Dini terjaga lebih awal dari biasanya. Hatinya masih berdebar saat mengingat kejadian tadi malam. Ciuman itu… sentuhan Juan… semuanya terasa nyata dan membingungkan. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba mengumpulkan pikirannya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk. "Dini, boleh aku masuk?" Itu suara Juan. Dini menarik napas dalam, lalu mengangguk meski tahu pria itu tidak bisa melihatnya. “Masuklah.” Juan melangkah masuk dengan tatapan lembut namun serius. "Aku tahu ini sulit bagimu, tapi aku ingin mendengar langsung darimu," ucapnya sambil duduk di sofa dekat ranjang. "Apa kamu benar-benar ingin pergi?" Dini mengigit bibirnya. "Aku tidak tahu, Juan. Aku takut jika aku tetap di sini, aku akan semakin terikat." Juan tersenyum tipis. "Apa itu sesuatu yang buruk?" Dini menatapnya, berusaha mencari jawaban yang tepat. Ia membuka mulut untuk bicara, tapi sebelum sempat mengatakan sesuatu, suara ponsel Juan berdering. Pria itu mel
Hujan masih turun deras di luar, membasahi kaca jendela kamar Dini. Cahaya redup dari lampu tidur membuat bayangan mereka berdua terpantul samar di cermin di sudut ruangan. Juan masih belum melepaskan pelukannya, seolah takut Dini akan menghilang jika ia melonggarkan genggamannya. Dini menghela napas dalam, mencoba meredakan detak jantungnya yang masih tak beraturan. Ia ingin membalas pelukan itu, ingin mempercayai kata-kata Juan, tetapi ketakutan dalam dirinya menahan semua itu. "Juan..." Suaranya lirih, hampir tenggelam dalam suara hujan. "Hm?" Juan tidak bergerak, masih tenggelam dalam aroma lembut tubuh Dini yang membuatnya tenang. "Aku... Aku takut," akhirnya Dini mengaku. Juan melonggarkan pelukannya, menatap wajah Dini yang dipenuhi keraguan. "Takut apa?" "Takut jika aku semakin dekat denganmu, maka aku hanya akan membawa masalah dalam hidupmu." Juan tersenyum kecil, menangkup wajah Dini dengan kedua tangannya. "Masalah itu sudah ada sejak lama, Sayang. Justru kam
Dini hampir tak bisa bernapas ketika melihat beberapa pria bertopeng mulai mendekat. Jantungnya berdegup begitu kencang, dan ia bisa merasakan Juan yang berdiri di depannya menegang, bersiap menghadapi ancaman. "Kamu seharusnya nggak datang, Dini," gumam Juan dengan nada penuh kecemasan, tanpa menoleh padanya. "T-tapi aku khawatir..." suara Dini bergetar, matanya terpaku pada pria-pria yang membawa tongkat besi dan kayu. Diana tertawa kecil di belakang mereka. "Aduh, betapa romantis. Kamu bahkan nekat datang demi Juan, Dini? Sayang sekali, karena sekarang kamu ikut masuk dalam masalah ini." Salah satu pria bertopeng melangkah maju, mengayunkan tongkatnya ke arah Juan. Pria itu menghindar dengan cepat, namun serangan berikutnya datang dengan lebih brutal. Juan berhasil menangkis satu pukulan, tetapi dua pria lainnya langsung ikut menyerang. Juan melawan dengan sengit, tinjunya menghantam salah satu pria di perut hingga orang itu mundur sambil meringis. Namun, lawan yang lain
Pagi itu, suasana di rumah Juan terasa lebih tenang. Dean berlari-lari kecil di ruang tamu dengan mainannya, sementara Dini menyiapkan sarapan di dapur. Ia mulai terbiasa dengan ritme baru dalam hidupnya, meskipun di hatinya masih ada sedikit keraguan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Juan melangkah masuk ke dapur, mengenakan kemeja santai dengan rambut yang masih sedikit basah setelah mandi. Ia tersenyum saat melihat Dini sibuk mengaduk sup di atas kompor. "Kamu kelihatan nyaman di sini," ujar Juan, mengambil cangkir kopi dan duduk di dekat meja. Dini meliriknya sekilas, lalu tersenyum kecil. "Mungkin aku memang sudah terlalu terbiasa di rumah ini." Juan mengangkat alis. "Kalau begitu, kenapa tidak menetap?" Dini terdiam. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Sejak kejadian dengan Diana dan segala kekacauan yang terjadi, Juan semakin sering menunjukkan bahwa ia ingin Dini tetap ada di sisinya. "Aku belum tahu, Juan," ujar Dini jujur. "Aku masih harus memikirkan b
