Dini menyadari satu hal—ia tidak boleh terjebak di sini terlalu lama. Tidak setelah ia melihat bagaimana ekspresi Sandi yang semakin gelap dan penuh perhitungan. _"Kamu benar-benar keterlaluan, Sandi,"_ ucap Dini, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdetak cepat. Sandi menyeringai. "Kamu terlalu baik, Dini. Terlalu mudah percaya." Bu Marlinah, yang tadinya tampak lemah, kini duduk tegak. Wajahnya yang berpura-pura kesakitan kini berubah sinis. "Dulu kamu begitu mudah dibodohi, Dini. Aku pikir kali ini pun akan sama." Dini merasa darahnya mendidih. Ia bukan lagi perempuan lemah yang dulu bisa mereka tipu begitu saja. _"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?"_ tanyanya dingin. Sandi melangkah lebih dekat, kali ini tanpa basa-basi. "Uang. Dan kamu akan membantuku mendapatkannya." Dini menggeleng. "Aku tidak punya uang sebanyak itu." Sandi mencibir. "Tapi Juan punya. Dan kamu bisa memanfaatkannya." Dini menahan napas. Jadi ini rencana mereka? Memanfaatkannya
Juan menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. Dini menunggu dengan hati berdebar, berusaha membaca ekspresi pria itu. "Diana, ada apa?" suara Juan terdengar datar, jelas tak ingin berbasa-basi. Dari seberang, suara wanita itu terdengar manja. "Juan, aku ingin bertemu. Kita harus bicara." "Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan," balas Juan tegas. Diana tertawa kecil, terdengar puas. "Oh, kamu pasti ingin mendengar ini, Juan. Ini tentang Dean... dan tentang masa depan kita." Mata Juan menyipit. "Jangan libatkan Dean dalam permainanmu, Diana." "Terlalu terlambat," balas Diana ringan. "Aku sudah mempersiapkan semuanya. Jika kamu tidak mau bertemu denganku, aku mungkin akan mengambil langkah yang lebih drastis." Dini yang sedari tadi diam mulai merasa gelisah. Ia tidak bisa mendengar isi pembicaraan, tapi sorot mata Juan mengatakan semuanya—ini bukan kabar baik. Setelah beberapa detik hening, Juan akhirnya menjawab dengan suara dingin. "Di m
Keesokan paginya, Dini bangun dengan perasaan gelisah. Ia masih mengingat percakapannya dengan Juan semalam—tentang Diana, tentang Dean, tentang segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Saat ia turun ke dapur, Mira sedang menyiapkan sarapan. Wanita itu menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi, Mbak Dini. Pak Juan sudah pergi ke kantor.” Dini mengangguk pelan, pikirannya masih melayang. Ia duduk di kursi dan menatap secangkir teh yang sudah disiapkan Mira. “Ada yang mengganggu pikiranmu, Mbak?” tanya Mira hati-hati. Dini menghela napas. “Aku hanya… memikirkan sesuatu.” Mira menatapnya penuh selidik, lalu mendekat. “Ini soal Diana, kan?” Dini menegang. “Mira tahu?” Mira mengangguk. “Aku melihat bagaimana dia berusaha mendekati Pak Juan lagi. Dan kemarin malam, aku juga melihat dia berdiri di depan kamar Pak Juan cukup lama sebelum akhirnya pergi. Dia tidak akan menyerah begitu saja.” Dini menggigit bibirnya. “Aku juga berpikir begitu. Tapi aku dan Juan akan mencari
Dini berjalan cepat meninggalkan kamar Juan. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Seharusnya ia tidak pergi ke sana, seharusnya ia tidak peduli. Namun, kenyataannya, hatinya justru terasa remuk setelah melihat Diana di kamar Juan dengan pakaian tidurnya yang menggoda. Saat tiba di kamarnya, Dini menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya ke sana. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Apa yang baru saja ia lihat? Apakah Juan benar-benar masih menginginkan Diana? Ia menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran itu. Tidak. Juan bukan tipe pria seperti itu. Tapi… kalau memang begitu, kenapa Diana bisa ada di sana? Kenapa Juan tidak mengusirnya sejak awal? Dini ingin percaya pada Juan, tapi bayangan Diana yang tersenyum sambil menyentuh bahu Juan terus menghantuinya. *** Sementara itu, di kamar Juan, pria itu menghempaskan tangan Diana dengan kasar. “Kamu pikir aku bodoh, Diana?” tatapan Juan tajam, penuh kemarahan. “Apa yang kamu rencanakan?” Diana mendesah dramatis. “Aku tidak m
