Mobil terparkir sempurna di halaman rumah Asta yang luas. Kanopi kaca diatas carport memungkinkan Raya dan Gavin untuk keluar dari mobil tanpa kebasahan. Tak jauh di sisi lain carport, sudah berdiri Asta, ditemani Sal dan seorang pria paruh baya, nampak tengah mendiskusikan sesuatu di depan sebuah mobil yang kapnya terbuka.
Ketiga orang itu menoleh saat Raya dan Gavin mendekat.
"Assalammu'alaikum, Pi." Raya sumringah menyalami Ayah Asta.
Ayah Asta tersenyum. "Wa'alaikumsalam. Apa kabar, nduk?"
"Baik, Pi. Papi apa kabar?"
"Sehat, Alhamdulillah. Abis dari Lombok kata Asta?" Ayah Asta bertanya antusias. Meski sudah berusia lebih dari lima puluh, Ayah Asta masih sangat bugar. Penampilannya sederhana untuk statusnya sebagai pengusaha kopi yang pabrik dan kebunnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Produknya bahkan sudah melanglangbuana hingga mancanegara.
Raya nyengir. "Biasa, Pi. Cuci mata."
"Lo doang kayaknya cewek yang cuci matanya bukan ke mall, Ra." Asta mencibir.
"Dih, siapa bilang gue nggak ke mall? Gue mampir beli underwear ke Tunjungan Plaza." Raya menyebut salah satu mall di Surabaya.
Asta geleng-geleng kepala.
"Kok lama?" tanya Sal pada Gavin.
"Beliin cemilan pak bos dulu tadi." Pria itu mengangkat bungkusan plastik di tangannya. "Lo kapan dateng?"
"Lima belas menit, kayaknya."
"Naik apa?" Pandangan Gavin mengedar ke sekitar. Di garasi keluarga Asta yang pintunya terbuka, terparkir satu motor matic keluaran terbaru, satu motor Royal Enfield, satu Vespa PX Series keluaran tahun 80-an, satu Alphard, satu BMW klasik seri E21, dan satu Mercedes C300. Satu-satunya kendaraan yang tampak 'biasa' adalah yang terparkir di carport dengan kap terbuka ini. Mitsubishi Xpander yang sebenarnya bisa Asta beli secara cash tapi malah ia cicil selama tiga tahun.
"Naik ojek online, mobil gue dipinjem bokap nganter Shilla ke Bandung." jawab Sal. Menyebut nama adik perempuannya yang masih kuliah di Universitas Padjadjaran.
"Terus ini mobil kenapa?" Gavin menunjuk mobil putih di hadapannya.
Asta menutup kap mobilnya. "Nggak apa-apa, ngecek aja. Biar aman dijalan."
"Nggak pakai mobil gue aja?"
"Mobil lo kan udah abis asuransinya. Lagian mobil gue baru kelar servis kemarin."
"By the way, Pi. Mami mana?" Raya berbisik pada Ayah Asta disela-sela percakapan teman-temannya.
"Oh, Mami lagi di dapur sama Laras siapin makan malam. Masuk gih, kamu ditungguin dari tadi," titah Ayah Asta.
Raya lantas pamit dan masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang yang berada di garasi. Setelah berjalan sedikit melalui lorong yang berdampingan dengan service area, ia tiba di dapur rumah Asta yang besar.
Mengusung tema scandinavian, dapur rumah ini terasa hangat dengan sentuhan serat kayu yang berdampingan dengan warna hijau tosca. Ada lampu gantung di langit-langitnya yang tinggi, menyorot langsung ke island-nya yang lebar sehingga cukup untuk kompor empat tungku dan bar makan. Berbagai elektronik canggih hadir di setiap sudut. Kulkas instaview door-in-door yang bisa menyala hanya dengan di ketuk, dishwasher keluaran terbaru, oven tanam merk Bosch yang Raya tahu harganya tiga kali motor matic masa kini, air purifier yang tergantung di langit-langit. Rasanya cuma dapur keluarga Weasley yang bisa menandingi canggihnya dapur keluarga ini.
"Oh, Raya!" Ibu Asta yang sedang menuang bumbu ke atas wajan menyadari kehadirannya.
"Mam." Raya menyalami tangan Ibu Asta yang tampak cantik dalam balutan maxi dress Dolce Gabbana motif maiolica biru tua, berbalut kerudung segi empat keluaran butik lokal kenamaan.
