Seseorang seperti memandangi wajahnya dari jarak cukup dekat. Sesuatu yang Moreau rasa dia tak sanggup menangani dengan baik saat sementara masih begitu banyak keinginan untuk tidur. Seharusnya memang masih terlalu pagi, tetapi dia harus mengerjap beberapa kali setelah tirai jendela kamar telah disisihkan ke pinggir.
Sebuah pemandangan nyaris tidak pernah, menuntut dia supaya memahami situasi di sekitar. Kelopak mata Moreau sedikit menyipit ketika dia akhirnya sadar bahwa Barbara satu – satunya pelaku terduga, yang sejak awal mengambil tindakan mengawasi tanpa mengatakan apa pun di antara mereka. Secara naluriah—sebelum wanita itu mungkin berubah pikiran, Moreau segera beranjak bangun, membiarkan selimut yang menutup nyaris di seluruh tubuh, tergoler jatuh dengan dia yang duduk persis menatap langsung ke wajah ibunya. “Ada apa, Mom?” Moreau bertanya sambil mengusap wajah kasar. Mungkin perlu memperbaiki penampilan. Sesekali pula, jari – jari tangannya menyisir rambReaksi signifikan Barbara sudah cukup memberi Moreau petunjuk, kemudian wanita itu berkata, “Ayahmu tahu bagaimana cara membujukku.” Sudah Moreau duga, mengingat nyaris tak mungkin ibunya memiliki selera yang berubah dalam sekejap. Dia tahu wanita tersebut tak suka anting panjang yang bergelantungan, seperti yang pernah coba mendiang ayahnya berikan, tetapi ditolak dengan tegas. Seingat Moreau, jika dia tak salah, keputusan Jeremi hari itu tidak lama setelah ayahnya memberikan hadiah ulang tahun anting kupu – kupu dengan rantai kecil—yang jatuh di gedung latihan, dan secara tak terduga itu ditemukan oleh satu orang. Abihirt. “Cepatlah ambil kalung ini. Aku sudah terlambat ke kantor setelah menghabiskan waktu menunggumu bangun.” Desakan Barbara segera menarik Moreau kembali ke permukaan. Buru – buru mengerjap. Bagaimanapun, secara naluriah bergerak menerima pemberian Abihirt lewat wanita itu. Mungkin supaya ibunya tidak menaruh sikap curiga dan barangkali karena dia
“Kutitipkan kalung ini supaya nanti kau punya kebebasan jika harus memakainya. Bukankah lebih baik ibumu mengerjakan semua secara langsung? Maka, kau tak perlu sembunyi – sembunyi lagi, jika memang itu yang akan selalu kau takuti.” Masuk akal. Tidak terlalu buruk. Namun, cukup membuat Moreau diam beberapa saat. Dia berusaha merangkum beberapa hal dan masih begitu diam sampai suara ayah sambungnya kembali mencuak ke permukaan. “Kemarilah.” Kaki panjang pria itu tidak diragukan lagi sengaja mendorong kursi yang sedang diduduki ke belakang, seolah itu akan membuka ruang di antara mereka terhadap satu tujuan, di mana Moreau harus memahami bahwa permintaan untuknya tidak dapat diabaikan begitu saja. Ya, Abihirt baru saja menyerahkan perintah supaya dia beranjak bangkit dan segera mendekati ayah sambungnya. Ntah atas dasar apa, tetapi secara naluriah Moreau bersikap patuh, kemudian mereka saling berhadapan; dia menunduk sementara Abihirt menengadah dengan tenang.
