"Kenapa kau tega? Kau tega melakukan hal itu?!" Bentak gadis berambut coklat panjang.
"Amanda, Dengarkan aku! Dengarkan penjelasan ku!" Sahut pemuda yang ada di depannya. "Dia sahabatku, Bobby! Sahabatku!! Dan, kau? Kau adalah tunangan ku! Kenapa begitu mudahnya kau tidur dengannya?!" "Itu sebuah kesalahan, Amanda!" Amanda mendengus. "Kesalahan? Hingga dia hamil, kau sebut itu kesalahan? Lalu, kau akan minta maaf padaku? Dan, berharap aku melupakan semuanya?" "Aku akan menyelesaikan masalah ini. Kau jangan khawatir." Bobby membalik badan, berniat untuk pergi. "Bagaimana caranya? Kau akan menggugurkan kandungannya? Kau akan membunuh darah dagingmu?" "Itu masih janin!" Kata Bobby, seraya menghadap Amanda. Amanda kembali mendengus. "Hanya janin? Wah, aku benar-benar tak menyangka.. lelaki yang ingin ku nikahi ternyata lebih busuk dari berton-ton sampah yang berada di tempat pembuangan!" "Lalu, apa yang harus aku lakukan?!" "Kenapa kau tanyakan itu padaku?!" "Kau.. ingin aku bertanggung jawab?" Amanda bungkam. Bernafas berat. "Kau ingin aku menikahi dia?" Sekali lagi Bobby bertanya. Amanda tetap diam. Kali ini Bobby berjalan mendekatinya. "Tatap mataku, Amanda! Haruskah aku melakukan itu?" Mata memerah Amanda yang dibanjiri air mata, menatapnya. "Ini akhir dari hubungan kita, Bobby." "Kau tidak mencintaiku?" "Tidak." "Kau bohong. Matamu mengatakan kau bohong." Amanda kembali bungkam. "Jika memang kau sudah tak mencintaiku, maka biarkan aku membuktikannya." "Apa-" Belum selesai Amanda berbicara, Bobby dengan cepat mencium bibirnya. "Lihat.. hatimu masih berdebar untukku," kata Bobby. Riuh tepuk tangan terdengar saat kata-kata itu diucapkan. Panggung menjadi gelap. Pertunjukan teater satu setengah jam itu selesai untuk hari ini. Dua kali pertunjukkan dari tujuh hari, di gedung yang tidak begitu besar juga terapit dua gedung lainnya. Meski, panggung mereka hanya sebesar sepuluh langkah kaki, tapi kelompok teater mereka cukup terkenal di kota itu. Diara adalah ketua kelompok teater yang biasa disebut "A Little Big". Dia juga yang memerankan sosok Amanda bersama sang kekasih, Hara. Keduanya selalu menjadi pemeran utama dalam cerita yang dikarang oleh Diara. Tidak ada yang protes selama ini.. kecuali, "Aku juga ingin mencoba peran utama," kesal gadis berambut bob pendek. "Kalian tidak bosan? Melihat Diara menjadi pemeran utama wanita selama berbulan-bulan?" Mereka yang berkumpul di dekatnya hanya diam. Ada sebagian yang menggeleng. "Ayolah, jangan takut. Meski, Diara ketua kelompok kita, tidak seharusnya dia mengambil peran utama itu secara menerus! Aku yakin para penonton akan bosan melihatnya! Mereka juga ingin melihat sesuatu yang baru." "Kau benar," sahut Diara, yang berjalan dari arah belakang gadis bermata lebar itu. "Setelah kita menyelesaikan cerita "Janji Tuhan" ini, kau akan menjadi pemeran utamanya, Mila." "Ide bagus. Kita juga bisa mengadakan audisi untuk pemeran yang lainnya," sahut Hara. "Kau yakin? Aku bisa jadi pemeran utamanya?" tanya Mila, melirik Diara. "Kata-katamu sangat meyakinkan tadi. Kenapa kau sekarang jadi tidak percaya diri?" Mila berdeham. "Baiklah. Aku pasti bisa." Diara tersenyum. "Baiklah, kerja bagus untuk hari ini. Kalian boleh berkemas. Ingat, dua hari lagi kita latihan seperti biasa." Mereka kompak menjawab, lalu semburat pergi. "A Little Big" terbentuk sejak lima tahun yang lalu. Selaras dengan usia hubungan Diara dan Hara. Kelompok itu terbentuk karena keduanya. Sama-sama menyukai akting. Itu satu sebabnya. Sekalipun tiket belum pernah terjual habis, tapi