Seperti panggilan Papi untuk Ayah Asta, Raya juga memanggil Ibu Asta dengan sebutan Mami sesuai permintaan mereka. Biar terasa punya anak perempuan, katanya.
"Kehujanan nggak sayang? Kesini sama siapa?"
"Bareng mobil Gavin, Mam - Hei, Ras." Raya cipika cipiki dengan pacar Asta.
"Berangkat jam tiga pagi ya?" tanya Laras sambil mengambil beberapa piring di rak dan menyusunnya di meja makan.
"Iya. Cowok lo tuh, mau nonton Liverpool dulu."
"Sorry, I can't help." Laras mengangkat tangan, rambutnya yang panjang dikuncir kuda ikut bergoyang saat dia tertawa.
"Nggak apa-apa, kalian kan jadi bisa istirahat dulu - Mbak, tolong." Ibu Asta memerintahkan satu ART untuk menuang makanan di wajan ke piring saji.
Raya yang mau membantu dicegah oleh Ibu Asta. Wanita paruh baya itu malah mendorongnya ke kursi makan. "Duduk, anteng."
Baru Raya akan protes, Laras menyahut, "Simpen aja tenaga lo buat nyetir, Ra."
Ruang makan Asta berada tepat di tengah-tengah dapur dan ruang keluarga. Mejanya cukup untuk menampung delapan orang sekaligus. Dengan pekerjaan orang tua Asta yang membuat mereka jarang berada dirumah, bayangkan Asta makan sendirian di ruangan sebesar ini.
Meski begitu, orang tua Asta adalah sosok yang hangat. Mereka tak pernah ketinggalan berita soal Asta, termasuk hadir dalam momen-momen penting pria itu. Wisuda, hari ulang tahun, peresmian kantor baru Asta. Termasuk hari ini, ketika Asta bilang akan berkelana bersama ketiga temannya menuju pulau Sumatera, mereka dengan segera kembali ke Jakarta dari pabrik mereka di Semarang untuk membantu Asta berkemas.
Hal yang selalu membuat Raya iri pada Asta juga dua sahabatnya yang lain. Karena presensi kedua orang tua mereka yang tak berubah hingga hari ini.
Pria-pria datang tak lama kemudian. Setelah Mbak Marni - ART keluarga Asta - menghidangkan satu menu terakhir, sayur asem favorit Asta dan ayahnya, makan malam pun dimulai. Percakapan didominasi oleh Ayah Asta yang bercerita banyak soal kebun kopi mereka.
"Kebun kopi Papi di Pagaralam ada di areal paling tinggi, Ra. Deket kaki Gunung Dempo. Karena suhunya lebih dingin, karakter kopinya jadi lebih kuat. Rasanya cenderung lebih nutty dan spicy," kata Ayah Asta sambil menyendok kuah sayur asem ke piring. "Kalau ada waktu lagi, coba kamu mampir ke Aceh, Ra, ke Bener Meriah. Papi baru buka agrowisata disana. Kamu bisa petik biji kopi, minum, sekaligus melihat proses pengolahannya ke pabrik. Pemandangannya juga bagus."
Raya tersenyum. "Lain kali deh, Pi. Kalau sekarang nggak cukup waktu. Paling-paling cuma sampai Padang."
"Wah, Padang juga seru ya, Pi? Tempat wisatanya banyak dan bagus-bagus, makanannya juga enak-enak." Ibu Asta menimpali.
"Gimana kalau kita road trip aja ke Aceh bulan depan, Ra?" Ayah Asta nyengir lebar mendengar ide nyelenehnya sendiri.
Asta mendelik. "Pi, apaan sih? Nggak usah aneh-aneh deh."
"Ya kalau kamu nggak mau ikut, Papi bertiga aja sama Raya sama Mami."
"Sok deh, kayak kuat aja Papi di mobil berhari-hari."
"Kan ada Raya, ya Ra?"
Raya mengangkat ibu jari. "Siap lahir batin, Pi."
Asta mendendang pelan kaki Raya yang duduk di seberangnya. "Ini lagi pakai disahutin."
Raya nyengir.
"Lagian bulan depan kan ada jadwal penting, Pi. Papi nggak boleh capek-capek, biar seger pas lamaran Asta."
"Hah?!" Sontak Raya, Sal dan Gavin terkejut. Matanya membola melirik Asta dan Laras bergantian.
"Lo bilang apaan tadi?" Sal memastikan.
