Malam harinya… Agatha baru saja selesai dengan pekerjaannya. Ia berjalan memasuki lorong kamar para maid. Enak sekali menjadi maid seperti biasanya, bekerja bersama-sama. Selesai lebih awal. Sedangkan dirinya? Harus mengerjakan semuanya sendiri karena dikucilkan tidka boleh terlihat oleh majikan. “Kau dipanggil nyonya.” Itu suara Riska. Perempuan itu bersandar di depan pintu kamarnya. “Aku yakin sekali kali ini kau akan dipecat,” ucapnya sembari mengejek. Agatha tidak mengindahkan ucapan Riska. Ia langsung memutar tubuhnya dan berjalan pergi. Ia berjalan ke perpustakaan di mana terakhir kali ia bertemu dengan nyonya. Sampai di sana, benar saja. Margaret sudah duduk menunggunya. “Duduk,” ucap Margaret dengan dingin. Agatha berjalan mendekat dan mengambil duduk di hadapan Margaret. “Kau melanggar perjanjian kita.” Margaret menatap Agatha. “Aku sudah bilang, jauhi cucuku. Tapi kau tidak pernah mematuhi perjanjian itu dan terus saja bertemu dengan cucuku diam
Bohong kalau Agatha tidak sedih. 3 bulan ia bekerja keras agar bisa dipertahankan dan menjadi pegawai tetap. Tapi kenyataannya hanya masalah sepele ia dikeluarkan begitu saja. Sekarang ia harus hidup ke mana dan menjadi apa. Akhirnya setelah berjalan cukup lama. Agatha berhenti di depan sebuah minimarket. Sekedar membeli mie gelas dan air untuk mengisi kekosongan perutnya. Agatha mengambil duduk di bangku. Memakan makanannya dengan lahap. Ponselnya berbunyi. layar ponselnya itu mulai retak. Agatha menerima pesan dari Mina. Mina menyesal karena tidak bisa membantu Agatha. Agatha menghela nafas dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Ia tidak memiliki tabungan. Tinggal uang yang ada di dompetnya saja. Itupun tidak banyak, hanya beberapa ia peroleh dari pesangon. Agatha menutup kedua matanya dengan tangannya. Sampai akhirnya bangku di hadapannya berderit. Ketika membuka mata. ia langsung berhadapan dengan pria yang menjadi penyebab hidupnya menjadi kacau. “Kena
Keputusan sudah tidak bisa dirubah. Yang artinya, Agatha benar-benar menerima tawaran Gio untuk menjadi asisten pribadi. Saat ini, mobil melaju ke kediaman Gio yang berjarak cukup jauh dari minimarket. Beberapa kali Agatha terkantuk dan menabrak kaca mobil. Sedangkan Gio sama sekali tidak terganggu, Gio masih memegang tablet di tangannya. mengurus entah apa yang bisa diurusnya saat ini. Sampai akhirnya, mereka sampai juga di kediaman Gio. Agatha membuka mata. Mengambil tasnya dan mengikuti Gio masuk ke dalam Mansion. Tidak kalah besar dan mewah, Mansion ini begitu indah. Agatha tercengang beberapa saat. Mansion sebesar ini hanya dihuni satu orang, sisanya maid dan beberapa penjaga yang jumlahnya tidak banyak. “Ikut denganku,” ucap Gio. Gio melangkah, menaiki tangga. Memasuki sebuah kamar. kamar yang memiliki interior berwarna abu-abu. Agatha berdiam diri di ambang pintu. Sampai Gio menoleh ke belakang. Menatapnya dengan tajam. Akhirnya Agatha terkekeh s
“Aku menerimanya,” akhirnya.. Agatha memejamkan mata. Hanya cium kan? Hanya? Entahlah. Agatha sudah diambang keputusasaan. Ia tidak lagi memberontak, menerima saja yang ada di depan kepalanya. “Pergilah ke kamarmu,” titah Gio. “Saya—” “Di luar ada yang membantumu.” Agatha mengangguk paham. Selanjutnya ia memutar tubuhnya dan berjalan pergi ke pintu. Tapi sebelum mencapai pintu, tangannya ditarik lebih dulu. Kemudian dalam hitungan seperkian detik, tubuhnya sudah didekap oleh pria itu. Tuan Gio memeluknya. Ini menjadi yang kedua kalinya. Gio menghirup aroma vanila dari Agatha. Harum, menenangkan dan ia suka. Namun, parfum Agatha bukanlah parfum mahal. Ia yakin parfum yang digunakan oleh perempuan ini merupakan parfum murah yang bisa dibeli oleh banyak orang. Tapi entah kenapa ia suka. “Tuan..” lirih Agatha. Ia diam, tidak membalas namun hanya membiarkan Gio memeluknya. Tubuhnya yang kecil terasa berat dipeluk tubuh besar Gio. Agatha menggeleng pelan