Nyaris terlalu lama Moreau menunggu di kantor ayah sambungnya seorang diri, saat Abihirt tidak memiliki sedikitpun kesempatan untuk menolak apa pun yang telah dia deklarasikan. Memang. Ada bentuk alternatif lain yang telah ditawarkan kepadanya, tetapi dia sungguh menolak jika Gabriel ditugaskan membelanjakan sesuatu sebagai bentuk kebutuhan krusial terhadap saat - saat seperti ini. Hal paling penting dicegah adalah dengan tidak membiarkan orang lain tahu tentang desakan mendadak yang hampir lupa disematkan ke dalam daftar utama. Moreau merasa malu hanya dengan membayangkan, andai Gabriel menerima sedikit petunjuk, meski pada akhirnya dia tahu bagaimana cara Abihirt mengambil sikap setuju. Tidak terlalu buruk mendapati ayah sambungnya menaruh beberapa perhatian, meski itu bukan kali pertama Abihirt menunjukkan sikap—yang semua orang inginkan, termasuk dirinya, terutama Barbara. Untuk beberap saat Moreau menatap pantulan wajah di depan cermin. Keran air tidak
“Kapan kau pergi keluar kedua kalinya untuk memberi burger?” dia bertanya hampir tanpa jeda, sementara sebuah pemandangan indah itu seperti tak pernah ingin meninggalkan apa pun di antara mereka. “Sudah kubeli sejak tadi. Hanya menunggumu selesai dengan urusan pentingmu." Mungkin seharusnya seperti itu. Tadi, selain buru – buru menerima plastik berisi hal yang sangat dia butuhkan, Moreau sempat melihat sesuatu lainnya di tangan Abihirt. Hanya tidak mengira pria tersebut memikirkan bagian pelengkap. Akan lebih adil jika menerima sebentuk burger yang mengiurkan—seperti dipesan khusus hanya untuknya. “Kau hanya membeli satu?” Moreau tak ingin dianggap begitu terburu. Dia memulai sedikit percakapan, meski merasa sangat mustahil andai ayah sambungnya tiba – tiba memiliki disiplin makan sehat yang berubah. “Aku masih kenyang.” Tentu saja akan seperti itu. Secara teknikal burger tersebut menjadi miliknya. Moreau tidak keberatan jika menuntaskan sendiri m
“Aku tidak pernah bilang kalau aku menyukai penis-mu,” ucap Moreau sebagai sanggahan, yang secara naluriah membuat Abihirt menyeringai samar. Perlu digaris bawahi makna kotor di antara pembicaraan mereka, telah berulang kali mengingatkan agar dia tidak bersemu merah. Bagus jika masih tersisa keberanian sekadar menantang. Seharusnya tidak melewatkan kali ini. Moreau menyadari Abihirt tidak akan mengatakan apa pun lagi, sehingga dia mengulurkan sebelah lengan ke bawah hanya untuk membuka pengait dari sendal bertali, kemudian membiarkan satu kaki bertelanjang dan mencicipi lantai kantor yang dingin. Kebetulan mata kelabu itu sedang bersungguh – sungguh menaruh perhatian pada serentetan kalimat di balik dokumen penting. Perlahan, Moreau memulai sentuhan di bawah meja—menggerakkan jari – jari kaki persis di tulang kering ayah sambungnya. Berharap itu merupakan bagian paling mencolok, tetapi sungguh Abihirt diam dan nyaris tidak menunjukkan reaksi secara spesifik. Dia
“Boleh aku titip jas kerja Abi kepadamu, Caroline? Kemarin tertinggal bersamaku, tapi aku lupa mengembalikan langsung kepada pemiliknya.” Moreau mencari saat – saat yang tepat untuk menemui Caroline di dapur, dan juga perlu digaris bawahi ... ternyata dia tak sungguh berani mengatakan yang sebenarnya kepada wanita paruh baya yang terlihat bingung. Sedikit bersyukur bahwa Caroline tidak menolak apa pun. Malah, segera menerima lipatan kain rapi—dengan ntah bagaimana Moreau merasa harus benar – benar melakukan perawatan terhadap jas kepemilikan ayah sambungnya. “Bukankah Anda tadi baru saja bertemu Tuan Abi saat makan malam, Nona?" Hening beberapa saat dan ketika Caroline bicara, Moreau harus menipiskan bibir, kemudian tersenyum gugup. “Ibuku akan terus bertanya jika melihatku mengembalikan jas ini langsung kepada Abi. Kau tahu sendiri bagaimana rumitnya berhadapan langsung dengan ibuku." Sambil mengedikkan bahu, Moreau berusaha memahami reaksi Caro