"Eh, gue belum cerita ya?" Asta melirik Laras di sampingnya. "Gue ngelamar Laras minggu kemarin, and she said yes. Orang tua kita udah saling ketemu, tinggal bikin acara besarnya aja bulan depan," kata pria chubby tersebut sambil tersenyum lebar. Sementara Laras mengelus lengan kekasihnya.
Sal masih melongo. "Kok lo nggak cerita?"
"Tadinya gue mau bilang, tapi kata Raya lo habis putus, ya nggak jadi deh. Daripada lo bete."
Sal menyipitkan mata. Mulutnya membentuk sebuah kata tanpa bersuara. "Tai."
"Sal putus? Kok bisa?" tanya Ibu Asta prihatin. "Padahal Mami pikir kalian bisa nikah di tahun yang sama, loh."
"Ceweknya selingkuh, Mi," jawab Asta, lebih ke meledek.
"Ya ampun." Ayah Asta geleng-geleng kepala. "Padahal Asta sama kamu juga gantengan kamu, Sal. Bisa-bisanya di selingkuhi. Sing sabar ya."
Raya tergelak. Sementara Sal tersenyum puas melihat Asta yang cemberut.
"Pada bisa datang kan, Sal, Raya, Gavin?" Ibu Asta bertanya antusias. "Mami nggak menerima penolakan, loh."
Laras tertawa. "Terus Mami kenapa nanya, dong?"
"Mastiin aja. Nanti Mami beliin seragamnya. Banyak yang bagus-bagus di Mayestik! Di Thamrin juga ada. Tapi Mami mau cek dulu yang di Tebet besok deh, ada rekomendasi temen Mami." Mata Ibu Asta seketika berkilat. Membuat pembicaraan seputar trip ke Sumatera harus banting setir ke berbagai butik kebaya di Jakarta.
---
"Pakaian, alat mandi..." Sal menilik ransel-ransel di kakinya lalu mengangkatnya masuk ke dalam bagasi. "Drone, DSLR, charger, RC...""Itu di jok belakang aja." Gavin meraih tas selempang berisi perlengkapan fotografi dan memasukkannya ke mobil. "Portable power station sama batrai cadangan biar di bagasi.""Siap." Sal meraih benda yang lain. "Gitar, tenda, sleeping bag... Eh, ini kita bawa tenda, Ra?"Raya yang sejak tadi bersandar di sisi bagasi mengangguk. "Buat jaga-jaga aja, siapa tahu kita nggak dapet penginapan."Sal meringis. Untuknya yang punya prinsip 'healing itu untuk ngilangin pusing bukan bikin tambah rungsing', membayangkan berkemah jelas membuatnya merinding. Paling tidak hotel bintang tiga, atau bintang dua yang dekat dengan pusat jajanan. Atau glamping minimal, dengan catatan keharusan toilet yang bersih dan akses wara wiri yang nyaman.Mengingat Raya yang merencanakan ini, sepertinya Sal harus buang jauh-jauh ekpekstasi penginapan nyaman tersebut."Udah, percaya aja
Menara Siger yang menyambut dari kejauhan menjadi pertanda mereka telah tiba di Lampung dengan selamat. Pukul enam pagi saat mobil turun dari kapal dan mereka akhirnya mendarat di Pulau Sumatera."Wohoo! Gue di Lampung!" Sal berseru bangga. Kamera ponselnya merekam pemandangan diluar jendela.Asta yang duduk di sebelahnya memukul lengan Sal. "Berisik lo, Raya lagi nelfon." "Iya, Bli. Aku udah keluar Bakauheni." Raya mengangguk dengan wajah serius. "Ke desa apa? - Oh, oke aku tunggu share loc nya. Makasih, Bli.""Gimana?" Gavin yang kebagian duduk di balik setir melirik saat Raya mematikan sambungan telepon."Ke Desa Braja Harjosari, Vin. Kita lewat lintas timur.""Temen lo nunggu disana?""Iya, di homestay. Sampai udah disiapin kamar karena dia pikir kita berangkat malem. Nggak taunya nungguin yang nonton Liverpool dulu," sindir Raya."Nggak sia-sia kan tapi nungguin gue nonton bola? Kapan lagi lo bisa liat sunrise di kapal." Kepala Asta nyembul diantara mereka berdua."Terus, itu te
