Tiba – tiba Moreau menjadi gugup membayangkan andai Abihirt akan bersikap setuju. Ini semacam keputusan untuk membuat hubungan mereka dimulai dari awal. Atau bagian paling ironi adalah ayah sambungnya turut mengambil keputusan untuk mengakhiri kesepakatan terlarang, yang selama ini hanya sebagai ajang pembalasan. Dia mungkin berpikir terlalu jauh, tetapi itulah adanya. Insting dan dorongan sekadar mempertahankan sesuatu menjelma sebagai suatu kejutan listrik dengan gambaran tiga dimensi—yang tinggi. “Ibumu tetap tidak akan pernah mengakui hubungannya bersama pria lain, jika kau masih berusaha memperbaiki kesalahannya.” Suara serak dan dalam Abihirt terdengar persis mendesis, seolah pria itu mati – matian mengumpulkan rasa sabar, yang tidak pernah Moreau sadari apakah itu benar – benar bentuk penanganan diri atau pada akhirnya menyadari sikap putus asa menjadi sesuatu tak terungkap. Dia mengerti beberapa hal tentang Barbara. Tak akan menyangkal apa pun. Namun, tetap dihan
“Tadi. Aku tahu kau menganggapku konyol, karena rasa takut akhirnya membuatku lompat dari ketinggian,” sergah Moreau untuk memancing beberapa bagian yang dia tahu akan cukup relevan di antara mereka saat ini. “Rasa takut membuatmu mengambil tindakan berani. Kau selalu berani.” Paling tidak, Moreau tak menyumbat pengetahuan di puncak kepalanya dengan ungkapan Abihirt barusan. Aneh mendengar pria itu memberi pujian. Rasanya dia tak bisa menahan diri. Tergelitik. Lucu. Seakan – akan gambaran tentang ayah sambungnya yang sedingin bekuan es hilang tak berjejak. Sial. Moreau benar – benar tertawa. Benar – benar tak bisa menahan diri. Walau masih sedikit ditahan saat dia sendiri tak ingin suaranya berakhir menggelegar. Sudah terlalu larut dan hening jauh lebih bergemuruh daripada mereka harus terus bicara serius. “Apa yang kau tertawakan?” Pertanyaan Abihirt malah mengundang hal lain, yang Moreau harap tidak akan memberi dampak parah. Berusaha tidak melepas g
“Bangunlah sedikit.” Suara serak dan dalam pria itu terdengar parau mengikuti satu perintah yang Moreau sendiri hampir tak mengerti bagaimana. Dia diam beberapa saat. Berpikir. Akan membutuhkan waktu lebih panjang. Namun, gerakan tak terduga muncul dari Abihirt yang tiba – tiba menariknya sedikit bangun; lagi – lagi persis seperti hanya memindahkan boneka besar untuk bersandar di kepala ranjang. Moreau menelan ludah kasar, tetapi tidak bisa meninggalkan perhatian dari wajah ayah sambung tampan yang serius ketika pria itu mengambil posisi duduk begitu dekat—bersisihan, walau Abihirt mengatur posisi agak miring dengan sebelah lengan terulur menyentuh beberapa bagian di tubuhnya. “Buka kakimu.” “Apa?” Buru – buru mengajukan pertanyaan. Moreau harap pria itu mau menjabarkan sesuatu lebih rinci. Sesuatu yang masih belum dapat dia mengerti. Belum ada petunjuk dan secara tak terduga Abihirt segera membuka kedua kakinya lebar. Sebuah sentuhan dari ujung