Berulang kali, Moreau merasa harus benar – benar memantapkan pilihan setelah menunggu ibunya terlihat bisa diajak melakukan percakapan. Setidaknya memang tepat saat – saat makan malam selesai dan wanita itu kembali sibuk dengan layar monitor yang manyala. Mungkin pekerjaan Barbara belum selesai. Mungkin ibunya merasa perlu ambisi lebih pesat ketika apa yang ingin Moreau sampaikan adalah sesuatu yang relevan. “Aku datang ke tempat ini bukan untuk basa – basi, Moreau. Mengingat kau pernah menjadi foto model-ku dan penjualan kami mendadak mengalami peningkatkan signifikan, aku ingin mengundangmu kembali menjadi modelku. Bagaimana? Kau setuju?” “Tapi, aku tidak yakin dengan ibuku. Dia sangat marah mengetahui aku melakukan pemotretan. Mungkin juga tidak akan sangat marah jika tahu aku menjadi model-mu tanpa memberitahunya.” “Kalau begitu kau harus bicara dengannya. Bujuk ibumu sampai dia mau.” Itu percakapan beberapa waktu lalu. Awalnya Moreau sedikit terkejut me
Pintu kamar terbuka sedikit membuat Moreau tersentak saat dia sedang diliputi kesibukkan memainkan ponsel. Tidak ada peringatan dari Abihirt bahwa pria itu akan tiba – tiba melangkah masuk. Memperlihatkan ekspresi nyaris tidak terbaca. Menjulang tinggi di sana dengan penampilan yang hampir tanpa celah—masih dalam balutan jas kerja. Rasanya Moreau cukup terpengaruh ketika satu langkah Abihirt mengantar pria itu lebih dekat. Belum ada percakapan yang terduga akan dimulai. Bagian tersebut cukup mendesak supaya dia menduga ayah sambungnya bukan hanya sekadar datang, tetapi ada tujuan tertentu dan tidak ingin diungkapkan dengan gamblang. Secara naluriah Moreau mengatur bahu bersandar tegap di kepala ranjang. Iris biru terangnya tidak pernah luput dari setiap detil tindakan hingga bokong pria itu menyentuh pinggir ranjang. Betapa dia hampir menahan napas saat suara ranjang berderak menjadi satu – satunya hal paling lantang. Walau tak dimungkiri, ketenangan di antara mereka tidak
“Aku ingin kau mengisapnya.” Pria itu memberi perintah—jelas. Secara naluriah tangan Moreau menggenggam erat kejantanan ayah sambungnya yang telah membekak kokoh. Dia mengernyit sesaat. Tidak tahu apa yang tiba – tiba mendesak di puncak kepala, tetapi tidak dibutuhkan waktu lebih lama untuk mengambil tindakan begitu terlarang. Moreau menelan ludah kasar ketika dia mulai mengurut maskulinitas Abihirt yang penuh dengan gairah membakar. Senyumnya begitu puas mendapati pria itu mendesis tertahan, bahkan wajah suami Barbara menengadah seakan luar biasa menikmati setiap perlakuan Moreau di sana. Dia diam – diam membungkuk saat pria itu bahkan tidak melihat. “Oh ....” Erangan Abihirt lepas, kemudian menunduk persis mengikuti gerakan lidah Moreau yang meliuk di kepala kejantanan ayah sambungnya. Barangkali pria itu tidak bisa menahan diri lebih lama, sehingga rahang tegas di sana bergemelatuk dengan sayup – sayup geraman singkat. “Bangunlah.” Tidak. Moreau cuku
Moreau langsung membungkuk. Sudah tak peduli jika harus memberi jilatan basah pada belakang telinga pria itu. Sayup terdengar desis tertahan dari mulut Abihirt. Sekarang dia yakin tak perlu lebih berhati – hati, karena semua kendali sedang tunduk kepadanya. Moreau menyeringai tipis ketika memutuskan untuk memberi gigitan ringan, bahkan menargetkan kulit leher pria itu supaya meninggalkan bekas kemerahan di sana. Sedikit tak peduli jika keputusan demikian akan membawa Abihirt pada situasi di mana sikap teliti Barbara menjadi bagian yang seharusnya selalu mereka hindari. Ini hanya semacam agenda balas dendam, mengingat pria itu juga sering kali lupa bagaimana khawatirnya dirinya ketika harus menghadapi situasi tak terduga di antara mereka. “Aku suka tato buatanku.” Moreau terkikik pelan sembari menjalankan ujung telunjuk pada bekas isapan mulutnya di sana. Masih dengan samar – samar suara mendesis Abihirt, tetapi secara ajaib pria itu tidak mengajukan protes. Hanya sepe
