Sebuah rumah besar berwarna putih. 8 tahun yang lalu. Agatha meninggalkan rumah ini dengan tangan kosong. Tidak ada satupun orang yang mencegahnya pergi. Dengan kesalahan yang sama sekali tidak pernah ia perbuat. Dituduh penjahat dan diusir begitu saja. Lantas kenapa ia masih saja menginjakkan kakinya di sini. Agatha menoleh ke samping. menahan agar air matanya tidak jatuh. Jordy menoleh ke samping sebentar. “Kita tidak akan membuatmu menderita lagi..” “Siapa yang tahu.” Agatha mengedikkan bahu. “Tidak ada yang tahu jika diam-diam kalian berencana membunuhku.” Jordy tertawa. “Tidak ada untungnya.” Agatha menyipitkan mata. “Untuk apa kau membawaku ke sini?” “Sudah aku bilang, kakek ingin bertemu denganmu. Bertemulah dengannya dulu.” Agatha yang kini tertawa. “Bukankah dia yang paling menentang kehadiranku?” tanyanya pada Jordy. “Bahkan aku mendengar dia adalah orang yang menyuruh ibuku untuk menggugurkanku yang masih berada di dalam kandungan. Dia juga tidak pernah mengang
Entah keptusan yang benar atau salah. Agatha mengiyakan permintaan kakeknya untuk tinggal di sini. Ia kembali ke kamar ini. kamar yang ia tempati sampai belasan tahun. Untungnya mereka masih memberikan kamar yang layak untuk Agatha. Kamar ini dulu tidak sebagus ini. Entah kapan mereka merubahnya. Agatha merogoh ponselnya. akhirnya menghidupkan ponselnya—menerima banyak sekali pesan dari Gio. Pria itu berkali-kali mencoba menghubunginya. Sampai akhirnya pria itu kembali menghubunginya. “Halo,” ucap Agatha. “Ke mana saja? kenapa tidak mengangkat panggilanku?” tanya Gio. “Aku begitu kawatir. Orang-orang yang ada di rumah tidak mengatakan apa-apa tentangmu.” Agatha terdiam. tidak mungkin juga menyembunyikan hal ini pada Gio. “Aku pergi,” ucap Agatha. “Apa?” tanya Gio. “Pergi ke mana?” tanya Gio. “Pergi malam-malam.. di sana pasti malam kan? Pergi ke mana? ke minimarket? Kau sudah beli es krim banyak. Jangan pergi malam-malam. aku akan menyuruh orangku menjemput
“Boleh..” Calista tersenyum. “Duduklah di samping kakakmu.” Agatha ingin mengumpat saja. Sejak kapan dia dianggap sebagai adik Jordy. Agatha menghela nafas sebelum mengambil duduk berjauhan dengan Jordy. Sengaja. Memang sengaja menjauhi. Biar mereka tahu kalau Agatha masih membenci mereka. “Agatha kamu dulu suka melukis. Mau belajar lagi gak?” tanya kakek. Agatha menoleh. “Aku sudah tidak pernah melukis semenjak semua lukisanku di buang.”Agatha melirik Calista singkat. “Aku tidak memiliki hal yang aku suka. Tidak usah repot-repot mengurusiku.” Agatha masih makan dengan nyaman. Tidak terganggu dengan ucapan kakeknya. Tidak terganggu juga dengan tatapan Calista yang seakan menghunusnya. “Lalu apa yang kamu sukai?” tanya Kakek. “Kakek akan berusaha untuk membantu kamu.” “Tidak usah..” Agatha menoleh. “Tidak usah kakek..” “Kakek menawarkan hal baik untuk kamu.” Calista memandang Agatha. “Kakek hanya ingi kamu bisa berkemban dan melakukan banyak hal baik. apa susahnya
Agatha mengambil tasnya. Ia menghela nafas berkali-kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Agatha segera menghapus air matanya yang berjatuhan. Ia tidak akan kembali ke rumah ini ia berjanji tidak akan membiarkan orang lain menginjak-injak dirinya sendiri. Agatha berjalan keluar. Namun ia terdiam ketika mendengar percakapan mereka. “Jangan biarkan Agatha pergi,” ucap kakek. “Bagaimanapun dia memegang saham perusahaan,” ucap Calista. “Dia bisa pergi jika menyerahkan sahamnya.” Jordy berdiri memandang mereka berdua. “Apakah itu penting sekarang? Agatha sudah mau pulang itu adalah hal yang baik.” “Kata kakek ingin menebus semua kesalahan di masa lalu. untuk saat ini memikirkan saham bukanlah hal yang penting.” “Agatha adalah bagian dari keluarga ini. Dia tidak bisa diperlakukan semene-mena terus oleh kalian.” “Kalian?” tanya Calista. “Bukankah kamu dulu juga membencinya? Kenapa sekarang malah mendukungnya?” tanya Calista. “Jangan sampai kamu menyukai adik tiri kam
