“Terima kasih tumpanganmu, Juan. Yakin tidak mau ikut masuk? Tidak mau bertemu Pipao?”
Moreau mengajukan tawaran sekali lagi, ketika dalam perjalanan pria itu secara berulang telah menolak ajakannya. Ini sudah disertai alasan. Dia tahu. Hanya sekadar menguji sejauh mana Juan akan memiliki pendirian. Sepertinya keputusan demikian tidak akan penah berubah. Baiklah, Moreau tidak akan mengatakan lebih banyak, segera membuka pintu mobil dan mengambil satu langkah keluar—menginjakkan kaki di halaman mansion Abihirt. “Akan kukirimkan foto – foto Pipao kepadamu nanti,” ucap Moreau sambil menatap ke dalam jendela, di mana Juan lantas berdecak; sedikit mendelik tajam ke arahnya. “Jangan terus menggodaku, Amiga. Aku juga mau berkencan. Bukan hanya kau saja. Sebaiknya kau cepat masuk atau akan segera ditikam oleh ayah sambungmu yang tampan itu tanpa ampun.” Tuduhan Juan benar – benar meresahkan. Moreau tidak memiliki niat apa pun lagi, selain memang berharap dia diberi kMoreau berjalan lebih cepat, hampir setengah berlari, tetapi Abihirt tiba – tiba beranjak bangun. Tidak ada petunjuk bahwa pria itu akan mengambil satu tindakan tak terduga, membuat Moreau berhenti beberapa saat. Tidak adil jika ayah sambungnya berniat mengembalikan Pipao ke kandang, sebelum dia bisa menikmati momen tertentu sebagai motivasi tambahan. Sebentar saja tidak apa – apa—harusnya. Namun, siapa yang dapat menentang Abihirt? Bibir Moreau menipis samar. Mungkin perlu mengambil tindakan penuh tekad. Segera menyingkirkan sisa jarak di antara mereka diliputi sikap tidak setuju. Dia benar – benar berlari. Sudah berusaha lebih cepat, walau pada akhirnya tertahan oleh tindakan Abihirt yang mencegah dengan memeluk perut ratanya. “Abi!” Suara Moreau sarat nada protes. Menyadari kalau – kalau Abihirt seperti sengaja melarang supaya pria itu dapat menyaksikan bagaimana dia akan marah. Secara tak terduga pun, tubuhnya langsung terangkat dengan posisi lantas berp
Moreau pikir mereka akan berakhir di ruang dengan pelbagai peragaan seks, tetapi sepertinya dia harus menyingkirkan pemikiran kotor tak terduga demikian. Tidak di sana. Malah, Abihirt membawa mereka di kamar utama pria itu dan menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Masih dengan slip dress merekat utuh, Moreau menelan ludah kasar menyaksikan seberapa lama Abihirt tetap menjulang tinggi. Pria itu menatap sangat lamat, seolah sedang memikirkan pada bagian mana mereka akan memulai. Haruskah jemari besar yang mengambil tindakan nanti, segera bergerak sekadar melucuti dalamnya lebih dulu, atau dia perlu membiarkan Abihirt memainkan peran untuk menyingkirkan tali spagetti yang tipis dan sedikit longgar di bagian bahu? Mungkin tidak keduanya. Moreau terpaku beberapa saat ketika mata mereka bersirobok. Terlalu sulit memahami situasi di sekitar. Gairah sedang bercabang, tetapi sepertinya Abihirt masih memiliki sisa kesabaran supaya tidak mengambil tindakan. Hanya secara kebe
“Aku ingin memakanmu.” Seolah itu hanyalah peringatan. Moreau merasakan slip dress di tubuhnya teronggok di sekeliling pinggang. Abihirt menyibak sedikit dengan kasar dan menarik dalaman sutra lembut tanpa peringatan, bahkan menuntun agar dia untuk membuka kaki lebih lebar. Pria itu menjatuhkan mulut di antara lekuk indah di sana. Moreau memejamkan mata, terkejut oleh pertahanan yang runtuh. Tidak mengajukan protes. Walau dia begitu ingin, tetapi kemudian semua terlupakan karena betapa menyenangkan, hangat, dan mendalamnya sentuhan Abihirt. Bibir pria tersebut melumat menyeluruh. Hampir terlalu rakus. Memberi Moreau dampak yang signifikan hingga dia menengadah—berusaha menyusupkan jari – jari tangan di rambut gelap ayah sambungnya. Mata mereka kembali berpapasan ketika Abihirt mengangkat wajah. Tidak peduli bahwa di mulut pria itu masih terdapat sisa rasa di tubuhnya. Moreau tetap tak menolak ciuman bergairah dan saling membakar yang mereka lakukan. Dia bah
Tubuh Moreau terisi penuh, sesak, ntah ketika dia bergerak atau saat – saat harus mempertahankan pelukan di bahu lebar ayah sambungnya. Abihirt secara naluriah memutuskan untuk mengambil posisi duduk—melakukan hal nyaris serupa dengan membiarkan kedua lengan mendekap erat. Mulut pria itu juga dijatuhkan di ceruk leher Moreau. Dia dapat merasakan sensasi udara hangat yang meniup keluar. Betapa panas bahwa mereka saling menginginkan. Tidak ada tindakan kasar dan rasanya benar – benar gila. Payudara Moreau bahkan bersentuhan langsung di dada liat Abihirt. Dia terus bergerak. Meliukkan pinggul dengan tentatif dan bagaimana itu memberi sensasi nikmat. Cengkeraman dari jemari besar seperti mengetat saat Moreau sama sekali tidak berhenti. Sekarang wajah pria itu menengadah diliputi bibir setengah terbuka, seakan benar – benar didesak oleh gulungan kenikmatan. Mereka sungguh diserbu sensasi yang menyenangkan. Moreau tak bisa menahan diri. Segera meremas rambut gelap ayah
Tidak tahu apa yang salah, tetapi Moreau mendeteksi sebelah alis tebal dan hitam ayah sambungnya segera terangkat tinggi. Kelopak mata pria itu agak menyipit, seperti memikirkan sesuatu dengan lengan yang menekuk di atas ranjang setelah memisahkan diri dari tubuhnya. “Aku tidak mengambil kalung itu dari Lewi. Kalung itu milik ibuku. Aku berhak melakukan apa pun.” Sikap konfrontasi mengambil andil. Moreau seharusnya mengerti bagaimana dia nyaris membuat ayah sambungnya tersinggung, tetapi buru – buru memperbaiki. “Maaf soal tadi.” Hanya itu. Mungkin terlalu singkat. Paling tidak, lebih baik daripada tidak mencoba. Moreau menelan ludah kasar saat Abihirt sepeti membutuhkan waktu sekadar meninggalkan jeda di antara mereka. “Aku tidak berencana memberikan kalung itu kepada ibumu.” Kali ini sebuah jawaban untuk memenuhi rumpang terhadap pertanyaan di awal. Moreau mengerjap sekadar mempertahankan keterkejutan yang nyata. Tidak pernah berpikir seperti in
Seseorang seperti memandangi wajahnya dari jarak cukup dekat. Sesuatu yang Moreau rasa dia tak sanggup menangani dengan baik saat sementara masih begitu banyak keinginan untuk tidur. Seharusnya memang masih terlalu pagi, tetapi dia harus mengerjap beberapa kali setelah tirai jendela kamar telah disisihkan ke pinggir. Sebuah pemandangan nyaris tidak pernah, menuntut dia supaya memahami situasi di sekitar. Kelopak mata Moreau sedikit menyipit ketika dia akhirnya sadar bahwa Barbara satu – satunya pelaku terduga, yang sejak awal mengambil tindakan mengawasi tanpa mengatakan apa pun di antara mereka. Secara naluriah—sebelum wanita itu mungkin berubah pikiran, Moreau segera beranjak bangun, membiarkan selimut yang menutup nyaris di seluruh tubuh, tergoler jatuh dengan dia yang duduk persis menatap langsung ke wajah ibunya. “Ada apa, Mom?” Moreau bertanya sambil mengusap wajah kasar. Mungkin perlu memperbaiki penampilan. Sesekali pula, jari – jari tangannya menyisir ramb
Reaksi signifikan Barbara sudah cukup memberi Moreau petunjuk, kemudian wanita itu berkata, “Ayahmu tahu bagaimana cara membujukku.” Sudah Moreau duga, mengingat nyaris tak mungkin ibunya memiliki selera yang berubah dalam sekejap. Dia tahu wanita tersebut tak suka anting panjang yang bergelantungan, seperti yang pernah coba mendiang ayahnya berikan, tetapi ditolak dengan tegas. Seingat Moreau, jika dia tak salah, keputusan Jeremi hari itu tidak lama setelah ayahnya memberikan hadiah ulang tahun anting kupu – kupu dengan rantai kecil—yang jatuh di gedung latihan, dan secara tak terduga itu ditemukan oleh satu orang. Abihirt. “Cepatlah ambil kalung ini. Aku sudah terlambat ke kantor setelah menghabiskan waktu menunggumu bangun.” Desakan Barbara segera menarik Moreau kembali ke permukaan. Buru – buru mengerjap. Bagaimanapun, secara naluriah bergerak menerima pemberian Abihirt lewat wanita itu. Mungkin supaya ibunya tidak menaruh sikap curiga dan barangkali karena dia
“Kutitipkan kalung ini supaya nanti kau punya kebebasan jika harus memakainya. Bukankah lebih baik ibumu mengerjakan semua secara langsung? Maka, kau tak perlu sembunyi – sembunyi lagi, jika memang itu yang akan selalu kau takuti.” Masuk akal. Tidak terlalu buruk. Namun, cukup membuat Moreau diam beberapa saat. Dia berusaha merangkum beberapa hal dan masih begitu diam sampai suara ayah sambungnya kembali mencuak ke permukaan. “Kemarilah.” Kaki panjang pria itu tidak diragukan lagi sengaja mendorong kursi yang sedang diduduki ke belakang, seolah itu akan membuka ruang di antara mereka terhadap satu tujuan, di mana Moreau harus memahami bahwa permintaan untuknya tidak dapat diabaikan begitu saja. Ya, Abihirt baru saja menyerahkan perintah supaya dia beranjak bangkit dan segera mendekati ayah sambungnya. Ntah atas dasar apa, tetapi secara naluriah Moreau bersikap patuh, kemudian mereka saling berhadapan; dia menunduk sementara Abihirt menengadah dengan tenang.
“Nyonya, Tuan sedang tidak di rumah. Dan atas perintah spesifik dari beliau, Anda tidak diizinkan menginjakkan kaki di tempat ini.” Barbara segera menoleh saat Emma mulai bicara. Ada ketakutan di balik suara wanita paruh baya itu. Sesuatu jelas telah dipahami bahwa dia akan melakukan hal di luar kendali. “Siapa kau melarangku?” tanya Barbara sembari menatap wanita di hadapannya penuh penghinaan besar. “Saya hanya menjalankan tugas, Nyonya.” Emma segera menunduk. Betapa Barbara muak menghadapi saat – saat seperti ini. Dia sedang ingin melampiaskan banyak hal. Barangkali bukan gagasan buruk jika melakukan satu hal memuaskan di sini. Dengan sudut bibir berkedut sinis, Barbara kemudian berkata, “Tugasmu hanya membersihkan apa pun yang terlihat kotor. Oh—atau kau merasa sudah melakukan pekerjaan-mu, maka kau bisa menggoyang kaki dengan tenang? Mari kutunjukkan kepadamu apa yang perlu kau lakukan. Sekarang, ambil kunci gudang!” Pernyataan Barbara diakh
Terbangun dengan kondisi sekujur tubuh mengalami pemberatan murni, membuat Barbara meringis setiap kali dia berusaha melakukan gerakan lain; kelopak matanya mengerjap, sedikit diliputi usaha mengingat kali terakhir hal yang dihadapi, tetapi kemudian menyadari bahwa dia tidak berada di mana pun di kediaman Abihirt. Siapa yang membawanya pulang? Benak Barbara bertanya – tanya tak mengerti. Jelas waktu telah berlalu jauh dan dia banyak melewatkan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Tidak apa – apa jika Abihirt ingin melampiaskan segala bentuk kemarahan kepadanya, asal pria itu tidak mengajukan satu hal yang benar – benar tidak Barbara inginkan. Napasnya memburu berat hanya dengan memikirkan hal tersebut. Jari – jari yang terasa gemetar berusaha menyisir helai rambut—terurai berserak di sekitar wajah. Berharap dia bisa segera bersiap. Sial. Sesuatu menghentikan Barbara ketika sorot matanya membidik satu titik di atas nakas. Semacam sebuah berkas yang
Sekarang ... ntah cambukan kali ke berapa. Barbara tidak bisa menghitung. Semua bentuk pemikiran di benaknya hancur berantakan. Krisis ketidakpercayaan terhadap sikap Abihirt sungguh memberi pengaruh besar. Dia merasa benar – benar telah memborong kebodohan, hingga yang tersisa adalah hasrat supaya tidak terjebak pada kondisi seperti ini. “Sakit, Abi,” Barbara mengeluh sarat nada begitu getir. Sebatas harapan agar Abihirt bersedia memberi ampun. Jika pria itu berpikir ini merupakan hukuman setimpal, hal tersebut sama sekali bukan keadilan. Dia berharap Moreau yang ada di sini. Menggantikan posisinya. Namun, apakah hal tersebut terdengar masuk akal? Abihirt terlihat mabuk kepayang kepada gadis itu. Dia tidak yakin. Barangkali telah melewatkan banyak hal. Bertanya – tanya ... mungkinkah? “Daripada menyiksaku di sini, mengapa kau tidak seret saja Moreau dan biarkan dia merasakan yang sama seperti yang kualami hari ini?” Tidak ingin diliputi pelbagai hal menggan
“Kau yakin ini akan berjalan baik – baik saja?” Masih sedikit usaha untuk meyakinkan diri. Barbara akhirnya hanya menghela napas ketika Abihirt mengangguk samar. Pria itu tidak akan mengatakan lebih banyak. Semua pilihan ada di tangannya; apakah dia masih ingin melakukan seks atau membiarkan hubungan mereka kembali regang. “Baiklah.” Barbara memutuskan untuk membuka blazer yang dia kenakan. Satu persatu pakaian telah dilucuti. Bukan masalah besar bertelanjang penuh di hadapan suaminya. Dia kemudian memberi Abihirt tatapan penuh bertanya. Menunggu apa yang akan pria itu lakukan. Tidak ada kata terucap. Sebaliknya, Abihirt merenggut dasi yang mengikat kerah kemeja pria itu. Langkah lebar suaminya tidak pernah luput dari perhatian Barbara. Dia menelan ludah kasar persis ketika Abihirt sudah menjulang tinggi di belakang. Semua menjadi gelap kali pertama Abihirt merekatkan bagian dasi untuk menutup di matanya. “Haruskah dengan pandangan tertutup, Ab
Kali pertama mendengar pernyataan Abihirt, kelopak mata Barbara mengerjap cepat. Hampir tidak menyangka tentang hal yang telah mereka lewatkan. Dia tahu suaminya jauh lebih sering menghabiskan waktu bersama Moreau—dan itu sungguh meninggalkan banyak kecemburuan tidak tertahankan. Cukup puas bahwa dia bisa melewati saat – saat di mana mengendalikan diri dari kebutuhan melampiaskan amarah. Sungguh, sampai mati pun, Barbara tidak akan menyerahkan Abihirt kepada Moreau. Dia tidak akan pernah mengalah. Kemenangan harus selalu berada di tangan. Persetan dengan mengorbankan yang lainnya. “Baiklah. Ke mana kau akan membawaku?” tanya Barbara sembari mengikuti langkah Abihirt menuju mobil. Mereka datang terpisah. Miliknya sendiri sedang terparkir di sisi halaman lain, tetapi mereka bisa mengatur situasi. Bukan masalah besar meminta Gabriel menyelesaikan tugas tertunda. Abihirt tidak mengatakan apa – apa sepanjang perjalanan, tetapi Barbara mengenali setiap detil tempat yang
“Pelacur kecil itu sudah tidak mau denganmu. Apa yang kau harapkan lagi darinya?” Sejak awal, tujuan Barbara adalah menghancurkan kehidupan Moreau dan membuat hubungan gadis itu bersama suaminya retak. Dia mengambil langkah yang tepat setelah meyakinkan Moreau bahwa Abihirt terlibat dalam keputusan ini. Tadi, betapa tatapan itu penuh luka. Moreau telah meninggalkan mereka. Sekarang konflik terhadap hubungan yang seharusnya baik – baik saja terus beterbangan. Paling tidak, Barbara cukup puas, walau segala sesuatu yang dia rencanakan tidak sepenuhnya lancar. Ada hasrat untuk membuat Moreau benar – benar mendapat pelajaran berharga. Dia ingin orang – orang melempari gadis itu dengan apa pun sebagai kemungkinan terburuk—anggap saja suatu penghinaan hebat. Sungguh, kemunculan Abihirt sangat tidak tepat. Mereka sedang dihadapkan badai tensi yang meningkat. Barbara tahu cepat atau lambat Abihirt akan menjadikannya target utama. Sial. Dia sama sekali tidak tahu kal
Barbara bertanggung jawab atas situasi yang sedang mereka hadapi, tetapi yang tidak Moreau mengerti; mengapa? Bukankah Abihirt juga terlibat? Apa lagi yang diinginkan sehingga pria itu bersikap seakan sedang didesak kebutuhan menuntut Barbara. Mungkin ibunya berusaha menjebak suami sendiri karena seharusnya mutahil bagi Abihirt bersedia membuka aib perselingkuhan ini? Yang juga akan mempengaruhi reputasi di masa mendatang. “Aku tahu kau datang untuk menghadiri program ulang tahun mendiang ibumu. Tapi, nanti. Setelah aku menyelesaikan pelacur kecil ini. Bukankah kau sendiri juga sudah setuju?” Sesuatu yang keras seperti berusaha mencecoki tenggorokan Moreau. Dia mengira masih ada sedikit harapan, tetapi reaksi Abihirt yang tampak tidak akan langsung menyangkal, seakan memberinya banyak petunjuk. Pria itu hanya ... melirik ke arah Gabriel, kemudian berkata, “Bubarkan tamu undangan.” Sudah cukup. Moreau merasa muak jika harus mempertahankan kepercayaan dalam dirinya k
“Jika ayahmu masih di sini, Moreau. Kurasa, dia akan mendapat serangan jantung mendadak karena menerima informasi seperti ini, bahwa putri kesayangannya, putri kecil yang selalu dimanjakan olehnya, sanggup menjual diri demi seorang pria beristri. Kurasa, arwahnya pun tidak akan tenang selama menyaksikan apa yang kau lakukan di muka bumi ini.” Sial. Belum ada satu pun hal sanggup Moreau katakan, tetapi kesalahan Barbara sangat tidak bisa dimengerti kali ketika wanita itu melibatkan ayahnya. “Jika ayahku masih ada di sini. Kau tidak akan mungkin menikahi lagi, Mom. Atau kau mungkin ingin bermain api di belakangnya, sama seperti yang kau lakukan di belakang Abi?” “Tutup mulut sialanmu!” Tamparan keras lainnya, membuat wajah Moreau benar – benar berpaling dengan kasar. Saraf – saraf di sekitar pipi terasa kebas. Dia membeku di tempat. Namun, semua yang dia katakan memang benar. Perselingkuhan ini tidak akan terjadi, andai wanita itu juga bisa menjaga diri dari h
Barbara tidak akan berhenti. Itu masalahnya. Betapa wanita itu tampak dilingkupi pelbagai antusiasme meluap – luap, seolah masih begitu banyak hal tidak terungkapkan, sementara Moreau merasa dia tidak akan bisa menerima peristiwa seperti ini lebih lama. Semua akan berakhir jauh lebih kacau, tetapi bagaimana dia bisa menghentikan ibunya terhadap kebutuhan untuk mengungkapkan kebenaran di hadapan banyak orang? Sikap konfrontasi dalam dirinya seketika menjadi tumpul. Tidak ada suara penyangkalan yang bisa digunakan sekadar tidak menjebak kondisi sendiri menjadi lebih rumit. Tidak dimungkiri, Moreau cukup takut menyaksikan begitu banyak tatapan kemarahan nyaris di seluruh penjuru gedung. “Kalian semua mungkin tidak percaya terhadap apa yang kukatakan di sini.” Lagi. Suara Barbara kembali mencuak ke permukaan. Senyum wanita itu tampak begitu puas; seperti telah memastikan kalau – kalau kemenangan sudah berada di tangan. “Aku punya bukti.” Kembali meneruskan. Waj