keyakinan mereka kuat, jika suatu saat mereka akan banyak disorot oleh banyak kamera. "Kau tidak ingin mampir?" tanya Diara, sesaat setelah turun dari motor Hara. "Lain kali saja. Kita sama-sama lelah. Lebih baik kita cepat beristirahat." "Baiklah." Diara melepaskan helm, menyerahkan pada Hara. Menyisir rambut coklat blonde panjangnya dengan jemari. "Hara.. kau tidak lupa kan?" "Apa?" "Lima hari lagi.." "Lima hari lagi? Ada apa?" "Ck! Ya sudahlah, cepat pergi." Hara tertawa. "Tentu saja aku ingat, sayang. Pesta pernikahan kita, kan?" Diara tersenyum malu, mencubit pelan lengan sang kekasih. "Cepat pergi." Deru motornya terdengar kencang, lalu perlahan menghilang. 9 Hari Kemudian Diara gelisah, berjalan kesana-kemari, menggenggam ponselnya. Para anggota teater hanya mendesah singkat seraya menatapnya. "Sebenarnya kemana dia? Aku pergi ke rumahnya, tidak ada. Di rumah teman-temannya juga tidak ada." Diara dan Hara memang sudah menikah secara Agama. Namun, secara hukum—mereka belum terdaftar. Karena itu, mereka belum tinggal dalam satu atap. "Mila juga tidak datang beberapa hari ini," sahut Randy, salah satu anggota. "Diara.. coba lihat ini," kata Selly, anggota yang lain juga sahabat Diara. Selly menunjukkan sebuah foto di akun SNS Mila. Foto yang cukup membuatnya mengernyit lalu melebarkan mata. "Antar aku ke apartemen Mila." Beberapa puluh menit kemudian, keduanya turun dari taksi. Berjalan masuk ke sebuah gedung apartemen. Masuk ke dalam lift dan pergi ke lantai 6 kamar 307. Sembari menekan bel, raut wajah Diara sangat terlihat gelisah. "Tidak mungkin.. ini tidak mungkin." Dia meyakinkan dirinya sendiri. Bel terus berbunyi, namun sang pemilik kamar tak kunjung membuka pintu. Dengan garangnya, jari telunjuk Diara tak henti membunyikan bel, hingga Mila membuka pintu. "Diara?? Kau-" "Minggir!" Diara mendorong Mila ke samping. Berhenti sejenak menatap sepasang sepatu yang tak asing baginya. Sepatu yang sama, yang ia lihat di akun SNS Mila. Sepatu yang sama, yang ia berikan pada laki-laki tersayang, di hari ulang tahunnya. Tanpa melepas sepatunya, dia masuk ke dalam dengan nafas memburu. Lalu berhenti seketika. "Kenapa kau disini?" Tanya Diara. Laki-laki berponi tersebut terkejut dan berdiri dengan cepat. "Diara? Kenapa kau ada disini?" "Jawab pertanyaan ku! Kenapa kau ada disini?!" "Aku-" "Kau tidur dengannya?" "Apa?" "Kau tidur dengan gadis brengsek itu?!" "Diara.. dengarkan aku." "Jangan membuat alasan, jawab saja pertanyaan ku!!" Mata Diara memerah, melihat tak tentu arah. Tak sengaja, ia melihat sebuah alat yang hanya wanita bersuami yang memilikinya. Dia mengambil alat tersebut. Terkesiap saat dua garis merah terpampang di alat itu. "Kau.. menghamilinya?" ** Diara menangis di dalam kamarnya, yang gelap. Membiarkan TV yang menyala, dengan kebisingannya. "Rasanya.. Aku ingin memutar waktu saja. Andai, aku bisa kembali pada masa ketika belum bertemu dengan laki-laki brengsek itu—aku ingin menjauh darinya." Air mata Diara terus menetes tanpa henti. Ia menundukkan kepala. Di detik selanjutnya, ia mengangkat kepala. Melihat ke arah TV. Di mana, film favorit dirinya bersama Hara, tengah di putar. Film jadul tahun 1991, dengan genre komedi. Kesedihan semakin memuncak. Ia turun dari ranjangnya. Berjalan perlahan, mendekati TV. Jemarinya bergerak pelan, menyentuh tabung TV. Dan—lampu berkerlap-kerlip. Diara tersedot masuk. ** Pasar rakyat di pinggiran kota itu sangat ramai pengunjung. Lampu dari setiap wahana berkerlap-kerlip. Warna-warni. Gulali kapas. Gorengan. Martabak telur. Mainan