Dini berdiri membeku di tempatnya. Dadanya naik turun, matanya menatap Juan dengan kebingungan. “Pak Juan… jangan seperti ini…” suaranya bergetar. Tapi Juan tidak peduli. Pria itu menatapnya dengan penuh emosi, matanya gelap oleh perasaan yang tak bisa lagi ia kendalikan. “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi, Dini,” bisiknya lirih, sebelum tangannya menarik pinggang Dini mendekat. Dini mencoba mundur, tapi Juan lebih cepat. Dalam satu gerakan, bibirnya sudah menyentuh bibir Dini, menahan segala keraguan dan ketakutan wanita itu dalam ciumannya. Dini membelalakkan mata, terkejut dengan tindakan pria itu. Tapi yang lebih mengejutkan, tubuhnya tidak bisa bergerak, seakan kehilangan kekuatan untuk menolaknya. Ciuman itu lembut, penuh kehangatan, namun juga dipenuhi dengan rasa takut kehilangan. Dini bisa merasakan bagaimana Juan berusaha menahan dirinya agar tidak semakin larut. Saat akhirnya Juan menarik diri, napas mereka berdua terengah-engah. Dini menyentuh bibirnya send
Dini terduduk di tepi ranjang, jantungnya masih berdegup kencang setelah ciuman tadi. Napasnya memburu, dan pikirannya berantakan. Juan masih berdiri di depannya, matanya menatap dalam, penuh dengan sesuatu yang tak bisa Dini artikan. "Aku tahu ini mendadak... tapi aku tidak ingin kehilanganmu," suara Juan nyaris seperti bisikan, tapi mengandung ketegasan yang membuat Dini tak bisa mengalihkan pandangannya. Dini menelan ludah, mencoba mencari kata-kata. "Tapi aku..." "Kalau alasanmu pergi adalah karena aku, maka biarkan aku memperbaikinya," potong Juan cepat. Dini menggeleng. "Bukan itu. Aku hanya... Aku takut, Juan." Juan berlutut di depannya, menggenggam tangannya dengan hangat. "Takut apa?" "Takut jika aku semakin terjebak dalam perasaan yang tidak seharusnya," lirih Dini. Juan tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan kesedihan. "Lalu bagaimana jika aku mengatakan perasaan ini seharusnya ada? Jika aku bilang aku menginginkanmu bukan hanya sebagai pengasuh Dean
Kiranti menunduk, tampaknya berjuang dengan kata-kata yang hendak keluar dari mulutnya. Akhirnya, ia menghela napas panjang dan berkata, “Sandi berutang pada seorang pemilik tanah, yang juga punya hubungan dengan orang-orang yang tidak baik. Jika dia tidak bisa membayar dalam waktu yang ditentukan, mereka akan datang untuk menagih dengan cara yang... kejam.” Dini merasakan tubuhnya kaku mendengar kalimat itu. Orang-orang berbahaya, hutang, ancaman kekerasan... Ini semua tidak ada hubungannya dengan hidup yang ia inginkan. Dulu, saat ia memutuskan untuk berpisah dengan Sandi, ia berpikir bahwa ia telah meninggalkan semua masalah itu di belakang. Tapi sekarang, masalah itu datang lagi, mengancam untuk menghancurkan segala yang telah ia bangun setelah berpisah dengan pria itu. Dini menoleh ke Juan, matanya mencari dukungan. Juan mengangguk perlahan, seakan mengerti apa yang ia rasakan. “Kita akan bantu, tapi hanya jika kau memberikan penjelasan lebih lengkap tentang siapa orang-orang i
Juan duduk di ruang kerjanya dengan wajah serius. Matanya tajam menatap layar laptop di depannya, sesekali tangannya mengetik pesan di ponselnya. Ia tidak bisa lagi hanya berdiam diri. Terlalu banyak hal yang mencurigakan sejak Kiranti tiba-tiba muncul, dan kini ia mulai merangkai benang merah antara Sandi, Kiranti, dan Diana. “Aku butuh laporan lengkap tentang Kiranti dan Sandi. Segera,” perintahnya kepada seseorang di telepon. Suara di ujung sana menjawab dengan tegas, “Akan segera kami urus, Pak Juan. Kami juga akan mencari tahu apakah mereka benar-benar terhubung dengan Diana.” Juan menutup telepon dan menghela napas panjang. Ia bukan orang yang mudah percaya, apalagi jika menyangkut orang-orang yang berusaha mendekati Dini. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar masalah hutang-piutang Sandi. Tak lama kemudian, Dini mengetuk pintu ruang kerja Juan dan masuk dengan wajah cemas. “Juan, kamu terlihat tegang. Ada apa?” Juan menatapnya sejenak, ragu a