Bukan apa – apa. Moreau tidak cukup berani mengajukan protes terlalu panjang. Ini risiko dan dari awal dia telah memahami hal demikian. Memang tidak adil, tetapi kecintaan Abihirt kepada Barbara merupakan satu – satunya hal yang tak dapat dia lupakan, meski pinggul pria itu segera bergerak lebih lambat; seolah bagian tersebut merupakan bentuk perbaikan yang sedang dilakukan. Benar – benar untuk menebus perilaku ayah sambungnya di awal.“Aku berusaha tidak terlalu kasar kepadamu.” Moreau tidak tahu apakah perlu percaya atau tidak. Hanya terpaku diam saat sementara Abihirt sudah mulut di bawah rahangnya. Pria tersebut menempatkan kecupan bibir yang ringan, kemudian membiarkan sentuhan seperti itu turun pada beberapa inci tubuh yang lain. Paling tidak, dia tidak lagi merasakan genggaman erat di pergelangan tangan. Malahan, dapat dengan bebas berpegangan di bahu lebar ayah sambungnya, hingga bagian tidak sengaja adalah mempertemukan ujung jemari terhadap teksur berparut dari l
Ranjang sedikit berderak, tetapi Abihirt sudah lebih daripada hati – hati saat memindahkan tubuh Moreau ke atas kasur. Gadis itu telah begitu lelap; sesuai permintaan ... ini yang dia lakukan; mengatur posisi Moreau senyaman mungkin sambil melebarkan selimut tebal untuk menutup tubuh yang secara naluriah bergerak. Tidak segera berjalan pergi. Abihirt memutuskan sekadar duduk sebentar di pinggir ranjang. Menatap wajah cantik dan polos yang sedang terpejam sambil memikirkan beberapa hal. Moreau tidak pernah tahu apa pun. Segala sesuatu yang ternyata adalah serangkaian simpul dari peristiwa di masa lalu. Bagaimanapun, ini yang seharusnya terjadi. Semua sudah telanjur, sama seperti Abihirt juga tidak tahu apa – apa mengenai perselingkuhan ayahnya di awal. Seperti dia masih begitu hijau untuk memahami peradaban dari konflik pernikahan. Kenyataaan punya pelbagai macam sensasi pahit supaya dihirup secara bersamaan. Seorang wanita terlalu mencintai sang suami. Mengabdikan hidup secara
Tersadar dengan situasi berbeda yang ekstrim sedikit membuat tubuh Moreau tersentak. Dia segera beranjak bangun. Memperhatikan seluruh sudut ruang di mana kamar tampak begitu hening. Tidak ada siapa pun di sini, bahkan terhadap pria yang terakhir kali bersamanya, meski memang sebaiknya seperti itu. Mereka tidak berusaha terlihat mencolok—terlalu riskan. Ada dampak terlalu berbahaya, meski tidak tahu sampai kapan semua akan berakhir baik – baik saja. Tidak pula perlu memikirkan ke mana Abihirt seharusnya pergi. Perlahan Moreau mengusap wajah kasar sambil menyeka selimut tebal. Pria itu menunjukkan sikap peduli ketika memutuskan untuk benar – benar membawa dia sampai di sini? Di kamar sendiri? Ntah apakah perlu merasa terkesan atau tidak. Moreau tetap memulai langkah untuk menuju kamar mandi—langsung menyiapkan segala kebutuhan setelah malam panjang. Dia tidak akan mengulur waktu, dan itu dibuktikan dari segala usaha untuk berada dalam keadaan lebih segar. Barangkali B
Dia dan Juan mendapat panggilan mendadak untuk bertemu di gedung latihan. Awalnya Moreau mengira terdapat hal mendadak yang tak bisa mereka tebak, atau berbahaya lain yang tidak pernah diharapkan muncul secara berlebihan. Namun, sebuah pengetahuan tentang kepergiaan Abihirt sesaat lalu, telah menyerahkan banyak informasi di benaknya supaya benar – benar percaya bahwa semua kebetulan ini menghubungkan mereka pada satu kepentingan relevan. “Kira – kira apa yang dilakukan ayahmu di kantor Mr. Pablo tadi?” Suara Juan berbisik sangat dekat dan bagaimana Moreau dapat merasakan sentuhan pria itu secara naluriah di bahunya. Ketika menengadah, dia mendapati dagu Juan begitu dekat di puncak kepala, lalu segera menyingkirkan keberadaan pria itu dengan menekan permukan dada hingga Juan terdesak mundur sekian jengkal jarak. “Mungkin sebaiknya tidak menanyakan itu kepadaku, Juan. Karena aku juga tidak tahu kenapa dia ada di sini saat tiba – tiba kita dipanggil.” Moreau berjal
