Winda yakin Hengky akan percaya padanya selama Winda bisa memberikan cincin itu pada Hengky. Hati Hengky bergetar ketika mendengar suara memohon Winda. Namun, laki-laki itu tetap melepaskan tangan Winda dari pinggangnya lalu membuka pintu dan bergegas keluar dari ruang rawat. Pintu ruangan tertutup dengan keras disertai dengan hilangnya sosok Hengky dari pandangan Winda. Winda menggigit bibirnya sambil berdiri tertegun selama beberapa saat. Sampai akhirnya dia mendengar suara ketukan pintu. Winda menghampiri pintu dan membukanya dengan cepat. Dia menemukan beberapa orang memanggilnya dengan hormat di depan pintu lalu masuk ke dalam ruang rawatnya untuk membereskan meja makan. Winda menatap ke luar ruang rawatnya, tapi dia tidak menemukan Hengky ataupun Santo di sana. Kilatan penuh kekecewaan kembali melintas di kedua matanya. Sepertinya Hengky tidak akan kembali malam ini. Dia kembali mengacaukan hubungan mereka berdua. Winda merasa tertekan sampai dia terus berguling-guling di at
Santo menegakkan punggungnya lalu berkata setelah mempertimbangkan semuanya selama beberapa saat, “Bu Winda pasti bertanya-tanya, kenapa waktu itu Pak Hengky tidak menyelamatkan Ibu?”Winda langsung mengembangkan senyuman di wajahnya setelah mendengar perkataan Santo. “Apa Bu Winda pernah meragukan Pak Hengky? tanya Santo lagi.Entah apa maksud Santo dengan menanyakan hal ini pada Winda. Winda tertegun sejenak setelah mendengar pertanyaan Santo lalu dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Winda juga tahu kalau Martin sengaja menghasut Winda agar pernikahannya dan Hengky hancur. Lagi pula, entah sudah berapa kali Hengky berusaha menyelamatkan Winda. jadi Winda tidak bisa menutup matanya akan fakta ini. Saat itu, Winda merasa sangat emosional. Hal itu bisa terjadi mungkin karena sikap dingin Hengky sampai Winda merasa kalau dirinya harus melampiaskan semua amarahnya. “Saya dan Pak Hengky memang berada di tempat kejadian malam itu. Pak Hengky hendak keluar mobil ketika m
Santo bergegas menghampiri Winda lalu mengambil koper di tangannya ketika melihat Winda turun dari lantai atas. “Bu Winda, apa masih ada barang lain yang harus dibawa?” tanya Santo hormat. Kemudian Winda menoleh ke arah foto ibunya yang terpajang di tembok lalu dia berkata di dalam hatinya, “Sampai jumpa, Ma.”Winda kembali menoleh ke arah Santo setelah selesai mengucapkan salam perpisahan kepada foto ibunya lalu berkata, “Nggak ada lagi, kok.”Santo mengangguk lalu berjalan keluar sambil membawa koper Winda. Winda berpamitan terlebih dahulu dengan Melly lalu bergegas masuk ke dalam mobil.Winda dan Santo tiba di kediaman Anton ketika matahari sedang tinggi-tingginya. Anton sedang berada di perusahaan untuk mengurus beberapa urusan di sana, jadi dia tidak ada di rumah ketika Winda datang. Namun, dia sudah memerintahkan pengurus rumah untuk menyambut kedatangan Winda. Seorang pelayan membawa Winda ke sebuah kamar yang sudah dipersiapkan untuknya. Walaupun Winda hanya akan menginap s
Winda merasa ragu untuk mengambil album foto itu selama beberapa saat. Namun, rasa penasaran terus bergejolak di dalam hatinya. Akhirnya Winda memutuskan untuk mengambil sebuah kursi agar dia bisa naik ke atas kursi untuk mengambil album foto itu. Namun, Winda tiba-tiba saja mendengar suara dingin seorang laki-laki ketika dia baru saja berhasil meraih album foto itu dan hendak membukanya. “Ngapain kamu?” tanya Hengky yang berada di belakangnya tanpa Winda sadari. Winda terkejut dengan kedatangan Hengky yang tiba-tiba. Dia langsung melepaskan album foto itu sampai terjatuh di atas lantai. Winda juga hampir saja terjatuh ke belakang. Dia berteriak sambil menutup matanya dengan wajah ketakutan akan rasa sakit yang mungkin akan dia rasakan. Namun, Winda justru terjatuh ke dalam pelukan hangat Hengky tanpa merasakan sakit sama sekali. Hengky melingkarkan lengannya di pinggang Winda dan memeluk Winda erat-erat. Winda mencium bau tubuh seseorang yang sangat dia kenal. Winda langsung men
“Aku ini istrimu, masa ngelihat album foto saja nggak boleh?” tanya Winda.Hengky tidak menghiraukannya dan membawa album itu mengitarinya. Sampai Hengky berjalan ke depan pintu, dia tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berkata dengan nada dingin, “Aku kasih kamu lima menit, habis itu beresin dan langsung turun.”Bahu dan sekujur tubuh Winda langsung melemas seperti balon yang kehilangan anginnya. Dia masuk ke dalam ruang ganti untuk memakai sandal dan menaruh kursi kembali ke tempat asalnya, lalu turun ke lantai bawah.Anton yang sedang berbicara di telepon langsung menyudahi panggilannya seketika melihat Winda turun.“Pa,” sahut Winda.“Winda, sini duduk,” kata Anton dengan nada yang lembut dan penuh dengan perhatian. “Badan kamu sudah lebih enakan?”“Iya, sudah lebih enak,” jawab Winda mengangguk seraya duduk di sebelahnya.Ujung mata Anton tampak melirik ke seseorang dan nada bicaranya mulai meninggi, “Kalian terlibat masalah besar begini tapi anak itu masih saja nggak kasih tahu
“Pa, ini urusan pribadiku. Papa punya hak apa untuk ikut campur?” kata Hengky.“Kamu jangan lupa, ya, waktu itu ….”Ketika baru berbicara setengah kalimat, tiba-tiba Anton berhenti seperti sedang teringat aan sesuatu yang membuat dia menelan kembali ucapannya. Dia berlagak menoleh ke arah Winda seolah tidak terjadi apa-apa dan saat menyadari Winda pun tampak tidak begitu memperhatikan, Anton melanjutkan ucapannya, “Pokoknya Papa nggak setuju. Kalau kamu mau cerai, tunggu sampai Papa mati.”Hengky tahu apa maksud ayahnya yang tiba-tiba berhenti tadi. Kedua tangan Hengky yang berpangku di lututnya menggenggam erat sampai pembuluh darahnya menonjol.“Pa, aku bukan lagi minta pendapat,” ujar Hengky dan kemudian langsung pergi meninggalkan ayah dan istrinya. Namun tiba-tiba Winda menarik lengan Hengky hingga dia tersentak.“Lepasin.”Winda hanya menggelengkan kepala dan menggenggam lengan Hengky dengan makin erat, “Aku nggak mau cerai.”Winda berbicara dengan nada yang sangat tegas tanpa me
“Hengky, Papa bukannya mau maksa kamu. Papa cuma nggak mau kamu menyesal nantinya!”“Pa, aku ….”Ketika Hengky baru saja mulai bicara, tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk dari luar. Hengky langsung terdiam dan saling bertukar pandang dengan ayahnya. Mereka berdua menutup mulut rapat-rapat dan tak lagi membahas soal itu.“Bukain pintunya,” kata Anton, “Kamu ngomong dulu sama Winda baik-baik. Jangan sampai kamu melakukan hal yang kamu sesali nanti.”Hengky pun membukakan pintu dan tatapan matanya mendarat pada tubuh Winda yang sudah menunggu di luar.“Aku nggak bermaksud ganggu percakapan kamu sama papa kamu, tapi tadi pelayan rumah bilang makan malamnya sudah siap, jadi ….”“Oh, oke.”Hengky menarik kembali pandangannya dari wajah Winda dan keluar dari ruang kerjanya dan turun ke bawah. Winda tampak kecewa melihat Hengky lagi-lagi mengabaikannya. Anton pun menghampirinya dan berkata, “Winda, kasih dia waktu sebentar saja, ya.”“Iya, Pa. Aku ngerti,” jawab Winda.“Ya sudah, ayo turun
“Buka pintunya sekarang juga,” ujar Hengky dengan nada yang mulai menaik.“Maaf, Den Hengky, saya cuma menjalankan perintah. Selamat malam.”Suara langkah kaki di balik pintu terdengar makin menjauh, tak lama suara itu tergantikan oleh kesunyian.Hengky mengambil ponselnya yang berada di atas meja untuk berbicara dengan ayahnya, tapi tiba-tiba perhatiannya tersita oleh album foto yang Winda letakkan di ujung ranjang. Pertama kali melihat album foto itu membuat Hengky merasakan sensasi yang tak asing baginya, tapidia tidak bisa mengingat di mana dia pernah melihatnya.Menyadari Hengky seperti tertarik dengan album foto tersebut, Winda mengajaknya untuk duduk bersama dan membalik lembaran foto-foto mencari foto bersama mereka saat masih kecil.“Coba lihat aku nemu apa,” kata Winda tersenyum sambil menatap Hengky dengan penuh harapan.Seketika Hengky melihat foto itu, dia tersentak akibat memori masa lalunya yang tiba-tiba menyeruak. Bola matanya langsung membesar menatap foto itu diserta