plastik. Kios kaset radio. Musik dari salah satu penyanyi ternama kala itu terdengar keras. Jenuh aku mendengar.. Manisnya kata cinta Lebih baik sendiri Bukannya sekali Sering ku mencoba Namun, ku gagal lagi.. -Nike Ardila, Bintang Kehidupan- Usianya baru 14 tahun, tapi dia sudah terkenal di mana-mana. Tapi, sayang keberuntungan hidupnya tak seperti keberuntungannya di dunia musik. Ia meninggal dalam kecelakaan saat usianya masih terbilang sangat muda. Langit di bulan Juni terlihat cerah. Bintang tersebar. Gugusan bintang beberapa terlihat. Musim kemarau tahun ini cukup membuat kerongkongan selalu kering. Pun daun-daun banyak yang berubah cokelat. Bunyi deru motor yang buas memekakkan telinga. Ngeri. Tapi, banyak orang yang melongokkan kepala melihat. Memegang erat pembatas kayu di depannya. Agar tidak jatuh ke bawah. Sementara sang pengendara motor berputar-putar pada tembok kayu di depan penonton. Dari bawah, memutar ke atas. Begitu mencapai puncak, penonton mengibar-ibarkan selembar uang kertas yang nantinya akan diambil oleh si pengendara. Seru. Orang-orang menyebutnya tong edan. Di luar, anak kecil merengek meminta dibelikan balon pada ayahnya. "Kau, kan tadi sudah beli pistol." "Aku mau balon. Pokoknya, aku mau balon biru." Anak itu menangis kencang. Si Ayah hanya mendesah panjang, menggandeng tangannya. Diara muncul dari balik Ayah dan anak tersebut. Mengedarkan pandangan. "Di mana aku?" gumamnya. Sementara itu, dari belakang Diara— ada seseorang berlari cepat. Menyenggol bahu Diara. Untuk sesaat mereka saling bertatap muka. "Randy?" gumamnya, dengan mengernyitkan dahi. Seseorang itu kembali berlari. Diara pun mengikutinya. Rambut pendek rapi seseorang itu, basah karena keringat. Entah berapa lama dia berlari. Mimik wajahnya, tampak takut. Dia terus berlari hingga menjauh dari pasar rakyat. Berlari ke jalanan yang sudah sepi. Berhenti di telepon umum, pinggir jalan. Merogoh kantung celananya dengan gemetar. Memasukkan koin pada lubang di atas angka. Menekan beberapa nomor setelah itu. Matanya melihat sekitar. "Halo.. Siapa ini?" Suara pria di seberang telepon menjawab. "Ya-yang di katakan Sinta benar. Sepertinya, detektif itu berbohong. Sinta tidak bunuh diri. Tapi, dibunuh!" "Apa maksudmu? Kau di mana sekarang?" Pria yang mengenakan kacamata itu diam. Terbelalak. Melihat seseorang berdiri, di bawah penerangan jalan. Separuh wajahnya tertutup kain hitam. Tangannya memegang sebuah golok. Ia menelan ludah berat. Berlari kemudian. Meninggalkan gagang telepon yang menggantung ke bawah. Angin dingin malam, tak membuat tubuhnya segar. Keringat terus menetes di pelipisnya. Kini ia bersembunyi di belakang gedung bioskop yang sudah sepi. Menangkup mulutnya rapat-rapat. Air matanya terbit. Otot merah halus di matanya mulai terlihat. Nafasnya sangat gugup. Terdengar suara khas sebuah besi yang di gesekkan pada tembok. Mengerikan. Pria itu mulai menangis dalam diam. "Tolong. Jangan kesini. Jangan kesini," katanya dalam hati. Siulan tak bernada menambah kengeriannya. Dia semakin menekuk tubuhnya. Dan sunyi. Tiba-tiba saja, suara-suara itu menghilang. Bola matanya bergerak tak jelas. Memasang telinga. Mungkin saja, terdengar langkah kakinya. Tapi, tidak terdengar apa pun. Dia memejam takut. Meyakinkan diri, kalau si pengejar sudah berlalu pergi. Diangkat tubuhnya perlahan. Selangkah. Lagi selangkah. Si pengejar yang akan menjadi malaikat mautnya itu, mengulurkan kepala. Menatap pria itu. Pria tersebut berteriak. Melangkah mundur. Terjebak. "Sebenarnya, siapa kau?! Kenapa kau mengincar ku? Apa salahku?!" Si pengejar yang mungkin saat ini bisa di sebut sang pembunuh terus melangkah maju. Tanpa bicara. "Tolong, jangan lakukan ini. Maaf, kalau aku ada salah denganmu. Aku, mohon lepaskan aku." Si pembunuh justru memegang erat-erat gagang golok. Di ayunkan nya golok tersebut. Bersamaan dengan teriakan menggema dari pria itu. Darah segar mengalir begitu cepat. Melewati sepatu putih dengan garis 3 warna milik si pembunuh. 