Share

Kalajengking

Penulis: Aw safitry
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-25 06:10:44

"Nggak ada pilihan lain, Agus. Kalau kamu nggak bisa dapat janin baru dari istri kamu. Maka anak perempuan kamu yang jadi penggantinya."

Mbah Moyo berbicara sambil menatap Agus yang terdiam beberapa saat.

Di satu sisi, Agus tidak ingin kehilangan kekayaan yang selama ini dia dapat. Namun, dia juga tidak ingin kehilangan anak pertamanya untuk dijadikan tumbal pesugihannya. Karena Anindita adalah anak kesayangannya. Anak pertama, harapannya selama ini. Itu juga alasannya membiarkan anak gadisnya tinggal di pesantren. Agar selamat.

"Pilihannya hanya ada dua, Agus. Kamu bujuk kembali istrimu agar bisa kembali padamu dan memberikan janin baru agar bisa kamu tumbalkan. Atau kamu kehilangan semua kekayaan yang selama ini kamu dapatkan," papar Mbah Moyo serius.

"Aku sudah membujuk Sumi. Tapi, dia nggak mau, Mbah. Malah dia akan menceraikanku," sahut Agus sambil mengusap wajahnya.

"Cerailah dan segera cari istri baru. Gitu saja kok repot," sahut Mbah Moyo dengan santai.

Agus menarik napas d
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Pertemuan Ayah dan Anak

    "Dipanggil sama Ustadz Bai juga, Nak?" tanya Sumi yang berpapasan dengan Anindita saat berada di depan rumah Bai. "Iya, Bu. Ibu juga?" Anindita bertanya balik sambil menggandeng jemari Ibunya. "Iya. Tadi, Ustadz Bai menelepon Ibu untuk datang ke rumahnya. Jadwalnya rukiyah juga. Cuma biasanya kan abis ashar gitu."Sumi mengetuk rumah pasangan Bai dan Ken. Hanya dua kali ketukan saja, pintu rumah terbuka lebar. Menampilkan sosok wanita yang mengenakan gamis lebar berwarna lavender dengan kain cadar yang menutup sebagian wajahnya. "Silakan masuk, Bu, Anindita. Ustadz Bai sedang menghabiskan makan siangnya dulu sebentar." Wanita itu menyambut kedua tamunya dengan senyum manis. Terlihat dari kedua matanya yang menyipit dan anggukkan kepalanya. "Maaf, kita ganggu, ya," ucap Sumi sedikit tidak enak hati karena ternyata Bai masih makan siang. "Iya, Ustadzah," timpal Anindita sambil mencium punggung tangan Ken dengan takzim. Sedangkan dengan Sumi bersalaman sambil mencium pipi kanan dan

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Anindita Diculik

    "Pak ...," lirihnya sambil berusaha melepas pelukan sang Bapak. Sama seperti Agus, perasaan gadis itu pun campur aduk. Antara senang, kecewa, tapi juga takut. Bayangan kemarahan Agus masih teringat jelas di otaknya. Bagaimana dia ditampar keras oleh Agus hanya karena menyetel murotal Al-Qur'an melalui pengeras suara di rumahnya. Dia melarang keras Anindita dan Ibunya mengaji juga salat. Padahal, dulu Anindita begitu disayang oleh sang Bapak. Sikapnya pun sangat lembut. Berbanding terbalik dengan saat ini yang kasar dan sering marah-marah.Namun, dia teringat lagi akan nasihat Bai, jika harus tetap berbakti dan berbuat baik terhadap kedua orang tua selama dia tidak mengajak pada kemusyrikan. "Bapak ...." Anindita pasrah dan akhirnya membiarkan sang Bapak memeluknya penuh rindu. Dia pun membalas pelukannya sembari menangis sesenggukan. Menumpahkan segala perasaannya selama ini. Kecewa, ingin marah, takut, juga rindu yang membaur menjadi satu."Maafkan Bapak, Anin. Maafkan Bapak ..