Moreau menunggu saat – saat yang tepat setelah ibunya sudah meninggalkan rumah. Sedikit yang dia ketahui bahwa Abihirt tidak bersikap begitu mencolok ketika semalam pria itu pulang; bersikap seolah tak satu pun kenyataan disembunyikan dan mereka beranjak baik – baik saja. Sesuatu yang tak cukup adil. Seharusnya. Namun, tidak ada yang bisa dikatakan. Moreau tak berhak ikut campur. Tak ingin terlihat bersikap tak setuju terhadap keputusan Abihirt, meski reaksi signifikan dalam dirinya seperti mengalami krisis tidak terpecahkan. Dia menghela napas—berharap dapat membantu untuk tidak membayangkan apa pun. Hanya ada satu tujuan utuh. Kepadanya, setelah sempat bertanya, Caroline mengatakan pria itu tidak melakukan kegiatan lari pagi atau menemani Chicao pergi bermain sebagai rutinitas menyenangkan anjing peliharaan tersebut. Suatu informasi yang langsung membuat Moreau mengerti di mana ayah sambungnya berada saat ini; sebuah ruangan yang disulap menjadi tempat latihan fisik.
Getar ponsel di atas nakas, menyelinap di tengah keheningan. Moreau tersentak pada situasi yang terasa begitu mencengkeram. Satu tamparan Barbara seperti meninggalkan jejak dan merekat di benaknya. Dia tidak tahu bagaimana membayangkan bahwa ini hanyalah salah satu refleks singkat. Segera mengernyit samar; lalu berusaha memahami situasi di mana dia tidak pernah mengira akan tertidur lelap, bahkan tanpa pernah merencanakan niat menghindari masalah yang telah wanita itu luapkan. Napas Moreau berembus tanpa sadar. Ini beranjak terlalu jauh, tetapi satu petunjuk di sana segera menuntutnya merangkak ke sudut ranjang. Dia mengulurkan tangan untuk merenggut benda pipih—masih bergetar di atas ranjang. Panggilan suara dari Abihirt, tetapi itu segera berhenti bahkan sebelum Moreau dapat mengangkatnya. Suami Barbara mungkin ingin membicarakan sesuatu. Mereka tidak bisa bertemu. Dia tak ingin bertemu siapa pun. Sedikit terkejut setelah menyadari waktu nyaris tengah malam terungkap
Sambil menghela napas kasar, Barbara berusaha tenang dan tetap memastikan tidak tersisip ledakan hebat. “Baiklah, Abi. Aku salah. Kami menjalani hubungan gelap. Tapi, aku tidak akan mengambil tindakan nekad, jika kau tidak bersikap dingin seperti ini. Kau selalu seperti ini. Kau sibuk dengan duniamu sendiri, seolah kau tidak pernah menikah. Kau sudah menikah, seharusnya bisa lebih peduli pada situasi di sekitarmu. Bahkan terhadap keluargamu sendiri kau bersikap seolah kau adalah orang asing.” Ironinya tidak. Barbara tidak bisa menahan diri ketika dia meluapkan sesuatu yang terpendam dalam dirinya dengan menggebu – gebu. Udara di rongga dada bergerak secara tidak teratur. Namun, Abihirt masih terlihat begitu tenang. “Kau ingin bercerai?” Satu bagian tak terduga adalah pria itu bertanya tanpa emosi tersirat di balik suara serak dan dalam yang merambat sayup di udara. “Tentu saja tidak!” Barbara membantah tegas. Dia tidak terima jika Abihirt mengajukan
