Perbedaan kentara antara kedatangan ibunya—ketika Gloriya menjenguk dan seseorang dengan motivasi tak terbaca cukup memberi Froy ketegangan yang pekat, sehingga dia mengambil tindakan paling ragu sekadar duduk berhadapan—hampir menunduk saat mata kelabu itu menatap terlalu tajam ke arahnya.
“Kenapa menjenguk-ku, Paman?” Akhirnya, Froy tak akan bisa menahan diri lebih lama. Kali pertama Abihirt menginjakkan kaki di tempat ini rasanya hampir seperti sesuatu yang mustahil. Dia masih menunggu jawaban singkat, mengerti bahwa paman-nya punya sedikit kebiasaan tidak mengatakan apa – apa; cenderung mengobservasi situasi di sekitar sebelum memulai; lalu akan mendominasi keadaan. Sudah terlalu lama, mendesak ketegangan di bahu Froy menjadi sesuatu yang bertingkat – tingkat. Kedua kakinya telah bergetar di bawah meja dan seluruh tangan dingin menjelma seperti sebuah lapisan es membekukan. Dia mengerjap berulang kali sekadar menetralisir reaksi seperti ini. Mungkin bersikap menje“Jadi Abi sudah mencabut laporannya dan sekarang Froy sudah dibebaskan?” Moreau mengangkat sebelah alis tinggi secara alamiah saat mendengar percakapan ibunya bersama seseorang di balik telepon. Sudah dapat dipastikan Gloriya adalah pelaku utama, yang menjabarkan bagaimana perasaan lega mengambil peran di antara mereka. Sedikit mengejutkan, tetapi lebih adil tidak berusaha mempermasalahkannya terlalu panjang. Mungkin ada sesuatu yang memberi Abihirt dampak dan Moreau masih menyakini segala sesuatu—mereka lewati semalam, merupakan salah satu alasan. Seseorang mengaku butuh ketenangan, demikianlah yang ayah sambungnya lakukan. Pantas dia tidak menemukan pria itu di mana pun ketika terbangun tadi pagi, meski sempat berpikir bahwa hal tersebut merupakan kebutuhan rutin—selalu terbayar oleh pola serupa, sehingga tak membutuhkan gambaran rinci untuk dijelaskan. “Aku rasa Abi langsung ke kantornya setelah menemui Froy. Dia tidak mengatakan apa pun kepadaku. Tidak ada yang ta
“Moreau, cepatlah! Juan sudah menunggu-mu di depan.” Suara teriakan ibunya menggelegar sampai ke dalam kamar. Moreau segera menoleh ke arah pintu sebentar. Yakin Barbara ada di lantai dasar dan berusaha tetap mendesaknya supaya lebih cepat. Ya, paling tidak, dia berdandan sendiri untuk datang ke acara pernikahan Froy. Tidak berlebihan, hanya sedikit menebalkan make-up dari biasanya. Lagi pula, sudah akan selesai. Sekadar perlu menambahan lipstik sebagai bagian akhir dan Moreau sedang hati – hati melakukannya. Dia menatap cermin sambil merapikan sentuhan di bibir menggunakan ujung jari. Lip liner yang menyatu dengan warna nude memberi kesan lebih tebal dan Moreau sedikit menyukainya. Dia tersenyum tipis. Sengaja mengambil langkah mundur untuk memastikan kembali seluruh penampilan yang memantul sempurna di sana. Slip dress mode spegetti dari kain satin ringan dengan sentuhan sutra menyatu sempurna di tubuhnya setelah disesuaikan oleh tali – tali yang mengikat di belakan
[Rasanya aku ingin membawamu ke ruang merah saat ini juga.] Hanya sebuah notifikasi ponsel dan Moreau segera mendapati tatapan tajam ayah sambungnya di kejauhan. Sejak awal mereka memang berpencar. Dia memutuskan untuk tidak terlalu dekat setelah tiba di pesta pernikahan Froy dan Lewi. Bukan apa – apa. Setidaknya ingin sedikit kebebasan daripada terjebak di tengah pengawasan Barbara. Sialnya Moreau tidak pernah menduga justru Abihirt-lah, yang nyaris tidak melepaskan perhatian darinya ketika mendapat kesempatan. Seperti saat pria itu sedang berdiam diri sendiri di pojokan taman, sementara Barbara telah berada di antara perkumpulan kenalan baru, termasuk Gloriya di sana. Wanita tersebut terlihat antusias melakukan banyak percakapan dan hampir benar – benar melupakan keberadaan suami penyendirinya. [Sekarang ini, teman kencanku adalah Juan. Kau tidak akan pernah membawaku pergi ke mana pun selama aku masih bersama teman kencanku, apalagi di ruang merah. Tidak akan.]