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Hampir Terenggut Kesuciannya

    Sementara itu, Sumi, Bai, Ken, dan Husain langsung mengendarai mobilnya menuju tempat di mana mereka pernah membuntuti Agus saat mempersembahkan tumbal janin calon anaknya. Karena mereka yakin, Agus pasti membawa Anindita ke tempat itu. Dan benar saja, saat tiba di sana, mereka melihat mobil Agus terparkir di tepi jalan.Husain menghentikan mobilnya persis di belakang mobil Agus. Kemudian mereka turun dan langsung menuju tempat yang di mana Agus mempersembahkan janinnya dulu.Namun, kosong. Mereka tidak menemukan siapapun di sana. Hanya ada sebuah makam yang terlihat sudah sangat tua. Kemungkinan, makam itu disakralkan oleh warga sekitar. Terlihat dari banyaknya bekas bunga tujuh rupa, sesaji, dan bekas dupa."Nggak ada siapapun. Ke mana mereka membawa Anin?" Sumi pun semakin mencemaskan Anindita. Pikirannya sudah ke mana-mana. "Kita berpencar mencari mereka. Kita harus segera menemukan Anindita," ujar Bai serius. "Saya bersama istri ke arah kanan. Bu Sumi dan Mas Husain ke arah ki

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Bukan Akhir, Tapi Awal

    Agus pun menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Bai berdiri di belakangnya. Ada rasa syukur saat ada orang lain yang membantunya menyelamatkan anaknya dari kelakuan bejat Mbah Moyo."Siapa kamu? Berani-beraninya ikut campur urusanku?" tanya Mbah Moyo dengan tatapan tajam. Seolah marah karena aksinya terganggu. "Aku Bai. Orang tua gadis yang ingin kamu lecehkan. Dia anakku di pesantren. Jadi, di saat nyawanya terancam, maka aku akan maju untuk menyelamatkannya!" balas Bai dengan tetap tenang. Namun tegas. Mbah Moyo pun tertawa terbahak-bahak. "Heh, bapak kandungnya saja tidak peduli. Bahkan, dia tega menumbalkan anaknya agar harta kekayaannya bertambah. Lalu, kenapa kamu begitu peduli? Bahkan ... seakan menyerahkan nyawamu padaku demi menyelamatkan gadis ini?""Dia pergi dari pesantren. Dan dia menjadi tanggung jawabku. Hidup mati itu hanya ada di tangan Allah. Bukan di tangan iblis sepertimu!" sahut Bai dengan sengit. "Manusia sok suci!" Mbah Moyo pun mulai menyerang Bai. Namun

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Permintaan Tolong

    Tujuh bulan kemudian .... “Ada apa, Mas?” Ken mendekati suaminya dengan penasaran setelah menerima panggilan dari salah satu kerabatnya. Lelaki yang masih menggunakan sarung bermotif batik dan dipadu dengan kaos oblong itu memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan sang Istri yang kini tengah mengandung buah hati mereka setelah penantian tiga tahun lamanya. Usia kandungannya kini memasuki tujuh bulan. “Bulek Tini sakit katanya, Sayang,” jawabnya dengan raut wajah cemas dan bingung. “Innalillahi, sakit apa?” Kening Ken membentuk lapisan tipis. Sedangkan Bai menggelengkan kepalanya pelan. “Kok?” Ken semakin menatapnya heran. “Duduk dulu. Nanti Mas ceritakan.” Bai meraih pinggang sang Istri. Menuntunnya untuk duduk di kursi sofa yang ada di pojok kamar mereka. Setelahnya, Ken duduk bersandar dengan nyaman dan siap mendengarkan kisah yang akan diceritakan oleh suaminya, Bai

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Berangkat ke Jogja

    Bai pun memberitahu kedua orangtuanya tentang penyakit yang diderita oleh Bulek Tini. Keduanya pun meminta Bai untuk menengok sepupu dari ibunya itu.“Ya sudah. Ayah minta dijenguk saja dulu. Dilihat. Nanti Ayah kalau sudah pulang juga mau lihat seperti apa kondisi Bulek,” sahut Ajeng, ibu dari Bai.“Iya. Rencananya sore ini juga mau ke sana.”“Ken ikut?” tanya sang Ibu menatap Ken yang mengangguk dengan senyuman.“Ikut, Bu. Ken juga mau lihat kondisi Bulek Tini,” sahutnya.“Berangkatnya jangan terlalu sore, ya. Jangan sampai ketemu maghrib di jalan. Istri kamu lagi hamil, Bai,” katanya mengingatkan.“Iya, Bu. Insyaallah nanti sebelum ashar kita berangkat. Biar ashar di jalan saja,” katanya sambil menoleh pada istrinya yang kembali mengangguk. Setuju dengan rencana suaminya.Ustadz Fathur, ayah dari Bai sendiri sedang mendampingi anak-anak pondok berzi

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Kejadian di Rumah Bulek Tini