“Apa yang sedang kau pikirkan, Moreau?” Abihirt bertanya, sungguh? Perilaku ganjil telah membuat pria itu memikirkan banyak hal. Moreau tak pernah mengira akan ada satu momen di mana dia membiarkan bibirnya terbuka lebih lebar saat ibu jari Abihirt memberi sapuan ringan di sana. Bahkan pria itu mendorong masuk seluruh jempol yang terasa kasar dan besar supaya dia secara naluriah memberi isapan tak terduga. Mereka melakukan kontak mata. Iris kelabu itu benar – benar tampak dilingkupi gairah tertahan. Rasanya dia tak bisa menjabarkan bagaimana tatapan Abihirt terlalu lapar dan ingin melahapnya tanpa ampun. Tubuh Moreau segera tersentak begitu pria itu mendorong tubuhnya jatuh terduduk di atas ranjang. Tuntutan untuk menengadah mengungkapkan pemandangan murni dari cara Abihirt yang terburu ketika membuka jas dan bahkan merenggut ikatan dasi di kerah kemeja. Lengan pria itu menekan di atas ranjang diliputi wajah yang perlahan mencondong ke depan. Betapa Moreau h
“Aku tetap mau pulang. Ibuku akan mencariku nanti.” Dia berharap bisa mengatakan sesuatu yang lain, tetapi pengkhianatan dalam dirinya membiarkan ego melarang. Barangkali akan kelepasan dan membuat semua semakin runyam. “Ibumu tak akan mencarimu.” Lambat sekali suara serak dan dalam Abihirt mencuak ke permukaan seolah pria itu sedang mengusahakan upaya agar Moreau tidak memikirkan sesuatu melebihi apa yang seharusnya. “Kau sendiri yang bilang ibuku sudah menunggu. Dari mana kau tahu ibuku tidak akan mencariku?” dia bertanya sinis. Akan lebih adil jika Abihirt merasakan ketegangan yang coba dia besar – besarkan. “Ada kegiatan pameran busana. Ibumu akan menghabiskan banyak waktu di sana.” Sekarang Moreau tahu. Dia mengangguk – angguk tak acuh seolah ingin membuktikan kepada ayah sambungnya kalau – kalau apa pun yang sedang pria itu inginkan tidak akan dengan mudah terwujud. “Jadi, tadi kau membohongiku? Kupikir kau adalah suami cuek yang tida
“Keluarlah.” Sebuah perintah serius, sepertinya Moreau akan menghadapi masa sulit andai dia masih bersikap keras kepala untuk tidak menuruti setiap keinginan pria itu. Secara naluriah bahunya mengedik tak acuh. Lupakan bahwa ini adalah peringatan terakhir. Dia melipat lengan di depan dada tanpa mempedulikan Abihirt di sana. Ayah sambungnya akan mengerti jika tindakan tersebut masih menjadi bagian dari sikap tidak patuh dan seharusnya pria itu mengambil inisiatif sendiri sekadar melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah kalau – kalau memang hal demikian merupakan bagian dari daftar panjang yang tak terlewatkan. Celakalah, Moreau tidak pernah menduga jika ternyata Abihirt akan mengambil tindakan tak terduga dengan menarik tubuhnya secara paksa dan lagi ... pria itu mendekap persis diliputi cara di klub tadi, membuat dia terombang – ambing menahan sisa rasa pening nan pekat, sementara perutnya meninggalkan sensasi tidak menyenangkan—tertekan di garis bahu yang terasa kokoh
