masih terpelongok kaget."Dari lemari, beres-beres aku, Mbak," jawabku santai."Eh, ya ini foto almarhum ibu sama bapak lah, Nur. Kenapa kamu nanya?" tanya balik Mbak Widya.
Gegas aku pun segera menuju ke rumah Juragan Tohir untuk menanyakan kepentingan Mbak Widya datang ke kediamannya. Dia itu bukan orang jumawa yang sadis, tapi biasa saja, ramah dan tidak akan mungkin marah-marah saat kutanya.Dan kutanyakan semuanya mengenai Mbak Widya, bahkan dia juga tidak tahu kalau aku malah tidak tahu Mbak Widya menjual harta peninggalan Bapak yang 100 tumbak itu padanya. Begitu sesak dadaku, ternyata Mbak Widya memang melempar sertifikat tanah untukku ke Juragan Tohir. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak bisa apa-apa saat ini. Juragan sudah bayar cash dengan nominal fantastis.Yang 30 tumbak juga ternyata digadaikan dengan harga 50 juta. Ah, entah untuk apa Mbak Widya, dan dia menggadaikannya di saat dia masih bersama Mas Aryo.Begitu bodohnya aku, sampai Mbak Widya tidak jujur mengenai hak milikku. Tega sekali dia. Aku menganggapnya kakak, sedangkan dia menganggapku musuhnya."Nur!"Tiba-tiba suara orang memanggil dari arah belakang. Aku yang masih berjalan menu
"Kalau iya, apakah … apakah laki-lakinya itu … em, … laki-lakinya itu B–Bang Panjul?" Huwh … bak bisul yang sudah meletus. Aku pasrah atas tanggapan Mas Aryo."Nur?" Dia kaget."Kenapa, Mas? Mas kaget ya?" Wajah Mas Aryo memperlihatkan raut wajah kurang enak. Aku pun kini seperti paham."Nur … kenapa kamu …?"Ah, aku sudah menduga memang hasratku tidak salah. "Jadi … jadi Mas Aryo pernah melihat Mbak Widya dengan suamiku, Mas?" Aduh, sesak sekali nafas. Tenggorokan juga tercekak bicara seperti ini.Mas Aryo geleng-geleng kepala bermaksud tak habis pikir. "Maafkan Mas yang tidak bisa menjaga dan mendidik mbakmu, Nur."Tegh!Dan liurku terteguk lagi dengan susah payah. Meski berat, tapi ini kenyataan. Bahkan Mas Aryo sudah tahu sejak awal, sedangkan aku belakangan. Berarti kebejatan mereka sudah berulang kali."Jadi … jadi Mas Aryo juga … hiks!"Astaga, Nur, kamu ternyata sekarang baru bisa meneteskan air mata untuk pria bajingan dan mbakmu yang bunglon itu. Ya Gusti, hatiku benar-ben
Saat ini Mbak Widya seperti biasa keluar. Sepertinya dia mau shoping lagi. Astaghfirullah, Bu, kenapa Ibu amanatkan harta dari Bapak ke Mbak Widya? Astaghfirullahaladzim! Istighfar, Nur, istighfar.Surat gugatan cerai dari Mas Aryo baru akan kuberikan nanti saja. Aku juga sudah ijin padanya, supaya besok saja aku memberikan pada Mbak Widya. Biar Mbak Widya tidak tahu kalau aku sudah bertemu dengan suaminya itu. Lagipula, Mas Aryo juga tidak menghubungi mbakku dulu.Kucari ke sana dan ke mari, ternyata sertifikat rumah ini tak juga kutemukan. Entah di mana Mbak Widya menumpuknya. Apa ditanam di tanah? Hadeuh, ampun!Di setiap laci tidak ada, di bawah kasur tidak ada, di belakang lemari tidak ada. Dia pasti menyembunyikannya. Namun aku salah, terlalu luas pikiranku mencari sertifikat itu, yang ternyata ada di laci meja rias Mbak Widya. Dia punya banyak peralatan make up, dan ini pasti meja rias peninggalan orang yang tinggal di rumah ini.Akhirnya, aku temukan juga sertifikatnya. Lantas
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa