Di antara begitu banyak pilihan, aku tidak menyangka dia akan membawa aku ke rumah ini. Dia keluar dari mobil dan mengeluarkan koper berisi pakaianku dan anak-anak. Mereka melompat dari mobil dengan wajah bahagia, tidak sabar bertemu dengan temannya.“Hai, Jax, Remy!” sapa Ardi dari balik pagar rumahnya. Seorang pria menolong membukakan pagar, lalu mempersilakan kami masuk. Anak kecil itu menggandeng tangan Jax dan mengajaknya masuk.Aku memegang tangan Remy dan Jeff berjalan di sisiku. Rumah Moira jauh lebih besar dari rumah yang ada di sekitar perumahan. Sepertinya dua petak tanah dijadikan satu hanya untuk membangun rumah mereka. Ini pasti ide ayah Ardi. Mengapa dia tidak ceraikan saja istrinya dan menikah dengan Moira daripada bersembunyi begini?“Aku senang sekali kita akan tinggal bersama untuk lima hari ke depan!” sorak Moira yang berjalan menuruni tangga. “Letakkan saja kopernya di situ. Nanti ada yang akan mengangkatnya ke atas. Ayo, kita mengobrol di ruang keluarga.”“Aku ti
Bian meletakkan telunjuknya di depan bibir, jadi aku tidak bergerak sama sekali. Aku bahkan nyaris takut bernapas. Apakah ada yang mengetahui kedatangan kami? Aku tidak mendengar suara apa pun, hanya bunyi mesin mobil di kejauhan.Lalu bunyi itu datang. Aku menahan napas. Bunyi sepatu yang beradu di lantai. Datang dari arah kanan kami. Aku melihat ke arah Bian yang sedang menundukkan badan dan memejamkan matanya. Mengapa dia takut kami ketahuan? Bukankah kami bisa berjalan dengan santai, ah, tidak. Siapa pun yang sedang berjalan ini pasti tahu kalau kami bukan penghuni apartemen di gedung ini.Ketika Bian bergerak, aku menunggu sampai bunyi itu berada di sebelah kiriku. Lalu dengan tetap menundukkan badan, aku bergeser ke kanan. Kami memakai sepatu kets, jadi tidak menimbulkan bunyi saat berjalan. Bian menunggu aku di ujung depan mobil. Aku berjalan pelan-pelan ke arahnya.Dia menoleh, lalu meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Ketika dia menunjuk ke barisan mobil di seberang kami, a
“Lo? Kamu tidak menunggu pengacaramu datang menjemput baru pergi ke kantor polisi?” tanya Moira bingung. Dia melihat penampilanku dari kepala ke kaki.Hari ini adalah hariku untuk wajib lapor lagi. Dia yang akan mengantar anak-anak ke sekolah, jadi aku bisa langsung pergi. “Apa maksudmu? Aku hanya melakukan wajib lapor, tidak butuh dampingan kuasa hukum,” ucapku tidak kalah bingungnya.“Di situlah letak kesalahanmu, Jenar. Kamu pasti tidak didampingi pengacara saat ditangkap dan dinterogasi oleh para polisi jahat itu. Mereka bisa saja memutarbalikkan isi laporanmu. Sebentar.” Dia mengeluarkan ponselnya, lalu bicara dengan seseorang.“Ayo,” katanya sambil memasukkan alat komunikasi itu kembali ke tasnya. “Temanku akan datang ke sekolah untuk menjemput kamu. Lokasi kantor polisi itu lebih dekat dari sekolah.”“Moira, aku tidak punya uang untuk membiayai jasa pengacara,” bisikku enggan.“Tidak usah khawatirkan itu. Aku yang tanggung. Kamu hanya membutuhkannya beberapa jam saja, bukan mas
“Mama! Mama! Cepat buka pintunya!” Jax dan Remy menggedor-gedor pintu kamar mandi. Aku baru saja melumuri rambutku dengan pelembab. Bagaimana aku bisa membuka pintu dengan keadaan ini?“Sebentar, sayang,” sahutku. “Beri aku waktu lima menit. Aku segera keluar.”Setelah menemani mereka bermain di taman, aku mencuri-curi kesempatan untuk mandi. Hari ini sangat panas sehingga aku berkeringat selama berada di tempat bermain. Mengapa mereka mandi cepat sekali? Apa Jeff tidak menyuruh mereka menyabuni badan dengan baik?“Cepat, Ma! Jangan lama-lama!” seru Remy tidak sabar. Ada apa lagi dengan mereka? “Kak, berapa lama lima menit itu?” Mungkin dia bertanya kepada Jax.“Sangat lama,” jawab putra sulungku itu. Yang benar saja. Kalimatnya itu membuat adiknya semakin gencar mengetuk pintu.Apa yang membuat mereka mendesak aku membuka pintu? Aku segera mengenakan mantel mandi, lalu membuka pintu. Bukannya bertemu dengan anak-anak, aku malah berhadapan dengan Jeff. Mendengar suara kikikan mereka,
