Dini tidak bisa tidur malam itu. Pikirannya terus melayang pada ancaman Diana. Wanita itu memang licik, dan jika benar ia berniat merebut Dean, maka ini bukan sekadar masalah kecil. Dini tahu betapa Juan mencintai putranya. Jika hak asuh Dean sampai dipertaruhkan, Juan bisa kehilangan segalanya. Dini bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan keluar kamar. Ia memutuskan untuk mengecek Dean di kamarnya, memastikan anak itu tidur nyenyak. Dengan langkah pelan, ia membuka pintu dan melihat bocah kecil itu terlelap dengan pelukan erat pada boneka beruang kesayangannya. Namun, saat hendak menutup pintu kembali, suara berat terdengar dari belakang. “Dia anak yang kuat.” Dini tersentak dan menoleh. Juan berdiri di sana, mengenakan kaus hitam dan celana santai. Rambutnya agak berantakan, jelas ia juga belum tidur. “Kamu belum tidur?” tanya Dini pelan. Juan menggeleng, lalu berjalan menghampiri kamar Dean dan menatap putranya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Aku tidak bisa
Diana melangkah masuk tanpa diundang, seolah rumah ini masih menjadi miliknya. Tatapan matanya menusuk tajam ke arah Juan sebelum beralih pada Dini, yang masih berdiri di sudut ruangan dengan wajah tegang. “Diana,” suara Juan datar, berusaha menahan ketidaksukaannya. “Apa maumu?” Diana tersenyum miring. “Oh, Juan. Apa itu cara yang pantas untuk menyambut ibu dari anakmu?” Juan menghela napas panjang. “Kalau kamu datang untuk bertemu Dean, dia masih tidur. Aku bisa mengantarmu ke kamarnya sebentar, lalu kamu bisa pergi.” Diana mendekat dengan langkah penuh percaya diri. “Bukan itu yang aku inginkan.” Ia melirik Dini sekilas sebelum kembali menatap Juan. “Aku ingin kita bicara. Berdua.” Dini merasa seluruh tubuhnya menegang. Ia tidak ingin mendengar percakapan mereka, tetapi entah mengapa hatinya juga tak rela meninggalkan ruangan. Juan melirik Dini, seolah meminta pendapat. Dini, yang masih merasa goyah setelah ciuman mereka tadi, akhirnya berkata, “Aku akan ke dapur.” Te
Setelah kepergian Diana, rumah terasa lebih tenang. Namun, ketenangan itu hanya semu. Dini masih merasa gelisah. Kata-kata Diana terus terngiang di kepalanya. "Aku tidak akan diam saja. Aku akan mendapatkan kembali apa yang seharusnya milikku." Dini menggigit bibirnya. Dia tahu Diana bukan tipe wanita yang mudah menyerah. Entah apa yang akan dilakukan wanita itu selanjutnya. Sementara itu, Juan berusaha menenangkan Dini. Setelah kejadian malam itu, dia semakin terbuka tentang perasaannya. “Kamu tahu, Dini,” katanya saat mereka duduk di ruang kerja Juan, “aku sudah lama merasa nyaman denganmu. Tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya.” Dini menunduk, hatinya menghangat. “Aku juga, Juan. Aku hanya... tidak ingin berharap terlalu tinggi.” Juan tersenyum tipis. “Tidak perlu berharap. Aku sudah di sini.” Dini merasa pipinya memanas. Tapi sebelum ia sempat membalas, ponsel Juan berdering. Juan melihat layar ponselnya dan mengernyit. “Ini dari penyelidikku.” Dini langsung w