Pagi sekali Agatha bangun. Bahkan sebelum jam lima. Ia berusaha mempelajari selera Gio. Apa yang dimakan pria itu. apa yang tidak dimakan oleh pria. Apa yang disuka dan tidak disuka oleh pria itu. Ada satu fakta yang diketahui Agatha mengenai Gio. Pria itu benar-benar perfeksionis dan super bersih. Mansion ini harus benar-benar bersih, tidak boleh ada debu sedikitpun. Untuk sarapan ada koki yang memasak. Namun untuk masalah kopi, Agatha harus belajar dari koki. Ia harus belajar membuat kopi sendiri. Setelah membuat kopi, ia berjalan ke kamar Gio. Berjalan pelan sampai mengetuk pelan pintu kamar. “Apa sudah bangun?” tanyanya pada diri sendiri. “Masuk!” Agatha masuk pelan. Ia membawa kopi yang sudah berada di atas nampan. Gio menoleh sebentar sebelum melenggang pergi. Pria itu baru saja bangun tidur. Hanya menggunakan celana pendek tanpa atasan. Tubuhnya shirtless… Agatha sempat menahan nafas sejenak dan langsung mengalihkan pandangannya. “Tu—” baru
Gio tersenyum miring. Ia semakin mendekat—seperti sedang mencari sesuatu. Namun tidak menemukannya. “Kenapa baumu berbeda?” tanya Gio. Agatha mengernyit. reflek mencium bau tubuhnya sendiri. “Apanya tuan? Saya tidak bau..” “Kenapa kau tidak menggunakan parfum kemarin?” tanya Gio. Dengan polosnya Agatha membalas. “Habis.” Gio berdecak. “Beli bahannya dan buat parfum itu.” Kok jadi mengatur sampai parfum ini tuan sombong..“Iya nanti kalau saya gajian.” “Beli sekarang.” Gio mengeluarkan dompetnya. Mengeluarkan lembaran uangnya berwarna merah. Sebanyak 10 lembar kemudian diberikannya pada Agatha. “Beli.” Agatha dengan bingung menatap uang yang berada di tangannya. “Tidak butuh sebanyak ini juga..” balasnya. “Aku malas membuka dompetku kembali, bawa uangnya semua.” Gio menatap Agatha. Agatha bingung yang hanya berdiam bengong. “Kau ingin melihatku bergantia pakaian?” tanya Gio. Agatha melotot dan menggeleng. “Tidak!” Segera pergi dari ruang wardrobe. Gio tersenyum tipi
“Aku bisa melakukan apapun Agatha..” ucap Gio. “Meskipun anda berkuasa, tapi ada beberapa hal yang tidak boleh anda lakukan.” “Contohnya?” “Membuat orang lain menderita.” Agatha mundur. “Seperti saat ini. anda senang sekali mempermainkanku hingga membuatku menderita.” Gio melipat salah satu kakinya. “Memangnya apa yang aku lakukan sehingga kau menderita?” tanya Gio. “Anda…” Agatha mengerucutkan bibirnya. “Anda yang senang membuatku kesal, sengaja senang mempermainkanku.. seolah aku hanya mainan.” “Hal itu membuatku menderita.” Gio tersenyum tipis. “Tapi aku membayarmu atas semua perlakuanku padamu,” ucapnya. Agatha menghela nafas. “Tidak semua bisa dibeli dengan uang.” “Berarti kau tidak mau uangku?” Pertanyaan yang benar-benar arogan. Agatha menyerah. Tidak ada gunanya juga berdebat dengan Gio yang memang tidak bisa dilawan. Biar saja, biar saja pria itu bertindak sesukanya. Tugasnya hanyalah menuruti keinginan pria itu dan mendapat imbalan. Sudah cukup, tidak perlu b
