“Ini untukmu,” ucap Sacha seraya mengulurkan syal berwarna navy ke depan Cedric.
Dengan berat hati, Cedric menerimanya. Bukannya ia tidak senang menerima pemberian Sacha. Namun, dengan adanya benda ini ia akan semakin terikat dan terus mengingat wanita cantik di depannya, bukan?
“Kamu tidak perlu repot-repot, Cha.”
“Tidak repot. Itu milikku. Kamu bilang tidak punya syal yang bisa menangkal hawa dingin.”
“Aku berniat membelinya di sana.”
“Tidak perlu. Kamu pakai punyaku saja.”
“Baiklah. Terima kasih. Akan aku pakai nanti.”
Lalu, mata mereka saling menatap. Rasanya ingin menghentikan waktu agar mereka bisa berlama-lama bersama. Sesak di dada akibat akan berpisah jelas dirasakan keduanya.
“Semoga pendidikanmu lancar,” ucap Sacha.
“Aamiin. Semoga bisnismu di sini juga semakin sukses,” balas Cedric.
Sacha mengangguk. Wanita
Sacha menatap kagum pada sekumpulan orang yang sedang berpresentasi. Mereka semua tidak ada yang menggunakan jas dokter. Namun, perbincangan mereka jelas menunjukkan bahwa semuanya adalah dokter-dokter yang sedang mengambil studi untuk menjadi dokter ahli.Seorang kameraman atas arahan Sacha mengabadikan pertemuan tersebut. Sacha juga mengabadikan moment saat Keyna memimpin presentasinya. Baru kali ini ia melihat ibu sambungnya itu berbicara di depan umum, dan ia sangat mengagumi cara Keyna menyampaikan materinya.Walaupun tidak mengerti istilah-istilah yang mereka gunakan, Sacha cukup menikmati pertemuan tersebut. Bahkan ia menjadi berpikir untuk kuliah. Benar kata Louis, sepertinya kuliah akan menyenangkan.“Teman-teman, kenalkan … atau mungkin kalian sudah kenal,” ucap Keyna sambil tersenyum manis pada Sacha. “Ini, Sacha, putri suamiku.”“Hallo,” sapa Sacha ramah.Ferina yang lebih dulu maju dan mengulurkan tangannya. “Kekasih Dokter Hanson, kan?”Sacha hanya terkekeh. Status itu m
Perjalanan kehidupan keluarga Dalton semakin kompak. Saat Frederix dan Louis tidak dapat pulang, William akan mengajak istri dan putrinya mengunjungi mereka. Pertemuan singkat itu menambah keakraban keluarga. Hingga akhirnya hari kelulusan Keyna tiba. Frederix dan Louis mengatakan sangat menyesal tidak dapat hadir. Namun begitu, Keyna sangat pengertian. Ia cukup bersyukur William dan Sacha akan mendampinginya. “Kamu sudah cantik, jangan dekat-dekat Daddy, ya,” ucap Sacha yang baru saja selesai mendandani Keyna. “Kenapa aku tidak boleh dekat-dekat dengan suamiku,” sungut Keyna. “Aku telah menghabiskan dua jam untuk meriasmu. Jika kamu dekat Daddy, ia pasti akan gemas dengan kecantikanmu, lalu … kamu tau pasti apa yang akan Daddy lakukan. Yang jelas make up mu bisa rusak karena ulahnya,” tukas Sacha. Keyna tergelak. “Benar juga.” Ruang auditorium itu membuat Keyna terharu. Akhirnya ia sampai pada titik ini. Di mana ia dapat mewujudkan cita-citanya menjadi dokter ahli. Perjalanan pa
“Apa maksudmu istriku tidak ada di mansion?” marah William pada Bastian.“Tenang, Dad. Mungkin ada pasien gawat darurat di rumah sakit.” Sacha mencoba menenangkan sang Daddy.“Keyna tidak mengabariku apa pun.”“Sebentar, Tuan. Akan saya tanyakan pada pengawal Nyonya lebih dulu,” ucap Bastian.“Kenapa tidak kamu lakukan sejak tadi?” bentak William lagi.Bastian hanya bisa menundukkan kepala lalu pamit. Sacha mengembuskan napas panjangnya lalu mengajak sang Daddy duduk di sofa. Untuk menenangkan William, Sacha memberikan minuman dingin.“Minum dulu, Dad.”William menurut. Setelah meminum beberapa teguk, bilioner itu merogoh saku. Ia mengambil telepon genggamnya dan mencoba menelepon Keyna.“Kalau begini terus, Daddy akan melarang Keyna praktek,” decak William kesal saat tidak berhasil menghubungi istrinya.Beberapa hari ini, Keyna memang sering menghilang. Tepatnya sih, tidak memberi kabar hingga membuat semua orang khawatir. Selama lima menit berikutnya, William mondar-mandir di ruang
Mata Keyna langsung membulat sempurna. Begitu mendengar pernyataan Louis, wanita itu langsung terduduk. Beberapa pertanyaan tentang kesehatan Louis langsung meluncur lancar dari bibirnya.“Tuh kan, Dad, langsung bangun Keyna mendapat telepon dari anak sambung kesayangannya,” cibir Sacha.“Tapi, masa Louis sampai harus berbohong bahwa ia sakit?” bisik William.“Louis memang sedang tidak enak badan, Dad. Sembelit sejak kemarin. Bukankah Daddy juga sudah tau?”William mengerutkan kening. Ia baru sadar bahwa ia melupakan putranya yang sejak kemarin mengeluh tidak enak badan karena tidak dapat buang air besar. Entah kenapa akhir-akhir ini juga menjadi pelupa.Selesai berbicara pada Louis, Keyna hendak kembali tidur. William melarangnya. Ia membopong istrinya ke kamar mandi.“Kamu belum membilas tubuh sejak dari rumah sakit, Baby.” William berkata sambil menurunkan Keyna di bawah pancuran air.Keyna bahkan menikmati siraman air hangat sambil tetap memejamkan mata. Sementara William menyabun