Tubuh Moreau terdesak ke depan ketika dia nyaris setengah terlelap. Mobil ditumpanginya menghadapi krisis tiba – tiba ... seolah itu memang suatu tindakan disengaja. Tidak tahu apa yang sedang berserang di puncak kepala Abihirt saat suami Barbara memutuskan untuk menginjak rem secara tak terduga. Barangkali hal tersebut tidak jauh dari motivasi sederhana ayah sambungnya supaya dia terbangun, sementara makhluk kaku itu tidak menemukan cara untuk menarik Moreau kembali ke permukaan. Menyedihkan. Secara naluriah dia menoleh ke wajah Abihirt. Pelbagai desakan telah menyumbat di puncak kepalanya sekadar meluapkan segala sesuatu yang tertahan. Mungkin keinginan tentang menghantam wajah tampan di sana ... dengan pukulan serius adalah gagasan paling potensial. Moreau harap bisa menuntaskan ide – ide yang berkeliaran bebas, hingga bergelantungan di belakang bahunya dengan cepat. Namun, di satu sisi tak terduga dia harus membayangkan bagaimana menjadi tenang tak tersentuh—
Moreau merasa sangat malu. Ironi. Dia tak punya cukup tenaga untuk memberontak. Kepalanya terasa pening karena alkohol dan sekarang semacam terombang – ambing di lautan berombak dahsyat, diliputi sengatan aroma tubuh ayah sambungnya yang memabukkan. “Moreau sudah bilang tak ingin kau ganggu, Rowan. Turunkan dia!” Mereka sudah separuh jalan menuju pintu keluar, kemudian suara Robby cukup lantang menghentikan Abihirt, lalu menarik perhatian pria itu untuk berbalik badan—di mana Moreau perlu berjuang memalingkan separuh wajah jika dia ingin tahu tentang apa yang akan Robby lakukan kepada ayah sambungnya. “Kau tidak perlu ikut campur terhadap urusanku.” Suara serak dan dalam Abihirt memang terdengar tenang, tetapi tersisip reaksi ganjil yang Moreau sadari coba pria itu tahan. Dia ingin tahu. Bertanya – tanya apakah keberadaan Robby telah memberi banyak pengaruh, meski ayah sambungnya masih berusaha tidak menunjukkan reaksi signifikan di antara mereka. Apakah mu
Mungkin ... yang tersisa di antara mereka adalah sikap Abihirt ... masih berusaha hati – hati saat pria itu menghadapi keputusan serupa. Moreau menggeleng tegas. Terlalu konyol jika mereka bertengkar di sini. Di hadapan banyak orang, apalagi sampai mereka tahu tentang status hubungan yang begitu konyol sekadar dimaklumi. Bagaimanapun Moreau tak bisa memungkiri bahwa sikap Abihirt terlihat seperti seorang pria dewasa yang enggan berbagi. “Jika kau ingin pulang, kau bisa pulang sendiri. Aku tidak butuh perhatian darimu.” Persetan! Meski sesuatu dalam diri Moreau mengingatkan supaya dia bersikap tenang, ada satu bagian lain yang bernama ego ... mendorong agar dia menunjukkan keberanian di hadapan pria itu. “Ibumu sudah menunggu di rumah.” Apa pedulinya? Haruskah Moreau katakan bahwa Abihirt sedang mengandalkan Barbara demi membujuknya? Tidak. Dia akan memastikan itu bukan prospek yang mempan. Lebih baik sudahi segala sesuatu yang membuat dia merasa lebih gila.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Moreau sarat nada sinis. Menyingkirkan keberadaan tangan Abihirt adalah kebutuhan dasar. Dia menepis pria itu dengan kuat. Sudah cukup membiarkan waktu berjalan beberapa saat. Keheningan memang sudah bergemuruh sejak terakhir kali tidak ada satu pun kata terucap dari bibir ayah sambungnya, tetapi Moreau muak menghadapi sikap pria itu. Abihirt sudah seringkali memberi tatapan tajam, seakan – akan demikianlah cara pria tersebut melakukan komunikasi intens. Tidak. Seharusnya pria itu mengerti kalau – kalau hal tersebut merupakan bentuk paling menyakitkan. “Aku ingin kau pulang.” Kali pertama bersuara, Moreau dapat mencerna betapa suara serak dan dalam itu terdengar dingin membekukan. Jika Abihirt mengira dia akan setuju begitu saja, suami ibunya salah—sangat salah. Untuk saat ini Moreau tidak menerima perintah. Dia segera menoleh ke wajah Robby, merasa hal tersebut merupakan prospek bagus sekadar memperlihatkan kepada Abihirt bahwa