Malam ini Bang Panjul sudah pulang. Dia sedang ke kamar mandi, dan dia meminta aku untuk pakai lingerie yang ia suruh itu. Langsung saja aku pun memakainya namun yang diberi dari Mbak Widya. Yang warna gold, renda-renda menggairahkan, bahannya lumayan bagus, kalau digigit pun sepertinya agak kuat. Karena terkadang gaya Bang Panjul itu seperti anjing menerkam mangsa. Taringnya menggigit.
Aku pun segera rebahan di atas kasur sengaja supaya terlihat menggoda. Tapi ingin kulihat juga ekspresi dia saat aku memakai aroma ini dan lingerie ini. Ya, siapa tahu dia yang kreditkan ini untuk Mbak Widya.
Dia sudah balik dari kamar mandi. "Nur Sayang?" Suaranya manja, hueeek.
"Ehem, Bang?" Aku menjawab manja juga.
Keningnya mengkerut heran. "Kenapa gak pakai yang warna merah menyala? Gak ada, ya? Warna gold itu kamu dapat dari mana? Kok parfum kamu juga beda? Gak seperti yang Abang kasih." Ia jalan mendekat sembari menggaruk benda pusakanya hal biasa yang pria lakukan jika sudah kembali dari kamar mandi. Mengerasnya membenarkan sempak. Oiya, soal sempak, aku semuanya sudah tandai. Aku kasih tanda dengan spidol permanen, kalau-kalau ada kejanggalan lagi.
"Ada, Bang, ada. Buat ntar-ntar, sekarang pakai yang ini, ya, Bang. Seksi 'kan aku, Bang?" Dengan konyol aku bertanya. Ah, sudahlah, kamu memang gila, Nur.
"Hem, ya, kamu begitu cantik, Nur Sayang. Aduh, kamu kenapa tahu warna itu kesukaan Abang banget? Abang minta kamu beli yang warna merah menyala itu karena Abang lihat waktu di sana ya banyaknya warna merah sama item." Bang Panjul mendekat dengan hasrat liarnya. Aku pun segera bersiap-siap.
"Wow, Abang jadi suka warna ini, ya? Kok Nur gak tahu ya, Bang? Bahkan Nur tahu Abang suka warna ini tuh dari Mbak Widya loh, Bang."
Mendengar kalimat aku barusan, Bang Panjul menjeda tatapan liarnya menjadi aneh. Dia kaget atau apa ya?
"Hemh?" Dia nyengir kunyit.
"Kenapa, Bang? Ayok!" Aku malah mengajak. Hadeuh, tapi ini bagus, menambah pahala katanya.
Dan seketika Bang Panjul pun menyingkirkan mimik wajah resah tadi lalu kini langsung menjamahku. Pengawalan ia lakukan hingga membuatku jatuh dalam labuhannya.
"Aku suka parfum ini, Sayang. Seger, buat Abang semakin tergila-gila. Kamu dapat ini dari Mbakmu, ya?"
Tegh!
Hasratnya yang sedang liar itu mungkin tak sadar berkata. Bagaimana aku tak kaget, kenapa dia bilang aku dapat wangi ini dari Mbak Widya?
Aku yang bergairah pun kini seakan menolak momen ini. "Kenapa kamu tahu ini parfum mbak aku, Bang? Pernah cium aroma ini?"
Gayanya yang mendominasi pun kini sontak terdiam. Keningnya berkeringat bukan karena aktivitas ini, karena baru saja nyemplung, mana bisa langsung berkeringat.
"Hemh, ini, Abang 'kan pernah nyium wanginya saat lewat. Saat itu Mas Aryo ada di rumah ini, dan Abang berpapasan dengan Mbak Widya. Sepertinya mereka habis anu, ya Abang makanya kayak gak asing sama bau ini." Eh, bisa saja dia bicara setenang itu. Jul, Panjul, kamu juga sedang bersandiwara, ya?
"Oh begitu. Aku pikir …." Sengaja aku menatapnya supaya sungkan.
"Pikir apa, Nur?" Dia semakin berkeringat dingin. Tak berani menatap wajahku sampai bola matanya tak fokus.
"Jangan-jangan …." Dia semakin membelalakkan kelopak matanya.
"Apaan? Jangan mikir aneh-aneh ya." Tanggapan dia sama dengan Mbak Widya tadi. Hemh!
"Jangan-jangan ...."
Dia makin kaget.
