“Bisa kau ceritakan lebih spesifik bantuan seperti apa yang kau butuhkan?”
Bahu Moreau mendadak tegang mendapati mata kelabu itu menatap ke arahnya. Tindakan tiba – tiba yang hampir melumpuhkan separuh ingatan. Dia mengerjap, kemudian mengulurkan jaket dalam genggaman tangan. Mereka sudah mempersiapkan untuk masalah ini, seharusnya tidak akan menjadi masalah ketika Mrs. Smift seolah baru saja menyadari kehadiran yang lainnya. “Kau bukankah putri Barbara?” Satu pertanyaan gamblang yang hampir membuat Moreau tergugu. Dia menatap ayah sambungnya dan Mrs. Smift bergantian, berusaha keras mempertahankan ekspresi tenang di wajah. “Ya, Mrs. Smift. Senang bertemu denganmu.” Itu diucapkan nyaris diliputi nada gugup. Moreau masih belum mengerti apa yang sedang Mrs. SBeberapa orang sedang melakukan persiapan di ruang penuh tirai menjuntai. Sayup – sayup yang Moreau tahu; akan ada pemotretan hari ini. Model sedang dalam perjalanan, kemudian nanti, setelah proses selesai, mereka akan memulai. Tidak dimungkiri bahwa dia sedikit tertarik untuk mengamati lebih banyak. Terkadang akan diam – diam mengintip di kejauhan. Bertanya, bagaimana rupa, dan sudahkah sang model sampai di tempat tujuan? Moreau sedikit tidak sabar. Cukup penasaran. Mungkinkah akan menyenangkan menjadi seorang model pakaian? Barangkali seperti itu. Akan ada pelbagai ragam jahitan kain, apa pun, yang dia mau coba – coba kenakan, lalu berdiri di depan kamera untuk diabadikan di gambar digital, atau jika dicetak pada sampul majalah ... juga tidak terdengar terlalu buruk. Moreau mendengkus samar. Dia menciptakan pemikiran yang terlalu melampaui, sementara naluri-nya mungkin akan berkata tidak. Sesuatu yang tak dimulai den
Di luar perkiraan Moreau, semua yang mereka butuhkan telah dipersiapkan begitu matang. Beberapa perangkat kamera diposisikan ke pelbagai arah. Dia seharusnya tidak merasa terkejut, terutama saat menemukan siraman cahaya yang menjorok ke area pemotretan akan dilakukan. Sia perlahan menuntun Moreau berdiri di satu titik sambil sesekali memperbaiki rambut yang terurai ke depan supaya terlihat lebih natural. Dengan tampilan make-up tipis, dia sedikit merasa lega bahwa tidak disulap secara berlebihan. Tentang luka di bagian lutut. Sebenarnya Moreau sudah berkonsultasi kalau – kalau itu akan sedikit merusak hasil. Akan tetapi, Mrs Smift memberi solusi cermelang. Perkembangan teknologi dan editor siap mengurus sisanya. Walau demikian masih ada satu hal. Sampai sesi pertama akan dimulai; berpakaian dengan kain semi—cukup terbuka di beberapa bagian. Moreau tidak diberitahu kapan model pria itu akan tiba ke lokasi. Bagian ini mungkin memang bukan pot
“Moreau, kemarilah.” Wajah Moreau berpaling. Mrs. Smift sedang menunggunya. Dia memutuskan mengambil langkah, hati – hati, setelah Sia menyerahkan jubah panjang untuk menutup beberapa bagian tubuh yang terbuka. “Apa kau lihat ke mana Abi pergi?” Pertanyaan itu terlalu tiba – tiba. Moreau belum seutuhnya siap, hampir tergagap, kemudian menggeleng mantap. “Aku tidak melihatnya sejak tadi.” Dia bicara sambil melirik ke sekitar. Pria itu seperti hilang ditelan bumi. “Aku tadi melihatnya masuk ke area base camp. Mungkin dia masih di sana.” Mereka mendapat kemungkinan besar setelah salah satu fotografer menambahkan. Moreau nyaris tak bisa menoleh, karena justru dia terkejut menghadapi tindakan Mrs. Smift yang tiba – tiba menuntunnya pergi.