Pagi hari menyingsing dengan langit mendung, seolah-olah alam pun merasakan beratnya beban yang harus ditanggung. Di ruang kerja yang kini dipenuhi dokumen-dokumen dan laporan digital, Juan duduk termenung sambil memeriksa file demi file yang baru saja dikirim oleh tim penyelidikan. Di hadapannya, di atas meja kayu yang sudah mulai pudar warnanya, terdapat foto-foto, rekaman percakapan, dan bukti transaksi yang menunjukkan keterlibatan Sandi dan Kiranti dalam skema jahat yang dijalankan bersama Diana. Juan menekan tombol “Print” pada komputernya, dan sejenak suasana ruang kerja itu dipenuhi suara printer yang bekerja keras. Di sampingnya, Dini duduk dengan wajah muram. Mata Dini terpusat pada tumpukan dokumen, namun pikirannya melayang pada ingatan pahit masa lalu—ketika ia terlalu mudah percaya, ketika kebohongan mengoyak kepercayaannya. “Kita tidak bisa terus seperti ini,” ujar Juan tiba-tiba, memecah keheningan yang menghimpit. Suaranya tegas, namun di baliknya tersimpan kelelaha
Malam itu, angin berhembus kencang di luar rumah Juan, seolah membawa peringatan dari alam. Di dalam ruang tamu yang masih dipenuhi bayang-bayang kekacauan beberapa hari terakhir, Juan dan Dini duduk berhadapan dengan wajah serius. Setelah konspirasi Diana, Sandi, dan Kiranti terbongkar, dan ancaman hukum yang menggantung di udara, situasi rumah tidak pernah sepi. Meskipun petugas kepolisian telah menangkap beberapa kaki tangan Diana, ancaman itu masih menghantui setiap sudut. Juan membuka sebuah map besar berisi dokumen-dokumen dan bukti transaksi, sementara Dini memegang secarik kertas yang ditulis oleh Mira, berisi peringatan tentang aktivitas mencurigakan yang terus terjadi. "Kita harus memikirkan langkah selanjutnya dengan sangat hati-hati," ujar Juan dengan nada berat. Matanya menyipit, seolah mencoba membaca masa depan yang samar. Dini menunduk, kemudian berkata dengan lirih, "Aku tak pernah menyangka semua ini akan terjadi. Rasanya… seolah bayang-bayang masa lalu terus
Pagi itu, langit masih mendung, seakan mencerminkan perasaan yang berkecamuk di dalam rumah. Suasana di ruang tamu terasa tegang, meskipun usaha Juan dan Dini untuk menjaga ketenangan sudah terlihat. Di meja kayu yang penuh dengan dokumen dan catatan dari penyelidikan, tampak bukti-bukti yang terus menguatkan konspirasi yang dijalin oleh Diana bersama Sandi dan Kiranti. Juan duduk di depan laptop, keningnya berkerut saat ia meneliti setiap detail transaksi yang tertulis. Di sampingnya, Dini terdiam sambil menggenggam erat sebuah foto Dean yang baru-baru ini difoto oleh salah satu saksi. Foto itu menampilkan wajah polos Dean, namun ada kesedihan yang tersirat di balik mata kecilnya. Dini tahu, hak asuh Dean kini menjadi pertaruhan yang sangat serius. “Dini, aku baru saja menerima email dari pengacaraku,” ujar Juan dengan nada pelan namun tegas. “Mereka menyatakan bahwa bukti-bukti kita cukup kuat untuk mengajukan gugatan peninjauan kembali hak asuh. Tetapi, ini bukan hanya soal mem
Pagi itu, langit mendung seakan menjadi saksi bisu atas pertempuran yang akan segera dimulai. Di ruang pengadilan, suasana sangat tegang. Di antara para pengacara, saksi, dan pejabat pengadilan, ada satu kelompok yang tampak lebih waspada daripada yang lain. Juan dan Dini duduk bersebelahan di ruang tunggu, tangan mereka saling menggenggam erat. Mata mereka memancarkan tekad dan kekhawatiran yang tak terlukiskan. Di ruang tunggu, Dini masih teringat kembali percakapan kelam malam sebelumnya. Kata-kata Diana yang mengancam dan janji-janji licik dari Sandi dan Kiranti terukir dalam benaknya. Ia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya sekadar kata-kata kosong—semua itu sudah didokumentasikan dengan bukti digital yang akan segera dipresentasikan di persidangan. Tak lama kemudian, pengacara Juan, seorang pria berwibawa dengan mata tajam, berdiri dan memberi isyarat bahwa sidang akan segera dimulai. Ia menatap Juan sejenak, lalu berbisik kepada Dini, "Bersiaplah. Hari ini, kita akan memperliha
