“Kalau begitu nggak ada yang perlu dibicarakan lagi,” balas Winda dengan dingin.Dia menatap Martin dengan sorot dingin dan berkata, “Aku sangat berterima kasih kamu pernah membantuku. Oleh karena itu, aku akan melupakan kejadian malam ini dan menganggapnya nggak pernah terjadi. Aku pamit.”Winda berbalik dan pergi dari sana. Ketika tangannya hendak menggapai pintu, sebuah tangan menahan lengannya dan menariknya dengan kuat. Kedua tangan Martin mencengkeram bahu kurus Winda dan mendorongnya ke tembok sambil berkata,“Kenapa? Apa yang baik dari dia?! Kenapa kamu nggak memilihku?!”Kedua mata lelaki itu memerah dan saat ini Martin terlihat seperti sedang kesurupan. Winda terlihat ketakutan dan mengerti kenapa setiap melihat Martin dia akan bersikap waspada. Alasannya karena lelaki itu sangat pintar bersandiwara. Yang selama ini Winda lihat bukan merupakan sosok aslinya.Mengingat dengan kejadian akhir-akhir ini, ditambah dengan raut Martin yang terlihat tidak bersalah membuat Winda menda
“Sebenarnya aku yang membohongimu atau kamu yang membohongi dirimu sendiri?”Martin semakin lama semakin mendekat dan tubuhnya yang tinggi tersebut terlihat sangat mengintimidasi. Winda ketakutan dan mundur hingga punggungnya menyentuh tembok. Martin menunduk dan mendekatkan jaraknya dengan perempuan itu sambil tersenyum dan berkata, “Kak Winda, aku hanya demi kebaikanmu. Aku tahu betapa kejamnya kenyataan, tetapi dibandingkan hidup dalam kebohongan, lebih baik kehilangan semuanya.”Martin berkata sambil mengeluarkan sebuah flashdisk dan berkata, “Aku rasa sepertinya kamu perlu ini.”Saat melihat flashdisk, napas Winda terhenti dan dia tampak berpikir keras. Martin menatap perempuan itu seperti seekor mangsa. Lelaki itu tidak terlihat buru-buru karena dia percaya kalau Winda akan mengambil flashdisk tersebut.Sekitar setengah menit kemudian, Winda mengulurkan tangannya dengan gemetaran dan mengambil flashdisk tersebut dan menggenggamnya dengan erat. Martin tersenyum puas dan mendekatka
Martin tersenyum sinis dan berkata, “Wanitamu? Kalau aku nggak salah ingat, Pak Hengky berencana mau cerai dengan perempuan ini, bukan? Kalau begitu bukannya nggak masalah kalau aku mengejar dia?”Hengky bisa merasakan adanya kejanggalan dalam ucapan lelaki itu dan bertanya, “Kenapa kamu tahu?”Martin tersenyum misterius dan bertanya, “Menurut Pak Hengky bagaimana aku mengetahuinya?”Kening Hengky berkerut karena yang mengetahui masalah ini tidak banyak. Dan semua orang tidak mungkin membocorkannya pada dunia luar, kecuali perempuan itu. Wajahnya menggelap dan dia menatap Martin dengan sorot penuh amarah.“Kamu mendekati dia karena Yanwar, kan?”Martin yang sedang meneguk minumannya terdiam sesaat. Dia meletakkan gelas minumannya dan menatap Hengky lurus-lurus sembari berkata, “Aku nggak ngerti maksud ucapannya Pak Hengky.”“Kamu anak haram dari Yanwar dan Sharon. Kamu mendekati Winda demi membalas dendam pada ayahmu sendiri.” Mata gelap Hengky menatap Martin dengan lekat. Melihat eksp
Kalimat terakhir Martin membuat raut wajah Hengky menggelap. Dengan wajah dingin Santo berkata, “Tolong jaga ucapan Anda, Pak Martin!”Martin melirik Hengky dan mengambil selembar tisu basah untuk membersihkan noda darah di tangannya. Hengky melirik Santo dan lelaki itu bergegas mengeluarkan satu buah sapu tangan bersih dari sakunya dan berkata,“Pak Martin, biar saya bungkus lukanya.”Karena terlalu banyak mengeluarkan darah, wajah lelaki itu tampak sedikit memucat. Dia berpikir sejenak, tetapi pada akhirnya tetap mengulurkan tangan dan berkata, “Maaf merepotkanmu.”Santo berdehem dan langsung membungkus luka di tangan pemuda itu. Dengan cepat darah segar merembes dalam sapu tangan tersebut.“Pak Hengky, kamu orang yang baik juga. Aku sudah mau merebut wanitamu, tapi kamu masih peduli dengan aku. Pantas saja kamu sanggup bertahan dalam pernikahan terpaksa dengan Winda. Bahkan perempuan itu ada hubungan nggak jelas dengan lelaki lain,” ujar Martin sambil mengibaskan tangannya yang terb