~Jeffrey~Yang ada di dalam kepalaku selama mengikuti konferensi organisasi kami di Bali adalah Jenar. Aku tidak bisa hanya memeluk dan menciumnya saja. Aku mau lebih dari itu. Hari ini dia genap satu bulan bebas dari penjara. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.Anak-anak terlihat bahagia menyambut aku saat aku menjemput mereka dari rumah Moira. Hal yang sangat kontras ketika aku bertemu mereka pada pagi hari dua minggu yang lalu. Mereka menangis dan meminta aku untuk tidak pergi lagi.Seharusnya mereka lebih bahagia berada di rumah keluarga daripada rumah teman mereka.“Hai, sayang!” seru Dina saat dia baru pulang. “Aku senang melihat kau sudah kembali!” Dia mendekat dan memeluk tubuhku. “Apa ada oleh-oleh untukku??”“Aku bekerja, bukan berlibur,” jawabku.Dia memajukan bibir bawahnya. “Apa kau masih marah? Aku, ‘kan, sudah meminta maaf. Harus bagaimana lagi supaya kau tidak dingin begini?” Aku hanya diam.“Apa kau ingat besok hari apa?” tanyanya. Aku kembali diam. “Kau ini baga
“Kamu tunggu di sini. Biar aku yang periksa.” Aku meninggalkan Jenar di tempat duduknya, lalu berjalan mendekati jendela. Tidak ada siapa-siapa di luar.Aku membuka pintu dan mencari sumber bunyi tersebut. Ternyata ada sebuah batu bata di dekat pagar, dan ada bekas benturan di salah satu besi pagar. Siapa yang melakukan ini? Belum pernah ada orang yang mengganggu di lingkungan ini sebelumnya.Aku masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya, lalu memastikan semua tirai tertutup dengan rapat. Jenar keluar dari kamar anak-anak. Mungkin dia memeriksa apa mereka terbangun karena bunyi tadi. Dia menggandeng tanganku, mengajak aku ke kamarnya.Dia tidak yakin Dina sudah pergi untuk selamanya, jadi dia tidak mau tidur di kamar utama. Aku tidak bisa memaksa, karena memang masih ada barang-barang wanita itu di dalam lemari dan laci bufet. Lagi pula, apa yang kami lakukan hanya bisa diselesaikan di kamarnya yang kedap suara.“Ini sarapan dan bekalmu,” kata Jenar sambil memberikan aku sebuah tas b
~Jenar~Aku tidak bisa mengatakan betapa bahagianya aku bisa berada di rumahku sendiri. Perempuan itu sudah pergi, jadi aku bisa tenang bertiga saja dengan anak-anak. Jeff sedang pergi keluar kota, tetapi kami tidak perlu merepotkan Moira lagi.Memasak sarapan pesanan orang, menyiapkan bekal untuk anak-anak bisa aku lakukan dengan santai. Lemari es juga tidak perlu aku kunci, karena tidak akan ada orang yang lancang mengambil makanan yang ada di dalamnya hanya untuk dibuang.“Beberapa orang dari rekaman itu sudah bisa diidentifikasi. Pelakunya berasal dari kelompok yang sama. Bisa jadi, sisa pelakunya akan kamu temukan ketika mereka berkumpul,” kata Moira sambil memberikan sebuah amplop kepadaku.Setelah mengantar anak-anak ke kelas mereka, Moira mengajak aku masuk ke mobilnya. Ternyata dia sudah punya informasi mengenai para pelaku kurang ajar itu. Aku tidak mau melibatkan Bian dalam hal ini, karena aku sangat yakin, akulah penyebab tokonya diserang orang.“Lebih baik aku menunggu sa
Walaupun aku percaya kepada Moira, aku belum siap untuk menceritakan masa laluku kepadanya. Jeff saja belum tahu. Aku terpaksa memberi tahu Franky, karena dia berperan sebagai pengacaraku saat menemui Wahyo. Mengingatnya saja sudah membuat aku takut, apalagi membahasnya.“Maafkan aku. Kalau kamu belum siap untuk menceritakannya, tidak apa-apa. Cukup katakan satu hal saja. Apa dia orang jahat?” tanya Moira, setengah berbisik.Aku segera menganggukkan kepalaku. “Ada hal penting yang perlu aku bicarakan denganmu. Dina kelihatannya akrab dengan pria itu. Suamiku dan anak-anak juga mengenalnya. Apa kamu bisa menyelidiki ada hubungan apa di antara mereka berdua?”“Oh, ya? Aneh. Mengapa teman-temanku maupun Bian tidak mendapati dia pernah bertemu dengan pria itu? Siapa tadi namanya? Ah, iya. Wahyo.” Dia mengeluarkan ponselnya, lalu mengetik sesuatu dengan cepat. “Kita tunggu saja kabar dari temanku.”“Terima kasih, Moira. Lalu mengenai hal penting malam ini,” kataku, mengingatkan.“Tenang sa