Malam itu, suasana di rumah Juan tampak sangat berbeda. Setelah sidang yang penuh dengan tekanan dan ancaman yang terus mengintai, semua orang berusaha mencari kelegaan di tengah kegelisahan yang melanda. Di ruang tamu yang remang, Juan dan Dini duduk bersebelahan di sofa, tangan mereka saling menggenggam erat seolah mencari kekuatan dari satu sama lain. Di luar, angin malam berhembus kencang, membawa tetesan hujan yang masih tersisa, menandakan bahwa badai belum sepenuhnya reda. Juan membuka percakapan dengan nada yang lembut namun sarat makna, "Dini, aku masih terus memikirkan setiap detail dari sidang tadi. Bukti yang kita kumpulkan sudah sangat kuat, tapi ancaman itu masih membayangi. Kita harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya." Dini menunduk, matanya berkaca-kaca. "Aku tahu, Juan. Aku takut… takut bahwa jika Diana dan sekutunya berhasil, semua yang telah kita bangun akan hancur. Aku takut Dean akan terjebak di tengah konflik ini." Juan menggenggam tanga
Mentari pagi menyinari rumah kecil mereka dengan kehangatan yang lembut. Burung-burung berkicau di luar jendela, membawa suasana yang damai. Hari ini adalah hari yang spesial, hari yang akan menjadi awal dari babak baru dalam kehidupan keluarga kecil mereka. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tangan Juan yang menggenggam tangannya dalam tidur. Ia menoleh dan melihat suaminya yang masih tertidur lelap di sampingnya, dengan napas yang teratur. Ia tersenyum, mengingat semua perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Tiba-tiba, sebuah suara kecil terdengar dari luar kamar mereka. “Mama! Papa! Bangun!” suara Dean terdengar ceria. Juan mengerjapkan matanya, lalu tersenyum ketika melihat Dini sudah terjaga. “Sepertinya kita harus bangun sebelum Dean menyerbu kamar kita,” katanya dengan suara serak karena baru bangun tidur. Dini terkekeh dan mengangguk. Mereka pun bangkit dan berjalan keluar kamar, di mana Dean sudah berdiri dengan wajah antusias. “Mama, Pa
Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar, membangunkan Dini yang masih terlelap di sisi Juan. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menoleh ke arah suaminya yang masih terlelap. Wajah Juan terlihat begitu damai dalam tidurnya, berbeda jauh dengan masa-masa ketika mereka harus menghadapi begitu banyak rintangan. Dini tersenyum, mengusap lembut wajah suaminya sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Usia kehamilannya kini telah memasuki bulan ke delapan, dan setiap harinya ia semakin menyadari bahwa hidup mereka akan segera berubah lagi. Saat ia berjalan ke ruang tamu, Dean sudah duduk di lantai dengan mainan-mainan berserakan di sekelilingnya. Bocah kecil itu menatapnya dengan senyum lebar. “Mama! Aku mimpi ketemu adikku tadi malam!” serunya penuh semangat. Dini terkekeh, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. “Oh ya? Bagaimana rupanya?” Dean mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Dia kecil, tapi lucu! Dan dia suka t
