~Jenar~ Kedua kakiku tidak kuat lagi menahan berat tubuhku ketika aku sendirian di kamar. Obat tidur. Tega sekali perempuan itu memberi mereka obat setiap malam sebelum tidur. Dia masih berani bertindak seolah-olah dia adalah ibu yang paling sempurna di dunia di depan keluarga Jeff. Penyerangan di toko Bian masih membuat aku takut berjalan seorang diri, kini ditambah lagi dengan desakan Ibu yang menginginkan aku bercerai dari Jeff. Apa sudah tidak ada lagi orang yang percaya kepadaku? Apa aku begitu jahat sehingga anak-anakku juga harus jadi korban? Oh, Tuhan. Semoga saja Jax dan Remy tidak mengalami masalah kesehatan akibat obat itu. “Ya, ampun!” Aku menutup mulut melihat seseorang ada di dalam kamar bersamaku. “Apa kamu akan selalu melakukan ini? Aku tidak ke mana-mana, jadi kamu tidak perlu memeriksa aku terus.” “Siapa Bian?” tanyanya, mengejutkan aku. Untuk memberi diriku waktu mencari jawaban yang tepat, aku meminum air yang ada di gelas. “Kamu mengigau, menyebut-nyebut namany
Kejadian minggu lalu benar-benar masih membekas. Aku bisa merasakan seluruh tubuhku gemetar. Teriakan, tangisan, juga tuduhan yang aku saksikan pada hari itu masih membayang dengan jelas. Satu minggu berlalu belum bisa membuat aku melupakan rasa sakitnya.“Papa!!” seru Jax dan Remy. “Sampai besok, Ardi, Tante!” Mereka pamit, lalu berlari mendekati papa mereka yang keluar dari mobilnya.Padahal aku tahu Jeff yang datang, bukan Dina, Ibu, atau Lauren. Dia berjanji akan datang untuk menjemput kami saat anak-anak pulang sekolah. Ada apa denganku? Sudah lama aku tidak lemah begini. Ke mana diriku yang kuat dan tegar itu?“Tarik napas yang panjang, tenangkan dirimu. Itu hanya suamimu, bukan ibu mertuamu,” kata Moira pelan. Aku menoleh ke arahnya. Dia tersenyum. “Kamu akan baik-baik saja.”Aku menurut dengan menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Ada banyak hal yang terjadi selama satu minggu yang lalu, aku tidak perlu terlalu keras kepada diriku sendiri. Apa yang aku rasak
~Jeffrey~Aku sengaja tidak datang bersama Jenar ketika mengambil hasil pemeriksaan kesehatan anak-anak. Aku punya teman seorang dokter, jadi aku tidak menemui dokter jaga yang ada di laboratorium itu. Dia menjelaskan panjang lebar mengenai hasil tersebut, tetapi aku tidak mengerti.“Intinya, Jax dan Remy sehat, dan tidak ada masalah pada organ tubuh mereka. Yang perlu menjadi perhatian adalah kandungan doxylamine yang ada dalam darah mereka.” Dia melipat kedua tangan di atas meja, lalu mendekat. “Jeff, ada banyak cara untuk membantu anak-anak tidur. Mengapa memberi mereka obat?”“Bukan aku yang memberikannya,” kataku singkat.Dia tertegun sejenak. “Dina?” tanyanya tidak percaya. Aku hanya diam. “Aku selama ini menganggap dia wanita yang baik. Dia sangat perhatian kepada anak-anakmu. Tidak mungkin.”“Buktinya sudah ada di depanmu,” kataku, mengingatkan. “Penampilan bisa menipu.”“Oke. Jangan berikan obat itu lagi kepada mereka. Kamu beruntung, mereka baik-baik saja. Kalau mereka mengo
Di antara begitu banyak pilihan, aku tidak menyangka dia akan membawa aku ke rumah ini. Dia keluar dari mobil dan mengeluarkan koper berisi pakaianku dan anak-anak. Mereka melompat dari mobil dengan wajah bahagia, tidak sabar bertemu dengan temannya.“Hai, Jax, Remy!” sapa Ardi dari balik pagar rumahnya. Seorang pria menolong membukakan pagar, lalu mempersilakan kami masuk. Anak kecil itu menggandeng tangan Jax dan mengajaknya masuk.Aku memegang tangan Remy dan Jeff berjalan di sisiku. Rumah Moira jauh lebih besar dari rumah yang ada di sekitar perumahan. Sepertinya dua petak tanah dijadikan satu hanya untuk membangun rumah mereka. Ini pasti ide ayah Ardi. Mengapa dia tidak ceraikan saja istrinya dan menikah dengan Moira daripada bersembunyi begini?“Aku senang sekali kita akan tinggal bersama untuk lima hari ke depan!” sorak Moira yang berjalan menuruni tangga. “Letakkan saja kopernya di situ. Nanti ada yang akan mengangkatnya ke atas. Ayo, kita mengobrol di ruang keluarga.”“Aku ti