Agatha melangkah dengan cepat. “Aku akan memberikan semua sahamku pada Jordy.” Setelah itu menatap mereka berdua dengan remeh. “Puas kan?” tanyanya. Kemudian berjalan dengan cepat berjalan ke arah pintu. Agatha mengusap air matanya yang lagi-lagi menetes. “Agatha!” panggil Jordy setengah berteriak. Kenapa ia dilahirkan jika seperti ini? Kenapa ia ada di dunia jika hanya ada kesengsaraan untuknya. Tidak pernah dianggap oleh siapapun. Keberadaannya pun selalu dianggap aib. Orang-orang berusaha menyingkirkannya apapun yang terjadi. “Agatha!” teriak Jordy. Jordy berhasil menangkap pergelangan tangan Agatha. “Jangan pergi.” “Maksudmu apa melarangku pergi?” tanya Agatha menahan emosi. “Beraninya kau menahanku pergi setelah aku mendengar semua percakapan kalian.” Agatha mengusap air matanya. Ia berharap tidak menangis agar tidak terlihat menyedihkan di mata orang lain. “Bergabunglah denganku mengurus perusahaan.” Jordy berkacak pinggang. “Jangan melepaskan kepemilikan sahammu
Ada alasan kenapa Jordy begitu peduli pada Agatha. Sebagai putra pertama sekaligus pewaris Harper group, tekanan yang diberikan keluarga begitu besar. Sering kali Jordy bersedih sepulang sekolah mendapatkan nilai yang buruk. Ia akan dimarahi habis-habisan oleh Calista. Disaat itulah Agatha datang, Agatha mengajaknya melukis. Agatha menghiburnya dengan mengajak Jordy melukis bersamanya. Namun tidak lama hal itu terjadi, semua lukisan beserta alat-alatnya malah dibuang oleh Calista. Calista mengancam akan menyakiti Agatha jika Jordy masih tetap mendekati Agatha. Maka dari itu, Jordy berusaha menjaga jarak dengan Agatha meskipun ia sebenarnya peduli dengan adiknya sendiri. “Kau pikir mereka akan merestui hubungan kalian dengan keadaanmu yang sekarang?” tanya Jordy lagi. Agatha terdiam. semua yang dikatakan Jordy sudah terjadi. Bahkan dirinya sendiri diusir oleh nenek Gio karena tidak setara dengan pria itu. Lantas apakah ia bisa bertahan dengan keadaan seperti ini
Agatha datang ke sebuah kafe. Melangkah dengan helaan nafas yang berat.. Ia berhenti sebentar—menatap seorang pria yang tengah duduk dengan tenang di sebuah bangku. Agatha mendekat dan mengambil duduk di hadapan Gio. Gio mengernyit dan memandang Agatha. “Bukan di sana..” “Ke marilah.” Menunjuk kursi di sampingnya. Agatha menggeleng. “Tidak..” suaranya yang begitu pelan. “Di sini lebih nyaman.” Agatha tetap memilih duduk di hadapan Gio daripada duduk di samping pria itu. Gio menghela nafas. dan membiarkan Agatha duduk di hadapannya saja. “Aku tahu semuanya. Aku tahu kenapa kau pergi dari Mansion.” Tangan Gio terulur mengusap punggung tangan Agatha. “Aku sudah memberitahumu, abaikan saja perkataan keluargaku. Aku tidak mau kau pergi, Agatha.” Agatha menatap tangannya yang diusap lembut Gio. Ia mengerucutkan bibirnya. Sadar bahwa sesungguhnya ia memang merindukan pria itu. Namun karena keadaan yang sekarang, ia tidak bisa.Jadi ia hanya diam dan berusaha tenang. “Aku tida
