Pintu kamar terbuka sedikit membuat Moreau tersentak saat dia sedang diliputi kesibukkan memainkan ponsel. Tidak ada peringatan dari Abihirt bahwa pria itu akan tiba – tiba melangkah masuk. Memperlihatkan ekspresi nyaris tidak terbaca. Menjulang tinggi di sana dengan penampilan yang hampir tanpa celah—masih dalam balutan jas kerja.
Rasanya Moreau cukup terpengaruh ketika satu langkah Abihirt mengantar pria itu lebih dekat. Belum ada percakapan yang terduga akan dimulai. Bagian tersebut cukup mendesak supaya dia menduga ayah sambungnya bukan hanya sekadar datang, tetapi ada tujuan tertentu dan tidak ingin diungkapkan dengan gamblang. Secara naluriah Moreau mengatur bahu bersandar tegap di kepala ranjang. Iris biru terangnya tidak pernah luput dari setiap detil tindakan hingga bokong pria itu menyentuh pinggir ranjang. Betapa dia hampir menahan napas saat suara ranjang berderak menjadi satu – satunya hal paling lantang. Walau tak dimungkiri, ketenangan di antara mereka tidak“Apa itu?” tanya Moreau sambil menelan ludah kasar. Hampir benar – benar tak bisa mengalihkan perhatian di telapak tangan ayah sambungnya. Abihirt tidak langsung mengatakan sesuatu. Namun, pria itu menempatkan posisi untuk menghapus sisa jarak di antara mereka. Sekarang lebih dari cukup sekadar bersentuhan. Moreau menahan napas setelah tidak mendapat petunjuk bahwa ayah sambungnya akan mengulurkan tangan menyentuh liontin yang bergantung cantik pada rantai kalung—kemudian seperti menghela napas samar. Aneh. Moreau tahu mungkin itulah yang akan dia pikirkan, tetapi tidak dimungkiri bagaimana ketertarikan di benaknya jauh lebih besar mendesak beberapa pemikiran, tanpa membayangkan sesuatu secara serius; atau mengira Abihirt akan melakukan hal konyol. Malah, dia tidak bisa memindahkan perhatian dari pria itu. Menatap terlalu dekat dengan napas mereka saling bertautan di udara. Hening terlalu pekat dan dia masih belum menemukan cara sekadar merangkak ke permukaan, seakan ikut terje
Moreau tersenyum tipis ketika dia merasa tersesat; apakah perlu berterima kasih atau tidak atas pertemuan, hingga takdir mereka yang kejam. Dia menyukai ayah sambungnya. Sial—malah mencintai suami Barbara. Berharap akan ada saat – saat di mana bisa memiliki Abihirt—sebentar saja. Namun, pria itu tidak ditakdirkan untuknya. Tidak akan pernah. “Boleh aku mencium-mu, Abi?” tanya Moreau lambat. Betapa pun berusaha bersikap waras, dia justru mendapati dirinya hampir benar – benar kehilangan arah. Situasi di antara mereka keliru, walau reaksi Abihirt nyaris tidak begitu singkat. Pria itu butuh beberapa saat untuk menanggapi. Barangkali terkejut karena Moreau tidak pernah meminta sesuatu yang seperti ini. “Boleh atau tidak?” Tidak sabar. Mungkin itu dapat menggambarkan desakan di benaknya. Moreau ingin menyelam ke dalam iris kelabu Abihirt. Ingin mencari sesuatu. Tidak terdapat apa – apa, tetapi anggukan samar dari pria tersebut membuat dia menunjukkan reaksi murni dengan mencoba untuk
“Aku sudah bilang tidak mau.” Seperti ini lebih adil. Moreau menggigit bibir sendiri saat merasa cukup terhibur. Abihirt tidak menunjukkan kapan pria itu akan bertindak. Berharap tidak, maka dia dapat melanjutkan kebutuhan tertunda. Kali ini mungkin akan menargetkan dagu ayah sambungnya sebagai titik sasaran. Ya, setidaknya hampir terjadi ketika Moreau menjatuhkan mulut di rahang bagian bawah Abihirt, tetapi pria itu mengambil tindakan tiba – tiba dengan menarik wajahnya. Mempertemukan bibir mereka. Merampas. Melumat penuh gairah. Menginginkan lebih dan mungkin akan melampaui sisa hal yang tidak pernah Moreau pikirkan. Dia hampir kehilangan napas saat Abihirt masih berusaha melampiaskan sesuatu yang telah ditahan terlalu lama. Tak ada petunjuk kapan pria itu akan berhenti. Moreau berusaha memberi isyarat dengan paling tidak ... mengegatkan ujung jari – jari tangan di lengan ayah sambungnya, meski harus mengerang kecil di balik ciuman panas, kemudian pasokan udara seo