2 biru dan 1 merah, di dekat talinya. Pria itu tergeletak dengan mata terbuka. Lehernya hampir putus. Diara terkesiap. Menutup mulutnya dengan kedua tangan. Berjalan mundur. Dan, menabrak tembok, yang di tempeli poster. Lalu, menghilang. Keesokan harinya, gempar seluruh kota. Pembunuhan dengan cara yang sama. Di gorok lehernya menjadi pemberitaan hangat. Kali ketiga, pembunuhan seperti ini terjadi. Dalam kurun waktu 3 minggu.Aku tidak pernah menyangka, cerita yang aku tulis untuk dramaku, akan menjadi sebuah kenyataan. Cerita yang belum sempat aku selesaikan itu, menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Benar, kata banyak orang. Jika ucapan adalah doa. Pun aku tak pernah menduga, jika itu semua benar-benar terjadi. Bedanya hanya satu. Mila.. Dia bukan sahabat baikku. Juga bukan teman dekatku. Kami.. Seperti ujung magnet yang sama. Saling bertolak belakang. Mila, yang membuatnya seperti itu. Entah, karena iri padaku. Entah, karena dia suka dengan Hara. Atau memang dia terlahir dengan watak seperti itu. Iri hati.Aku dan Hara sudah saling kenal sejak SMA. Semakin dekat, saat kami memutuskan untuk keluar dari kampus di tengah-tengah semester. Bukan karena bengal, tapi, karena kami tidak memiliki cukup biaya. Aku dan Hara di besarkan oleh panti asuhan yang berbeda. Aku tidak begitu paham, kenapa dia berakhir di panti asuhan. Mungkin karena ibunya, tidak mampu untuk merawatnya. Atau mungkin seperti aku, yang kela
Diara kembali ke studio dengan wajah lesu. Mendesah singkat, sepanjang kakinya melangkah. Sementara, di dalam studio—para anggotanya sudah menunggu dengan cemas. Selly, yang berjalan mondar-mandir. Randy, yang menggigit kuku jari. Sisanya, duduk saling berdampingan. Dengan perasaan gelisah, tentunya.Melihat Diara masuk ke dalam studio—Selly dan Randy segera berlari kecil, ke arah Diara. Yang lain, berdiri."Bagaimana, Ra? Apa jawaban Tuan Darel?" tanya Selly.Diara mendesah pasrah. Selly dan Randy saling bertatapan."Jadi, dia sungguh ingin mencabut sponsor dari kita, Ra?" kini Randy, yang bertanya.Diara mengangguk. Desahan singkat terdengar bersahutan."Apa alasannya?" tanya Selly."Kita berkumpul dulu di panggung."Para anggota duduk, bersilang kaki di lantai kayu. Pun, dengan Diara."Tuan Darel—adalah kakak kandung dari Mila."Para anggota terkesiap. Saling berbisik satu sama lain."Mila—anggota teater kita? Mila, yang selingkuh dengan Hara? Benar dia?" tanya Selly, dengan nada t
Hara mengikuti Diara hingga ke apartemennya."Diara.. Diara.. kita harus bicara." Hara terengah-engah, mengejar Diara. Memblokir langkahnya."Aku tidak ingin bicara denganmu. Minggir.""Tidak. Aku ingin bicara denganmu.""Apalagi yang ingin kau bicarakan? Semuanya sudah jelas, kan?!""Dengar, Diara.. Semuanya hanya salah paham. Aku tak bermaksud untuk tidur dengan Mila. Sungguh."Diara mendengus. "Jadi, kau mengakui, kan? Kau tidur dengannya."Hara tertegun. Tahu betul, jika dirinya salah berucap. Dia mencakar rambutnya. Mendesah kesal."Itu.. hanya sebuah kesalahan, Diara.""Oh, tentu saja itu sebuah kesalahan. Karena, kau sudah menjadi suamiku, Hara. Dan, kau menjadi penghancur kelompok teater kita. Karena mu juga! Aku harus berlutut di depan perempuan brengsek itu!"Hara memejamkan mata singkat. "Diara.. apa yang harus aku lakukan? Agar, kau memaafkan ku, huh?""Tidak ada.""Jadi, kau memaafkan ku?""Tidak. Aku ingin meninggalkanku."Hara mengernyit. "Apa? Apa yang kau maksud denga