“Bantuan apa yang kau butuhkan?” Suara serak dan dalam Abihirt seperti saung yang terobrak – abrik berlebih setelah jeda untuk beberapa saat. Moreau tidak mengira pria itu ternyata akan mengajukan pertanyaan terhadap ucapan Mrs. Smift. Bantuan seperti apa yang secara spesifik? Dia juga cukup masih abu – abu menanggapi. Berharap Mrs. Smift tidak benar – benar setuju atas saran dari salah seorang fotografer. “Aku ingin kau melepas arloji-mu, lalu pakai yang kami miliki sementara waktu, karena kau juga akan menjadi model pengganti seperti Moreau.” Mereka terkejut, tetapi Moreau lebih yakin bahwa ayah sambungnya harus menghadapi krisis dari pengetahuan yang murni ketika tiba – tiba menengadah menatap Mrs. Smift dengan kewaspadaan mening
“Posisi tanganmu lebih dekat lagi, Abi. Kau tidak mungkin merasa canggung bersama putri sambungmu, bukan?” Mrs. Smift sudah berulang kali mengatakan hal serupa, tetapi Moreau tetap merasa ketegangan ayah sambungnya tidak akan berjarak di antara mereka. Ini memang batas toleransi yang telah pria itu selesaikan. Bukan sesuatu yang bagus berada di posisi intim di hadapan beberapa orang, meski permintaan Abihirt telah disetujui. Untuk pengambilan gambar tunggal, pria itu hanya memperlihatkan seperempat tubuh. Sementara, dalam pose berdua ... hubungan mereka dibuat sebegitu dekat, terutama Mrs. Smift harus memikirkan cara bagaimana agar meminimalisir kemungkinan wajah Abihirt tertangkap di layar. Sulit bernegosiasi bersama keputusan yang sudah begitu mutlak. Setidaknya ini berjalan hampir tanpa hambatan. Mrs. Smift seperti sengaja menambahkan permintaan baru. Lengan Abihirt dituntut me
“Jadi bagaimana posisi kami?” Kali ini Moreau tidak bisa menahan diri bertanya. Rasanya cukup ganjil mengetahui pola keinginan Mrs. Smift, yang kemudian sepakat menyampaikan sesuatu dengan hasrat terpendam. “Kau berbaring di bawah. Telentang.” Kendati perasaan Moreau tertombak kemungkinan kecil. Berniat tak setuju pun bukanlah prospek terbaik. Malah itu akan menjadi tindakan nekat yang mendapat serangkaian ceramah panjang. Biarkan Mrs. Smift perlahan bersimpuh dengan kaki menekuk. Satu tangan wanita itu menahan beban tubuh, sedangkan sisanya mengatur rambut panjang Moreau yang terurai bersentuhan langsung terhadap kain licin. “Sekarang giliranmu, Sayangku ... Abi.” Moreau diam – diam meringis saat menyaksikan Mrs. Smift seperti mengatakan sesuatu dengan tempo suara lebih kecil, ny
Tubuh Moreau tersentak ke dinding ketika dia menghadapi lumatan bibir yang dahsyat. Cahaya samar - samar di satu ruang temaram, terasa begitu ingin merekam bayangan dari tubuh mereka yang saling bersentuhan. Ujung tangan Abihirt nyaris menyusuri seluruh bagian ... dari tulang rusuk, dan sekarang pria itu menyusupkan ruas jemari tangan untuk merekat di rambutnya, menekan Moreau lebih dekat, menikmati sensasi gerah dari gerakan bibir yang merampas. Panas seolah melilit gairah mereka sekadar saling menelanjangi satu sama lain. Moreau tidak cukup berani melakukan hal tersebut. Malah menggantung pada situasi putus asa saat dorongan untuk melucuti kain di tubuhnya membuat Abihirt terjebak; potongan pakaian mana yang akan pria itu singkirkan pertama kali, tetapi kemudian Moreau terkejut oleh lengan yang terangkat. Abihirt merenggut bagian atasan, lalu melempar ke sembarang tempat. Masih menyisakan bra maupun celana kain yang lembut