Ethan menggigit bibirnya dan mencoba menutupi rasa gusar dan paniknya. Hengky tidak ingin berbasa-basi dengan lelaki itu dan melanjutkan langkahnya.Ethan terdiam sesaat dan memutuskan untuk tidak mengejarnya. Dia melangkah dengan cepat untuk masuk ke dalam restoran. Pemandangan gelas pecah dan juga vas bunga yang hancur terpampang di hadapannya. Matanya menangkap darah segar yang menetes dengan deras.Lelaki itu melangkah mendekati Martin dan mengambil telapak tangan lelaki itu sambil bertanya, “Hengky yang melakukannya?!”“Bukan, tapi aku sendiri yang melukai diriku sendiri,” ujar Martin sambil menarik tangannya.Raut wajah Ethan menggelap dan berkata, “Martin, kamu sedang bermain-main dengan tubuhmu sendiri? Aku harus kasih tahu Bu Sharon.”Lelaki itu mengeluarkan ponselnya, tetapi ditahan oleh Martin sambil berkata, “Kak, seharusnya kamu tahu meski mamaku datang, dia juga nggak akan bisa menghentikan keputusan yang sudah kubuat.”“Kamu sedang cari mati! Kamu nggak pikir kenapa Heng
Mobil itu berhenti cukup lama di sekitar rumah sakit. Di lihat dari waktu, sepertinya kejadiannya setelah kepergian Martin dan Winda dari rumah sakit. Bisa dikatakan, mobil yang dia lihat malam itu adalah mobil milik Hengky. Ketika dia diganggu oleh tiga orang lelaki asing itu, Hengky hanya diam dan menontonnya.Lelaki itu melihatnya diseret pergi dan dilecehkan tanpa berniat membantunya. Sesuatu tengah retak dan hancur berkeping-keping di dalam tubuhnya. Winda meremas baju di bagian dadanya dan mendadak merasa luar biasa sesak.Ketika Hengky menolongnya di Balai Lelang Astro membuat Winda merasa di hati lelaki itu ada dirinya. Namun tiba-tiba Hengky melemparkan sebuah surat perceraian padanya dan pergi begitu saja. Awalnya Winda merasa masih ada harapan dan mengira Hengky tidak percaya dengan ketulusannya.Namun dilihat dari keadaan sekarang, Hengky tidak percaya dengannya dan menganggap dia merepotkan. Winda tersenyum perih sambil duduk di kasur dan terkekeh pelan. Di saat dia memik
Mendengar suara itu membuat Regina menoleh. Matanya melebar dan dengan terkejut berkata, “Kamu Martin?!”Martin tersenyum tipis dan mengangguk. Dia terlihat hangat dan bersahabat, tidak ada kesan berbahaya sama sekali. Melihat senyuman lelaki itu membuat kedua tangan Winda mendadak berubah dingin. Mendadak dia ingin segera berbalik dan kabur dari sana.Regina tidak menyadari keanehan pada diri Winda. Dia berteriak terkejut, “Astaga! Martin sungguhan?! Aku benar-benar menyukai lagumu, boleh kasih aku tanda tanganmu?”“Tentu saja boleh,” jawab Martin dengan lembut.Dia menerima buku yang diserahkan oleh Ethan dan membubuhkan tanda tangan di atasnya. Bahkan dia juga menuliskan “Selamat Menikah” di buku tersebut. Regina tersenyum lebar ketika melihat tulisan itu dan berkata, “Kenapa kamu tahu aku mau menikah?”Martin tidak langsung menjawab, dia hanya menoleh dan melihat mobil yang ada di depan vila. Regina ikut menoleh dan menatap lelaki yang tengah melambaikan tangannya dari dalam mobil.
“Kenapa aku harus percaya denganmu?!” tanya Winda dengan dingin. Tatapannya penuh kecurigaan pada lelaki itu.“Kalau kamu nggak percaya, kamu boleh cari tahu. Kamu akan tahu sendiri siapa yang sebenarnya membohongimu. Aku menyukaimu dan memang mencari kesempatan untuk mendekatimu. Tapi aku nggak akan melakukan hal ini,” ujar Martin dengan sedih.Winda menatapnya tajam dan dingin tanpa berbicara. Martin hanya menghela napas berat sambil berkata, “Hari ini aku datang untuk minta maaf denganmu. Maaf karena kemarin malam aku kehilangan kendali. Nggak apa-apa kalau kamu mau menyalahkan aku atau benci denganku. Aku tetap berharap kamu tahu siapa sosok yang sebenarnya ada di sampingmu, jangan sampai tertipu.”Kalimat tersebut seakan-akan menunjukkan kalau Hengky yang ingin mencelakainya. Winda tertawa sinis dalam hati. Dia menatap Martin dengan dingin dan berkata, “Aku yang akan membuktikan ucapanmu sendiri. Sekarang tolong pergi dari rumahku!”Martin membuka mulutnya seakan ingin mengatakan
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a