Kebodohannya sungguh tidak pernah terbayangkan akan berakhir pada momen menyedihkan. Betapa Barbara ingin melarikan diri dari situasi yang tak akan pernah bisa dia hadapi. Semua menjelma sebagai kekacauan yang dahsyat. Gumpalan kebohongan telah membentuk serangkaian agenda rumit, sehingga bertingkat – tingkat pula ruang yang bisa ditemukan untuk terbebas. Terutama saat Abihirt berkata, “Caroline sudah cukup tua, jika kau tak lupa. Organ reproduksinya sudah tidak bekerja. Untuk apa mengantisipasi kehamilan dengan alat kontrasepsi?” Sial. Barbara seharusnya tidak melewatkan bagian terpenting seperti ini. Dia tak bisa melupakan begitu saja jika Abihirt pandai menganalisis. Pria itu tidak bodoh. Tak mudah terperangkap ke dalam prospek tidak masuk akal yang dia rangkai sedemikian rupa. Caroline memang sudah cukup tua. Sangat jelas bagaimana Barbara seperti tanpa sengaja melakukan bunuh diri. “Tidak tahu. Bisa saja karena Caroline punya semacam fetis aneh,” dia berkata dengan keteganga
“Mengapa harus tahu namanya?” Barbara bertanya cukup hati – hati. Tidak ingin mengambil kesalahan mutlak. Biarkan identitas Samuel tetap anonim, maka Abihirt tidak akan mendesaknya lebih jauh daripada ini. “Untuk memastikan tidak ada yang kau sembunyikan.” Suara serak dan dalam Abihirt nyaris menyerupai desis saat sekali lagi kembali ke permukaan. Pria itu terlihat begitu penasaran; besar; penuh dengan gairah mendominasi dan betapa kelam di sana. Sekujur tubuh Barbara mendadak tegang. Pandangannya berpendar ke segala arah agar bisa menemukan jawaban paling tepat. “Memangnya apa yang aku sembunyikan?” Berpura – pura tidak tahu apa pun adalah jalan pintas. Hanya sangat disayangkan jika ternyata Abihirt akan menunjukkan sikap muak. Pria itu memutuskan kontak mata, seolah – olah ... untuk saat ini butuh jeda supaya tidak lepas begitu saja, lalu mengatakannya dengan sangat jelas, “Hanya kau yang tahu, Barbara.” Perlu usaha serius sekadar memainkan ekspresi.
Namun, pada akhirnya ... selalu bukan hal yang akan mengejutkan lagi di sana. Barbara menghela napas kasar mendapati Abihirt sedang duduk di pinggir ranjang. Hanya mengulik ponsel, seakan pria itu tidak memiliki minat menyiapkan diri terlebih dahulu. Ya, suaminya masih dengan pakaian yang sama; kekacauan tampak membuat setiap helai teracak – acak di rambut gelap Abihirt. Ada beberapa bagian berjatuhan di sekitar kening, menambah nilai estetika dari penampilan yang bisa disebut liar dan tampan secara bersamaan. Barbara tidak tahu bagaimana dia selalu mengagumi suaminya, tetapi juga sulit melepaskan Samuel atas keamanan tertentu. Paling tidak, untuk saat ini ... belum ada kesiapan untuk memilih salah satu. Dia masih tidak bersedia. Masih ada keinginan bersenang – senang, tetapi tidak mudah mendapatkan itu pada diri Abihirt. Apa yang bisa Barbara harapkan dari pria yang tak banyak bicara? Semua orang benar tahu bahwa suaminya terlalu kaku. Dia tak bisa membayangkan betapa h
Barbara mengerjap cepat, kemudian berkata, “Lalu, mengapa kemarin kau bilang tidak tahu tentang keberadaan Moreau?" "Aku tidak ingin kau khawatir, karena inilah yang akhirnya bisa kutebak. Kau sangat marah." Itu benar. Barbara pikir pernyataan Abihirt barusan terdengar cukup masuk akal. "Jadi kau bersungguh – sungguh jika tidak ada hubungan apa pun antara kau dan Moreau?” “Ya. Aku memesan dua kamar jika kau masih berpikiran buruk. Akan kutunjukkan kepadamu bukti transaksi hotel. Mungkin nanti kau yang perlu menjelaskan mengapa ada pria lain di sini.” Berikutnya selesai. Abihirt langsung melangkah pergi. Melewati Barbara; melewati tubuh Samuel di sana; meninggalkan sisa keheningan begitu pekat, hingga embusan napas Barbara berakhir kasar. Dia menatap bahu suaminya tanpa pernah bisa mengalihkan perhatian. Ada ketakutan tak berjarak dari pengetahuan Abihirt yang tak terduga. Barbara memikirkan segalanya. Namun bagaimanapun, harus menanam ketenangan