    Bai pun mencoba menenangkan istrinya. Memeluknya sambil mengusap punggungnya dan membacakan ayat kursi.“Sudah, Dek. Nggak ada apa-apa,” katanya sambil melepas pelukan sang istri. “Mas coba mobilnya dulu. Siapa tahu sudah jadi. Jangan dilihat lagi, ya!”Ken pun mengangguk dan memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain. Lalu menunduk sampai Bai masuk ke dalam mobilnya. Dia langsung mengapit lengan kiri suaminya dengan erat.“Bismillahirahmanirrahim. Ya Allah … bantu kami …,” gumam Bai sebelum menyalakan mesin mobil. Dan akhirnya menyala.“Alhamdulillah ….” Keduanya pun bisa bernapas lega karena akhirnya mobil berhasil berjalan lagi.“Ayo cepat, Mas! Aku nggak mau lama-lama di sini,” ujar Ken sedikit ketakutan. Dia masih sedikit trauma dengan apa yang dilihatnya.Jika makhluk yang terbiasa terlihat seperti pocong dan teman-temannya mungkin Ken sudah tidak takut. Namun, kali ini perempuan tua yang dilihatnya itu sedang memakan janin yang masih berlumuran darah.Sedangkan dirinya sedan

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Kisah Bulek Tini

    Setelah menunggu beberapa saat, tak lagi terdengar keributan di dalam kamar Bulek Tini. Bai pun kembali meminta izin pada Paklek Bimo untuk masuk ke dalam dan melihat kondisi Bulek Tini.“Kamu tunggu di luar dulu, Sayang. Takutnya masih membahayakan,” katanya menatap sang Istri yang mengangguk patuh.Begitu pintu dibuka, Bai pun masuk sambil mengucapkan salam dengan begitu tenang.“Astaghfirullahal’adzim!” Bai terpekik sambil memejamkan kedua matanya sesaat setelah wajahnya dilempar oleh sesuatu dari arah samping. Lelaki yang selalu memakai peci hitam itu pun menoleh ke arah kanan.“Mau apa kamu ke sini? Jangan ikut campur!”Bulek Tini berdiri di pojok kamar sambil menatap Bai dengan tajam. Jari telunjuknya bahkan sampai menunjuk Bai. Seolah tak suka dengan kehadiran Bai.“Bai, masih, ya?” Paklek Bimo menyembul di belakang tubuh Bai dengan takut.“Masih, Paklek,” jawabnya singkat.“Hati-hati, Mas,” ujar Ken menatap suaminya dengan cemas.“Iya. Kamu tetap di situ!” balasnya tanpa menol

Bab terbaru

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Pasar Tradisional

    Hujan semakin turun dengan derasnya. Pepohonan mobat-mabit diterjang badai. Semua orang yang ada di dalam rumah Bulek Tini duduk di ruang tamu, mengamati sekitar. Juga Bulek Tini yang ikut duduk di sana dengan sedikit bersandar pada bantal.Petir dan kilat saling bersahutan. Hingga terdengar memekakkan telinga.“Subhanallah … ngeri banget ini hujannya,” ujar Bulek Tuti yang duduk sambil memeluk kakak perempuannya yang juga sama ketakutan.“Kabar terkini, jalur utama longsor dan nggak bisa dilewati kendaraan,” sahut Bimo setelah melihat informasi dari gawainya.“Kamu ini lho, Bim. Orang petir lagi menyambar-nyambar gini kok masih main hp juga,” omel Bulek Tuti pada adik bungsunya.“Update informasi, Yu,” sahutnya. Lalu mematikan layar ponsel dan menyimpannya kembali di saku celana.“Kita fix nggak bisa pulang ini dong, Mas,” kata Ken menatap suaminya yang menggeleng lemah.

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Efek Buhul

    Di tempat lain, bersamaan dengan terbakarnya isi dari bungkusan putih yang ditemukan oleh Ken, Bulek Tini mengerang kepanasan. Membuat Bulek Tuti, adik perempuan Bulek Tini yang kebetulan sedang berkunjung panik.“Bimo, ini Yu Tini gimana?” teriaknya memanggil nama adik bungsunya.Lelaki berkumis tipis lari tergopoh dari halaman belakang saat mendengar teriakan kakak perempuannya.“Kenapa, Yu?” tanyanya mendekat dan terlihat panik.“Ini Yu Tini gimana?”“Yu, istighfar. Jangan begini,” katanya menatap Bulek Tini yang terus mengerang sambil memegangi kepalanya. Lalu perutnya yang terlihat lebih besar dari kemarin.“Sakiiitttt …,” jerit Bulek Tini tertahan.“Dibawa ke rumah sakit lagi apa gimana ini?” Tuti pun panik bukan main. Dia tidak tega melihat kondisi sang kakak yang terus kesakitan.“Jangan, Yu! Percuma. Kemarin di rumah sakit juga nggak kelihatan apa-apanya,” tolaknya. “Aku hubungi Bai dulu. Biar dia yang menangani,” tukasnya. Lalu menelepon Bai dan menyuruhnya pulang.Bai dan K

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Menemukan Buhul

    Sesuai rencana, Bai dan Ken izin menuju warung di mana Bulek Tini berjualan. Di mana warung tersebut berada di kompleks tempat wisata Bhumi Merapi. Setelahnya, mereka berniat untuk kembali ke Magelang dan memberitahu pada kedua orangtuanya.“Bagus juga tempatnya kalau pagi-pagi gini, ya, Mas,” ujar Ken sambil bergandengan tangan dengan suaminya.Mereka memilih berjalan menuju warung. Karena jaraknya lumayan dekat. Bisa untuk olahraga Ken yang tengah hamil tujuh bulan itu sembari menikmati suasana pegunungan yang masih asri.“Iya. Dulu waktu kecil Mas sering nginep di rumah Bulek. Karena kan dulu anaknya cowok, tapi meninggal pas masih usia satu tahunan kayaknya. Kalau masih hidup ya seusia Mas. Makanya, Mas dianggap kayak anak sendiri sama Bulek Tini,” papar suaminya sambil menoleh dan tersenyum pada Ken.Ken mengangguk sambil terus berjalan perlahan. Tautan tangan keduanya semakin erat dengan senyum yang terus terukir di bibir keduanya sambil terus memuji Allah atas keindahan alam ya

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Mengancam Ken

    “Sayang!” Bai menyadari istrinya seperti mimpi buruk langsung berusaha membangunkan Ken.“Sayang, bangun!” Bai menepuk pelan pipi sang Istri yang terlihat sedang mengigau.Tak bangun-bangun, dia pun membisikkan ayat kursi di samping telinga sang Istri dan membuat Ken seketika itu membuka mata dengan lebar.“Alhamdulillah …,” kata Bai mengembuskan napas lega karena akhirnya istrinya bangun.“Mas,” panggil Ken sambil memegangi perutnya dengan panik. “Anak kita nggak papa kan?”“Insyallah anak kita baik-baik saja. Kamu kenapa emang? Mimpi apa?” tanyanya sambil menatap istrinya dengan cemas. Sedangkan tangannya mengusap perut istrinya dengan lembut hingga terasa gerakan sang janin yang menandakan tak terjadi sesuatu dengan calon buah hatinya.“Aku tadi mimpi-“Ken tak jadi melanjutkan kalimatnya saat terdengar suara benda jatuh seperti bom di atas atap rumah Bulek Tini. Saking terkejutnya, keduanya sampai reflek mengucap istighfar. Lalu saling melempar pandang.“Bulek Tini!” pekik keduany

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Menduga-duga

    “Jadi, beberapa hari sebelum Yu Tini sakit dan masuk rumah sakit, dagangannya itu sempat sepi sekali. Sekalinya ada yang beli, katanya makanannya basi. Padahal ya baru aja kami masak. Masakan kita selalu fresh. Karena aku juga bantuin Yu Tini, makanya aku paham betul. Kalau Yu Tini itu paling anti dengan makanan kemarin. Kalau nggak habis aja langsung dibuang atau dikasih ke orang kalau masih layak dikonsumsi,” paparnya.Bai dan Ken kembali saling pandang dan mengangguk. Menyimak dengan seksama.“Pernah ada beberapa juga yang katanya mau beli makanan di warung Yu Tini, tapi katanya tutup. Sekililingnya pun kotor kayak udah nggak buka lamaaa sekali. Nggak terurus katanya,” katanya lagi.Bai menarik napas dalam. Lalu menoleh pada sang Istri yang mengangguk paham.“Maaf sebelumnya … apa Bulek Tini pernah ada masalah dengan salah satu pedagang di sana?” tanya Ken memastikan jika dugaannya benar.“Kalau setahuku sih nggak ada,” sahut Paklek Bimo. Lalu menoleh pada kakak perempuannya. “Apa