"Jangan-jangan …." Dia semakin membelalakkan kelopak matanya."Apaan? Jangan mikir aneh-aneh ya." Tanggapan dia sama dengan Mbak Widya tadi. Hemh!"Jangan-jangan Abang pernah masuk ke kamar Mbak Widya lalu nyuri parfumnya, ya? Ngaku, Bang! Jangan-jangan Abang juga nyelidikin dari mana Mbak Widya beli parfum itu, ya? Sampai Abang beli dari tiktok kata Abang." Aku dengan enak bicara seakan jadi wanita yang benar-benar bodoh dan polos berkata begitu.Aku benar-benar melihat hembusan nafasnya yang seperti plong itu sembari mengusap keringat di jidat. "Huwh … kok kamu tahu, Nur? Emang sih, hihi, Abang tapi gak masuk kamar Mbakmu, Abang nanya aja, parfum apa dan dari mana. Tapi Abang belinya yang beda, masak iya sama sih, Nur. Ntar ketuker lagi pas kamu gak sengaja di kamar Mbak Widya, ada Mas Aryo dia langsung nubruk kamu." Pintar sekali bahasanya Bang Panjul ini. Karena sudah kurang bergairah, jadinya aku memancing dia untuk bergaya yang cepat keluarnya. Dan aku berhasil, hemh! Kalau lama
Aku seperti kucing yang ingin buang hajat. Untung saja kursi dari kain, bukan dari kayu, jadi tubuhku bisa tersembunyikan. Kalaupun Bang Panjul balik lagi ke kamar, aku akan pura-pura dari dapur juga. Tapi, aku curiga, dia akan ke kamar Mbak Widya.Dan kini batang hidung Bang Panjul sudah terlihat. Dia kembali dari kamar mandi, tapi airnya masih terdengar berjatuhan. Dia tidak menutup kerannya, hingga aku pun benar-benar heran. Apa yang aku lihat sekarang? Dia berjinjit pelan ke arah kamar Mbak Widya. Astaghfirullahaladzim!Aku sampai sesak melihatnya. Posisiku yang jongkok takut ketahuan ini pun sekarang agak merangkak. Dia benar-benar kulihat masuk ke dalam kamar Mbak Widya. Sadis, ini adalah pemandangan yang begitu menyakitkan. Semprul kamu, Bang! Kamu semprul, Mbak.Berkali-kali aku mengelus dada beristighfar untuk menetralisir getaran tubuh yang kini sudah bisa dibilang guncangan. Lutut lemas, dada sesak, bola mata pun kini malah tanpa permisi berair. Bagaimana perasaan seorang
Geram aku dibuatnya. Saat ini lantas aku masih menggedor-gedor pintu kamar mandi. "Bang … Bang …." Suaraku sepertinya akan terdengar ke kamar Mbak Widya. Lihat saja, akan dari mana si Panjul muncul! Kakiku masih sakit, untung tidak sampai keseleo parah. Ini gegara emosi sampai kaki gremet lalu terkulai. Jatuhlah. Untung aku punya jurus lari marathon. Heurkh! Kalau digrebek sendiri, mereka pasti bisa melawanku. Harusnya nanti panggil RT saja. Setelah aku dapatkan di mana surat-surat warisan itu. Asetnya di mana pun aku tidak tahu. Astaga, Mbak Widya jahat sekali. "Bang … Abang di dalam, gak? Nur mau pipis!" Lagi aku berteriak. Belum ada jawaban sedikit pun. Mereka berdua pasti panik dan memyudahi aktivitas yang belum terjadi. "Bang, Nur buka, ya? Ini pengen pipis banget!" Mulut ini tak henti berteriak ngoceh. Lumayan panas di dadaku tersalurkan dengan teriakan ini. Namun, baru saja kuancam akan membukanya, tiba-tiba Bang Panjul muncul dari arah lain. Dia begitu kaget melihat ini.
Tiba-tiba Mbak Widya muncul. Dia sudah ganti kostum pakai piyama lengan pendek, juga rambutnya sudah agak semrawut. Ah, bisa sekali dia akting. Tadi pakai lingerie orange menyala, sekarang cling langsung seperti Jini Oh Jini ganti baju."Eh, Mbak, maaf ya, Mbak. Tadi aku mau ke kamar mandi, lama sekali Bang Panjul. Eh, malah nongol dari arah sana." Aku menunjuk ke arah pintu. Benar-benar ingin sekali kumakan mereka berdua mentah-mentah, tapi balik lagi, aku ini normal, hanya makan daging hewan saja. "Hadeuh, kamu ini, Nur! Berisik!" Mbak Widya marah."Maaf, Mbak. Maaf aku ganggu aktivitas tidur Mbak, ya. Namanya serumah ya gini, Mbak. Andai aku punya uang banyak, pasti akan aku belikan rumah besar, biar dari kamar ke kamar itu bisa pakek motor, Mbak, saking jauhnya. Ah, duit dari mana tapi." Sengaja aku ngoceh halu seperti burung beo. Aku selalu begitu terlihat udik sekali pasti di pandangan Bang Panjul. Bodo amat, tapi dengan begini, mereka pasti akan terus berpikir aku ini bodoh se
