Masih dengan usapan ringan di bulu lembut Chicao. Moreau sedikit memiringkan wajah saat memikirkan beberapa hal. Dia tak sedang membicarakan sentuhan tangan Abihirt kepada hewan peliharaan pria itu—hanya sesuatu yang paling mendekati—ketika mereka mulai menginginkan satu sama lain; melampiaskan segala hal tertahan, meski merupakan kesalahan besar; seperti tiba – tiba Chicao memutar tubuhnya. Hampir sekadar membuat pola melingkar, mengikuti ekor yang juga mengibas – ngibas. Namun, Moreau tak pernah menduga anjing milik Abihirt akan langsung melarikan diri.
“Tunggu, Chicao. Kau mau ke mana?” Satu prospek di mana tujuan Chicao terasa mengerikan. Moreau tak ingin mereka sampai menggapai kamar ibunya, sementara suami wanita itu sedang ada di sana—tidur; istirahat. Abihirt tak akan peduli tentang keinginan Chicao yang masih menjadi misteri. Anjing tersebut sudah begitu dekat, persisi duduk dengan tenang, seolah sedang meminta untuk dibukakan pintu dan menatap diliputi sorot maPosisinya berada di garis taruhan. Moreau mengerti bagaimana telah dijadikan bahan pelampiasan. Hanya tidak bisa menahan diri ketika mulai menyukai pria itu. Tolol. Dia tersenyum getir membayangkan telah memborong kebodohan. Abihirt tidak akan berusaha jatuh kepada yang lain, sementara hanya terhadap Barbara pria tersebut begitu cinta. Rasanya, semacam suatu hal; benar – benar mengenaskan. Sambil diam – diam menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Moreau secara tentatif mengulurkan ujung jemari tangan sekadar menyapu di lengan atas ayah sambungnya. Merasakan setiap sentuhan di sana, mungkin yang paling sering pula Barbara lakukan. Masih belum ada reaksi spesifik di mana tangan pria itu tetap tergoler dengan posisi membentuk sudut siku dan jemari—nyaris terkepal longgar; hampir menyentuh wajah sendiri. Iris biru terang Moreau segera bergerak setingkat lebih tinggi pada satu titik sekadar memperhatikan kelopak mata yang terpejam. Ingin mengagumi sentuhan bulu panj
“Apa yang kau lakukan di sini, Moreau?” Suara serak dan dalam Abihirt menyerupai parau, seakan pria itu telah benar – benar tenggelam, sehingga butuh waktu beberapa saat mengembalikan suatu memoar yang sempat hilang. Bahkan, dengan sisa – sisa rasa ngantuk masih meliputi, ayah sambungnya beberapa kali mengerjap, mengusap wajah kasar, lalu Moreau akan mendapati pria tersebut tak akan meninggalkan kontak mata di antara mereka. Seharusnya memang tidak baik membiarkan Abihirt menunggu terlalu lama. Dia memastikan tidak lagi mengatupkan bibir erat. Mencoba untuk mengambil udara lebih banyak ketika menemukan jawaban paling tepat. “Ibuku bilang kau kelelahan.” Hanya itu. Jika Abihirt berpikir tidak masuk akal saat mereka harus langsung melakukan percakapan di sini. Biarkan saja. Masih ada alasan lainnya untuk memberitahu pria tersebut. “Ya. Tapi bagaimana kau ada di sini? Di mana ibumu?” Tidak ada penyangkalan, tetapi Moreau seperti tidak siap mengatak
“Ibuku membelikan kalung yang bagus.” Dia bicara seraya memuji—ntahlah, sesuatu dapat dikategorikan sebagai reaksi murni. Tidak ada maksud tujuan lain. Tidak ... bahkan saat Abihirt secara naluriah menatap ke arahnya. “Kembalilah ke kamarmu.” Suara serak dan dalam pria itu bicara nyaris menyerupai bisikan samar, seolah sengaja meninggalkan kesan tertentu supaya dia segera mengerti tentang keinginan mengusir yang termuat dalam bentuk paling halus. “Kau tak ingin melihatku ada di sini?” tanya Moreau sekadar memastikan bahwa sesekali sikap konradiktif Abihirt memang selalu tak mudah ditebak. “Kita berdua ke kamarmu.”Bibir Moreau masih terbuka beberapa saat meski Abihirt baru saja membawa Chicao pergi, meninggalkan kamar ibunya dengan bertelanjang dada, seolah itu adalah urusan paling penting sebelum keadaan di sekitar kamar temaram terasa begitu hening. Moreau diam untuk beberapa saat sambil merapatkan bibir secara perlahan. Sedikit memikirkan bebera
“Dia bilang kepadamu begitu?” Namun, Abihirt malah bertanya persis seseorang yang telah kehilangan informasi krusial. “Ya.” Moreau yakin tidak ada yang salah, terlepas apakah Barbara telah mengirim pesan dengan pelbagai alasan atau tidak. Sejak awal Abihirt tidak menyibukkan diri pada seluler genggam dan itu termasuk dalam gambaran yang wajar. Dia terus memperhatikan setiap langkah ayah sambungnya ketika pria itu menderap di atas lantai kamar. Tentu dengan sedikit rasa waspada dan hal – hal yang akan memberi dampak saat Abihirt mulai semakin dekat. Bahkan setelah pintu menutup, semua seperti begitu banyak kejanggalan. Moreau bertanya – tanya mungkinkah Abihirt memutuskan untuk mengurungkan niat pergi dari kamar ini? Karena pria itu tahu Barbara tidak akan kembali sampai besok sore, dan maka seharusnya segala sesuatu dapat dinikmati di sini. Semua yang mereka inginkan. Apa yang kau pikirkan? Moreau nyaris mengutuk diri sendiri dalam hati. Pemikira
Tidak ada petunjuk yang begitu dekat, selain sebelah alis Abihirt terangkat tinggi—seperti sedang memikirkan sebuah jawaban singkat, tetapi belum juga tersirat sesuatu yang ingin pria itu katakan. Hanya sentuhan – sentuhan ringan—hampir memberi Moreau efek tertentu saat dia menjatuhkan perhatian pada ujung jemari Abihirt berhenti di lengannya. Mungkin ini yang pria itu butuhkan. Menunggu saat – saat dia tidak memiliki tingkat waspada tinggi, kemudian menggulingkan posisi mereka lagi dengan keadaan mendominasi. Menindih. Terasa benar – benar mengambil kendali. Jarak wajah mereka bahkan terlalu dekat ketika Moreau nyaris tak bisa berhenti mengunci mata kelabu Abihirt. Begitu banyak bentuk antisipasi terperangkap di dalam dirinya. Memang temaram. Namun, semacam suatu sihir gelap, dia seakan tak dapat melakukan apa pun, selain diam. Menunggu ntah untuk sesuatu yang seperti apa dan segera menahan napas ketika; kali pertama yang pria itu lakukan adalah menyingkirkan beberapa helai anak
Tiba – tiba Moreau menjadi gugup membayangkan andai Abihirt akan bersikap setuju. Ini semacam keputusan untuk membuat hubungan mereka dimulai dari awal. Atau bagian paling ironi adalah ayah sambungnya turut mengambil keputusan untuk mengakhiri kesepakatan terlarang, yang selama ini hanya sebagai ajang pembalasan. Dia mungkin berpikir terlalu jauh, tetapi itulah adanya. Insting dan dorongan sekadar mempertahankan sesuatu menjelma sebagai suatu kejutan listrik dengan gambaran tiga dimensi—yang tinggi. “Ibumu tetap tidak akan pernah mengakui hubungannya bersama pria lain, jika kau masih berusaha memperbaiki kesalahannya.” Suara serak dan dalam Abihirt terdengar persis mendesis, seolah pria itu mati – matian mengumpulkan rasa sabar, yang tidak pernah Moreau sadari apakah itu benar – benar bentuk penanganan diri atau pada akhirnya menyadari sikap putus asa menjadi sesuatu tak terungkap. Dia mengerti beberapa hal tentang Barbara. Tak akan menyangkal apa pun. Namun, tetap dihan
“Tadi. Aku tahu kau menganggapku konyol, karena rasa takut akhirnya membuatku lompat dari ketinggian,” sergah Moreau untuk memancing beberapa bagian yang dia tahu akan cukup relevan di antara mereka saat ini. “Rasa takut membuatmu mengambil tindakan berani. Kau selalu berani.” Paling tidak, Moreau tak menyumbat pengetahuan di puncak kepalanya dengan ungkapan Abihirt barusan. Aneh mendengar pria itu memberi pujian. Rasanya dia tak bisa menahan diri. Tergelitik. Lucu. Seakan – akan gambaran tentang ayah sambungnya yang sedingin bekuan es hilang tak berjejak. Sial. Moreau benar – benar tertawa. Benar – benar tak bisa menahan diri. Walau masih sedikit ditahan saat dia sendiri tak ingin suaranya berakhir menggelegar. Sudah terlalu larut dan hening jauh lebih bergemuruh daripada mereka harus terus bicara serius. “Apa yang kau tertawakan?” Pertanyaan Abihirt malah mengundang hal lain, yang Moreau harap tidak akan memberi dampak parah. Berusaha tidak melepas g
“Bangunlah sedikit.” Suara serak dan dalam pria itu terdengar parau mengikuti satu perintah yang Moreau sendiri hampir tak mengerti bagaimana. Dia diam beberapa saat. Berpikir. Akan membutuhkan waktu lebih panjang. Namun, gerakan tak terduga muncul dari Abihirt yang tiba – tiba menariknya sedikit bangun; lagi – lagi persis seperti hanya memindahkan boneka besar untuk bersandar di kepala ranjang. Moreau menelan ludah kasar, tetapi tidak bisa meninggalkan perhatian dari wajah ayah sambung tampan yang serius ketika pria itu mengambil posisi duduk begitu dekat—bersisihan, walau Abihirt mengatur posisi agak miring dengan sebelah lengan terulur menyentuh beberapa bagian di tubuhnya. “Buka kakimu.” “Apa?” Buru – buru mengajukan pertanyaan. Moreau harap pria itu mau menjabarkan sesuatu lebih rinci. Sesuatu yang masih belum dapat dia mengerti. Belum ada petunjuk dan secara tak terduga Abihirt segera membuka kedua kakinya lebar. Sebuah sentuhan dari ujung
“Nyonya, Tuan sedang tidak di rumah. Dan atas perintah spesifik dari beliau, Anda tidak diizinkan menginjakkan kaki di tempat ini.” Barbara segera menoleh saat Emma mulai bicara. Ada ketakutan di balik suara wanita paruh baya itu. Sesuatu jelas telah dipahami bahwa dia akan melakukan hal di luar kendali. “Siapa kau melarangku?” tanya Barbara sembari menatap wanita di hadapannya penuh penghinaan besar. “Saya hanya menjalankan tugas, Nyonya.” Emma segera menunduk. Betapa Barbara muak menghadapi saat – saat seperti ini. Dia sedang ingin melampiaskan banyak hal. Barangkali bukan gagasan buruk jika melakukan satu hal memuaskan di sini. Dengan sudut bibir berkedut sinis, Barbara kemudian berkata, “Tugasmu hanya membersihkan apa pun yang terlihat kotor. Oh—atau kau merasa sudah melakukan pekerjaan-mu, maka kau bisa menggoyang kaki dengan tenang? Mari kutunjukkan kepadamu apa yang perlu kau lakukan. Sekarang, ambil kunci gudang!” Pernyataan Barbara diakh
Terbangun dengan kondisi sekujur tubuh mengalami pemberatan murni, membuat Barbara meringis setiap kali dia berusaha melakukan gerakan lain; kelopak matanya mengerjap, sedikit diliputi usaha mengingat kali terakhir hal yang dihadapi, tetapi kemudian menyadari bahwa dia tidak berada di mana pun di kediaman Abihirt. Siapa yang membawanya pulang? Benak Barbara bertanya – tanya tak mengerti. Jelas waktu telah berlalu jauh dan dia banyak melewatkan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Tidak apa – apa jika Abihirt ingin melampiaskan segala bentuk kemarahan kepadanya, asal pria itu tidak mengajukan satu hal yang benar – benar tidak Barbara inginkan. Napasnya memburu berat hanya dengan memikirkan hal tersebut. Jari – jari yang terasa gemetar berusaha menyisir helai rambut—terurai berserak di sekitar wajah. Berharap dia bisa segera bersiap. Sial. Sesuatu menghentikan Barbara ketika sorot matanya membidik satu titik di atas nakas. Semacam sebuah berkas yang
Sekarang ... ntah cambukan kali ke berapa. Barbara tidak bisa menghitung. Semua bentuk pemikiran di benaknya hancur berantakan. Krisis ketidakpercayaan terhadap sikap Abihirt sungguh memberi pengaruh besar. Dia merasa benar – benar telah memborong kebodohan, hingga yang tersisa adalah hasrat supaya tidak terjebak pada kondisi seperti ini. “Sakit, Abi,” Barbara mengeluh sarat nada begitu getir. Sebatas harapan agar Abihirt bersedia memberi ampun. Jika pria itu berpikir ini merupakan hukuman setimpal, hal tersebut sama sekali bukan keadilan. Dia berharap Moreau yang ada di sini. Menggantikan posisinya. Namun, apakah hal tersebut terdengar masuk akal? Abihirt terlihat mabuk kepayang kepada gadis itu. Dia tidak yakin. Barangkali telah melewatkan banyak hal. Bertanya – tanya ... mungkinkah? “Daripada menyiksaku di sini, mengapa kau tidak seret saja Moreau dan biarkan dia merasakan yang sama seperti yang kualami hari ini?” Tidak ingin diliputi pelbagai hal menggan
“Kau yakin ini akan berjalan baik – baik saja?” Masih sedikit usaha untuk meyakinkan diri. Barbara akhirnya hanya menghela napas ketika Abihirt mengangguk samar. Pria itu tidak akan mengatakan lebih banyak. Semua pilihan ada di tangannya; apakah dia masih ingin melakukan seks atau membiarkan hubungan mereka kembali regang. “Baiklah.” Barbara memutuskan untuk membuka blazer yang dia kenakan. Satu persatu pakaian telah dilucuti. Bukan masalah besar bertelanjang penuh di hadapan suaminya. Dia kemudian memberi Abihirt tatapan penuh bertanya. Menunggu apa yang akan pria itu lakukan. Tidak ada kata terucap. Sebaliknya, Abihirt merenggut dasi yang mengikat kerah kemeja pria itu. Langkah lebar suaminya tidak pernah luput dari perhatian Barbara. Dia menelan ludah kasar persis ketika Abihirt sudah menjulang tinggi di belakang. Semua menjadi gelap kali pertama Abihirt merekatkan bagian dasi untuk menutup di matanya. “Haruskah dengan pandangan tertutup, Ab
Kali pertama mendengar pernyataan Abihirt, kelopak mata Barbara mengerjap cepat. Hampir tidak menyangka tentang hal yang telah mereka lewatkan. Dia tahu suaminya jauh lebih sering menghabiskan waktu bersama Moreau—dan itu sungguh meninggalkan banyak kecemburuan tidak tertahankan. Cukup puas bahwa dia bisa melewati saat – saat di mana mengendalikan diri dari kebutuhan melampiaskan amarah. Sungguh, sampai mati pun, Barbara tidak akan menyerahkan Abihirt kepada Moreau. Dia tidak akan pernah mengalah. Kemenangan harus selalu berada di tangan. Persetan dengan mengorbankan yang lainnya. “Baiklah. Ke mana kau akan membawaku?” tanya Barbara sembari mengikuti langkah Abihirt menuju mobil. Mereka datang terpisah. Miliknya sendiri sedang terparkir di sisi halaman lain, tetapi mereka bisa mengatur situasi. Bukan masalah besar meminta Gabriel menyelesaikan tugas tertunda. Abihirt tidak mengatakan apa – apa sepanjang perjalanan, tetapi Barbara mengenali setiap detil tempat yang
“Pelacur kecil itu sudah tidak mau denganmu. Apa yang kau harapkan lagi darinya?” Sejak awal, tujuan Barbara adalah menghancurkan kehidupan Moreau dan membuat hubungan gadis itu bersama suaminya retak. Dia mengambil langkah yang tepat setelah meyakinkan Moreau bahwa Abihirt terlibat dalam keputusan ini. Tadi, betapa tatapan itu penuh luka. Moreau telah meninggalkan mereka. Sekarang konflik terhadap hubungan yang seharusnya baik – baik saja terus beterbangan. Paling tidak, Barbara cukup puas, walau segala sesuatu yang dia rencanakan tidak sepenuhnya lancar. Ada hasrat untuk membuat Moreau benar – benar mendapat pelajaran berharga. Dia ingin orang – orang melempari gadis itu dengan apa pun sebagai kemungkinan terburuk—anggap saja suatu penghinaan hebat. Sungguh, kemunculan Abihirt sangat tidak tepat. Mereka sedang dihadapkan badai tensi yang meningkat. Barbara tahu cepat atau lambat Abihirt akan menjadikannya target utama. Sial. Dia sama sekali tidak tahu kal
Barbara bertanggung jawab atas situasi yang sedang mereka hadapi, tetapi yang tidak Moreau mengerti; mengapa? Bukankah Abihirt juga terlibat? Apa lagi yang diinginkan sehingga pria itu bersikap seakan sedang didesak kebutuhan menuntut Barbara. Mungkin ibunya berusaha menjebak suami sendiri karena seharusnya mutahil bagi Abihirt bersedia membuka aib perselingkuhan ini? Yang juga akan mempengaruhi reputasi di masa mendatang. “Aku tahu kau datang untuk menghadiri program ulang tahun mendiang ibumu. Tapi, nanti. Setelah aku menyelesaikan pelacur kecil ini. Bukankah kau sendiri juga sudah setuju?” Sesuatu yang keras seperti berusaha mencecoki tenggorokan Moreau. Dia mengira masih ada sedikit harapan, tetapi reaksi Abihirt yang tampak tidak akan langsung menyangkal, seakan memberinya banyak petunjuk. Pria itu hanya ... melirik ke arah Gabriel, kemudian berkata, “Bubarkan tamu undangan.” Sudah cukup. Moreau merasa muak jika harus mempertahankan kepercayaan dalam dirinya k
“Jika ayahmu masih di sini, Moreau. Kurasa, dia akan mendapat serangan jantung mendadak karena menerima informasi seperti ini, bahwa putri kesayangannya, putri kecil yang selalu dimanjakan olehnya, sanggup menjual diri demi seorang pria beristri. Kurasa, arwahnya pun tidak akan tenang selama menyaksikan apa yang kau lakukan di muka bumi ini.” Sial. Belum ada satu pun hal sanggup Moreau katakan, tetapi kesalahan Barbara sangat tidak bisa dimengerti kali ketika wanita itu melibatkan ayahnya. “Jika ayahku masih ada di sini. Kau tidak akan mungkin menikahi lagi, Mom. Atau kau mungkin ingin bermain api di belakangnya, sama seperti yang kau lakukan di belakang Abi?” “Tutup mulut sialanmu!” Tamparan keras lainnya, membuat wajah Moreau benar – benar berpaling dengan kasar. Saraf – saraf di sekitar pipi terasa kebas. Dia membeku di tempat. Namun, semua yang dia katakan memang benar. Perselingkuhan ini tidak akan terjadi, andai wanita itu juga bisa menjaga diri dari h
Barbara tidak akan berhenti. Itu masalahnya. Betapa wanita itu tampak dilingkupi pelbagai antusiasme meluap – luap, seolah masih begitu banyak hal tidak terungkapkan, sementara Moreau merasa dia tidak akan bisa menerima peristiwa seperti ini lebih lama. Semua akan berakhir jauh lebih kacau, tetapi bagaimana dia bisa menghentikan ibunya terhadap kebutuhan untuk mengungkapkan kebenaran di hadapan banyak orang? Sikap konfrontasi dalam dirinya seketika menjadi tumpul. Tidak ada suara penyangkalan yang bisa digunakan sekadar tidak menjebak kondisi sendiri menjadi lebih rumit. Tidak dimungkiri, Moreau cukup takut menyaksikan begitu banyak tatapan kemarahan nyaris di seluruh penjuru gedung. “Kalian semua mungkin tidak percaya terhadap apa yang kukatakan di sini.” Lagi. Suara Barbara kembali mencuak ke permukaan. Senyum wanita itu tampak begitu puas; seperti telah memastikan kalau – kalau kemenangan sudah berada di tangan. “Aku punya bukti.” Kembali meneruskan. Waj