Moreau menatap lurus ke depan mendeteksi Abihirt sedang berusaha melucuti kain tersisa. Dalamannya ikut tergoler jatuh dan mungkin sudah terdampar di atas lantai ruang merah. Sebuah pukulan tak terduga, menyengat, panas, membuat tubuh Moreau tersentak kaget. Dia menahan napas saat keheningan di sekitar mereka begitu sayup – sayup. Reaksi yang mencuak ke permukaan masih seperti di awal saat pukulan dengan tempo yang sama menyambar bokongnya. Moreau mengepalkan tangan, bersikeras menahan sekecil apa pun suara keluar dari bibir. Dia bahkan menunduk, menenggelamkan wajah. Membiarkan kedua tangan yang terikat, menekuk, timpah tindih di atas kasur. “Aku ingin kau mengerang, Moreau.” Suara serak dan dalam Abihirt telah berubah parau oleh gairah. Pria itu menawarkan tamparan di sisi yang sama dengan keras. Moreau nyaris terlonjak, saat demikianlah dia memalingkan wajah, menatap setengah kosong ke dinding. Ti
[Cepatlah, Amiga. Aku sudah menunggumu sejak tadi.] Pesan sarat ekspresi tidak sabar dari Juan terus mendesak Moreau saat dia sedang menyiapkan kebutuhan tersisa. Ponsel, tas dan botol minum. Ketiga hal tersebut tidak boleh dilupakan. Juan akan mengatakan segala sesuatu lebih panjang ketika pria itu mendapati ketidaksengajaan yang lantas bermula di antara mereka. Pada akhirnya, mereka harus mengakui bahwa Anitta tidak memberi izin libur, tidak peduli sebenarnya Juan telah mengatakan Moreau mengalami masalah kesehatan—seperti yang malam itu pria tersebut katakan. Semua selesai dalam waktu singkat. Selebihanya, dia hanya perlu dengan cepat mengambil langkah meninggalkan kamar. Harusnya tidak sulit menuju ambang pintu, tetapi keberadaan seseorang di belakang, secara tidak langsung membuat tubuh Moreau terdorong mundur. Dia terkejut. Lantas mengangkat wajah—nyaris tak begitu siap mendapati Abihirt menjulang tinggi diliputi tatapan tajam. Seperti ada kemarahan di dalam
“Mom, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.” Setelah memikirkan pelbagai rencana yang akan dia ambil sepanjang malam. Moreau akhirnya sampai pada keputusan akhir. Keluar dari rumah ini adalah pilihan yang tepat. Mereka tidak akan menghadapi masalah lebih rumit. Tidak akan ada kecemburuan lebih buruk atau membayangkan bagaimana posisinya mengalami kemerosotan tidak adil. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Pertanyaan sinis dari Barbara mencuak ke permukaan. Ibunya terdengar tidak dalam suasana hati yang bagus. Namun, bagaimanapun Moreau tidak bisa menunggu lebih lama. Ini desakan darurat dan kebetulan Abihirt tidak terlihat di mana pun di sekitar dapur. Barangkali pria itu sedang disibukkan oleh kegiatan sendiri. “Aku berencana tinggal sendiri.” “Maksudmu kau ingin mengangkat kakimu dari rumah ini?” “Ya.” “Mengapa begitu tiba – tiba?” “Tidak tiba – tiba. Aku merasa sudah cukup besar dan sudah saatnya aku membangun kehidupanku sendiri.”