Diara segera mematikan telepon. Berlari masuk ke dalam apartemennya. Pergi ke kamarnya. Di ikuti oleh Hara."Jadi—itu tadi bukan mimpi?" gumamnya, sembari menatap TV-nya, yang masih menyala. Sedang memutar iklan.Hara yang berdiri di depan pintu, sambil berkacak pinggang—mulai kesal. Mengernyitkan dahi "Bisa kau jelaskan? Ada apa denganmu?" Diara menatap Hara dengan sorot mata bingung."Kau tak akan percaya, jika aku bercerita.""Dan, aku tak akan pernah tahu—aku percaya atau tidak. Jika, tak kau ceritakan.""Mari kita duduk dulu," ajak Hara.Keduanya pun duduk di sofa, di ruang tengah. Saling berdampingan. Diara segera menceritakan, apa yang di alami barusan. Hara tertegun. Dengan desahan panjang. Diara meliriknya."Lihat, kan? Kau tidak akan percaya.""Mmm.. Well, Mmm.. Memang, sulit untuk di percaya." Hara mengatakan itu, sembari berpikir. "Jadi, Randy yang akan di bunuh? Karena itu, kau meneleponnya tadi."Diara mengangguk. Sambil mendesah singkat. Menundukkan kepala. Hara berge
Diara kemudian mengedarkan pandangan. Pertokoan yang belum begitu tinggi, dengan ciri khas bangunan peninggalan zaman penjajahan, dilihatnya. Polusi udara belum seburuk di tahun 2024. "Sayang.. kau baik-baik saja?"Diara mengerutkan dahi. Memasang ekspresi jijik. "Ugh, aku tidak terbiasa dengan panggilan itu. Bisa kau panggil namaku saja?"Tomi menatap Diara bingung. "Kau, sungguh tidak apa-apa?"Diara mendesah singkat. "Berapa kali harus aku katakan—aku baik-baik saja.""Tapi, kau paling benci jika di panggil nama saja.""Oh, sungguh?" Diara tetap memasang wajah jijik.Tomi mengangguk. "Ayo kita cepat pergi dari sini. Sebelum, mereka datang kembali."Tomi meraih tangan Diara, yang kemudian ditolak mentah-mentah oleh Diara."Ki-kita jalan sendiri-sendiri saja.""Kau, sungguh aneh sore ini."Keduanya pun berjalan berjauhan. Diara ada di belakang Tomi. "Kau, tidak lapar?" tanya Tomi, sedikit menengok pada Diara. Dengan kedua tangan, yang di masukkan pad saku celananya."Tidak."Seket
Ranti. Nama itu tidak asing bagiku. Apalagi di tahun 1991 ini. Ingatanku terhenti, di satu adegan—di mana Ibu panti asuhan mengatakan, satu-satunya yang aku ketahui dari Ibumu adalah namanya. Ranti. Ya, itu tertulis di surat pendek di kardus tempatku ditemukan. Tidak banyak kalimat yang ditulis Ibuku.Beri nama dia Diara.Hanya itu saja. Well, dari situ aku paham. Betapa tidak berartinya aku untuk Ibuku. Satu-satunya pemberian darinya adalah nama. Bukankah itu tidak berarti? Seharusnya, dia juga memberiku kasih sayang. Kenapa ia membuang ku? Ah, otakku.. kenapa memikirkan kembali masalah tidak penting itu.Kali ini, ada yang lebih penting, yang harus di pikirkan. Jika di tahun 1991 ini aku adalah Ibuku. Dan, pemuda mirip Randy ini adalah kekasihku. Jadi, dia..."Kau—adalah Ayahku?"Kernyitan nampak di dahi Diara.Tomi mendengus. Berkacak pinggang. Berjalan cepat ke arah Diara. Menyentil dahi Diara dengan jari telunjuknya. Membuat Diara sedikit tersentak."Kau, salah makan hari ini. Ap