Keesokan paginya, Dini terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Kenangan tentang ciuman Juan semalam masih melekat jelas di benaknya. Ia bisa merasakan getaran aneh di dadanya setiap kali mengingat bagaimana pria itu menatapnya dengan penuh perasaan. Namun, Dini sadar, perasaannya terhadap Juan bukanlah sesuatu yang sederhana. Ada Dean di antara mereka. Ada masa lalu Juan yang masih menghantui, terutama dengan kehadiran Diana yang belum menunjukkan tanda-tanda akan menyerah begitu saja. Dini menghela napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidur dan segera bersiap untuk memulai hari. Namun, sebelum ia sempat keluar kamar, suara ketukan terdengar dari pintu. “Dini?” Suara Juan. Dini membuka pintu dan mendapati pria itu berdiri di sana dengan ekspresi lembut. “Selamat pagi,” katanya. “Pagi,” Dini menjawab, berusaha menghindari tatapan Juan karena ia tahu pipinya pasti sudah memerah. Juan tersenyum kecil, seolah mengetahui apa yang sedang Dini rasakan. “Aku ingin bicara de
Dini tidak bisa tidur malam itu. Pikirannya terus melayang pada ancaman Diana. Wanita itu memang licik, dan jika benar ia berniat merebut Dean, maka ini bukan sekadar masalah kecil. Dini tahu betapa Juan mencintai putranya. Jika hak asuh Dean sampai dipertaruhkan, Juan bisa kehilangan segalanya. Dini bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan keluar kamar. Ia memutuskan untuk mengecek Dean di kamarnya, memastikan anak itu tidur nyenyak. Dengan langkah pelan, ia membuka pintu dan melihat bocah kecil itu terlelap dengan pelukan erat pada boneka beruang kesayangannya. Namun, saat hendak menutup pintu kembali, suara berat terdengar dari belakang. “Dia anak yang kuat.” Dini tersentak dan menoleh. Juan berdiri di sana, mengenakan kaus hitam dan celana santai. Rambutnya agak berantakan, jelas ia juga belum tidur. “Kamu belum tidur?” tanya Dini pelan. Juan menggeleng, lalu berjalan menghampiri kamar Dean dan menatap putranya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Aku tidak bisa
Diana melangkah masuk tanpa diundang, seolah rumah ini masih menjadi miliknya. Tatapan matanya menusuk tajam ke arah Juan sebelum beralih pada Dini, yang masih berdiri di sudut ruangan dengan wajah tegang. “Diana,” suara Juan datar, berusaha menahan ketidaksukaannya. “Apa maumu?” Diana tersenyum miring. “Oh, Juan. Apa itu cara yang pantas untuk menyambut ibu dari anakmu?” Juan menghela napas panjang. “Kalau kamu datang untuk bertemu Dean, dia masih tidur. Aku bisa mengantarmu ke kamarnya sebentar, lalu kamu bisa pergi.” Diana mendekat dengan langkah penuh percaya diri. “Bukan itu yang aku inginkan.” Ia melirik Dini sekilas sebelum kembali menatap Juan. “Aku ingin kita bicara. Berdua.” Dini merasa seluruh tubuhnya menegang. Ia tidak ingin mendengar percakapan mereka, tetapi entah mengapa hatinya juga tak rela meninggalkan ruangan. Juan melirik Dini, seolah meminta pendapat. Dini, yang masih merasa goyah setelah ciuman mereka tadi, akhirnya berkata, “Aku akan ke dapur.” Te
Setelah kepergian Diana, rumah terasa lebih tenang. Namun, ketenangan itu hanya semu. Dini masih merasa gelisah. Kata-kata Diana terus terngiang di kepalanya. "Aku tidak akan diam saja. Aku akan mendapatkan kembali apa yang seharusnya milikku." Dini menggigit bibirnya. Dia tahu Diana bukan tipe wanita yang mudah menyerah. Entah apa yang akan dilakukan wanita itu selanjutnya. Sementara itu, Juan berusaha menenangkan Dini. Setelah kejadian malam itu, dia semakin terbuka tentang perasaannya. “Kamu tahu, Dini,” katanya saat mereka duduk di ruang kerja Juan, “aku sudah lama merasa nyaman denganmu. Tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya.” Dini menunduk, hatinya menghangat. “Aku juga, Juan. Aku hanya... tidak ingin berharap terlalu tinggi.” Juan tersenyum tipis. “Tidak perlu berharap. Aku sudah di sini.” Dini merasa pipinya memanas. Tapi sebelum ia sempat membalas, ponsel Juan berdering. Juan melihat layar ponselnya dan mengernyit. “Ini dari penyelidikku.” Dini langsung w