“Kau tidak mencintaiku.” Hanya itu yang Moreau katakan sebagai bentuk antisipasi. Dia tidak ingin terlalu jatuh dan akhirnya terjerembab pada jurang tak bertepi. “Aku mencintamu.” Lagi. Ungkapan Abihirt merupakan bagian dari sikap ingin membantah. Moreau tidak percaya. Dia tak akan pernah bisa percaya setelah semua yang mereka hadapi. Semua terlalu mendadak membayangkan jika ternyata tiba – tiba pria itu akan mengatakan semuanya. “Tidak. Kau mencintai ibuku, Abi. Kau tidak bisa membohongi perasaanmu.” Supaya mereka tetap waras. Moreau mengingatkan ayah sambungnya. Melihat sejauh mana pria itu akan bereaksi. Hampir tidak ada apa pun, sesuatu yang mungkin dapat memberi pengaruh. Ketenangan Abihirt semacam luas samudra—tidak dapat dibelah, sebaliknya dia akan tenggelam tanpa pernah bisa mencapai dasar. “Aku justru membohongi perasaanku sendiri, jika tidak pernah mengatakan ini kepadamu. Kau sangat berarti, Moreau. Maaf, kalau apa pun yang telah kulakukan,
“Abi, keluarlah.” Moreu tidak ingin menunggu lebih lama. Sudah cukup rasa muak mengadili ketakutan di dalam dirinya. Seseorang berusaha tidak mendengar apa pun, sementara dia sendirian—mati – matian, mendambakan akan ada hasil dari sesuatu yang telah membentuk sebongkah reaksi lelah. Persetan! Moreau tidak peduli. Tindakan yang dia lakukan tidak lagi menyentuh pergelangan tangan Abihirt, tetapi beralih mendorong tubuh pria itu dari belakang. Perlu usaha sangat keras hingga ... setidaknya, ada prospek bagus di mana dia merasakan satu kaki ayah sambungnya mulai terangkat dan sulur – sulur pria tersebut menggeram tidak setuju. Itu bagus. Moreau kembali melakukan pelbagai usaha agar jarak mereka terduga lebih dekat dengan ambang pintu balkon. Dia terlalu memaksa. Barangkali menjadi alasan utama, mengapa sisi berbeda dari diri Abihirt segera mengambil andil. Tidak tahu kemarahan lainnya—yang berasal dari mana, yang akhirnya memenangkan pertempuran. Tubuh Moreau n
“Kau sudah tahu?” Suara serak dan dalam pria itu terdengar lambat, seakan – akan ingin memastikan. “Kenapa? Kau berharap aku tidak pernah tahu. Jadi, kau bisa melakukan segala sesuatu tanpa perlu berpikir bahwa aku akan menolak? Aku bukan mainan-mu, kau tahu itu. Apa yang kau pikirkan, huh? Kau pikir aku masih bersedia menjadi submisif-mu setelah ini? Kau jahat, Abi ....” Nada bicara Moreau diakhiri proses yang mencekat. Dia mengembuskan napas, kemudian mengusap wajah dengan kasar. Abihirt tidak terlihat terpengaruh oleh apa pun. Apakah sungguh tidak terdapat sedikipun penyesalan setelah apa yang telah pria itu lakukan? Moreau merasa sangat bodoh kali ketika dia berharap ayah sambungnya, paling tidak, akan berusaha menawarkan kehangatan. “Aku lepas kendali.” Demikian yang pria itu katakan. Semacam menyiratkan kenyataan bahwa ‘lepas kendali' adalah sesuatu yang perlu dimaklumi. Saat dia masih begitu buta melihat kebenaran. Moreau mungkin akan menc
“Aku tidak peduli ibuku sudah tidur atau tidak. Sekarang pergilah,” Moreau melanjutkan tanpa mencoba menatap wajah ayah sambungnya. Biarkan Abihirt mengerti. Pria itu akan segera mengerti saat merasakan sesuatu yang ganjil. Mereka telah diadili kenyataan menyakitkan. Sudah cukup membiarkan efek samping melewati ruang bercelah dan hampir menjadikannya tiada. “Suster mengatakan kau baik – baik saja. Bagaimana dengan sekarang?” Suara serak dan dalam Abihirt terdengar tak yakin. Tidak biasanya. Secara naluriah Moreau mendengkus. Dia tidak akan pernah mengerti terhadap apa pun yang berkaitan dengan pria itu. Terlalu membingungkan dan sejak kapan Abihirt akan bersikap ragu – ragu terhadap dirinya? Apa yang sebenarnya sedang pria itu takutkan? Seharusnya tidak ada. Semua tidak mudah dipahami. Bahkan gagasan paling sungkar dimengerti sekalipun, tidak akan memiliki peran terburuk untuk membuat seseorang terus terjebak pada situasi tidak memungkinkan. “Apanya yang bagaimana d
