Hanson mendengar telepon genggamnya berdering. Dengan mata tetap terpejam, ia meraih telepon yang selalu berada di sisi ranjang. Matanya menyipit membaca nama di layar kecil itu.Setelah melihat siapa yang menghubunginya di tengah malam ini, Hanson kembali memejamkan mata. Selama yang meneleponnya bukan dari rumah sakit, ia akan melanjutkan tidur. Mungkin, jika ada bom, ia tetap akan memilih tidur dibanding menyelamatkan diri saking lelahnya.Rasanya belum lama ia tertidur kembali setelah melirik telepon genggamnya yang berdering. Hanson mendengar suara keras. Lelaki itu menutupi tubuhnya hingga kepala dengan selimut.“Buk, buk, buk!”“Ya Tuhan. Apa betulan ada bom?” Hanson berusaha menyadarkan diri.Kembali terdengar suara-suara berisik. Hanson kini terbangun. Pintu apartemennya digedor seseorang dengan amat kencang.“Kak Will?” Hanson terkejut saat melihat kakak angkatnya di depan pintu.William masuk dan menuju ranjang sang adik angkat. Lelaki itu mengambil telepon genggam Hanson d
“Lalu, kenapa kamu tidak tampak senang?” tanya William. Ia tau ini pasti hanya akal-akalan Hanson saja.“Pasienku banyak, sayang. Kasihan mereka,” jawab Keyna.“Pasti sudah ada dokter yang menggantikan, Baby. Tenang saja.”Keyna mengerti. Namun, mulutnya tetap memberengut. Ia duduk bersandar di sofa dan memejamkan mata.“Jam berapa kamu berangkat seminar?” William bertanya pada istrinya.“Satu jam lagi.”“Sambil menunggu, kamu mau tiduran dulu?”Tidak ada jawaban. Hembusan napas teratur dari hidung Keyna membuat William yakin istrinya sudah tertidur. William dan Sacha menggeleng berbarengan.“Apa ibu hamil memang sering tiba-tiba tidur begitu, Dad?” bisik Sacha.“Mungkin. Biarkan saja. Keyna memang butuh istirahat karena terlalu lelah mengurus pasien. Daddy yakin seminar ini juga atas inisiatif Hanson agar Keyna tidak terlalu capek.”Sacha mengangguk setuju. “Apa Hanson sudah mengabari hasil tesnya?”Spontan, bilioner tersebut merogoh sakunya. Tangannya mengambil telepon gengam dan me
William kembali ke mansion saat jam kantor usai. Setelah memakan hidangan yang disiapkan Eddie, ia merasa lebih baik. Tak pernah ia mengira sekarang, ia jadi menyukai es krim dibanding teh herbal yang biasanya ia minum.Eddie turut mengantar William. Ia juga akan hadir pada pesta kejutan. Ruang keluarga mansion yang memiliki pemandangan taman di tengah kini menjadi ruang terbuka. Sacha sudah mengatur dekorasi cantik.“Dad!” pekik Louis menghampiri sang Daddy.William tersenyum. “Kalian sudah datang rupanya.”“Baru satu jam yang lalu,” balas Frederix yang juga menghampiri William. Ketiganya berpelukan hangat.“Terima kasih.” William duduk bersandar di sofa seraya mengamati dekorasi dan meja-meja panjang yang disusun untuk berbagai hidangan.“Kak Cha bilang, Daddy ngidam, ya?” tanya Louis yang kini duduk di samping sang Daddy.William mengangguk dan tersenyum sedikit.“Bagaimana rasanya, Dad?” Frederix ikut penasaran.“Terkadang baik-baik saja. Lalu tiba-tiba ada rasa mual, emosi, dan p
Hanson tersentak kaget. William bertanya sambil meminum air dingin. Matanya memang tetap memperhatikan Keyna yang sedang tertawa bahagia bersama putra-putrinya dan Ferina.“Bisakah kita bicarakan hal ini lain waktu saja? Aku tidak ingin moment kehamilan Keyna ini tercampur oleh berita-berita lain.” Hanson dengan cepat menemukan alasan.William menoleh menatap sang adik angkat. Kepalanya mengangguk setuju. “Iya, kamu benar juga.”Dokter spesialis jantung itu mengembuskan napas lega. William berjalan menjauhinya dan mendekati Keyna. Hanson segera mengambil minuman untuk membasahi tenggorakan yang sempat tercekat karena pertanyaan sang kakak angkat.“Hey,” sapa Sacha pada Hanson.“Hai, Cha.” Hanson membalas lalu memberikan satu gelas untuk keponakannya.“Sudah makan?”Hanson menggeleng. “Kamu?”“Belum. Yuk, makan sama-sama,” ajak Sacha, lalu wanita cantik itu meletakkan gelasnya dan dengan santai menggandeng tangan Hanson.Piring Hanson diisi berbagai makanan oleh Sacha. Lelaki itu pasra