“Ada ibuku di sini, Juan. Jangan sampai kau memancingnya datang menghampirimu, lalu mengucapkan kata – kata ajaib yang tidak pernah kau inginkan seumur hidup. Dan jangan pernah bicarakan hubunganku dan Abi di tempat seperti ini.” Terlalu berbahaya. Juan harus mengerti. Mereka bisa membicarakan sesuatu yang lain. Mungkin sambil minum – minum. Ada pelbagai hidangan ringan dan seharusnya itu tidak dilewatkan. “Kalian sepertinya sangat menikmati momen berdua di sini.” Tiba – tiba suara Lewi muncul di antara mereka. Bukan waktu yang tepat. Moreau tak berharap akan ada perbincangan bersama wanita itu, sementara Froy seperti tidak pernah ingin lepas dari pasangan hidup yang telah resmi. Masalah utama—adalah pria tersebut menatap ganjil ke arahnya. Moreau tak cukup menyukai saat – saat di sini. Tidak nyaman atas sikap permusuhan Froy, ntah karena pria itu masih menyimpan segala bentuk tuduhan di puncak kepala atau peringatan dari Abihirt tentang kebebasannya merupak
Gloriya tidak akan memiliki pilihan lebih banyak ketika wanita itu memulai rangkuman dengan mengajukan pertanyaan. “Apa yang terjadi di sini?” Yang secara ringkas menunjukkan suatu prospek signifikan. “Kau dapat dari mana kalung itu?” Alih – alih menjawab, suara serak dan dalam Abihirt tidak ragu berbalik mengajukan pertanyaan. Cukup dengan waktu singkat ... reaksi murni—nyaris menyerupai ketakutan menyergap di wajah Gloriya. Bibir wanita itu setengah terbuka, kemudian segera terkatup rapat sambil terlihat sedang memikirkan sesuatu; mungkin semacam alibi untuk digunakan sekadar menyanggah. Moreau hampir tak bisa membedakan keduanya saat harus terjebak dengan keadaan seperti ini. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Tiba – tiba Barbara berbisik lambat dari jarak cukup dekat. Membuat Moreau menoleh ke wajah ibunya dengan singkat. “Aku tidak tahu," dia bicara begitu sayup menyadari bahwa Gloriya akan mengatakan sesuatu. “Ayah kita yang memberikannya.”
“Terima kasih tumpanganmu, Juan. Yakin tidak mau ikut masuk? Tidak mau bertemu Pipao?” Moreau mengajukan tawaran sekali lagi, ketika dalam perjalanan pria itu secara berulang telah menolak ajakannya. Ini sudah disertai alasan. Dia tahu. Hanya sekadar menguji sejauh mana Juan akan memiliki pendirian. Sepertinya keputusan demikian tidak akan penah berubah. Baiklah, Moreau tidak akan mengatakan lebih banyak, segera membuka pintu mobil dan mengambil satu langkah keluar—menginjakkan kaki di halaman mansion Abihirt. “Akan kukirimkan foto – foto Pipao kepadamu nanti,” ucap Moreau sambil menatap ke dalam jendela, di mana Juan lantas berdecak; sedikit mendelik tajam ke arahnya. “Jangan terus menggodaku, Amiga. Aku juga mau berkencan. Bukan hanya kau saja. Sebaiknya kau cepat masuk atau akan segera ditikam oleh ayah sambungmu yang tampan itu tanpa ampun.” Tuduhan Juan benar – benar meresahkan. Moreau tidak memiliki niat apa pun lagi, selain memang berharap dia diberi k
Moreau berjalan lebih cepat, hampir setengah berlari, tetapi Abihirt tiba – tiba beranjak bangun. Tidak ada petunjuk bahwa pria itu akan mengambil satu tindakan tak terduga, membuat Moreau berhenti beberapa saat. Tidak adil jika ayah sambungnya berniat mengembalikan Pipao ke kandang, sebelum dia bisa menikmati momen tertentu sebagai motivasi tambahan. Sebentar saja tidak apa – apa—harusnya. Namun, siapa yang dapat menentang Abihirt? Bibir Moreau menipis samar. Mungkin perlu mengambil tindakan penuh tekad. Segera menyingkirkan sisa jarak di antara mereka diliputi sikap tidak setuju. Dia benar – benar berlari. Sudah berusaha lebih cepat, walau pada akhirnya tertahan oleh tindakan Abihirt yang mencegah dengan memeluk perut ratanya. “Abi!” Suara Moreau sarat nada protes. Menyadari kalau – kalau Abihirt seperti sengaja melarang supaya pria itu dapat menyaksikan bagaimana dia akan marah. Secara tak terduga pun, tubuhnya langsung terangkat dengan posisi lantas berp
Moreau pikir mereka akan berakhir di ruang dengan pelbagai peragaan seks, tetapi sepertinya dia harus menyingkirkan pemikiran kotor tak terduga demikian. Tidak di sana. Malah, Abihirt membawa mereka di kamar utama pria itu dan menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Masih dengan slip dress merekat utuh, Moreau menelan ludah kasar menyaksikan seberapa lama Abihirt tetap menjulang tinggi. Pria itu menatap sangat lamat, seolah sedang memikirkan pada bagian mana mereka akan memulai. Haruskah jemari besar yang mengambil tindakan nanti, segera bergerak sekadar melucuti dalamnya lebih dulu, atau dia perlu membiarkan Abihirt memainkan peran untuk menyingkirkan tali spagetti yang tipis dan sedikit longgar di bagian bahu? Mungkin tidak keduanya. Moreau terpaku beberapa saat ketika mata mereka bersirobok. Terlalu sulit memahami situasi di sekitar. Gairah sedang bercabang, tetapi sepertinya Abihirt masih memiliki sisa kesabaran supaya tidak mengambil tindakan. Hanya secara kebe
“Nyonya, Tuan sedang tidak di rumah. Dan atas perintah spesifik dari beliau, Anda tidak diizinkan menginjakkan kaki di tempat ini.” Barbara segera menoleh saat Emma mulai bicara. Ada ketakutan di balik suara wanita paruh baya itu. Sesuatu jelas telah dipahami bahwa dia akan melakukan hal di luar kendali. “Siapa kau melarangku?” tanya Barbara sembari menatap wanita di hadapannya penuh penghinaan besar. “Saya hanya menjalankan tugas, Nyonya.” Emma segera menunduk. Betapa Barbara muak menghadapi saat – saat seperti ini. Dia sedang ingin melampiaskan banyak hal. Barangkali bukan gagasan buruk jika melakukan satu hal memuaskan di sini. Dengan sudut bibir berkedut sinis, Barbara kemudian berkata, “Tugasmu hanya membersihkan apa pun yang terlihat kotor. Oh—atau kau merasa sudah melakukan pekerjaan-mu, maka kau bisa menggoyang kaki dengan tenang? Mari kutunjukkan kepadamu apa yang perlu kau lakukan. Sekarang, ambil kunci gudang!” Pernyataan Barbara diakh
Terbangun dengan kondisi sekujur tubuh mengalami pemberatan murni, membuat Barbara meringis setiap kali dia berusaha melakukan gerakan lain; kelopak matanya mengerjap, sedikit diliputi usaha mengingat kali terakhir hal yang dihadapi, tetapi kemudian menyadari bahwa dia tidak berada di mana pun di kediaman Abihirt. Siapa yang membawanya pulang? Benak Barbara bertanya – tanya tak mengerti. Jelas waktu telah berlalu jauh dan dia banyak melewatkan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Tidak apa – apa jika Abihirt ingin melampiaskan segala bentuk kemarahan kepadanya, asal pria itu tidak mengajukan satu hal yang benar – benar tidak Barbara inginkan. Napasnya memburu berat hanya dengan memikirkan hal tersebut. Jari – jari yang terasa gemetar berusaha menyisir helai rambut—terurai berserak di sekitar wajah. Berharap dia bisa segera bersiap. Sial. Sesuatu menghentikan Barbara ketika sorot matanya membidik satu titik di atas nakas. Semacam sebuah berkas yang
Sekarang ... ntah cambukan kali ke berapa. Barbara tidak bisa menghitung. Semua bentuk pemikiran di benaknya hancur berantakan. Krisis ketidakpercayaan terhadap sikap Abihirt sungguh memberi pengaruh besar. Dia merasa benar – benar telah memborong kebodohan, hingga yang tersisa adalah hasrat supaya tidak terjebak pada kondisi seperti ini. “Sakit, Abi,” Barbara mengeluh sarat nada begitu getir. Sebatas harapan agar Abihirt bersedia memberi ampun. Jika pria itu berpikir ini merupakan hukuman setimpal, hal tersebut sama sekali bukan keadilan. Dia berharap Moreau yang ada di sini. Menggantikan posisinya. Namun, apakah hal tersebut terdengar masuk akal? Abihirt terlihat mabuk kepayang kepada gadis itu. Dia tidak yakin. Barangkali telah melewatkan banyak hal. Bertanya – tanya ... mungkinkah? “Daripada menyiksaku di sini, mengapa kau tidak seret saja Moreau dan biarkan dia merasakan yang sama seperti yang kualami hari ini?” Tidak ingin diliputi pelbagai hal menggan
“Kau yakin ini akan berjalan baik – baik saja?” Masih sedikit usaha untuk meyakinkan diri. Barbara akhirnya hanya menghela napas ketika Abihirt mengangguk samar. Pria itu tidak akan mengatakan lebih banyak. Semua pilihan ada di tangannya; apakah dia masih ingin melakukan seks atau membiarkan hubungan mereka kembali regang. “Baiklah.” Barbara memutuskan untuk membuka blazer yang dia kenakan. Satu persatu pakaian telah dilucuti. Bukan masalah besar bertelanjang penuh di hadapan suaminya. Dia kemudian memberi Abihirt tatapan penuh bertanya. Menunggu apa yang akan pria itu lakukan. Tidak ada kata terucap. Sebaliknya, Abihirt merenggut dasi yang mengikat kerah kemeja pria itu. Langkah lebar suaminya tidak pernah luput dari perhatian Barbara. Dia menelan ludah kasar persis ketika Abihirt sudah menjulang tinggi di belakang. Semua menjadi gelap kali pertama Abihirt merekatkan bagian dasi untuk menutup di matanya. “Haruskah dengan pandangan tertutup, Ab
Kali pertama mendengar pernyataan Abihirt, kelopak mata Barbara mengerjap cepat. Hampir tidak menyangka tentang hal yang telah mereka lewatkan. Dia tahu suaminya jauh lebih sering menghabiskan waktu bersama Moreau—dan itu sungguh meninggalkan banyak kecemburuan tidak tertahankan. Cukup puas bahwa dia bisa melewati saat – saat di mana mengendalikan diri dari kebutuhan melampiaskan amarah. Sungguh, sampai mati pun, Barbara tidak akan menyerahkan Abihirt kepada Moreau. Dia tidak akan pernah mengalah. Kemenangan harus selalu berada di tangan. Persetan dengan mengorbankan yang lainnya. “Baiklah. Ke mana kau akan membawaku?” tanya Barbara sembari mengikuti langkah Abihirt menuju mobil. Mereka datang terpisah. Miliknya sendiri sedang terparkir di sisi halaman lain, tetapi mereka bisa mengatur situasi. Bukan masalah besar meminta Gabriel menyelesaikan tugas tertunda. Abihirt tidak mengatakan apa – apa sepanjang perjalanan, tetapi Barbara mengenali setiap detil tempat yang
“Pelacur kecil itu sudah tidak mau denganmu. Apa yang kau harapkan lagi darinya?” Sejak awal, tujuan Barbara adalah menghancurkan kehidupan Moreau dan membuat hubungan gadis itu bersama suaminya retak. Dia mengambil langkah yang tepat setelah meyakinkan Moreau bahwa Abihirt terlibat dalam keputusan ini. Tadi, betapa tatapan itu penuh luka. Moreau telah meninggalkan mereka. Sekarang konflik terhadap hubungan yang seharusnya baik – baik saja terus beterbangan. Paling tidak, Barbara cukup puas, walau segala sesuatu yang dia rencanakan tidak sepenuhnya lancar. Ada hasrat untuk membuat Moreau benar – benar mendapat pelajaran berharga. Dia ingin orang – orang melempari gadis itu dengan apa pun sebagai kemungkinan terburuk—anggap saja suatu penghinaan hebat. Sungguh, kemunculan Abihirt sangat tidak tepat. Mereka sedang dihadapkan badai tensi yang meningkat. Barbara tahu cepat atau lambat Abihirt akan menjadikannya target utama. Sial. Dia sama sekali tidak tahu kal
Barbara bertanggung jawab atas situasi yang sedang mereka hadapi, tetapi yang tidak Moreau mengerti; mengapa? Bukankah Abihirt juga terlibat? Apa lagi yang diinginkan sehingga pria itu bersikap seakan sedang didesak kebutuhan menuntut Barbara. Mungkin ibunya berusaha menjebak suami sendiri karena seharusnya mutahil bagi Abihirt bersedia membuka aib perselingkuhan ini? Yang juga akan mempengaruhi reputasi di masa mendatang. “Aku tahu kau datang untuk menghadiri program ulang tahun mendiang ibumu. Tapi, nanti. Setelah aku menyelesaikan pelacur kecil ini. Bukankah kau sendiri juga sudah setuju?” Sesuatu yang keras seperti berusaha mencecoki tenggorokan Moreau. Dia mengira masih ada sedikit harapan, tetapi reaksi Abihirt yang tampak tidak akan langsung menyangkal, seakan memberinya banyak petunjuk. Pria itu hanya ... melirik ke arah Gabriel, kemudian berkata, “Bubarkan tamu undangan.” Sudah cukup. Moreau merasa muak jika harus mempertahankan kepercayaan dalam dirinya k
“Jika ayahmu masih di sini, Moreau. Kurasa, dia akan mendapat serangan jantung mendadak karena menerima informasi seperti ini, bahwa putri kesayangannya, putri kecil yang selalu dimanjakan olehnya, sanggup menjual diri demi seorang pria beristri. Kurasa, arwahnya pun tidak akan tenang selama menyaksikan apa yang kau lakukan di muka bumi ini.” Sial. Belum ada satu pun hal sanggup Moreau katakan, tetapi kesalahan Barbara sangat tidak bisa dimengerti kali ketika wanita itu melibatkan ayahnya. “Jika ayahku masih ada di sini. Kau tidak akan mungkin menikahi lagi, Mom. Atau kau mungkin ingin bermain api di belakangnya, sama seperti yang kau lakukan di belakang Abi?” “Tutup mulut sialanmu!” Tamparan keras lainnya, membuat wajah Moreau benar – benar berpaling dengan kasar. Saraf – saraf di sekitar pipi terasa kebas. Dia membeku di tempat. Namun, semua yang dia katakan memang benar. Perselingkuhan ini tidak akan terjadi, andai wanita itu juga bisa menjaga diri dari h
Barbara tidak akan berhenti. Itu masalahnya. Betapa wanita itu tampak dilingkupi pelbagai antusiasme meluap – luap, seolah masih begitu banyak hal tidak terungkapkan, sementara Moreau merasa dia tidak akan bisa menerima peristiwa seperti ini lebih lama. Semua akan berakhir jauh lebih kacau, tetapi bagaimana dia bisa menghentikan ibunya terhadap kebutuhan untuk mengungkapkan kebenaran di hadapan banyak orang? Sikap konfrontasi dalam dirinya seketika menjadi tumpul. Tidak ada suara penyangkalan yang bisa digunakan sekadar tidak menjebak kondisi sendiri menjadi lebih rumit. Tidak dimungkiri, Moreau cukup takut menyaksikan begitu banyak tatapan kemarahan nyaris di seluruh penjuru gedung. “Kalian semua mungkin tidak percaya terhadap apa yang kukatakan di sini.” Lagi. Suara Barbara kembali mencuak ke permukaan. Senyum wanita itu tampak begitu puas; seperti telah memastikan kalau – kalau kemenangan sudah berada di tangan. “Aku punya bukti.” Kembali meneruskan. Waj