Mentari pagi menyinari rumah kecil mereka dengan kehangatan yang lembut. Burung-burung berkicau di luar jendela, membawa suasana yang damai. Hari ini adalah hari yang spesial, hari yang akan menjadi awal dari babak baru dalam kehidupan keluarga kecil mereka. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tangan Juan yang menggenggam tangannya dalam tidur. Ia menoleh dan melihat suaminya yang masih tertidur lelap di sampingnya, dengan napas yang teratur. Ia tersenyum, mengingat semua perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Tiba-tiba, sebuah suara kecil terdengar dari luar kamar mereka. “Mama! Papa! Bangun!” suara Dean terdengar ceria. Juan mengerjapkan matanya, lalu tersenyum ketika melihat Dini sudah terjaga. “Sepertinya kita harus bangun sebelum Dean menyerbu kamar kita,” katanya dengan suara serak karena baru bangun tidur. Dini terkekeh dan mengangguk. Mereka pun bangkit dan berjalan keluar kamar, di mana Dean sudah berdiri dengan wajah antusias. “Mama, Pa
Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar, membangunkan Dini yang masih terlelap di sisi Juan. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menoleh ke arah suaminya yang masih terlelap. Wajah Juan terlihat begitu damai dalam tidurnya, berbeda jauh dengan masa-masa ketika mereka harus menghadapi begitu banyak rintangan. Dini tersenyum, mengusap lembut wajah suaminya sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Usia kehamilannya kini telah memasuki bulan ke delapan, dan setiap harinya ia semakin menyadari bahwa hidup mereka akan segera berubah lagi. Saat ia berjalan ke ruang tamu, Dean sudah duduk di lantai dengan mainan-mainan berserakan di sekelilingnya. Bocah kecil itu menatapnya dengan senyum lebar. “Mama! Aku mimpi ketemu adikku tadi malam!” serunya penuh semangat. Dini terkekeh, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. “Oh ya? Bagaimana rupanya?” Dean mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Dia kecil, tapi lucu! Dan dia suka t
Matahari pagi menyinari rumah mereka dengan lembut, menandai awal hari yang baru. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan di sampingnya. Juan masih tertidur dengan wajah tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum kecil, lalu tanpa suara bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Dean sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai sambil bermain dengan mobil-mobilannya. Bocah kecil itu menoleh saat melihat ibunya dan langsung tersenyum lebar. “Mama! Lihat, mobilku bisa jalan sendiri!” katanya antusias, menunjukkan mobil mainan bertenaga baterai yang baru dibelikan Juan kemarin. Dini tertawa kecil dan mengusap kepala Dean. “Hebat, Dean! Tapi jangan berisik dulu, ya. Papa masih tidur.” Dean mengangguk cepat, lalu kembali sibuk dengan mainannya. Sementara itu, Dini menuju dapur, berniat membuat sarapan spesial untuk pagi ini. *** Setelah beberapa saat, aroma harum kopi dan roti panggang mulai menyebar ke seluruh rumah. Juan akhirnya bangun, ber
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar tidur Juan dan Dini, membangunkan mereka dengan hangatnya. Dini menggeliat pelan, merasa nyaman dalam dekapan suaminya yang masih terlelap. Ia menatap wajah Juan yang tenang saat tidur, lalu tersenyum kecil. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. “PAPA! MAMA! BANGUN!” Dean berlari masuk ke kamar mereka dengan penuh semangat, langsung memanjat tempat tidur dan melompat-lompat di antara mereka. Juan mengerang pelan, membuka satu matanya. “Dean… ini masih pagi…” keluhnya setengah sadar. “Tapi aku lapar!” protes Dean sambil memeluk Dini. “Mama, ayo masak sesuatu yang enak!” Dini tertawa dan mengacak rambut putranya. “Baiklah, baiklah. Mama masak, tapi Dean bantu, ya?” Dean mengangguk antusias, lalu menarik tangan mamanya untuk segera ke dapur. Juan hanya bisa menghela napas dan bangun perlahan, tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. *** Di dapur, Dini dan Dean sibuk membuat pancake. Dean, dengan cel
Matahari mulai condong ke barat saat Juan dan Dini tiba di rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu bersama di kafe, keduanya memutuskan untuk pulang lebih awal dan menghabiskan sore dengan Dean. Begitu mereka membuka pintu, suara tawa kecil Dean menggema di dalam rumah. Anak kecil itu berlari ke arah mereka dengan wajah ceria. “Mama! Papa!” seru Dean, tangannya terangkat meminta gendongan. Juan dengan sigap mengangkat Dean ke dalam pelukannya, lalu mengecup pipi mungilnya. “Bagaimana harimu, Nak? Apa kamu bermain dengan baik hari ini?” Dean mengangguk semangat. “Dean main sama Tante Rina! Dia ajarin Dean gambar!” Dini melirik ke ruang tamu dan melihat Rina, sahabatnya, sedang membereskan beberapa kertas gambar yang penuh dengan coretan warna-warni. “Terima kasih sudah menjaga Dean, Rin,” kata Dini sambil mendekati sahabatnya. Rina tersenyum. “Tidak masalah. Dean anak yang pintar dan ceria. Tapi dia terus bertanya kapan Mama dan Papa pulang.” Dini tertawa kecil lalu me