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Kisah Bulek Tini

    Setelah menunggu beberapa saat, tak lagi terdengar keributan di dalam kamar Bulek Tini. Bai pun kembali meminta izin pada Paklek Bimo untuk masuk ke dalam dan melihat kondisi Bulek Tini.“Kamu tunggu di luar dulu, Sayang. Takutnya masih membahayakan,” katanya menatap sang Istri yang mengangguk patuh.Begitu pintu dibuka, Bai pun masuk sambil mengucapkan salam dengan begitu tenang.“Astaghfirullahal’adzim!” Bai terpekik sambil memejamkan kedua matanya sesaat setelah wajahnya dilempar oleh sesuatu dari arah samping. Lelaki yang selalu memakai peci hitam itu pun menoleh ke arah kanan.“Mau apa kamu ke sini? Jangan ikut campur!”Bulek Tini berdiri di pojok kamar sambil menatap Bai dengan tajam. Jari telunjuknya bahkan sampai menunjuk Bai. Seolah tak suka dengan kehadiran Bai.“Bai, masih, ya?” Paklek Bimo menyembul di belakang tubuh Bai dengan takut.“Masih, Paklek,” jawabnya singkat.“Hati-hati, Mas,” ujar Ken menatap suaminya dengan cemas.“Iya. Kamu tetap di situ!” balasnya tanpa menol

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Kejadian di Rumah Bulek Tini

    Bai pun mencoba menenangkan istrinya. Memeluknya sambil mengusap punggungnya dan membacakan ayat kursi.“Sudah, Dek. Nggak ada apa-apa,” katanya sambil melepas pelukan sang istri. “Mas coba mobilnya dulu. Siapa tahu sudah jadi. Jangan dilihat lagi, ya!”Ken pun mengangguk dan memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain. Lalu menunduk sampai Bai masuk ke dalam mobilnya. Dia langsung mengapit lengan kiri suaminya dengan erat.“Bismillahirahmanirrahim. Ya Allah … bantu kami …,” gumam Bai sebelum menyalakan mesin mobil. Dan akhirnya menyala.“Alhamdulillah ….” Keduanya pun bisa bernapas lega karena akhirnya mobil berhasil berjalan lagi.“Ayo cepat, Mas! Aku nggak mau lama-lama di sini,” ujar Ken sedikit ketakutan. Dia masih sedikit trauma dengan apa yang dilihatnya.Jika makhluk yang terbiasa terlihat seperti pocong dan teman-temannya mungkin Ken sudah tidak takut. Namun, kali ini perempuan tua yang dilihatnya itu sedang memakan janin yang masih berlumuran darah.Sedangkan dirinya sedan

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Berangkat ke Jogja

    Bai pun memberitahu kedua orangtuanya tentang penyakit yang diderita oleh Bulek Tini. Keduanya pun meminta Bai untuk menengok sepupu dari ibunya itu.“Ya sudah. Ayah minta dijenguk saja dulu. Dilihat. Nanti Ayah kalau sudah pulang juga mau lihat seperti apa kondisi Bulek,” sahut Ajeng, ibu dari Bai.“Iya. Rencananya sore ini juga mau ke sana.”“Ken ikut?” tanya sang Ibu menatap Ken yang mengangguk dengan senyuman.“Ikut, Bu. Ken juga mau lihat kondisi Bulek Tini,” sahutnya.“Berangkatnya jangan terlalu sore, ya. Jangan sampai ketemu maghrib di jalan. Istri kamu lagi hamil, Bai,” katanya mengingatkan.“Iya, Bu. Insyaallah nanti sebelum ashar kita berangkat. Biar ashar di jalan saja,” katanya sambil menoleh pada istrinya yang kembali mengangguk. Setuju dengan rencana suaminya.Ustadz Fathur, ayah dari Bai sendiri sedang mendampingi anak-anak pondok berzi

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Permintaan Tolong

    Tujuh bulan kemudian .... “Ada apa, Mas?” Ken mendekati suaminya dengan penasaran setelah menerima panggilan dari salah satu kerabatnya. Lelaki yang masih menggunakan sarung bermotif batik dan dipadu dengan kaos oblong itu memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan sang Istri yang kini tengah mengandung buah hati mereka setelah penantian tiga tahun lamanya. Usia kandungannya kini memasuki tujuh bulan. “Bulek Tini sakit katanya, Sayang,” jawabnya dengan raut wajah cemas dan bingung. “Innalillahi, sakit apa?” Kening Ken membentuk lapisan tipis. Sedangkan Bai menggelengkan kepalanya pelan. “Kok?” Ken semakin menatapnya heran. “Duduk dulu. Nanti Mas ceritakan.” Bai meraih pinggang sang Istri. Menuntunnya untuk duduk di kursi sofa yang ada di pojok kamar mereka. Setelahnya, Ken duduk bersandar dengan nyaman dan siap mendengarkan kisah yang akan diceritakan oleh suaminya, Bai

DMCA.com Protection Status