"Cepat masuk kamar sana," kata Maya, sembari mendorong asap rokok keluar dari mulutnya.Diara masih di tempatnya. Melihat 3 pintu yang ada di ruangan itu. Harus bisa menebak, mana kamar milik Ranti. Jaga-jaga, mungkin saja kalau dia salah kamar, Maya akan tahu, kalau dirinya bukan Ranti.Pintu nomor 1 ada di sebelah kanan Diara. Ada beberapa stiker yang menempel di pintu. Ular kobra. Merek Kaos terkenal di Yogya. Anak kecil bertopi merah dengan unjuk jari tengah. Gadis dengan tulisan Yang cakep, duduk di muka ( Dekat Mas Sopir ). Logo manajemen musik terkenal pada zaman itu.Diara tersenyum penuh percaya diri melihatnya."Pasti yang ini kamarku," katanya dalam hati.Melihat stiker-stiker pada zaman itu, membuatnya yakin. Karena 1 pintu yang lain polos. Tidak ada stiker apapun. Dan, pintu sebelahnya memiliki tirai kerang yang menjuntai ke bawah. Diara berjalan ke arah pintu ber-stiker tersebut. Memegang gagang pintu."Kau, mau tidur di kamarku?" Tanya Maya.Diara menegang. Berbalik ba
"Kau dan Ibumu itu seperti air dan minyak," kata Tomi."Kata Ibuku.. dia sangat bahagia saat mengandung. Dia selalu datang ke rumahku. Dan, membanggakan bagaimana cantiknya dirimu nanti ketika lahir. Terlihat, dia akan menjadi Ibu yang penyayang. Tetapi, semuanya berubah, saat Ayahmu tiba-tiba pergi dan tak pernah pulang ke rumah.""Ayahku pergi?"Tomi mengangguk."Semenjak itu, Ibumu jadi murung dan uring-uringan. Bahkan, ketika kau merengek kelaparan saja, dia abaikan. Beruntung, saat itu Ibuku datang ke rumahmu. Dan, akhirnya menolongmu. Yah, sejak saat itu kita mulai akrab dan secara tidak langsung Ibuku yang membesarkanmu, kan?""Oh? I-iya begitu. Hehe.""Kau selalu saja datang saat perutmu lapar. Dengan wajah sendu. Kusam. Seperti, tidak pernah mandi."**"3 tahun yang lalu? Memang, apa yang sudah terjadi?" Kata Diara dalam hati. Kernyitan bingung muncul begitu saja."Kau tidak ingat, Ranti?" tanya Tomi."Oh.. ten..tu saja aku ingat. Haha."Diara berdeham gugup selanjutnya."Hei
Diara melebarkan mata. Tersenyum gembira."Kita sahabat?""Heh? Kau, sudah tak ingin berteman denganku? Wah.. keterlaluan sekali. Mentang-mentang, kau baru saja memenangkan penghargaan Sutradara terbaik, kau jadi melupakanku."Diara memeluk Selly erat-erat."Mana mungkin, aku bisa melupakanmu. Susah dan senang, kita selalu bersama.""Well, benar juga. Aku bisa sampai di titik ini, juga karena dirimu dan teatermu."Diara melepaskan pelukan."Lalu, ada urusan apa kau kemari? Juga, Darel.. kenapa kau di sini?""Aku ada rapat pembacaan naskah. Tapi, Diara.. kenapa kau bisa kenal dengan kekasihku?""Kekasihmu? Kalian.. berpacaran? Bagaimana bisa? Seharusnya, aku yang mempertemukan kalian. Wah, kalau memang sudah takdirnya, jodoh pun tak dapat di rubah.""Kau ini bicara apa?""Sayang.. kau kenal Diara?" lanjut Selly."Tidak. Apa.. kita pernah bertemu sebelumnya? Aku lihat-lihat, wajahmu juga tidak asing bagiku.""Hehe. Mungkin, kau tidak kenal denganku. Tapi.. aku sangat mengenalmu. Terutam
1983 "Dian! Cepat!" Dian yang sedikit ragu, akhirnya berlari ke arah Sonia. Di saat yang sama, Tomi mendobrak pintu. Dan, mengacungkan senjata."BERHENTI! LEMPARKAN PISAU ITU KE SAMPING. DAN, ANGKAT TANGAN KALIAN!"Dian yang panik, segera melempar pisau. Dan, bergerak sesuai perintah."Itu juga berlaku untukmu, pria brengsek! kata Tomi pada Kardi."Wah.. Tomi terlihat keren. Seandainya, aku perempuan.. aku akan menikahinya," celetuk Haris.Membuat Diara mengerutkan dahi. Menatapnya heran. Sementara, Kardi melepaskan Sonia."Kalian berdua, merapat ke tembok. Dan, jangan pernah menengok ke belakang!" perintah Tomi.Setelah itu, Diara segera menghampiri Sonia."Kau, baik-baik saja?"Sonia yang masih syok, hanya bisa mengangguk."Farel.. Anakku.""Farel? Dia ada di mana?"Sonia menunjuk ke lantai atas. Diara bergegas ke lantai atas. Membuka pintu kamar. Terlihat, Farel tengah berdiri dengan badan gemetar, di sebelah pintu. Diara berlutut di depannya."Semuanya sudah berakhir, Farel. Ka