“Mengejutkan sekali kau masih mengingat kapan aku berulang tahun. Kupikir kau tidak pernah peduli terhadap apa pun lagi, selain berkencan dengan putriku.” Itu yang Barbara katakan. Betapa dengan sengaja menyindir. Dapat dipastikan wanita tersebut tidak akan berhenti sampai mereka mengakui sesuatu yang masih coba Abihirt tutupi. Secara diam – diam Moreau mengatur posisi supaya bisa sedikit mengintip bagaimana kondisi ibunya saat ini. Tidak banyak. Hanya mengetahui wajah Barbara yang masih begitu masam dan bagaimana wanita itu melipat kedua lengan di depan dada; seolah radar menantang terlalu pekat untuk dihindari. “Mengapa kau diam, Abi? Apa Moreau yang memberitahumu hari ulang tahunku? Jadi, kalian bisa mencari alasan supaya aku tidak merasa curiga?” “Kau mengatur tanggal ulang tahunmu sebagai kode pengaman di ponselku. Bagaimana aku akan lupa?” Tidak tahu apa yang bisa Moreau katakan. Dia terkejut, sekaligus merasa butuh waktu lebih lama agar memahami
Moreau tidak berusaha membantah. Rasa sakit dari tamparan Barbara masih meninggalkan efek tertentu seperti tak ingin hilang, tetapi dia berusaha menghindari sorot mata wanita yang menatap nyalang dan tiba - tiba pula menepis sentuhan Abihirt di lengannya. Nyaris—bahu Moreau mendadak tegang saat Barbara terduga akan kembali menyerang. Dia telah membuat tameng perlindungan dengan lengan terangkat menutup wajah. Namun, Abihirt segera menegahi; menjadi tembok tinggi untuk melindunginya di belakang. Benar – benar membuat Barbara terdiam—sepertinya wanita itu tak menyangka jika pria yang dinikahi ternyata akan melakukan pembelaan besar. “Tidak bisakah kau duduk tenang dan dengarkan penjelasanku terlebih dahulu?” Sekarang suara serak dan dalam Abihirt mengambil tempat. Pria itu selalu terdengar tenang, walau Moreau tidak tahu apa yang ingin ayah sambungnya jelaskan. “Tidak. Pelacur kecil sepertinya pantas diberi pelajaran.” Barbara menyangga tidak pada atura
Mereka sudah menghabiskan waktu hampir satu setengah jam untuk sarapan pagi dan melakukan sisa – sisa perjalanan lain, tetapi Moreau tidak memahami motivasi ayah sambungnya terhadap apa pun yang telah berlalu tadi. Abihirt tidak banyak bicara. Tidak dimungkiri bahwa mereka sempat berkeliling hanya untuk mencarikan sesuatu, membeli perlengkapan yang Moreau yakin adalah kegemaran ibunya. Ya, seharusnya beberapa bagian tersebut akan cukup jelas. Dia hanya merasa masih terlalu ambigu, apalagi ketika sampai pada agenda pulang, Abihirt tidak bersikap seakan ada prospek spesifik mengenai apa yang akan terjadi. Meminta supaya mereka tetap di sini, terjebak sesaat di tengah gemuruh keheningan, sementara waktu terus memburu dan beranjak terlalu jauh. Dia tidak menginginkan itu. “Sekarang kita akan masuk?” Moreau tidak bisa menahan diri sekadar diam. Terlalu lama di mobil tidak membuat situasi terasa lebih baik. Ada begitu banyak keabsahan. Mereka tidak bisa meninggalkan bagi