"Eh, Nur, masuk, Nur, masuk!"Aku sudah sampai di kediaman Pak RT dan Bu RT. Disapanya langsung dan dipersilahkan masuk oleh Bu RT, karena Pak RT sedang keluar katanya. Aku gerak cepat ingin tahu asal-usulku sebenarnya. Seingatku, sejak kecil aku memang tinggal di sini. Tanya ke tetangga dekat, mereka juga hanya tahunya Mbak Widya anak dari ibu dan bapak saja. Entah bagaimana ceritanya. Dan kebanyakan di sini tetangga baru, bukan orang asli sini."Ada keperluan apa, Nur? Tumben kemari?" Bu Ida langsung bertanya pada inti kedatanganku. Dia usianya di atas almarhumah ibu, jadi pasti tahu asal-usul Mbak Widya."Begini, Bu, maaf. Nur sebenarnya …."Begitu panjang lebar aku bertanya mengenai Mbak Widya dan almarhum orang tua. Dan aku juga menunjukkan sebuah foto yang usang dan sudah luntur itu pada Bu Ida.Benar-benar ingin kuketahui kebenarannya. Siapa pria itu? Kalau di foto anak kecil itu aku, jelas bukan, bola matanya bukan aku, apalagi hidungngnya. Jelas itu mirip Mbak Widya."Nur, i
Balik ke rumah emosiku bukannya meredam tapi malah semakin tersundut. Harta almarhum bapak masih ada? Dan aku anaknya sama sekali tidak tahu? Kehidupan apa ini?Mbak Widya dan Bang Panjul sudah keluar selama tiga jam, mereka satu pun belum ada yang kembali. Tapi, baru saja aku selesai masukannya beras untuk dimatangkan, tiba-tiba Mbak Wdiya pun pulang."Nur, Nur!" Dia meneriakiku."Apa, Mbak?"Dan begitu terkejutnya aku. Mbak Widya pulang dengan kantong-kantong belanjaannya. Dapat duit sebanyak itu dari mana dia? Dari Bang Panjul?"Belanja, Mbak?" heranku. Menyelidik jati dirinya dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Rambutnya juga sudah berganti model."Nur, sebentar lagi Mbak mau ajak kamu pindah rumah. Rumah ini boleh dijual ya? Karena Mbak udah punya rumah baru yang bagus. Biar agak luas."Jleb!"Rumah baru?" Aku terkaget-kaget bukan main. Uangnya dari mana?"Iya, Nur. Mbak dapat rezeki. Dapat lotre, ditambah uang tabungan Mbak yang cukup untuk beli rumah. Gimana?"Kalimatnya ba
"Mbak, bukannya tadi suruh aku cepet-cepet ya? Mbak masih ngapain?" Kami akan segera pindah, ya mau bagaimana lagi, rumah ini sudah dijual dengan harga yang aku ketahui. "Iya, sebentar. Kamu sana dulu!" Dia mengusirku. Bukannya sibuk ikut bawa barang, ini malah diam di belakang rumah. Sedang apa pula dia? Jangan-jangan ada sesuatu."Ayok, Mbak!" Aku coba memaksa."Kamu dulu ke sana. Mbak lagi ini … lagi cari sesuatu. Oiya, barang Mbak masih ada di kamar Beberapa. Angkatin gih!" Dia menyuruhku lagi. Penasaran, sebenarnya apa yang ingin dia lakukan?"Iya deh, Mbak, iya. Cepetan ya, Mbak. Bukannya Mbak yang maksa kita pindah," ujarku sedikit kesal."Iya, iya, sana kamu, Nur!" Alhasil aku pun pergi saja. Tapi, hanya pura-pura. Ingin kuselidik apa yang sebenarnya yang Mbak Widya cari. Namun, yang kulihat Sekarang dia itu bukan sedang mencari. Seperti ada sesuatu di tangannya, dan dia juga seperti memegang korek api.Degh!Hatiku sudah lebam dengan kecurigaan yang tiada akhir. Begitu kag
Jleb!Begitu kagetnya dengan aksara yang berjejer rapi di kertas. Bola mata ini membelak mengetahui ini semua. Aku tak tahu ini tulisan siapa.… anakmu. Maafkan aku yang tidak bisa membiayainya. Suamimu sekarang orang kaya, pasti Widya bisa sekolah sampai SMP setidaknya. Jangan mencariku, aku sudah tak mau lagi hidup denganmu Ningsih. Aku juga sudah menikah lagi. Widya itu anakmu saja, bukan anakku. Aku gak mau akui dia.EndangItu isi di surat yang lebih dari separuhnya sudah terbakar. Jadi aku hanya bisa membaca ujungnya saja. Jadi kami memang bukan saudara sebapak? Ini adalah bukti yang membuatku semakin yakin. Ibu ditinggal suaminya yang pertama? Masya Allah.Lalu, ada secarik kertas lagi. Dan ini hanya terbakar seperempatnya. Ya Gusti, untung aku cepat menginjak api, jadi tidak sampai terbakar kertasnya.… ke kamu, karena kamu istri yang baik. Usia siapa yang tahu ya, Win. Jaga anak kita, dan aku menitipkan harta untuk Nurul. Abang menulis ini karena perasaan Abang kurang enak.
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa