“Pa, ini urusan pribadiku. Papa punya hak apa untuk ikut campur?” kata Hengky.“Kamu jangan lupa, ya, waktu itu ….”Ketika baru berbicara setengah kalimat, tiba-tiba Anton berhenti seperti sedang teringat aan sesuatu yang membuat dia menelan kembali ucapannya. Dia berlagak menoleh ke arah Winda seolah tidak terjadi apa-apa dan saat menyadari Winda pun tampak tidak begitu memperhatikan, Anton melanjutkan ucapannya, “Pokoknya Papa nggak setuju. Kalau kamu mau cerai, tunggu sampai Papa mati.”Hengky tahu apa maksud ayahnya yang tiba-tiba berhenti tadi. Kedua tangan Hengky yang berpangku di lututnya menggenggam erat sampai pembuluh darahnya menonjol.“Pa, aku bukan lagi minta pendapat,” ujar Hengky dan kemudian langsung pergi meninggalkan ayah dan istrinya. Namun tiba-tiba Winda menarik lengan Hengky hingga dia tersentak.“Lepasin.”Winda hanya menggelengkan kepala dan menggenggam lengan Hengky dengan makin erat, “Aku nggak mau cerai.”Winda berbicara dengan nada yang sangat tegas tanpa me
“Hengky, Papa bukannya mau maksa kamu. Papa cuma nggak mau kamu menyesal nantinya!”“Pa, aku ….”Ketika Hengky baru saja mulai bicara, tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk dari luar. Hengky langsung terdiam dan saling bertukar pandang dengan ayahnya. Mereka berdua menutup mulut rapat-rapat dan tak lagi membahas soal itu.“Bukain pintunya,” kata Anton, “Kamu ngomong dulu sama Winda baik-baik. Jangan sampai kamu melakukan hal yang kamu sesali nanti.”Hengky pun membukakan pintu dan tatapan matanya mendarat pada tubuh Winda yang sudah menunggu di luar.“Aku nggak bermaksud ganggu percakapan kamu sama papa kamu, tapi tadi pelayan rumah bilang makan malamnya sudah siap, jadi ….”“Oh, oke.”Hengky menarik kembali pandangannya dari wajah Winda dan keluar dari ruang kerjanya dan turun ke bawah. Winda tampak kecewa melihat Hengky lagi-lagi mengabaikannya. Anton pun menghampirinya dan berkata, “Winda, kasih dia waktu sebentar saja, ya.”“Iya, Pa. Aku ngerti,” jawab Winda.“Ya sudah, ayo turun
“Buka pintunya sekarang juga,” ujar Hengky dengan nada yang mulai menaik.“Maaf, Den Hengky, saya cuma menjalankan perintah. Selamat malam.”Suara langkah kaki di balik pintu terdengar makin menjauh, tak lama suara itu tergantikan oleh kesunyian.Hengky mengambil ponselnya yang berada di atas meja untuk berbicara dengan ayahnya, tapi tiba-tiba perhatiannya tersita oleh album foto yang Winda letakkan di ujung ranjang. Pertama kali melihat album foto itu membuat Hengky merasakan sensasi yang tak asing baginya, tapidia tidak bisa mengingat di mana dia pernah melihatnya.Menyadari Hengky seperti tertarik dengan album foto tersebut, Winda mengajaknya untuk duduk bersama dan membalik lembaran foto-foto mencari foto bersama mereka saat masih kecil.“Coba lihat aku nemu apa,” kata Winda tersenyum sambil menatap Hengky dengan penuh harapan.Seketika Hengky melihat foto itu, dia tersentak akibat memori masa lalunya yang tiba-tiba menyeruak. Bola matanya langsung membesar menatap foto itu diserta
Sesaat Winda melontarkan kata-kata ini, dia berasa tubuh Hengky menjadi tegang beberapa saat. Lalu dia berdiri dan menatap mata Hengky sambil mengujinya, dia berkata, “Aku baru saja mengingat kembali beberapa ingatan, tapi ingatan terlalu terfragmentasi dan aku tidak bisa mengingat semuanya. Dan kenangan itu semua berhubungan dengan semua hal yang terjadi di saat aku masih kecil dan ada yang berhubungan denganmu ….”Kata-kata ini terdengar ambigu. Dia memang mengingat beberapa hal, tapi hal yang dia ingat seharusnya tidak membuat Hengky bereaksi seperti ini. Sepertinya dia melupakan hal penting berhubungan dengan Hengky. Jika ditanyakan langsung, Hengky pastinya tidak akan memberitahunya, dengan ini Winda hanya dapat memancingnya perlahan.Separuh tubuh Hengky diselimuti bayangan, dan ekspresinya campur aduk. Setelah Winda selesai berbicara, dia baru berdiri dari tempat tidur. Dia menatap Winda tanpa ekspresi, tatapannya dalam dan dingin, seolah-olah tidak ada kehangatan sama sekali.“
Winda menarik napas dalam-dalam untuk meredakan rasa sakit yang mencekik hatinya dan memaksakan diri untuk tersenyum dan berkata, “Aku tahu. Sekarang sudah malam. Mari kita tidur, yah?”Pintu kamar sudah terkunci dan Hengky tidak dapat keluar kamar meskipun dia menginginkannya. Dia melirik ke arah Winda dan mulai bersenandung pelan. Mereka berdua lalu berbaring dan mematikan lampu di kamarnya. Keduanya saling berdiam diri dan tidak membahas hal yang barusan terjadi.Winda ingin mendekati Hengky namun terasa ragu-ragu, karena dia masih belum bisa mengumpulkan keberaniannya. Dia hanya bisa melihat punggung pria itu dari kejauhan. Dalam waktu yang tidak dia ketahui, dia akhirnya tertidur dalam keadaan linglung.Di lain sisi, seorang pria berdiri di depan jendela besar bernuansa Perancis, dan menghadap ke pemandangan malam di luar jendela itu. Dia sedang menghisap rokok di mulutnya, sambil mendengarkan suara yang terpancar dari mikrofon.“Hengky sudah memesan tiket pulang untuk penerbangan
Keesokan harinya, Winda terbangun dibangunkan oleh pembantu Pranoto Garden, dan tidak ada keberadaan Hengky di sekitarnya. Dia segera mandi sebentar, mengganti baju dan pergi turun ke bawah. Anton dan Hengky yang sudah berada di restoran, melihat kedatangan Winda, Anton menyuruh pembantunya untuk membawakan sarapan ke meja makan.“Ayah,” sapa Winda dengar hormat, lalu mengalihkan perhatiannya ke orang di sebelahnya, “Hengky, selamat pagi.”Hengky hanya mengangkat alisnya sedikit, dan mengesah. Lalu dia lanjut membaca koran. Melihatnya, Winda tidak ingin mengganggunya lebih lanjut, dia segera melahap sarapannya dengan tenang. Setelah selesai makan, Anton menasehati mereka beberapa hal, lalu pergi ke perusahaannya.Winda kemudian pergi kembali ke kamar untuk mengemas kopernya, lalu pembantunya membantu untuk menaruhnya ke dalam mobil. Seiring waktu berlalu, Hengky memerintahkan supir untuk mengantarnya ke bandara. Dalam hitungan jam, mereka akhirnya sampai di bandara dan memarkir mobilny
“Winda, kamu jangan tertidur ... Buka matamu ...,” ujar Hengky suaranya gemetaran secara rasa takut menyebar dari lubuk hatinya terdalam.Di benaknya terlintas sejumlah gambaran yang tak terhitung jumlahnya, dari suara tembakan, teriakan, dan darah yang mengucur keluar dari ingatannya yang terdalam. Pengalaman dan kenangan menyakitkan itu sangat membebani hati Hengky. Di depan tatapan hanya tersisa sepetak darah merah.Winda berusaha untuk membuka matanya. Dia merasakan rasa sakit yang luar biasa dari tubuhnya dan nyawanya yang perlahan melemah, namun dia tidak takut mati. Tapi malah sebaliknya, dia merasa bersyukur telat berhasil menyelamatkan Hengky.“Untunglah...,” ujar Winda mengulurkan tangannya dengan segenap kekuatannya yang tersisa untuk membelai pipi Hengky. Sambil tersenyum dia melanjutkan, “Bukan kamu yang terluka....”Mendengarnya, mata Hengky memerah, dia sempat ingin memegang tangan Winda, tapi ketika dia ingin menyentuhnya, tangannya terlepas dari pipinya dan jatuh terga
“Santo!” seru Hengky menggertakkan gigi dan berteriak dengan suara yang dalam, “Lima menit! Dia sudah tidak bisa bertahan lagi!”Santo melirik ke belakang melalui kaca spion dan melihat Winda berlumuran darah, melihat itu, hatinya menjadi makin gugup hingga puncaknya. Dia tidak berani menunda sedikit pun dan mengambil jalan pintas menuju rumah sakit.Dekat pusat kota, lalu lintas mulai padat dan Santo hanya bisa membunyikan klaksonnya dengan putus asa, sampai-sampai menerobos arus lalu litnas dan bergegas menuju pintu masuk rumah sakit. Dekan secara pribadi memimpin para dokter dan perawat menunggu di depan gerbang. Begitu mobil Santo berhenti, dia segera berkumpul.Hengky turun dari mobil sambil menggendong Winda dan meletakkannya di ranjang pasien. Dokter dan perawat segera mendorongnya ke dalam rumah sakit, bersiap untuk operasi penyelamatan. “Pak Hengky …,” ujar dekan berjalan ke arah Hengky dan mengulurkan tangannya untuk siap menyapa. Sebelum dia selesai berbicara, Hengky mengac