Mentari pagi menyinari rumah kecil mereka dengan kehangatan yang lembut. Burung-burung berkicau di luar jendela, membawa suasana yang damai. Hari ini adalah hari yang spesial, hari yang akan menjadi awal dari babak baru dalam kehidupan keluarga kecil mereka. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tangan Juan yang menggenggam tangannya dalam tidur. Ia menoleh dan melihat suaminya yang masih tertidur lelap di sampingnya, dengan napas yang teratur. Ia tersenyum, mengingat semua perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Tiba-tiba, sebuah suara kecil terdengar dari luar kamar mereka. “Mama! Papa! Bangun!” suara Dean terdengar ceria. Juan mengerjapkan matanya, lalu tersenyum ketika melihat Dini sudah terjaga. “Sepertinya kita harus bangun sebelum Dean menyerbu kamar kita,” katanya dengan suara serak karena baru bangun tidur. Dini terkekeh dan mengangguk. Mereka pun bangkit dan berjalan keluar kamar, di mana Dean sudah berdiri dengan wajah antusias. “Mama, Pa
Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar, membangunkan Dini yang masih terlelap di sisi Juan. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menoleh ke arah suaminya yang masih terlelap. Wajah Juan terlihat begitu damai dalam tidurnya, berbeda jauh dengan masa-masa ketika mereka harus menghadapi begitu banyak rintangan. Dini tersenyum, mengusap lembut wajah suaminya sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Usia kehamilannya kini telah memasuki bulan ke delapan, dan setiap harinya ia semakin menyadari bahwa hidup mereka akan segera berubah lagi. Saat ia berjalan ke ruang tamu, Dean sudah duduk di lantai dengan mainan-mainan berserakan di sekelilingnya. Bocah kecil itu menatapnya dengan senyum lebar. “Mama! Aku mimpi ketemu adikku tadi malam!” serunya penuh semangat. Dini terkekeh, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. “Oh ya? Bagaimana rupanya?” Dean mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Dia kecil, tapi lucu! Dan dia suka t
Matahari pagi menyinari rumah mereka dengan lembut, menandai awal hari yang baru. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan di sampingnya. Juan masih tertidur dengan wajah tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum kecil, lalu tanpa suara bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Dean sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai sambil bermain dengan mobil-mobilannya. Bocah kecil itu menoleh saat melihat ibunya dan langsung tersenyum lebar. “Mama! Lihat, mobilku bisa jalan sendiri!” katanya antusias, menunjukkan mobil mainan bertenaga baterai yang baru dibelikan Juan kemarin. Dini tertawa kecil dan mengusap kepala Dean. “Hebat, Dean! Tapi jangan berisik dulu, ya. Papa masih tidur.” Dean mengangguk cepat, lalu kembali sibuk dengan mainannya. Sementara itu, Dini menuju dapur, berniat membuat sarapan spesial untuk pagi ini. *** Setelah beberapa saat, aroma harum kopi dan roti panggang mulai menyebar ke seluruh rumah. Juan akhirnya bangun, ber
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar tidur Juan dan Dini, membangunkan mereka dengan hangatnya. Dini menggeliat pelan, merasa nyaman dalam dekapan suaminya yang masih terlelap. Ia menatap wajah Juan yang tenang saat tidur, lalu tersenyum kecil. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. “PAPA! MAMA! BANGUN!” Dean berlari masuk ke kamar mereka dengan penuh semangat, langsung memanjat tempat tidur dan melompat-lompat di antara mereka. Juan mengerang pelan, membuka satu matanya. “Dean… ini masih pagi…” keluhnya setengah sadar. “Tapi aku lapar!” protes Dean sambil memeluk Dini. “Mama, ayo masak sesuatu yang enak!” Dini tertawa dan mengacak rambut putranya. “Baiklah, baiklah. Mama masak, tapi Dean bantu, ya?” Dean mengangguk antusias, lalu menarik tangan mamanya untuk segera ke dapur. Juan hanya bisa menghela napas dan bangun perlahan, tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. *** Di dapur, Dini dan Dean sibuk membuat pancake. Dean, dengan cel
Matahari mulai condong ke barat saat Juan dan Dini tiba di rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu bersama di kafe, keduanya memutuskan untuk pulang lebih awal dan menghabiskan sore dengan Dean. Begitu mereka membuka pintu, suara tawa kecil Dean menggema di dalam rumah. Anak kecil itu berlari ke arah mereka dengan wajah ceria. “Mama! Papa!” seru Dean, tangannya terangkat meminta gendongan. Juan dengan sigap mengangkat Dean ke dalam pelukannya, lalu mengecup pipi mungilnya. “Bagaimana harimu, Nak? Apa kamu bermain dengan baik hari ini?” Dean mengangguk semangat. “Dean main sama Tante Rina! Dia ajarin Dean gambar!” Dini melirik ke ruang tamu dan melihat Rina, sahabatnya, sedang membereskan beberapa kertas gambar yang penuh dengan coretan warna-warni. “Terima kasih sudah menjaga Dean, Rin,” kata Dini sambil mendekati sahabatnya. Rina tersenyum. “Tidak masalah. Dean anak yang pintar dan ceria. Tapi dia terus bertanya kapan Mama dan Papa pulang.” Dini tertawa kecil lalu me