Barbara baru saja melangkah masuk, tetapi sama sekali tidak menemukan seorang pun ada di kamar. Ke mana Abihirt? Benaknya bertanya – tanya hampa, karena bagaimanapun pria itu tidak memberi petunjuk yang dapat dia gunakan untuk saat – saat seperti ini, saat di mana dia ingin menikmati waktu berdua. Rasanya sudah cukup lama dan mereka hampir terlalu disibukkan oleh pelbagai hal. Sambil mendengkus. Akhirnya Barbara menjatuhkan bokong di pinggir ranjang. Paling tidak sekadar memainkan ponsel; menghapus pesan – pesan bernada mesum Samuel; atau menyingkirkan riwayat panggilan dari pria tersebut. Tak dimungkiri bahwa dia sempat lebih mengutamakan kebutuhan bicara bersama pria simpanan, alih – alih menyambut Abihirt ketika suaminya tiba di rumah. Mungkin Abihirt sedang bersama Chicao, itu yang dia pikirkan setelah selesai melenyapkan prospek terburuk sebagai bukti perselingkuhan, tanpa pernah tahu bahwa di waktu bersamaan Abihirt akan membuka pintu. Sedikit terkejut dengan derap tertahan d
Barbara mengerjap beberapa kali, berjuang keras supaya dia tidak dengan mudah terbujuk. Masih ada keinginan bahwa namanya harus tertera di sana, di atas dokumen kepemilikan. Dia tak mempercayai Moreau dan tak akan pernah membiarkan gadis itu mewarisi perusahaan yang ditinggal Jeremias Riveri. Moreau sudah pantas menjadi atlit figure skatting. Tidak ingin yang lain. Tak ingin putrinya terlibat dalam bentuk apa pun. Barbara tak ingin mengambil risiko terhadap sikap Moreau yang cenderung membantah hingga yang benar – benar sulit diatur. Dia menghela napas kasar, kemudian menggeleng samar. Sepertinya ada sedikit penyesalan menolak ajakan Samuel untuk berlibur beberapa hari di pulau. Bagaimanapun Abihirt telah membuat perasaannya sekadar butuh bahan pelampiasan, tetapi dia tak ingin marah begitu saja. Ntahlah, barangkali takut mengingat suaminya tipikal pria yang akan selalu serius, tidak peduli apakah mereka sedang berkonfrontasi atau tidak. Barbara tak ingin terl
“Sudah, Juan. Berhenti mengejarku!” Satu kesalahan Moreau adalah memoles lelehan es krim miliknya di ujung hidung seseorang yang mengejar di belakang, sekarang dia mati – matian harus menghindari apa pun dan mungkin akan Juan lakukan. Pria itu sungguh tidak akan berhenti sampai benar – benar mendapatkan tubuhnya. Sial, betapa jarak mereka nyaris terlalu dekat, hingga hampir tidak ada hal yang dapat Moreau lakukan supaya mencegah Juan—sedikit saja meraih pelbagai prospek bagus di antara mereka. Pria itu bisa menjambak rambutnya yang bertebangan, tetapi tidak. Juan tidak akan pernah sekasar itu, memilih untuk lebih sabar, seperti saat Moreau menoleh ke belakang tetapi diliputi langkah lurus ke depan dan tiba – tiba ... dia tanpa sengaja menubruk tubuh seseorang lainnya. Semua seakan berhenti dalam sekejap. Moreau sangat terkejut mendapati Lewi hampir jatuh. Namun, naluri Froy yang cekatan sedikit, setidaknya tidak akan membawa mereka untuk menyelam di tengah m