“Tuan…” lirih Agatha. Gio memejamkan mata. berusaha mengatur nafasnya. Kedua tangannya semakin memeluk Agatha. “Sesak?” tanya Agatha. Gio hanya sedikit mengangguk. “Anda harus segera ke rumah sakit, tuan..” lirih Agatha. Gio menggeleng. “Aku tidak mau.” Jawaban Gio seperti seorang anak keci yang takut disuntik. Agatha menghela nafas. Yang ia lakukan adalah tangannya terangkat mengusap punggung pria itu pelan. Berusaha untuk menenangkan Gio. “Bagaimana kalau saya temani ke rumah sakit?” tanya Agatha. “Sudah aku bilang, aku tidak suka rumah sakit. Aku sangat muak dengan rumah sakit.” Gio mengurung Agatha ke tembok. Kedua tangannya melingkar di pinggang Agatha dengan nyaman. Yang Agatha rasakan adalah deru nafas Gio yang menerpa lehernya. Jujur rasanya geli dan ia ingin segera melepaskannya. Tapi bukankah hal ini termasuk dalam tugasnya? Tuannya ini sedang sakit, tidak mungkin ia mencari masalah dengan mendorong tubuh Gio. Jika terjadi apa-apa dengan Gio
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
“Puas membuat kawatir orang tua? Puas bermain-main dengan acara penting?” tanya Gio pada Aiden. Aiden berhenti. pada langkah yang ketiga di tangga. Laki-laki itu berhenti dan menghadap ayahnya. “Bagaimana rasanya?” tanya Aiden sembari tersenyum. “Kalian tidak pernah datang ke acara pentingku. Jadi aku ingin melakukannya juga…” “Bagaimana rasanya?” tanyanya. “Aiden!” Gio memijit keningnya yang terasa pusing. “Kami melakukannya karena ada alasannya.” “Aku juga punya alasan untuk tidak datang ke acara itu.” Aiden memutar tubuhnya. berjalan—sampai Gio memanggilnya lagi. “Acara balapan yang kamu maksud?” tanyanya. “Balapan tidak jelas seperti itu? jika ingin balapan di sirkuit bukan di jalan raya. Kamu membahayakan orang lain. kamu juga membahayakan diri kamu sendiri.” “Aiden kamu jangan melakukan hal seperti ini lagi ya..” Agatha menatap putranya. “Mom dan Dad tidak akan melakukan hal seperti dulu lagi.” “Kalau kamu mau balapan, kamu bisa mengajak kamu ke sir
Di sinilah… Raini pergi ke atap gedung. Sendirian di tengah gelap yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang bersinar dengan terang. Raini membiarkan rambutnya tertiup angin ke sana ke mari. Kedua tangannya bersandar pada dinding pembatas. Tempatnya memang di sini. Jelas dirinya dan Aiden sangat berbeda. Aiden memang lebih cocok dengan perempuan bernama Talia itu. Tadi, Raini melihat mereka dari kejauhan. Talia pasti dari keluarga yang memiliki perusahaan besar juga. Mereka memang cocok. Lantas… Kenapa hatinya sedikit tidak rela ya? Apa mungkin ia tidak rela jika Aiden bersama perempuan lain? Tidak! Sampai kapanpun Raini tidak boleh mendambakan apa yang tidak boleh didambakan. Tempatnya di sini… Menyingkir lalu tidak terlihat oleh siapapun. “Jadi seperti ini ya pemandangan kota dari atas gedung tinggi..” Raini tersenyum pelan. “Maklum orang kampung…” Raini menggeleng pelan. “Ternyata sangat bagus. pantas saja banyak orang kampung yang berbondong-b
Seorang pemuda dengan setelan kemeja dan jas rapi baru saja turun dari mobil. Langkahnya mantap—kemudian disusul oleh perempuan yang berada di belakangnya. Perempuan cantik yang menggunakan dress berwarna putih. Nampak sangat cantik dengan rambut panjang yang digerai… Aiden menyodorkan lengannya. Raini tersenyum manis dan menggandeng tangan Aiden. Tahukah permintaan Aiden? Ya, membawa Raini untuk pergi ke pesta bersamanya. Lantas, Raini harus menuruti permintaan lelaki itu jika ingin lelaki itu hadir di pesta. Raini tidak pernah berhadapan dengan orang segila Aiden. Tapi mari imbangi kegilaan Raini. Bersikap seperti apa kemuan Aiden saja. Raini berjalan dengan hati-hati. di luar ternyata banyak sekali kamera wartawan yang menyorot dirinya. Pasti mereka akan membuat berita dan bertanya-tanya tentang identitasnya. Raini bersumpah… Pasti setelah ini, kehidupan sekolahnya kian rumit. Pasti akan muncul rumor aneh tentan dirinya dan Aiden. Aiden dan Raini b
“Dia di mana?” Agatha berkacak pinggang sembari mondar-mandir. Ia sudah berdandan rapi namun Aiden malah belum pulang… Gio menggenggam tangan Agatha. “Kali ini aku tidak bisa mentolerir perbuatannya..” “Tunggu sebentar. dia pasti pulang.” Agatha mengeluarkan ponselnya.. Melakukan panggilan berkali-kali namun satupun tidak dijawab. “Ayo kita berangkat..” nampak wajah Gio begitu dingin. Hanya berjalan beberapa langkah saja.. “Bagaimana kalau kita menunggu sedikit lebih lama..” Agatha mendongak. “Aku yakin dia akan segera pulang.” Gio menatap jam tangannya. “Kalaupun pulang dia butuh berganti pakaian segala macam. Kita tidak ada waktu sayang.” Agatha akhirnya mengangguk. menyetujui untuk berangkat. Akhirnya dengan berat hati Agatha dan Gio berangkat tanpa anak mereka. Entah, Gio tidak mau tahu keberadaan anaknya. Di sisi lain, Raini yang melihat mereka merasa ini tidak benar. Ia harus mencari Aiden dan membuat laki-laki itu datang ke pesta ulang tahun Winston.
Raini menjadi semakin panik ketika tubuh mereka terasa benar-benar menempel. “Cepat ambil,” lirih Raini. Aiden tersenyum. menunduk dan mendekatkan bibirnya pada telinga kanan perempuan itu. “Cepat ambil, aku tidak akan melihatmu,” ucap Raini. “Lantas kenapa wajahmu memerah seperti itu?” Raini mengerjap karena kesal akhirnya ia berbalik—namun kakinya tidak bisa berpijak dengan benar alhasil… Braak! Raini memejamkan mata—bersiap menerima kerasnya lantai. Tapi yang ia dapatkan adalah pelukan dari tangan seseorang. Raini membuka mata—wajah Aiden yang sudah begitu dekat di hadapannya. Kenapa… Jantungnya berdetak sangat cepat. Juga, suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas sampai membuat pipinya begitu panas seperti terbakar. Raini baru menyadari jika Aiden masih bertelanjang dada… “Bu-bu buahnya jatuh!” Raini melepaskan diri dari Aiden. Buru-buru mengambil buah itu dengan cepat. “Aku tidak makan buah yang sudah jatuh.” Aiden mengamati Raini yang begitu gugup memungut
“Apa aunty tahu kau menggunakan motor ke sekolah?” tanya Raini yang baru memarkirkan sepeda listriknya di halaman mansion. Aiden melepas helmnya. Pertama kalinya ia membawa motornya ke rumah. “Belum.” Aiden menggeleng. “Sekarang akan tahu.” Raini mendekati Aiden. “Bukankah bahaya?” tanyanya. “Kau belum memiliki sim juga.” “Bukan urusanmu.” Aiden menyipitkan mata. Aiden pergi begitu saja ke dalam mansion. Meninggalkan Raini yang ngomel-ngomel. Aiden pergi ke dalam rumah. disambut oleh ibunya yang selalu berada di rumah menunggunya pulang. “Kamu sudah pulang..” Agatha mendekat. “Di luar itu motor kamu?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha berhenti sejenak. “Mom marah?” tanya Aiden. Agahta menggeleng. “Itu hobi baru kamu kan?” Agatha mengusap pelan bahu Aiden. “Asalkan kamu menaikinya dengan hati-hati, jangan sampai terluka. Mom tidak masalah.” “Mom dulu juga bisa tahu naik motor. Tapi sekarang lupa caranya..” Agatha terkekeh pelan. “Mom bisa?” Agatha men