Matahari pagi menyinari rumah mereka dengan lembut, menandai awal hari yang baru. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan di sampingnya. Juan masih tertidur dengan wajah tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum kecil, lalu tanpa suara bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Dean sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai sambil bermain dengan mobil-mobilannya. Bocah kecil itu menoleh saat melihat ibunya dan langsung tersenyum lebar. “Mama! Lihat, mobilku bisa jalan sendiri!” katanya antusias, menunjukkan mobil mainan bertenaga baterai yang baru dibelikan Juan kemarin. Dini tertawa kecil dan mengusap kepala Dean. “Hebat, Dean! Tapi jangan berisik dulu, ya. Papa masih tidur.” Dean mengangguk cepat, lalu kembali sibuk dengan mainannya. Sementara itu, Dini menuju dapur, berniat membuat sarapan spesial untuk pagi ini. *** Setelah beberapa saat, aroma harum kopi dan roti panggang mulai menyebar ke seluruh rumah. Juan akhirnya bangun, ber
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar tidur Juan dan Dini, membangunkan mereka dengan hangatnya. Dini menggeliat pelan, merasa nyaman dalam dekapan suaminya yang masih terlelap. Ia menatap wajah Juan yang tenang saat tidur, lalu tersenyum kecil. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. “PAPA! MAMA! BANGUN!” Dean berlari masuk ke kamar mereka dengan penuh semangat, langsung memanjat tempat tidur dan melompat-lompat di antara mereka. Juan mengerang pelan, membuka satu matanya. “Dean… ini masih pagi…” keluhnya setengah sadar. “Tapi aku lapar!” protes Dean sambil memeluk Dini. “Mama, ayo masak sesuatu yang enak!” Dini tertawa dan mengacak rambut putranya. “Baiklah, baiklah. Mama masak, tapi Dean bantu, ya?” Dean mengangguk antusias, lalu menarik tangan mamanya untuk segera ke dapur. Juan hanya bisa menghela napas dan bangun perlahan, tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. *** Di dapur, Dini dan Dean sibuk membuat pancake. Dean, dengan cel
Matahari mulai condong ke barat saat Juan dan Dini tiba di rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu bersama di kafe, keduanya memutuskan untuk pulang lebih awal dan menghabiskan sore dengan Dean. Begitu mereka membuka pintu, suara tawa kecil Dean menggema di dalam rumah. Anak kecil itu berlari ke arah mereka dengan wajah ceria. “Mama! Papa!” seru Dean, tangannya terangkat meminta gendongan. Juan dengan sigap mengangkat Dean ke dalam pelukannya, lalu mengecup pipi mungilnya. “Bagaimana harimu, Nak? Apa kamu bermain dengan baik hari ini?” Dean mengangguk semangat. “Dean main sama Tante Rina! Dia ajarin Dean gambar!” Dini melirik ke ruang tamu dan melihat Rina, sahabatnya, sedang membereskan beberapa kertas gambar yang penuh dengan coretan warna-warni. “Terima kasih sudah menjaga Dean, Rin,” kata Dini sambil mendekati sahabatnya. Rina tersenyum. “Tidak masalah. Dean anak yang pintar dan ceria. Tapi dia terus bertanya kapan Mama dan Papa pulang.” Dini tertawa kecil lalu me
Pagi itu, Juan sudah berada di ruang kerjanya, sibuk membaca berkas-berkas kasus yang harus ditangani. Sebagai seorang pengacara handal, ia memang selalu disibukkan dengan berbagai klien, tetapi sejak menikah dengan Dini dan menjadi ayah bagi Dean, ia mulai menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar. Nama Dini muncul di layar, membuatnya tersenyum sebelum segera mengangkatnya. “Halo, sayang,” sapa Juan dengan suara lembut. “Juan, kamu sibuk?” tanya Dini di seberang telepon. “Tidak terlalu. Ada apa?” “Aku butuh bantuanmu… bukan, lebih tepatnya, aku butuh pendapatmu. Bisa ke butik sebentar?” Juan mengerutkan kening, sedikit penasaran. “Ada masalah?” “Bukan masalah, sih. Tapi aku ingin kamu melihat sesuatu. Ayolah, ini penting,” bujuk Dini. Juan menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan ke sana dalam lima belas menit.” Setelah merapikan berkas-berkasnya, Juan segera meninggalkan kantornya dan menuju