Bian meletakkan telunjuknya di depan bibir, jadi aku tidak bergerak sama sekali. Aku bahkan nyaris takut bernapas. Apakah ada yang mengetahui kedatangan kami? Aku tidak mendengar suara apa pun, hanya bunyi mesin mobil di kejauhan.Lalu bunyi itu datang. Aku menahan napas. Bunyi sepatu yang beradu di lantai. Datang dari arah kanan kami. Aku melihat ke arah Bian yang sedang menundukkan badan dan memejamkan matanya. Mengapa dia takut kami ketahuan? Bukankah kami bisa berjalan dengan santai, ah, tidak. Siapa pun yang sedang berjalan ini pasti tahu kalau kami bukan penghuni apartemen di gedung ini.Ketika Bian bergerak, aku menunggu sampai bunyi itu berada di sebelah kiriku. Lalu dengan tetap menundukkan badan, aku bergeser ke kanan. Kami memakai sepatu kets, jadi tidak menimbulkan bunyi saat berjalan. Bian menunggu aku di ujung depan mobil. Aku berjalan pelan-pelan ke arahnya.Dia menoleh, lalu meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Ketika dia menunjuk ke barisan mobil di seberang kami, a
“Lo? Kamu tidak menunggu pengacaramu datang menjemput baru pergi ke kantor polisi?” tanya Moira bingung. Dia melihat penampilanku dari kepala ke kaki.Hari ini adalah hariku untuk wajib lapor lagi. Dia yang akan mengantar anak-anak ke sekolah, jadi aku bisa langsung pergi. “Apa maksudmu? Aku hanya melakukan wajib lapor, tidak butuh dampingan kuasa hukum,” ucapku tidak kalah bingungnya.“Di situlah letak kesalahanmu, Jenar. Kamu pasti tidak didampingi pengacara saat ditangkap dan dinterogasi oleh para polisi jahat itu. Mereka bisa saja memutarbalikkan isi laporanmu. Sebentar.” Dia mengeluarkan ponselnya, lalu bicara dengan seseorang.“Ayo,” katanya sambil memasukkan alat komunikasi itu kembali ke tasnya. “Temanku akan datang ke sekolah untuk menjemput kamu. Lokasi kantor polisi itu lebih dekat dari sekolah.”“Moira, aku tidak punya uang untuk membiayai jasa pengacara,” bisikku enggan.“Tidak usah khawatirkan itu. Aku yang tanggung. Kamu hanya membutuhkannya beberapa jam saja, bukan mas
“Mama! Mama! Cepat buka pintunya!” Jax dan Remy menggedor-gedor pintu kamar mandi. Aku baru saja melumuri rambutku dengan pelembab. Bagaimana aku bisa membuka pintu dengan keadaan ini?“Sebentar, sayang,” sahutku. “Beri aku waktu lima menit. Aku segera keluar.”Setelah menemani mereka bermain di taman, aku mencuri-curi kesempatan untuk mandi. Hari ini sangat panas sehingga aku berkeringat selama berada di tempat bermain. Mengapa mereka mandi cepat sekali? Apa Jeff tidak menyuruh mereka menyabuni badan dengan baik?“Cepat, Ma! Jangan lama-lama!” seru Remy tidak sabar. Ada apa lagi dengan mereka? “Kak, berapa lama lima menit itu?” Mungkin dia bertanya kepada Jax.“Sangat lama,” jawab putra sulungku itu. Yang benar saja. Kalimatnya itu membuat adiknya semakin gencar mengetuk pintu.Apa yang membuat mereka mendesak aku membuka pintu? Aku segera mengenakan mantel mandi, lalu membuka pintu. Bukannya bertemu dengan anak-anak, aku malah berhadapan dengan Jeff. Mendengar suara kikikan mereka,
~Jeffrey~Yang ada di dalam kepalaku selama mengikuti konferensi organisasi kami di Bali adalah Jenar. Aku tidak bisa hanya memeluk dan menciumnya saja. Aku mau lebih dari itu. Hari ini dia genap satu bulan bebas dari penjara. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.Anak-anak terlihat bahagia menyambut aku saat aku menjemput mereka dari rumah Moira. Hal yang sangat kontras ketika aku bertemu mereka pada pagi hari dua minggu yang lalu. Mereka menangis dan meminta aku untuk tidak pergi lagi.Seharusnya mereka lebih bahagia berada di rumah keluarga daripada rumah teman mereka.“Hai, sayang!” seru Dina saat dia baru pulang. “Aku senang melihat kau sudah kembali!” Dia mendekat dan memeluk tubuhku. “Apa ada oleh-oleh untukku??”“Aku bekerja, bukan berlibur,” jawabku.Dia memajukan bibir bawahnya. “Apa kau masih marah? Aku, ‘kan, sudah meminta maaf. Harus bagaimana lagi supaya kau tidak dingin begini?” Aku hanya diam.“Apa kau ingat besok hari apa?” tanyanya. Aku kembali diam. “Kau ini baga