Tidak ada perangkat apa pun yang dapat digunakan sebagai bahan penunjang. Barangkali karena lantai dua dan jalur dinding berlikuk dari desain dinding luar rumah menjadi petunjuk utuh? Itu cukup masuk akal. Tubuh tinggi Abihirt tidak akan sulit meraih celah kecil yang seharusnya membantu pria tersebut memanjat. Celakalah. Ini jelas sesuatu yang berbahaya. Moreau segera menyalakan lampu ruangan, tidak ingin kesan temaram membuat situasi terasa lebih mengerikan. Dia harus benar – benar waspada. Abihirt terlalu serius saat pria itu berharap dapat mengendalikan situasi; seperti saat mereka dituntut bicara, maka seharusnya mereka harus segera bicara. “Moreau, buka pintunya. Aku ingin tahu bagaimana kondisimu.” Dorongan dalam diri Moreau spontan membayangkan ungkapan tersebut sebagai kebohongan besar. Abihirt tidak pernah peduli kepadanya. Tidak pernah. Andai pria itu memiliki sedikit simpatisan, mungkin tidak akan pernah adegan penyiksaan yang bersembunyi di balik k
“Buka pintunya, Moreau. Aku tahu kau ada di dalam.” Moreau merasakan sayatan begitu dahsyat di dadanya saat sulur – sulur bisikan Abihirt menyelinap dari luar kamar. Sudah larut malam. Dia tahu pria itu mencari waktu yang tepat untuk memulai aksi. Tidak. Moreau tidak akan membiarkan kesalahan kembali terulang ketika mereka bertemu. Rasa sakit telah bertumpuk dan menjadikan begitu banyak hal menyimpang di antara mereka. Dia akan lebih bersuka cita jika terdapat pengalihan serius dari sebuah cinta, lalu berakhir sebagai episode kebencian yang panjang. Barangkali itu akan terjadi saat mereka bertatap muka, membuat dia mengingat kembali setiap detil peristiwa paling buruk yang sengaja ayah sambungnya mulai. Moreau secara naluriah memejam, mencoba untuk melupakan perlakuan jahat tersebut. Dia sangat ingin meluapkan segala bentuk amarah kepada Abihirt. Ya, sangat. Hanya merasa belum cukup siap digulung oleh situasi mencekam di antara mereka. Sesuatu dalam dirinya bah
Senyum puas menjadi selimut tebal kali pertama Barbara mendapati kebingungan di wajahnya. Moreau mengerti, dia mungkin akan menerima sebuah ledakan dahsyat. Berharap sanggup menyiapkan kejutan di dalam dirinya, tetapi tidak pernah menyangka bahwa ternyata itu benar – benar begitu menyakitkan. “Kau akan menjadi seorang kakak.” Moreau mengerjap berulang kali. Tahu betapa konyol sikapnya di sini. Dia akan menjadi seorang kakak .... Salahkah jika sesuatu dalam dirinya berharap itu adalah gagasan sungkar dimengerti? Dia harap tidak pernah mengerti maksud dari menjadi seorang kakak. Ironi, kenyataan berkata sangat jahat. Moreau jelas sangat memahami maksud yang begitu terselubung di balik pernyataan ibunya. Wanita itu sedang mengandung, dan celaka ... dia juga dihinggapi bentuk kebenaran terburuk. Mereka mengandung bayi dari pria yang sama. Apa yang bisa dikatakan? Moreau berusaha menelan kenyataan pahit dengan tenang. Sekarang suasana menyedihkan semakin mantap membuj