Pagi itu, Juan sudah berada di ruang kerjanya, sibuk membaca berkas-berkas kasus yang harus ditangani. Sebagai seorang pengacara handal, ia memang selalu disibukkan dengan berbagai klien, tetapi sejak menikah dengan Dini dan menjadi ayah bagi Dean, ia mulai menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar. Nama Dini muncul di layar, membuatnya tersenyum sebelum segera mengangkatnya. “Halo, sayang,” sapa Juan dengan suara lembut. “Juan, kamu sibuk?” tanya Dini di seberang telepon. “Tidak terlalu. Ada apa?” “Aku butuh bantuanmu… bukan, lebih tepatnya, aku butuh pendapatmu. Bisa ke butik sebentar?” Juan mengerutkan kening, sedikit penasaran. “Ada masalah?” “Bukan masalah, sih. Tapi aku ingin kamu melihat sesuatu. Ayolah, ini penting,” bujuk Dini. Juan menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan ke sana dalam lima belas menit.” Setelah merapikan berkas-berkasnya, Juan segera meninggalkan kantornya dan menuju
Pagi itu, Juan sudah berdiri di depan cermin, merapikan dasi dengan ekspresi serius. Sejak ia memutuskan untuk lebih seimbang antara karier dan keluarga, ada banyak hal yang harus ia atur. Namun, pagi ini terasa lebih spesial. Dini masuk ke kamar dengan secangkir kopi di tangan, menyandarkan tubuhnya di pintu sambil memperhatikan suaminya yang terlihat gagah dengan setelan jas. “Hari ini sidang penting, ya?” Juan menoleh, tersenyum, lalu mengambil cangkir dari tangan Dini. “Iya. Kasus ini cukup rumit, tapi aku yakin bisa menanganinya.” Dini mendekat, membetulkan kerah kemeja suaminya dengan penuh perhatian. “Aku yakin juga. Kamu selalu bisa menyelesaikan semua masalah dengan kepala dingin.” Juan tersenyum sambil mengecup kening Dini. “Terima kasih, sayang. Dukunganmu selalu jadi kekuatanku.” Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki kecil yang berlari menuju kamar mereka. Dean muncul di ambang pintu dengan piyama bergambar dinosaurus, matanya masih mengantuk. “Papa mau pergi?”
Pagi itu, matahari mulai naik, menerangi rumah kecil yang kini penuh kehangatan. Dini sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sarapan, sementara Juan masih sibuk di ruang kerjanya, membaca beberapa berkas kasus yang harus ia tangani. Di dapur, Dean yang sudah rapi dengan pakaian bermainnya duduk di kursi tinggi, menggoyang-goyangkan kakinya sambil menunggu sarapan. “Mama, hari ini kita mau ke mana?” tanyanya dengan penuh semangat. Dini tersenyum sambil menuangkan susu ke dalam gelas kecil. “Hari ini kita mau ke taman, sayang. Papa juga ikut.” Dean bersorak kecil. “Yeay! Papa ikut!” Juan, yang baru saja selesai dari ruang kerjanya, berjalan ke dapur dengan senyum mengembang. “Siapa yang senang Papa ikut?” tanyanya pura-pura tak tahu. Dean langsung turun dari kursinya dan berlari memeluk Juan. “Aku! Papa janji nggak kerja terus, kan?” Juan menggendong Dean dan mengacak-acak rambutnya dengan lembut. “Papa janji hari ini cuma buat Dean dan Mama.” Dini menatap mereka dengan se
Malam di rumah Juan dan Dini terasa begitu tenang. Setelah seharian menghabiskan waktu bersama Dean, mereka akhirnya bisa duduk berdua di ruang keluarga. Juan sedang membaca sebuah dokumen penting di laptopnya, sementara Dini sibuk menyulam kain dengan motif bunga yang cantik. “Besok kamu ada jadwal sidang lagi?” tanya Dini tanpa mengalihkan pandangannya dari sulamannya. Juan mengangguk. “Iya, kasus ini cukup besar. Aku harus memastikan semua bukti dan argumenku kuat. Lawan kita kali ini cukup licik.” Dini menatap Juan dengan khawatir. “Hati-hati, ya. Kamu tahu aku selalu mendukungmu, tapi aku juga nggak mau kamu terlalu terbebani.” Juan tersenyum, lalu menutup laptopnya dan mendekat ke arah Dini. “Aku tahu. Kamu selalu jadi alasan kenapa aku bisa bekerja dengan baik. Aku nggak akan berlebihan, janji.” Dini tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Juan. “Baiklah. Aku percaya padamu.” *** Keesokan paginya, Juan berangkat lebih awal ke kantornya. Saat tiba, ia