"Sudah berapa tahun kita tak bertemu?" tanya Haris. Duduk di sofa tunggal. Sementara, Tomi dan Diara duduk di sofa panjang. Di sebelah kirinya. "Entahlah. Mungkin sudah 30 tahun lebih? Sejak, kau menikah kita sudah tidak pernah bertemu," kata Tomi. Haris mengangguk. "Lalu, bagaimana kau tahu alamat rumahku? Apa.. kau memakai kekuatanmu menjadi Kepala Polisi, untuk melacak keberadaan ku?" Diara terbelalak. "Ayah, menjadi Kepala Polisi sekarang?" bisik Diara. "Oh.. Ayah belum cerita padamu?" "Wah.. keren sekali." Haris berdeham. Membuat Diara dan Tomi menatapnya. "Ah.. Diara yang memberitahu." Haris menatap Diara. "Dia.. anak Ranti?" Diara mendengus. Lalu, terkekeh. "Ayolah. Tidak perlu berpura-pura. Aku tahu.. kau mengingat semuanya." "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," kata Haris. "Kau masih ingin berbohong? Kau ingin aku percaya? Kau, tidak mengingat segalanya? Oh, Ayolah. Pertama kali, kau melihatku dan Ayahku tadi, kau tidak terkejut. Dulu kalian bersah
1992Tomi tengah menggendong Diara, yang tengah menangis karena sakit. Badannya demam sudah 2 hari. Mengayun tubuhnya, agar Diara segera tertidur. Butuh kerja keras selama 20 menit, untuk membuat Diara tidur."Dia sudah tidur?" tanya Ranti. Baru saja selesai mencuci baju."Iya. Baru saja.""Berikan padaku."Diara terbangun, ketika Ranti menyentuh tangannya. Seketika, menangis. Tomi mulai mengayun tubuhnya lagi."Biar aku saja," kata Tomi.Ranti mendesah singkat."Maaf, jadi merepotkan mu.""Hei, dia juga anakku. Kenapa harus mengatakan seperti itu.""Tapi, tetap saja..""Ingat, Ranti. Dia adalah anakku. Bukan anak orang kaya itu. Jadi.. jangan pernah sebutkan nama itu di depan Diara atau di depanku. Kau mengerti?"Ranti mengangguk paham.Keduanya menikah, saat usia kandungan Ranti masih 10 minggu. Tomi bergegas memberitahu orang tuanya, untuk segera meminang Ranti. Namun, Tomi juga menjelaskan kondisi Ranti. Cukup terkejut dengan itu, tapi, Tomi menjelaskan dengan baik. Dengan berat
2024Diara, Haris, dan Ranti saling berhadapan."Semuanya sudah berakhir, Bu. Kami.. berhasil menangkap Farel."Ranti tersenyum. Mendekati Diara. Menggenggam kedua tangannya."Kau sudah bekerja keras. Terima kasih, Diara.""Sekarang, Ibu bisa kembali ke sana dengan tenang. Jalani hidupmu yang sebelumnya hancur, karena laki-laki itu. Dan.. coba perbaiki hubunganmu dengan Nenek. Kau hanya perlu bersikap manis. Sesekali, makan bersama dengannya."Ranti mengangguk."Aku akan melakukan itu."Mata Ranti berkaca-kaca. Memeluk Diara."Maafkan Ibu, Diara. Selama ini, kau hidup dengan sangat tersiksa.""Tidak, Bu. Aku sudah cukup bahagia, bersama Bu Lia dan teman-temanku. Sampai jumpa di masa depan, Bu.""Kita bertemu lagi di masa kecilmu, ya? Ibu.. akan selalu ada di sampingmu sekarang."Setelahnya, Haris mengantarkan Ranti kembali ke masanya.Sekarang.. semuanya, akan baik-baik saja, kan?**"Ibu? Ibu? Di mana kau? Ibu?? Aku berhasil mengubahnya. Ibu?!"Diara berdiri di dapur, dengan terengah