Pagi itu, Juan sudah berada di ruang kerjanya, sibuk membaca berkas-berkas kasus yang harus ditangani. Sebagai seorang pengacara handal, ia memang selalu disibukkan dengan berbagai klien, tetapi sejak menikah dengan Dini dan menjadi ayah bagi Dean, ia mulai menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar. Nama Dini muncul di layar, membuatnya tersenyum sebelum segera mengangkatnya. “Halo, sayang,” sapa Juan dengan suara lembut. “Juan, kamu sibuk?” tanya Dini di seberang telepon. “Tidak terlalu. Ada apa?” “Aku butuh bantuanmu… bukan, lebih tepatnya, aku butuh pendapatmu. Bisa ke butik sebentar?” Juan mengerutkan kening, sedikit penasaran. “Ada masalah?” “Bukan masalah, sih. Tapi aku ingin kamu melihat sesuatu. Ayolah, ini penting,” bujuk Dini. Juan menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan ke sana dalam lima belas menit.” Setelah merapikan berkas-berkasnya, Juan segera meninggalkan kantornya dan menuju
Pagi itu, Juan sudah berdiri di depan cermin, merapikan dasi dengan ekspresi serius. Sejak ia memutuskan untuk lebih seimbang antara karier dan keluarga, ada banyak hal yang harus ia atur. Namun, pagi ini terasa lebih spesial. Dini masuk ke kamar dengan secangkir kopi di tangan, menyandarkan tubuhnya di pintu sambil memperhatikan suaminya yang terlihat gagah dengan setelan jas. “Hari ini sidang penting, ya?” Juan menoleh, tersenyum, lalu mengambil cangkir dari tangan Dini. “Iya. Kasus ini cukup rumit, tapi aku yakin bisa menanganinya.” Dini mendekat, membetulkan kerah kemeja suaminya dengan penuh perhatian. “Aku yakin juga. Kamu selalu bisa menyelesaikan semua masalah dengan kepala dingin.” Juan tersenyum sambil mengecup kening Dini. “Terima kasih, sayang. Dukunganmu selalu jadi kekuatanku.” Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki kecil yang berlari menuju kamar mereka. Dean muncul di ambang pintu dengan piyama bergambar dinosaurus, matanya masih mengantuk. “Papa mau pergi?”
Pagi itu, matahari mulai naik, menerangi rumah kecil yang kini penuh kehangatan. Dini sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sarapan, sementara Juan masih sibuk di ruang kerjanya, membaca beberapa berkas kasus yang harus ia tangani. Di dapur, Dean yang sudah rapi dengan pakaian bermainnya duduk di kursi tinggi, menggoyang-goyangkan kakinya sambil menunggu sarapan. “Mama, hari ini kita mau ke mana?” tanyanya dengan penuh semangat. Dini tersenyum sambil menuangkan susu ke dalam gelas kecil. “Hari ini kita mau ke taman, sayang. Papa juga ikut.” Dean bersorak kecil. “Yeay! Papa ikut!” Juan, yang baru saja selesai dari ruang kerjanya, berjalan ke dapur dengan senyum mengembang. “Siapa yang senang Papa ikut?” tanyanya pura-pura tak tahu. Dean langsung turun dari kursinya dan berlari memeluk Juan. “Aku! Papa janji nggak kerja terus, kan?” Juan menggendong Dean dan mengacak-acak rambutnya dengan lembut. “Papa janji hari ini cuma buat Dean dan Mama.” Dini menatap mereka dengan se
Malam di rumah Juan dan Dini terasa begitu tenang. Setelah seharian menghabiskan waktu bersama Dean, mereka akhirnya bisa duduk berdua di ruang keluarga. Juan sedang membaca sebuah dokumen penting di laptopnya, sementara Dini sibuk menyulam kain dengan motif bunga yang cantik. “Besok kamu ada jadwal sidang lagi?” tanya Dini tanpa mengalihkan pandangannya dari sulamannya. Juan mengangguk. “Iya, kasus ini cukup besar. Aku harus memastikan semua bukti dan argumenku kuat. Lawan kita kali ini cukup licik.” Dini menatap Juan dengan khawatir. “Hati-hati, ya. Kamu tahu aku selalu mendukungmu, tapi aku juga nggak mau kamu terlalu terbebani.” Juan tersenyum, lalu menutup laptopnya dan mendekat ke arah Dini. “Aku tahu. Kamu selalu jadi alasan kenapa aku bisa bekerja dengan baik. Aku nggak akan berlebihan, janji.” Dini tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Juan. “Baiklah. Aku percaya padamu.” *** Keesokan paginya, Juan berangkat lebih awal ke kantornya. Saat tiba, ia