“Sikap yang saat ini kutunjukkan adalah sesuatu yang wajar. Setidaknya aku tidak sok dewasa sepertimu. Lagi pula, kami sedang menikmati waktu bersenang – senang berdua. Tidak ada hubungannya denganmu. Sudah aku bilang kalau aku tidak sengaja. Lewi, kau baik – baik saja?”
Lebih adil jika Moreau bicara langsung kepada Lewi. Persetan jika Froy tetap tidak setuju ketika dia mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu Lewi. Wanita hamil itu sendiri tidak menunjukkan sikap keberatan. Froy berlebihan! “Tidak usah sok baik!” Dan begitulah akhirnya pria itu kembali membentak. Menggenggam erat bahu Moreau untuk disingkirkan. “Kau jangan kurang ajar, Sialan!” Sekarang Moreau dapat merasakan bagaimana Juan menarik lengannya supaya dia beranjak satu langkah mundur ke belakang. Mengambil tindakan secara naluriah untuk berada paling depan setelah apa yang telah Froy lakukan. Sedikit pula dengan satu dorongan sekadar membuat bajingan tidak tahu malu itu menyingkir. B“Juan, sebaiknya kita pulang,” ucap Moreau, sangat – sangat tak ingin menatap wajah Froy yang menjengkelkan. Dia menarik ujung kain di tubuh Juan. Pria itu dengan mudah memahami. Mereka seharusnya berjalan, ke arah mana saja, untuk secepatnya meninggalkan tempat ini. Namun, hanya satu langkah tercipta—berikutnya satu sentuhan di tangan Moreau sungguh terasa mengetat erat. “Aku belum selesai.” Pria itu mendesis nyaris begitu dekat. Betapa kurang ajar, seolah Froy memang sengaja meninggalkan rasa sakit hingga Moreau meringis samar. “Tidak ada yang perlu kubicarakan denganmu. Lepas!” Sedikit pemberontakan dari Moreau. Berjuang keras menepis perilaku Froy yang menyedihkan, tetapi percuma. Bahkan tindakan andil Lewi dan Juan juga tidak meninggalkan prospek bagus. Froy akan benar – benar kalap, jika terus dibiarkan seperti ini. “Aku tidak tahu apa yang coba kau bicarakan, tapi kalung ini diberikan kepadaku atas keinginan pamanmu dan juga dengan persetujuan i
Secara teknikal kalung itu adalah miliknya. Namun, betapa pun suara Moreau sudah begitu sinis, Froy tetap tidak menunjukkan itikad baik sekadar memperbaiki tindakan yang keliru. Malah berdecih, seakan – akan tidak perlu adanya perilaku perbaikan atas kesalahan disengaja. “Kau pikir kau siapa menyuruhku?” Sekarang satu pertanyaan nyaris membuat Moreau menipiskan bibir samar. Dia hanya menahan diri, kemudian memastikan ujung kuku tangannya menancap dalam di permukaan lengan Froy seperti yang sering kali dilakukan kepada Abihirt, meski ini jelas sebuah konsep berbeda; bukan desakan murni; dia ingin Froy segera setuju atau setidaknya sampai pria itu melompat ke dalam air. “Tidak peduli siapa aku. Pastikan kau kembalikan kalung itu ke tanganku. Aku juga tidak peduli dengan cara apa kau akan melakukannya, tapi yang jelas ... aku tidak segan – segan memberi tahu Abi semua yang sudah kau perbuat.” Itu bukan hanya sekadar ancaman. Froy seharusnya mengerti. Celakahlah,
“Kenapa kau tidak ikut denganku saja, Juan? Aku takut masuk sendirian.” Semua seharusnya bersifat baik – baik saja—tidak; sebenarnya—sedikit baik – baik saja, sampai pengakuan Juan yang mengejutkan hampir membuat seluruh kestabilan di benak Moreau dan bagaimana dia mati – matian memperjuangkan, sekarang mendadak hancur berantakan. Keputusan Juan sepertinya sudah begitu mutlak, meski Moreau masih berharap pria itu akan tiba – tiba berubah pikiran dan maka mereka dapat menyelesaikan semua masalah ini dengan cepat. Sayangnya, respons menggeleng samar adalah sesuatu yang begitu nyata. Memberi dampak tertentu hingga Moreau nyaris lupa cara bernapas dengan baik. Dia memalingkan wajah ke luar jendela, mengedarkan pandangan di sekeliling tempat. Belum siap turun. Hampir setidaknya putus asa memikirkan jika jarak bersama Abihirt sudah begitu dekat. Apa yang saat ini sedang pria itu lakukan di dalam sana? Sibuk dengan urusan penting-kah? “Temani aku sebentar saja.”
Hanya perlu satu langkah tersisa, maka seharusnya Moreau dapat menyelesaikan ini lebih cepat. Dia menelan ludah kasar. Sesaat menatap gagang pintu dengan ketakutan besar sebelum akhirnya diliputi tindakan penuh tekad untuk menekan dan mendorong ke dalam. Mungkin dia melakukan hal tersebut begitu terburu, sehingga suara yang mencuak ke permukaan segera memancing seseorang di sana. Siapa yang akan mengira jika ternyata Abihirt sedang menjulang tinggi di depan kaca tembus pandang, sementara mata kelabu pria itu diserbu oleh pemandangan dari luar. Ada sesuatu yang tidak dapat Moreau jabarkan. Dia merasa—tadi—Abihirt sedang melamun, karena bagaimanapun ... mendeteksi respons pria itu; sedikit bisa diungkapkan dengan ganjil bahwa Abihirt bersikap ganjil saat menyadari keberadaannya. Tidak ada kata – kata. Tidak ada kalimat nyaris terucap. Hening. Namun, pada saat – saat hampir berdekatan, Moreau merasakan betapa jantungnya bergemuruh keras. Seperti tidak ingin berhenti. Masi
Moreau menggeleng beberapa saat. Pada akhirnya memutuskan untuk mengangkat wajah. Dia hampir terkejut—tentu, karena bukan ini yang ingin ditemukan; hal kecil dari bentuk kekecewaan di wajah tampan ayah sambungnya, meski betapa pun Abihirt berusaha tidak mengungkapkan dengan ringkas setiap detil reaksi di antara mereka. Kalung yang dititipkan kepadanya sungguh merupakan kenangan terakhir dan Moreau yakin itu sangat – sangat berharga. “Aku minta maaf.” Dia tetap tak bisa menerima begitu saja, jika Abihirt tidak ingin mengadili apa pun saat ini. Ada dampak di mana jantungnya seperti diremuk redam. Menatap pria itu membuat mata pedih dan memanas. Terhadap waktu yang terus merangkak ke depan ... akan segera disertai rembesan air dan Moreau tidak akan bisa menahan diri. Mungkin Abihirt memahami bagaimana kekhawatiran mengendalikan ketakutan di benaknya, sehingga pria itu malah memeluk alih – alih berkata marah. Memeluk setelah membiarkan dia bergetar seolah ini ad
Moreau mengira bahwa keterlibatan Gabriel di perjalanan menuju Taman Nasional Sierre De Guadarrama adalah sesuatu yang menjadikan itu sebagai prospek tidak adil. Namun, ternyata dia salah mencantumkan gagasan demikian, karena keinginan Abihirt lebih sungkar dimengerti ketika memintanya pindah ke mobil Gabriel, sementara pria itu berjalan masuk ke gedung—cukup mentereng di sana. Moreau pernah mendatangi tempat ini; saat di mana Froy menikah dan dia akhirnya meminta izin pulang lebih awal. Sedikit ganjil membayangkan jika Abihirt ternyata mendatangi keponakan pria itu untuk suatu pertanggung jawaban. Sekarang dia mendapati ayah sambungnya sedang memaksa Froy berjalan. Meski terlihat terpaksa, sepertinya Froy tidak akan memiliki pilihan. Tubuh pria itu telah hilang di dalam mobil. Hanya sisa bayangan yang begitu sulur, kemudian dia juga harus menyaksikan tubuh Abihirt beranjak masuk ke kursi kemudi. Mesin mobil menyala dan saat itulah Gabriel mengerti untuk membawa
Moreau terus memperhatikan ayah sambungnya. Pria tampan yang sulit ditebak sekarang setidaknya berusaha tidak tersulut terhadap segala bentuk perlawanan Froy. “Kau tahu ketika melempar sesuatu yang kecil ke dalam danau akan membuatmu sulit menemukan, lalu mengapa kau tetap melakukannya? Kau tetap melempar kalung Moreau tanpa alasan.” Pertanyaan Abihirt cukup sederhana, tetapi lebih daripada membuat Froy hampir gelapan. Mata pria itu bergerak gelisah. Butuh jeda beberapa saat supaya benar – benar menemukan jawaban. “Aku kelepasan, Paman. Aku marah mengingat sikap yang kau berikan kepada Lewi dan sebaliknya kau memberikan kalung itu kepada Moreau!” Demikian seperti protes besar. Suara Froy menggelegar keras. Pria itu beruntung, karena sepertinya Abihirt telah membayar dengan uang untuk membuat orang – orang pergi meninggalkan taman, yang baru Moreau sadari ketika mengedarkan pandangan. Bukan kejutan. Dia seharusnya terbiasa. “Apa yang salah? Bukankah suda
Rasanya tubuh Moreau mendadak kaku mendapati sebuah pemandangan di mana air terlihat mencak – mencak, sementara Abihirt telah lebih dekat ke arah Froy. Pria itu menawarkan bantuan kepada sang keponakan dan muncul sedikit kelegaan bahwa mereka perlahan berenang ke tepian. Dia dan Gabriel secara naluriah berlari ke bibir danau. Bukan Froy yang Moreau pikirkan. Hanya ayah sambungnya. Biarkan Gabriel mengambil tindakan tersisa dengan menyambut pria itu—yang tampak terengah – engah untuk dibaringkan ke rerumputan sambil mengerang. Golakan keram itu menyakitkan. Rasanya itu dapat terbayangkan begitu jelas di benaknya. Moreau meringis, tetapi pula memalingkan wajah dan mendapati Abihirt telah naik ke daratan. Sekarang pria itu menjulang tinggi dalam keadaan kuyup. Menatap sang keponakan setengah kesal, meski tidak mengatakan apa – apa selain membiarkan Froy lebih tenang. Perlahan ... setidaknya telah reda. Masih belum ada percakapan. Namun, Gabriel kembali menawarkan bantuan
“Aku ingin kau mengisapnya.” Pria itu memberi perintah—jelas. Secara naluriah tangan Moreau menggenggam erat kejantanan ayah sambungnya yang telah membekak kokoh. Dia mengernyit sesaat. Tidak tahu apa yang tiba – tiba mendesak di puncak kepala, tetapi tidak dibutuhkan waktu lebih lama untuk mengambil tindakan begitu terlarang. Moreau menelan ludah kasar ketika dia mulai mengurut maskulinitas Abihirt yang penuh dengan gairah membakar. Senyumnya begitu puas mendapati pria itu mendesis tertahan, bahkan wajah suami Barbara menengadah seakan luar biasa menikmati setiap perlakuan Moreau di sana. Dia diam – diam membungkuk saat pria itu bahkan tidak melihat. “Oh ....” Erangan Abihirt lepas, kemudian menunduk persis mengikuti gerakan lidah Moreau yang meliuk di kepala kejantanan ayah sambungnya. Barangkali pria itu tidak bisa menahan diri lebih lama, sehingga rahang tegas di sana bergemelatuk dengan sayup – sayup geraman singkat. “Bangunlah.” Tidak. Moreau cuku
Moreau langsung membungkuk. Sudah tak peduli jika harus memberi jilatan basah pada belakang telinga pria itu. Sayup terdengar desis tertahan dari mulut Abihirt. Sekarang dia yakin tak perlu lebih berhati – hati, karena semua kendali sedang tunduk kepadanya. Moreau menyeringai tipis ketika memutuskan untuk memberi gigitan ringan, bahkan menargetkan kulit leher pria itu supaya meninggalkan bekas kemerahan di sana. Sedikit tak peduli jika keputusan demikian akan membawa Abihirt pada situasi di mana sikap teliti Barbara menjadi bagian yang seharusnya selalu mereka hindari. Ini hanya semacam agenda balas dendam, mengingat pria itu juga sering kali lupa bagaimana khawatirnya dirinya ketika harus menghadapi situasi tak terduga di antara mereka. “Aku suka tato buatanku.” Moreau terkikik pelan sembari menjalankan ujung telunjuk pada bekas isapan mulutnya di sana. Masih dengan samar – samar suara mendesis Abihirt, tetapi secara ajaib pria itu tidak mengajukan protes. Hanya sepe
“Apa yang sedang kau pikirkan, Moreau?” Abihirt bertanya, sungguh? Perilaku ganjil telah membuat pria itu memikirkan banyak hal. Moreau tak pernah mengira akan ada satu momen di mana dia membiarkan bibirnya terbuka lebih lebar saat ibu jari Abihirt memberi sapuan ringan di sana. Bahkan pria itu mendorong masuk seluruh jempol yang terasa kasar dan besar supaya dia secara naluriah memberi isapan tak terduga. Mereka melakukan kontak mata. Iris kelabu itu benar – benar tampak dilingkupi gairah tertahan. Rasanya dia tak bisa menjabarkan bagaimana tatapan Abihirt terlalu lapar dan ingin melahapnya tanpa ampun. Tubuh Moreau segera tersentak begitu pria itu mendorong tubuhnya jatuh terduduk di atas ranjang. Tuntutan untuk menengadah mengungkapkan pemandangan murni dari cara Abihirt yang terburu ketika membuka jas dan bahkan merenggut ikatan dasi di kerah kemeja. Lengan pria itu menekan di atas ranjang diliputi wajah yang perlahan mencondong ke depan. Betapa Moreau h
“Aku tetap mau pulang. Ibuku akan mencariku nanti.” Dia berharap bisa mengatakan sesuatu yang lain, tetapi pengkhianatan dalam dirinya membiarkan ego melarang. Barangkali akan kelepasan dan membuat semua semakin runyam. “Ibumu tak akan mencarimu.” Lambat sekali suara serak dan dalam Abihirt mencuak ke permukaan seolah pria itu sedang mengusahakan upaya agar Moreau tidak memikirkan sesuatu melebihi apa yang seharusnya. “Kau sendiri yang bilang ibuku sudah menunggu. Dari mana kau tahu ibuku tidak akan mencariku?” dia bertanya sinis. Akan lebih adil jika Abihirt merasakan ketegangan yang coba dia besar – besarkan. “Ada kegiatan pameran busana. Ibumu akan menghabiskan banyak waktu di sana.” Sekarang Moreau tahu. Dia mengangguk – angguk tak acuh seolah ingin membuktikan kepada ayah sambungnya kalau – kalau apa pun yang sedang pria itu inginkan tidak akan dengan mudah terwujud. “Jadi, tadi kau membohongiku? Kupikir kau adalah suami cuek yang tida
“Keluarlah.” Sebuah perintah serius, sepertinya Moreau akan menghadapi masa sulit andai dia masih bersikap keras kepala untuk tidak menuruti setiap keinginan pria itu. Secara naluriah bahunya mengedik tak acuh. Lupakan bahwa ini adalah peringatan terakhir. Dia melipat lengan di depan dada tanpa mempedulikan Abihirt di sana. Ayah sambungnya akan mengerti jika tindakan tersebut masih menjadi bagian dari sikap tidak patuh dan seharusnya pria itu mengambil inisiatif sendiri sekadar melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah kalau – kalau memang hal demikian merupakan bagian dari daftar panjang yang tak terlewatkan. Celakalah, Moreau tidak pernah menduga jika ternyata Abihirt akan mengambil tindakan tak terduga dengan menarik tubuhnya secara paksa dan lagi ... pria itu mendekap persis diliputi cara di klub tadi, membuat dia terombang – ambing menahan sisa rasa pening nan pekat, sementara perutnya meninggalkan sensasi tidak menyenangkan—tertekan di garis bahu yang terasa kokoh
Tubuh Moreau terdesak ke depan ketika dia nyaris setengah terlelap. Mobil ditumpanginya menghadapi krisis tiba – tiba ... seolah itu memang suatu tindakan disengaja. Tidak tahu apa yang sedang berserang di puncak kepala Abihirt saat suami Barbara memutuskan untuk menginjak rem secara tak terduga. Barangkali hal tersebut tidak jauh dari motivasi sederhana ayah sambungnya supaya dia terbangun, sementara makhluk kaku itu tidak menemukan cara untuk menarik Moreau kembali ke permukaan. Menyedihkan. Secara naluriah dia menoleh ke wajah Abihirt. Pelbagai desakan telah menyumbat di puncak kepalanya sekadar meluapkan segala sesuatu yang tertahan. Mungkin keinginan tentang menghantam wajah tampan di sana ... dengan pukulan serius adalah gagasan paling potensial. Moreau harap bisa menuntaskan ide – ide yang berkeliaran bebas, hingga bergelantungan di belakang bahunya dengan cepat. Namun, di satu sisi tak terduga dia harus membayangkan bagaimana menjadi tenang tak tersentuh—
Moreau merasa sangat malu. Ironi. Dia tak punya cukup tenaga untuk memberontak. Kepalanya terasa pening karena alkohol dan sekarang semacam terombang – ambing di lautan berombak dahsyat, diliputi sengatan aroma tubuh ayah sambungnya yang memabukkan. “Moreau sudah bilang tak ingin kau ganggu, Rowan. Turunkan dia!” Mereka sudah separuh jalan menuju pintu keluar, kemudian suara Robby cukup lantang menghentikan Abihirt, lalu menarik perhatian pria itu untuk berbalik badan—di mana Moreau perlu berjuang memalingkan separuh wajah jika dia ingin tahu tentang apa yang akan Robby lakukan kepada ayah sambungnya. “Kau tidak perlu ikut campur terhadap urusanku.” Suara serak dan dalam Abihirt memang terdengar tenang, tetapi tersisip reaksi ganjil yang Moreau sadari coba pria itu tahan. Dia ingin tahu. Bertanya – tanya apakah keberadaan Robby telah memberi banyak pengaruh, meski ayah sambungnya masih berusaha tidak menunjukkan reaksi signifikan di antara mereka. Apakah mu
Mungkin ... yang tersisa di antara mereka adalah sikap Abihirt ... masih berusaha hati – hati saat pria itu menghadapi keputusan serupa. Moreau menggeleng tegas. Terlalu konyol jika mereka bertengkar di sini. Di hadapan banyak orang, apalagi sampai mereka tahu tentang status hubungan yang begitu konyol sekadar dimaklumi. Bagaimanapun Moreau tak bisa memungkiri bahwa sikap Abihirt terlihat seperti seorang pria dewasa yang enggan berbagi. “Jika kau ingin pulang, kau bisa pulang sendiri. Aku tidak butuh perhatian darimu.” Persetan! Meski sesuatu dalam diri Moreau mengingatkan supaya dia bersikap tenang, ada satu bagian lain yang bernama ego ... mendorong agar dia menunjukkan keberanian di hadapan pria itu. “Ibumu sudah menunggu di rumah.” Apa pedulinya? Haruskah Moreau katakan bahwa Abihirt sedang mengandalkan Barbara demi membujuknya? Tidak. Dia akan memastikan itu bukan prospek yang mempan. Lebih baik sudahi segala sesuatu yang membuat dia merasa lebih gila.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Moreau sarat nada sinis. Menyingkirkan keberadaan tangan Abihirt adalah kebutuhan dasar. Dia menepis pria itu dengan kuat. Sudah cukup membiarkan waktu berjalan beberapa saat. Keheningan memang sudah bergemuruh sejak terakhir kali tidak ada satu pun kata terucap dari bibir ayah sambungnya, tetapi Moreau muak menghadapi sikap pria itu. Abihirt sudah seringkali memberi tatapan tajam, seakan – akan demikianlah cara pria tersebut melakukan komunikasi intens. Tidak. Seharusnya pria itu mengerti kalau – kalau hal tersebut merupakan bentuk paling menyakitkan. “Aku ingin kau pulang.” Kali pertama bersuara, Moreau dapat mencerna betapa suara serak dan dalam itu terdengar dingin membekukan. Jika Abihirt mengira dia akan setuju begitu saja, suami ibunya salah—sangat salah. Untuk saat ini Moreau tidak menerima perintah. Dia segera menoleh ke wajah Robby, merasa hal tersebut merupakan prospek bagus sekadar memperlihatkan kepada Abihirt bahwa