“Sikap yang saat ini kutunjukkan adalah sesuatu yang wajar. Setidaknya aku tidak sok dewasa sepertimu. Lagi pula, kami sedang menikmati waktu bersenang – senang berdua. Tidak ada hubungannya denganmu. Sudah aku bilang kalau aku tidak sengaja. Lewi, kau baik – baik saja?” Lebih adil jika Moreau bicara langsung kepada Lewi. Persetan jika Froy tetap tidak setuju ketika dia mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu Lewi. Wanita hamil itu sendiri tidak menunjukkan sikap keberatan. Froy berlebihan! “Tidak usah sok baik!” Dan begitulah akhirnya pria itu kembali membentak. Menggenggam erat bahu Moreau untuk disingkirkan. “Kau jangan kurang ajar, Sialan!” Sekarang Moreau dapat merasakan bagaimana Juan menarik lengannya supaya dia beranjak satu langkah mundur ke belakang. Mengambil tindakan secara naluriah untuk berada paling depan setelah apa yang telah Froy lakukan. Sedikit pula dengan satu dorongan sekadar membuat bajingan tidak tahu malu itu menyingkir. B
“Juan, sebaiknya kita pulang,” ucap Moreau, sangat – sangat tak ingin menatap wajah Froy yang menjengkelkan. Dia menarik ujung kain di tubuh Juan. Pria itu dengan mudah memahami. Mereka seharusnya berjalan, ke arah mana saja, untuk secepatnya meninggalkan tempat ini. Namun, hanya satu langkah tercipta—berikutnya satu sentuhan di tangan Moreau sungguh terasa mengetat erat. “Aku belum selesai.” Pria itu mendesis nyaris begitu dekat. Betapa kurang ajar, seolah Froy memang sengaja meninggalkan rasa sakit hingga Moreau meringis samar. “Tidak ada yang perlu kubicarakan denganmu. Lepas!” Sedikit pemberontakan dari Moreau. Berjuang keras menepis perilaku Froy yang menyedihkan, tetapi percuma. Bahkan tindakan andil Lewi dan Juan juga tidak meninggalkan prospek bagus. Froy akan benar – benar kalap, jika terus dibiarkan seperti ini. “Aku tidak tahu apa yang coba kau bicarakan, tapi kalung ini diberikan kepadaku atas keinginan pamanmu dan juga dengan persetujuan i
“Nyonya, Tuan sedang tidak di rumah. Dan atas perintah spesifik dari beliau, Anda tidak diizinkan menginjakkan kaki di tempat ini.” Barbara segera menoleh saat Emma mulai bicara. Ada ketakutan di balik suara wanita paruh baya itu. Sesuatu jelas telah dipahami bahwa dia akan melakukan hal di luar kendali. “Siapa kau melarangku?” tanya Barbara sembari menatap wanita di hadapannya penuh penghinaan besar. “Saya hanya menjalankan tugas, Nyonya.” Emma segera menunduk. Betapa Barbara muak menghadapi saat – saat seperti ini. Dia sedang ingin melampiaskan banyak hal. Barangkali bukan gagasan buruk jika melakukan satu hal memuaskan di sini. Dengan sudut bibir berkedut sinis, Barbara kemudian berkata, “Tugasmu hanya membersihkan apa pun yang terlihat kotor. Oh—atau kau merasa sudah melakukan pekerjaan-mu, maka kau bisa menggoyang kaki dengan tenang? Mari kutunjukkan kepadamu apa yang perlu kau lakukan. Sekarang, ambil kunci gudang!” Pernyataan Barbara diakh
Terbangun dengan kondisi sekujur tubuh mengalami pemberatan murni, membuat Barbara meringis setiap kali dia berusaha melakukan gerakan lain; kelopak matanya mengerjap, sedikit diliputi usaha mengingat kali terakhir hal yang dihadapi, tetapi kemudian menyadari bahwa dia tidak berada di mana pun di kediaman Abihirt. Siapa yang membawanya pulang? Benak Barbara bertanya – tanya tak mengerti. Jelas waktu telah berlalu jauh dan dia banyak melewatkan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Tidak apa – apa jika Abihirt ingin melampiaskan segala bentuk kemarahan kepadanya, asal pria itu tidak mengajukan satu hal yang benar – benar tidak Barbara inginkan. Napasnya memburu berat hanya dengan memikirkan hal tersebut. Jari – jari yang terasa gemetar berusaha menyisir helai rambut—terurai berserak di sekitar wajah. Berharap dia bisa segera bersiap. Sial. Sesuatu menghentikan Barbara ketika sorot matanya membidik satu titik di atas nakas. Semacam sebuah berkas yang