“Tapi kita tetap bisa bersama,” balas Gio. Sungguh ia tidak ingin kehilangan Agatha. Ditinggal satu hari saja pusing, ini mau ditinggal kuliah di luar negeri. Bagaimana dirinya. Apa jadinya dirinya.. “Sesekali aku akan mengunjungimu. Hubungan jarak jauh tidak sesulit itu.” Gio tidak bisa memikirkan lagi bagaimana jika ditinggal Agatha seperti ini. Kebersamaan mereka… Sentuhan yang mereka lakukan. Apa dipikir ia bisa lepas dari semua ini dengan mudah? Agatha menggeleng. ia berdiri duduknya. “Hubungan kita berakhir di sini.” Agatha berjalan dengan cepat keluar dari kafe. Segera mengusap air matanya yang berjatuhan. Padahal ia merindukan pria itu. Ingin memeluk pria itu. Ingin menyandarkan kepalanya di dada pria itu dan berkata. Semuanya terasa sangat sulit. “Agatha!” panggil Gio segera mengejar Agatha. Agatha tidak berhenti sampai Gio berhasil mencekal tangannya. Gio menarik tangan Agatha—dan mendekap tubuh mungil wanita itu. “Jangan tinggalkan aku. Aku
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
“Puas membuat kawatir orang tua? Puas bermain-main dengan acara penting?” tanya Gio pada Aiden. Aiden berhenti. pada langkah yang ketiga di tangga. Laki-laki itu berhenti dan menghadap ayahnya. “Bagaimana rasanya?” tanya Aiden sembari tersenyum. “Kalian tidak pernah datang ke acara pentingku. Jadi aku ingin melakukannya juga…” “Bagaimana rasanya?” tanyanya. “Aiden!” Gio memijit keningnya yang terasa pusing. “Kami melakukannya karena ada alasannya.” “Aku juga punya alasan untuk tidak datang ke acara itu.” Aiden memutar tubuhnya. berjalan—sampai Gio memanggilnya lagi. “Acara balapan yang kamu maksud?” tanyanya. “Balapan tidak jelas seperti itu? jika ingin balapan di sirkuit bukan di jalan raya. Kamu membahayakan orang lain. kamu juga membahayakan diri kamu sendiri.” “Aiden kamu jangan melakukan hal seperti ini lagi ya..” Agatha menatap putranya. “Mom dan Dad tidak akan melakukan hal seperti dulu lagi.” “Kalau kamu mau balapan, kamu bisa mengajak kamu ke sir
Di sinilah… Raini pergi ke atap gedung. Sendirian di tengah gelap yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang bersinar dengan terang. Raini membiarkan rambutnya tertiup angin ke sana ke mari. Kedua tangannya bersandar pada dinding pembatas. Tempatnya memang di sini. Jelas dirinya dan Aiden sangat berbeda. Aiden memang lebih cocok dengan perempuan bernama Talia itu. Tadi, Raini melihat mereka dari kejauhan. Talia pasti dari keluarga yang memiliki perusahaan besar juga. Mereka memang cocok. Lantas… Kenapa hatinya sedikit tidak rela ya? Apa mungkin ia tidak rela jika Aiden bersama perempuan lain? Tidak! Sampai kapanpun Raini tidak boleh mendambakan apa yang tidak boleh didambakan. Tempatnya di sini… Menyingkir lalu tidak terlihat oleh siapapun. “Jadi seperti ini ya pemandangan kota dari atas gedung tinggi..” Raini tersenyum pelan. “Maklum orang kampung…” Raini menggeleng pelan. “Ternyata sangat bagus. pantas saja banyak orang kampung yang berbondong-b