William langsung berdiri menyambut sang istri. Kedua tangan lelaki itu menangkup pipi Keyna dan mengecup bibirnya. Kemudian merapikan rambut berantakan itu dengan jari-jarinya.“Mau makan apa, Baby?”“Apa pun yang kamu masak.”Bilioner itu terkekeh. “Baiklah. Mari kita ke dapur.”Pasangan suami-istri itu melambai pada Frederix dan Louis. William merangkul istrinya dan berjalan menuju kitchen island di dapur bersih mereka. Dengan hati-hati, lelaki itu mendudukkan istrinya di kursi tinggi. Sambil menunggu William masak, Keyna memakan anggur hitam yang berada di meja.“Aku sedih saat terbangun dan kamu tidak di sampingku tadi,” ucap Keyna.“Maaf, Baby.”“Apa Frederix dan Louis ada masalah dengan pekerjaan mereka?”“Tidak. Perusahaan Frederix malah mendapat proyek besar baru.”“Oh ya? Louis belum cerita padaku.”“Apa Louis memang selalu menceritakan apa pun padamu?”“Biasanya begitu. Tetapi, akhir-akhir ini memang berkurang.”“Iya, mungkin karena mereka bertambah sibuk.”Lalu, Keyna terdi
Keyna dan William keluar dari ruang periksa Dokter Nathalie. Wajah keduanya tampak sangat bahagia. Lalu, Keyna meminta izin suaminya untuk pergi ke kamar mandi. William memerintahkan pengawal wanita untuk ikut bersama istrinya. Saat Keyna ke kamar mandi, William kembali masuk ke dalam ruangan Dkter Nathalie. Sebelumnya mereka memang telah banyak berbicara melalui telepon. Dokter Nathalie tau bahwa William mengalami couvade syndrome. “Ya, Tuan William?” “Bagaimana penawaranku?” “Aku masih memikirkannya.” “Apa keberatanmu?” “Pasienku di sini.” William mendengus. “Semua dokter sama saja ternyata. Mengkhawatirkan pasien mereka, padahal bisa saja bisa dialihkan ke dokter lain.” Dokter Nathalie tersenyum mendengar pernyataan William. Ia pun telah mendengar sepak terjang sang bilioner yang keras kepala dan selalu menuntut keinginannya terpenuhi. “Kalau begitu, mengapa Keyna tidak Anda alihkan pada dokter kandungan lain saja, Tuan?” “Karena saya ingin Anda yang menangani istri saya,”
Bahkan Louis tidak bisa membuat Keyna membaik. Hingga sampai ke mansion, Keyna lebih banyak diam. Moodnya semakin memburuk saat keluarga Dalton mengingatkannya kembali pada Dahlia.Mungkin, hormon kehamilan membuat Keyna lebih sensitif. Ia mendengarkan sambil sesekali menghela napas berat saat William menceritakan tentang konsultasi pertama mereka dengan Dokter Nathalie.“Dokter Nathalie adalah anak pertama Professor Maxwell, kan, Dad?” tanya Frederix.“Betul,” jawab William. “Sama seperti ayahnya, Dokter Nathalie saat ini juga merupakan dokter kandungan yang cukup terkenal.”“Aku ingat Mommy menangis saat Professor Maxwell meninggal. Mommy bilang karena dia lah yang membantu kami ada di dunia,” cetus Louis.“Iya, aku juga ingat. Mommy sangat menyanjung Professor Maxwell,” timpal Sacha.“Memang dokter itu sangat baik. Apalagi, istrinya juga merupakan dokter anak. Jadi, sesaat setelah kalian lahir, kalian ditangani oleh istri Professor Maxwell,” balas William.Keyna tidak menyukai topi
William kembali ke kamar utama setelah menyelesaikan sarapan. Keyna masih berbaring dengan buku di tangan. Wanita melirik suaminya yang datang menghampiri."Aku akan berangkat sebentar lagi. Kamu perlu sesuatu, Baby?" tanya William seraya mengusap lembut rambut istrinya."Tidak," balas Keyna dengan senyum tipis."OK. Aku berangkat, ya. Bastian bilang, ia sudah menyiapkan hidangan di perpustakaan untukmu."Keyna mengangguk. Sebenarnya ada rasa kehilangan saat William berpamitan. Ia ingin bersama suaminya. Tetapi, ia tidak ingin menjadi wanita hamil yang manja pada suaminya.Mereka berpelukan. William memberikan banyak ciuman untuk dang istri. Lelaki itu bahkan mencium perut Keyna yang masih rata."Apa bayi baik-baik saja?""Tidak tau. Aku tidak merasakan apa pun."William mengusak pelan kepala istrinya. "Nikmati saja kehamilan ini. Hubungi aku kapan pun kamu mau bicara."Sekali lagi William menghujani wajah Keyna dengan ciuman kasih sayang. Ia lalu bergegas pergi sebelum hasratnya ters