Pagi itu, Juan sudah berdiri di depan cermin, merapikan dasi dengan ekspresi serius. Sejak ia memutuskan untuk lebih seimbang antara karier dan keluarga, ada banyak hal yang harus ia atur. Namun, pagi ini terasa lebih spesial. Dini masuk ke kamar dengan secangkir kopi di tangan, menyandarkan tubuhnya di pintu sambil memperhatikan suaminya yang terlihat gagah dengan setelan jas. “Hari ini sidang penting, ya?” Juan menoleh, tersenyum, lalu mengambil cangkir dari tangan Dini. “Iya. Kasus ini cukup rumit, tapi aku yakin bisa menanganinya.” Dini mendekat, membetulkan kerah kemeja suaminya dengan penuh perhatian. “Aku yakin juga. Kamu selalu bisa menyelesaikan semua masalah dengan kepala dingin.” Juan tersenyum sambil mengecup kening Dini. “Terima kasih, sayang. Dukunganmu selalu jadi kekuatanku.” Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki kecil yang berlari menuju kamar mereka. Dean muncul di ambang pintu dengan piyama bergambar dinosaurus, matanya masih mengantuk. “Papa mau pergi?”
Pagi itu, matahari mulai naik, menerangi rumah kecil yang kini penuh kehangatan. Dini sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sarapan, sementara Juan masih sibuk di ruang kerjanya, membaca beberapa berkas kasus yang harus ia tangani. Di dapur, Dean yang sudah rapi dengan pakaian bermainnya duduk di kursi tinggi, menggoyang-goyangkan kakinya sambil menunggu sarapan. “Mama, hari ini kita mau ke mana?” tanyanya dengan penuh semangat. Dini tersenyum sambil menuangkan susu ke dalam gelas kecil. “Hari ini kita mau ke taman, sayang. Papa juga ikut.” Dean bersorak kecil. “Yeay! Papa ikut!” Juan, yang baru saja selesai dari ruang kerjanya, berjalan ke dapur dengan senyum mengembang. “Siapa yang senang Papa ikut?” tanyanya pura-pura tak tahu. Dean langsung turun dari kursinya dan berlari memeluk Juan. “Aku! Papa janji nggak kerja terus, kan?” Juan menggendong Dean dan mengacak-acak rambutnya dengan lembut. “Papa janji hari ini cuma buat Dean dan Mama.” Dini menatap mereka dengan se
Malam di rumah Juan dan Dini terasa begitu tenang. Setelah seharian menghabiskan waktu bersama Dean, mereka akhirnya bisa duduk berdua di ruang keluarga. Juan sedang membaca sebuah dokumen penting di laptopnya, sementara Dini sibuk menyulam kain dengan motif bunga yang cantik. “Besok kamu ada jadwal sidang lagi?” tanya Dini tanpa mengalihkan pandangannya dari sulamannya. Juan mengangguk. “Iya, kasus ini cukup besar. Aku harus memastikan semua bukti dan argumenku kuat. Lawan kita kali ini cukup licik.” Dini menatap Juan dengan khawatir. “Hati-hati, ya. Kamu tahu aku selalu mendukungmu, tapi aku juga nggak mau kamu terlalu terbebani.” Juan tersenyum, lalu menutup laptopnya dan mendekat ke arah Dini. “Aku tahu. Kamu selalu jadi alasan kenapa aku bisa bekerja dengan baik. Aku nggak akan berlebihan, janji.” Dini tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Juan. “Baiklah. Aku percaya padamu.” *** Keesokan paginya, Juan berangkat lebih awal ke kantornya. Saat tiba, ia