Seorang pemuda dengan setelan kemeja dan jas rapi baru saja turun dari mobil. Langkahnya mantap—kemudian disusul oleh perempuan yang berada di belakangnya. Perempuan cantik yang menggunakan dress berwarna putih. Nampak sangat cantik dengan rambut panjang yang digerai… Aiden menyodorkan lengannya. Raini tersenyum manis dan menggandeng tangan Aiden. Tahukah permintaan Aiden? Ya, membawa Raini untuk pergi ke pesta bersamanya. Lantas, Raini harus menuruti permintaan lelaki itu jika ingin lelaki itu hadir di pesta. Raini tidak pernah berhadapan dengan orang segila Aiden. Tapi mari imbangi kegilaan Raini. Bersikap seperti apa kemuan Aiden saja. Raini berjalan dengan hati-hati. di luar ternyata banyak sekali kamera wartawan yang menyorot dirinya. Pasti mereka akan membuat berita dan bertanya-tanya tentang identitasnya. Raini bersumpah… Pasti setelah ini, kehidupan sekolahnya kian rumit. Pasti akan muncul rumor aneh tentan dirinya dan Aiden. Aiden dan Raini b
“Dia di mana?” Agatha berkacak pinggang sembari mondar-mandir. Ia sudah berdandan rapi namun Aiden malah belum pulang… Gio menggenggam tangan Agatha. “Kali ini aku tidak bisa mentolerir perbuatannya..” “Tunggu sebentar. dia pasti pulang.” Agatha mengeluarkan ponselnya.. Melakukan panggilan berkali-kali namun satupun tidak dijawab. “Ayo kita berangkat..” nampak wajah Gio begitu dingin. Hanya berjalan beberapa langkah saja.. “Bagaimana kalau kita menunggu sedikit lebih lama..” Agatha mendongak. “Aku yakin dia akan segera pulang.” Gio menatap jam tangannya. “Kalaupun pulang dia butuh berganti pakaian segala macam. Kita tidak ada waktu sayang.” Agatha akhirnya mengangguk. menyetujui untuk berangkat. Akhirnya dengan berat hati Agatha dan Gio berangkat tanpa anak mereka. Entah, Gio tidak mau tahu keberadaan anaknya. Di sisi lain, Raini yang melihat mereka merasa ini tidak benar. Ia harus mencari Aiden dan membuat laki-laki itu datang ke pesta ulang tahun Winston.
Raini menjadi semakin panik ketika tubuh mereka terasa benar-benar menempel. “Cepat ambil,” lirih Raini. Aiden tersenyum. menunduk dan mendekatkan bibirnya pada telinga kanan perempuan itu. “Cepat ambil, aku tidak akan melihatmu,” ucap Raini. “Lantas kenapa wajahmu memerah seperti itu?” Raini mengerjap karena kesal akhirnya ia berbalik—namun kakinya tidak bisa berpijak dengan benar alhasil… Braak! Raini memejamkan mata—bersiap menerima kerasnya lantai. Tapi yang ia dapatkan adalah pelukan dari tangan seseorang. Raini membuka mata—wajah Aiden yang sudah begitu dekat di hadapannya. Kenapa… Jantungnya berdetak sangat cepat. Juga, suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas sampai membuat pipinya begitu panas seperti terbakar. Raini baru menyadari jika Aiden masih bertelanjang dada… “Bu-bu buahnya jatuh!” Raini melepaskan diri dari Aiden. Buru-buru mengambil buah itu dengan cepat. “Aku tidak makan buah yang sudah jatuh.” Aiden mengamati Raini yang begitu gugup memungut
“Apa aunty tahu kau menggunakan motor ke sekolah?” tanya Raini yang baru memarkirkan sepeda listriknya di halaman mansion. Aiden melepas helmnya. Pertama kalinya ia membawa motornya ke rumah. “Belum.” Aiden menggeleng. “Sekarang akan tahu.” Raini mendekati Aiden. “Bukankah bahaya?” tanyanya. “Kau belum memiliki sim juga.” “Bukan urusanmu.” Aiden menyipitkan mata. Aiden pergi begitu saja ke dalam mansion. Meninggalkan Raini yang ngomel-ngomel. Aiden pergi ke dalam rumah. disambut oleh ibunya yang selalu berada di rumah menunggunya pulang. “Kamu sudah pulang..” Agatha mendekat. “Di luar itu motor kamu?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha berhenti sejenak. “Mom marah?” tanya Aiden. Agahta menggeleng. “Itu hobi baru kamu kan?” Agatha mengusap pelan bahu Aiden. “Asalkan kamu menaikinya dengan hati-hati, jangan sampai terluka. Mom tidak masalah.” “Mom dulu juga bisa tahu naik motor. Tapi sekarang lupa caranya..” Agatha terkekeh pelan. “Mom bisa?” Agatha men