Beberapa Jam Sebelum PenangkapanDiara dan yang lain kembali ke markas. Baru saja, selesai mengobati luka Haris dan Sinta."Hei, ada apa dengan Tomi?" tanya Haris pada Sinta. Tomi nampak lesu. Duduk di sudut. Sementara, Diara membereskan kotak obat."Laki-laki yang hampir menabrak ku tadi adalah kekasih Ranti," bisik Sinta."APA?" Haris nyaris berteriak."Pelan kan suaramu!""Tunggu.. jadi.. Ranti selingkuh dari Tomi?""Aku juga tidak tahu. Tapi, dari pengamatanku.. sepertinya, laki-laki tadi adalah kekasih pertama Ranti.""Jadi.. Tomi yang menjadi selingkuhannya?""Hmm, sepertinya tidak juga.""Lalu, bagaimana ceritanya? Kau ini, kalau bicara jangan sepotong demi sepotong. Menjengkelkan sekali."Sinta berdecak kesal. Lalu, berdeham."Ini menurutku.. cinta Tomi bertepuk sebelah tangan. Dan, mereka sebenarnya tidak pernah ada hubungan. Hanya saja, Tomi menganggap Ranti menerima cintanya. Kau tahu, kan? Ranti itu sangat baik hati. Dia.. tidak tega untuk mengatakan pada Tomi, jika ia su
Diara berada di markas DMA bersama yang lain. Mengulang kejadian, di saat mereka membahas kasus Rima. "Rima-""Anak kelas 2. IPA. Rambut keriting. Kulit sawo matang. Tinggi 145 senti. Menghilang 7 hari yang lalu. Saat perjalanan pulang sekolah," sahut Diara. Memotong kalimat Tomi."Yap. Betul kata Ranti.""Orang tuanya sudah melapor. Namun, polisi belum menemukan petunjuk. Karena, si pelaku tidak meninggalkan jejak," jelas Diara.Tomi mendengus."Terima kasih, Sayang. Kau menjelaskan dengan sangat sempurna."Diara menggerakkan dua alisnya ke atas."Tidak ada saksi?" Sinta bertanya.Tomi menggeleng. Dan, Diara mendesah singkat."Kali ini, kalimatku akan cukup panjang," gumamnya, dengan nada lelah."Dia menghilang saat pulang sekolah. Itu sekitar pukul 13.00. Di sekitar jam itu kemungkinan jalanan sepi. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada pemakai jalan yang lewat," ulas Diara. Lalu, mendesah panjang."Oh, bisakah kita segera pergi ke lokasinya? Tak jauh dari sini, kan? Haris ada 2 moto
Ketika manusia akan bertemu dengan ajalnya, maka.. akan di putarkan kisah hidupnya dari sejak ia di lahirkan, hingga di detik akhir hidupnya.Banyak manusia akan sangat menyesali perbuatannya semasa hidup. Tapi, juga akan banyak yang bersyukur dengan hidup yang ia jalani.Termasuk, manusia yang bergelar Ibu. Perjalanannya menjadi seorang Ibu, akan kembali di putar di hadapannya. Saat, berusaha untuk hamil. Lalu, mendapat kabar jika rahimnya sudah terisi malaikat kecil. Menjaganya sepenuh hati. Sampai, janin membesar dan sehat sempurna. Dan, ketika tiba janin tersebut di lahirkan. Bertaruh nyawa. Setengah mati. Menggendong bayinya pertama kali. Menyusui. Terjaga di setiap malam. Dia nikmati sendiri. Melihat senyuman pertama bayinya. Merasakan genggaman tangan mungil bayinya. Hingga, ia tumbuh besar. Kasih sayangnya, tak akan pernah pupus.Gambaran itu yang juga di lihat Ranti di sisa-sisa nafasnya, saat nyawanya hampir menghilang. Tersenyum dengan kesakitan. Tetesan air matanya untuk
"Haris.. kita perlu bicara," kata Sekar. Berdiri, agak jauh di belakangnya.Haris meletakkan kembali gagang telepon. Berbalik badan. Menatap Sekar lamat-lamat."Oh.. ada apa?"Sekar mendengus."Ada apa katamu? Dari mana saja kau?""Aku ada urusan.""Sangat penting urusanmu? Sampai, kau membiarkan Ayah dan Ibuku, menunggu di Restoran berjam-jam lamanya?"Haris tercengang. Menahan napas 1 detik."Ah.. maafkan aku. Aku.. lupa.""Lupa katamu? Tadi pagi, aku sudah mengingatkanmu, kan?""Iya. Aku minta maaf. Aku benar-benar lupa. Nanti, biar aku menelepon Ayah dan Ibu, hm?"Sekar mendesah kesal."Kau.. masih berusaha mencari Ranti? Itu alasanmu tak datang tadi?"Haris diam. Menundukkan kepala."Kau tidak bisa menjawab? Yang artinya.. kau memang sengaja tidak datang tadi, karena tengah mencari Ranti. Kau sangat tega sekali, Haris."Haris membasahi bibirnya. Berjalan mendekat pada Sekar."Sungguh.. maafkan aku. Bagaimana, aku bisa menebus kesalahanku?"Sekar mengerutkan dahi."Kau.. benar Har