Sudah hampir dua minggu Keyna berulah. Sering menghilang karena tanpa pamit tertidur di sembarang tempat. Kali ini, Keyna ditemukan tertidur di kamar Louis.William dengan sabar membopong istrinya ke kamar utama. Setelah membaringkan Keyna di ranjang, bilioner itu merasa pusing. Sepertinya, ia juga jadi sering sakit kepala karena perilaku Keyna.“Jam berapa sekarang?” gumam Keyna.“Jam sepuluh malam. Kamu tertidur di kamar Louis saat aku sedang meeting online,” balas William.“Emmm … iya. Tadi, Louis minta dicarikan sesuatu di kamarnya. Lalu setelah itu aku bicara di ranjang Louis dan tertidur di sana.”“Ya sudah. Tidurlah lagi, Baby.”“Selamat malam, sayang.”“Selamat bermimpi indah, Baby.”Bukan saja Keyna yang aneh. William pun merasakan hal yang tidak biasa. Seringkali ia merasa sulit tidur di malam hari walaupun tubuhnya terasa lelah. Hingga kondisi ini mengakibatkan bilioner itu sering naik pitam.Namun begitu, William berusaha bersikap normal di depan Keyna. Ia memaklumi kesibu
Hanson mendengar telepon genggamnya berdering. Dengan mata tetap terpejam, ia meraih telepon yang selalu berada di sisi ranjang. Matanya menyipit membaca nama di layar kecil itu.Setelah melihat siapa yang menghubunginya di tengah malam ini, Hanson kembali memejamkan mata. Selama yang meneleponnya bukan dari rumah sakit, ia akan melanjutkan tidur. Mungkin, jika ada bom, ia tetap akan memilih tidur dibanding menyelamatkan diri saking lelahnya.Rasanya belum lama ia tertidur kembali setelah melirik telepon genggamnya yang berdering. Hanson mendengar suara keras. Lelaki itu menutupi tubuhnya hingga kepala dengan selimut.“Buk, buk, buk!”“Ya Tuhan. Apa betulan ada bom?” Hanson berusaha menyadarkan diri.Kembali terdengar suara-suara berisik. Hanson kini terbangun. Pintu apartemennya digedor seseorang dengan amat kencang.“Kak Will?” Hanson terkejut saat melihat kakak angkatnya di depan pintu.William masuk dan menuju ranjang sang adik angkat. Lelaki itu mengambil telepon genggam Hanson d
“Lalu, kenapa kamu tidak tampak senang?” tanya William. Ia tau ini pasti hanya akal-akalan Hanson saja.“Pasienku banyak, sayang. Kasihan mereka,” jawab Keyna.“Pasti sudah ada dokter yang menggantikan, Baby. Tenang saja.”Keyna mengerti. Namun, mulutnya tetap memberengut. Ia duduk bersandar di sofa dan memejamkan mata.“Jam berapa kamu berangkat seminar?” William bertanya pada istrinya.“Satu jam lagi.”“Sambil menunggu, kamu mau tiduran dulu?”Tidak ada jawaban. Hembusan napas teratur dari hidung Keyna membuat William yakin istrinya sudah tertidur. William dan Sacha menggeleng berbarengan.“Apa ibu hamil memang sering tiba-tiba tidur begitu, Dad?” bisik Sacha.“Mungkin. Biarkan saja. Keyna memang butuh istirahat karena terlalu lelah mengurus pasien. Daddy yakin seminar ini juga atas inisiatif Hanson agar Keyna tidak terlalu capek.”Sacha mengangguk setuju. “Apa Hanson sudah mengabari hasil tesnya?”Spontan, bilioner tersebut merogoh sakunya. Tangannya mengambil telepon gengam dan me
William kembali ke mansion saat jam kantor usai. Setelah memakan hidangan yang disiapkan Eddie, ia merasa lebih baik. Tak pernah ia mengira sekarang, ia jadi menyukai es krim dibanding teh herbal yang biasanya ia minum.Eddie turut mengantar William. Ia juga akan hadir pada pesta kejutan. Ruang keluarga mansion yang memiliki pemandangan taman di tengah kini menjadi ruang terbuka. Sacha sudah mengatur dekorasi cantik.“Dad!” pekik Louis menghampiri sang Daddy.William tersenyum. “Kalian sudah datang rupanya.”“Baru satu jam yang lalu,” balas Frederix yang juga menghampiri William. Ketiganya berpelukan hangat.“Terima kasih.” William duduk bersandar di sofa seraya mengamati dekorasi dan meja-meja panjang yang disusun untuk berbagai hidangan.“Kak Cha bilang, Daddy ngidam, ya?” tanya Louis yang kini duduk di samping sang Daddy.William mengangguk dan tersenyum sedikit.“Bagaimana rasanya, Dad?” Frederix ikut penasaran.“Terkadang baik-baik saja. Lalu tiba-tiba ada rasa mual, emosi, dan p