Sekarang ... ntah cambukan kali ke berapa. Barbara tidak bisa menghitung. Semua bentuk pemikiran di benaknya hancur berantakan. Krisis ketidakpercayaan terhadap sikap Abihirt sungguh memberi pengaruh besar. Dia merasa benar – benar telah memborong kebodohan, hingga yang tersisa adalah hasrat supaya tidak terjebak pada kondisi seperti ini. “Sakit, Abi,” Barbara mengeluh sarat nada begitu getir. Sebatas harapan agar Abihirt bersedia memberi ampun. Jika pria itu berpikir ini merupakan hukuman setimpal, hal tersebut sama sekali bukan keadilan. Dia berharap Moreau yang ada di sini. Menggantikan posisinya. Namun, apakah hal tersebut terdengar masuk akal? Abihirt terlihat mabuk kepayang kepada gadis itu. Dia tidak yakin. Barangkali telah melewatkan banyak hal. Bertanya – tanya ... mungkinkah? “Daripada menyiksaku di sini, mengapa kau tidak seret saja Moreau dan biarkan dia merasakan yang sama seperti yang kualami hari ini?” Tidak ingin diliputi pelbagai hal menggan
“Kau yakin ini akan berjalan baik – baik saja?” Masih sedikit usaha untuk meyakinkan diri. Barbara akhirnya hanya menghela napas ketika Abihirt mengangguk samar. Pria itu tidak akan mengatakan lebih banyak. Semua pilihan ada di tangannya; apakah dia masih ingin melakukan seks atau membiarkan hubungan mereka kembali regang. “Baiklah.” Barbara memutuskan untuk membuka blazer yang dia kenakan. Satu persatu pakaian telah dilucuti. Bukan masalah besar bertelanjang penuh di hadapan suaminya. Dia kemudian memberi Abihirt tatapan penuh bertanya. Menunggu apa yang akan pria itu lakukan. Tidak ada kata terucap. Sebaliknya, Abihirt merenggut dasi yang mengikat kerah kemeja pria itu. Langkah lebar suaminya tidak pernah luput dari perhatian Barbara. Dia menelan ludah kasar persis ketika Abihirt sudah menjulang tinggi di belakang. Semua menjadi gelap kali pertama Abihirt merekatkan bagian dasi untuk menutup di matanya. “Haruskah dengan pandangan tertutup, Ab
Kali pertama mendengar pernyataan Abihirt, kelopak mata Barbara mengerjap cepat. Hampir tidak menyangka tentang hal yang telah mereka lewatkan. Dia tahu suaminya jauh lebih sering menghabiskan waktu bersama Moreau—dan itu sungguh meninggalkan banyak kecemburuan tidak tertahankan. Cukup puas bahwa dia bisa melewati saat – saat di mana mengendalikan diri dari kebutuhan melampiaskan amarah. Sungguh, sampai mati pun, Barbara tidak akan menyerahkan Abihirt kepada Moreau. Dia tidak akan pernah mengalah. Kemenangan harus selalu berada di tangan. Persetan dengan mengorbankan yang lainnya. “Baiklah. Ke mana kau akan membawaku?” tanya Barbara sembari mengikuti langkah Abihirt menuju mobil. Mereka datang terpisah. Miliknya sendiri sedang terparkir di sisi halaman lain, tetapi mereka bisa mengatur situasi. Bukan masalah besar meminta Gabriel menyelesaikan tugas tertunda. Abihirt tidak mengatakan apa – apa sepanjang perjalanan, tetapi Barbara mengenali setiap detil tempat yang
“Pelacur kecil itu sudah tidak mau denganmu. Apa yang kau harapkan lagi darinya?” Sejak awal, tujuan Barbara adalah menghancurkan kehidupan Moreau dan membuat hubungan gadis itu bersama suaminya retak. Dia mengambil langkah yang tepat setelah meyakinkan Moreau bahwa Abihirt terlibat dalam keputusan ini. Tadi, betapa tatapan itu penuh luka. Moreau telah meninggalkan mereka. Sekarang konflik terhadap hubungan yang seharusnya baik – baik saja terus beterbangan. Paling tidak, Barbara cukup puas, walau segala sesuatu yang dia rencanakan tidak sepenuhnya lancar. Ada hasrat untuk membuat Moreau benar – benar mendapat pelajaran berharga. Dia ingin orang – orang melempari gadis itu dengan apa pun sebagai kemungkinan terburuk—anggap saja suatu penghinaan hebat. Sungguh, kemunculan Abihirt sangat tidak tepat. Mereka sedang dihadapkan badai tensi yang meningkat. Barbara tahu cepat atau lambat Abihirt akan menjadikannya target utama. Sial. Dia sama sekali tidak tahu kal
Barbara bertanggung jawab atas situasi yang sedang mereka hadapi, tetapi yang tidak Moreau mengerti; mengapa? Bukankah Abihirt juga terlibat? Apa lagi yang diinginkan sehingga pria itu bersikap seakan sedang didesak kebutuhan menuntut Barbara. Mungkin ibunya berusaha menjebak suami sendiri karena seharusnya mutahil bagi Abihirt bersedia membuka aib perselingkuhan ini? Yang juga akan mempengaruhi reputasi di masa mendatang. “Aku tahu kau datang untuk menghadiri program ulang tahun mendiang ibumu. Tapi, nanti. Setelah aku menyelesaikan pelacur kecil ini. Bukankah kau sendiri juga sudah setuju?” Sesuatu yang keras seperti berusaha mencecoki tenggorokan Moreau. Dia mengira masih ada sedikit harapan, tetapi reaksi Abihirt yang tampak tidak akan langsung menyangkal, seakan memberinya banyak petunjuk. Pria itu hanya ... melirik ke arah Gabriel, kemudian berkata, “Bubarkan tamu undangan.” Sudah cukup. Moreau merasa muak jika harus mempertahankan kepercayaan dalam dirinya k
“Jika ayahmu masih di sini, Moreau. Kurasa, dia akan mendapat serangan jantung mendadak karena menerima informasi seperti ini, bahwa putri kesayangannya, putri kecil yang selalu dimanjakan olehnya, sanggup menjual diri demi seorang pria beristri. Kurasa, arwahnya pun tidak akan tenang selama menyaksikan apa yang kau lakukan di muka bumi ini.” Sial. Belum ada satu pun hal sanggup Moreau katakan, tetapi kesalahan Barbara sangat tidak bisa dimengerti kali ketika wanita itu melibatkan ayahnya. “Jika ayahku masih ada di sini. Kau tidak akan mungkin menikahi lagi, Mom. Atau kau mungkin ingin bermain api di belakangnya, sama seperti yang kau lakukan di belakang Abi?” “Tutup mulut sialanmu!” Tamparan keras lainnya, membuat wajah Moreau benar – benar berpaling dengan kasar. Saraf – saraf di sekitar pipi terasa kebas. Dia membeku di tempat. Namun, semua yang dia katakan memang benar. Perselingkuhan ini tidak akan terjadi, andai wanita itu juga bisa menjaga diri dari h
Barbara tidak akan berhenti. Itu masalahnya. Betapa wanita itu tampak dilingkupi pelbagai antusiasme meluap – luap, seolah masih begitu banyak hal tidak terungkapkan, sementara Moreau merasa dia tidak akan bisa menerima peristiwa seperti ini lebih lama. Semua akan berakhir jauh lebih kacau, tetapi bagaimana dia bisa menghentikan ibunya terhadap kebutuhan untuk mengungkapkan kebenaran di hadapan banyak orang? Sikap konfrontasi dalam dirinya seketika menjadi tumpul. Tidak ada suara penyangkalan yang bisa digunakan sekadar tidak menjebak kondisi sendiri menjadi lebih rumit. Tidak dimungkiri, Moreau cukup takut menyaksikan begitu banyak tatapan kemarahan nyaris di seluruh penjuru gedung. “Kalian semua mungkin tidak percaya terhadap apa yang kukatakan di sini.” Lagi. Suara Barbara kembali mencuak ke permukaan. Senyum wanita itu tampak begitu puas; seperti telah memastikan kalau – kalau kemenangan sudah berada di tangan. “Aku punya bukti.” Kembali meneruskan. Waj