Ada satu tempat di antara padang savana ini, terlindung di balik hutan kecil dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, sebuah bangunan sederhana dari kayu. Dengan tempat duduk-duduk, dapur kecil dekat bangunan utama, juga bangunan kayu lain yang lebih tinggi sebagai tempat pengecekan rutin terhadap para gajah. Disebut sebagai ERU atau Elephant Response Unit, tempat ini dibangun untuk menangani konflik yang terjadi antara gajah liar dengan masyarakat sekitar."ERU ini, dibentuk beberapa tahun lalu, guna melakukan patroli untuk menjaga gajah-gajah tersebut masuk ke pemukiman warga, sekaligus menjaga kawanan gajah dari aktivitas perburuan liar,” jelas Bli Toni pada rombongan. "Biasanya, seorang mahot akan ditemani satu gajah jinak yang sudah terlatih saat melakukan patroli.""Mahot itu tugasnya apa, Bli?" Seorang pemuda yang tadi memegang kamera berlensa tele bertanya."Elephant sitter, anggap saja begitu. Karena seorang mahot biasanya hanya akan melatih dan mengurus satu gajah sam
Sal melirik kembali jam tangan digitalnya. Hari jumat, pukul tujuh malam. Dan siapapun pasti tahu Jakarta - entah lalu lintasnya, trasnportasi umumnya, restorannya, kafenya - padat sekali di waktu-waktu seperti ini. Tidak terkecuali tempat yang kini ia singgahi, sebuah kafe bertema industrialis di pinggiran Kemang, dengan baliho grand opening Nuansa Kafe terpampang besar di depan pagar."Sal, sori gue masih wara-wiri." Seorang pria dengan apron hijau menghampiri mejanya. Ada tulisan Suseno di bordir bagian kiri atas. Ia menyerahkan sepiring kentang goreng lengkap dengan saus keju."Apaan nih? Gue kan nggak pesen.""Compliment buat pelanggan setia." Alis Seno naik turun. "Yang lain belum dateng?""Asta sama Gavin udah otw dari kantor. Raya baru masuk tol dalam kota." Sal menjawab."Abis roadtrip lagi dia?" Seno bertanya soal Raya.Sal mengangguk. Ia comot satu kentang goreng, mencocolnya ke saus keju, dan memasukkan ke mulutnya. "Lombok.""Gila juga itu anak." Seno berdecak kagum. Seju
Sal meraih tumbler diatas meja, meneguk isinya, lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Matanya tak lepas dari layar komputer yang menampilkan Microsoft Excel dengan ratusan kolom berisi angka-angka desimal. Pointer di layar bergerak naik turun, lalu berhenti pada sebuah kolom. Sal mengetik sebuah formula pada kolom tersebut, lalu menggerakkan pointer nya lagi, mencari kolom yang lain. Begitu terus sejak tadi."Dor!""Anjrit!" Seorang pria bertubuh kecil dengan rambut cepak tiba-tiba muncul di samping kubikel. Nyengir kuda. "Lembur lho, Sal?" tanya Mas Bian, menunjuk jam tangan digital merk Cina di tangannya. Jam delapan malam.Sal masih elus-elus dada. "Iya, ada dokumen kontrak yang harus gue cek buat rapat bareng vendor besok pagi. Lo sendiri baru balik?""Iku loh, drafter banyak yang cuti. Jadi ghue deh yang disuruh back up kerjaan."Mas Bian ini baru delapan bulan pindah dari Semarang ke Jakarta, dengan dalih beradaptasi, lucu sekali mendengarnya bicara lo-gue diantara logat J
Seminggu kemudian.Bolpoin bergerak cepat di atas kertas, membentuk sebuah tanda tangan yang diawali dengan huruf G kecil, menyusul liukan keatas dan kebawah, diakhiri titik diatasnya. Gavin membalik berkas tersebut dan melakukannya lagi. "Kalau ada perubahan, sekecil apapun itu, tolong forward ke saya ya."Pria bertubuh gempal di hadapannya dengan cepat mengangguk. "Baik, Pak.""Nanti dari tim arsitek di dampingin siapa?""Untuk restoran Siang-Malam, Mbak Raya nunjuk Pak Harris. Tapi untuk rumah Pak Samuel, Mbak Raya bilang langsung ke beliau aja, soalnya Pak Samuel cuma mau rumahnya di follow up sama Mbak Raya."Gavin manggut-manggut. Sembari memijat-mijat kening, ia menyelesaikan satu tanda tangan terakhir. "Kalau gitu, titip tim operasional buat seminggu ke depan ya, Don. Kabarin kalau ada apa-apa.""Siap, Pak." Doni mengangguk lagi. Lantas pamit setelah Gavin menyerahkan kembali dokumennya.Setelah dirasa tidak ada pekerjaan yang tertinggal, Gavin melangkah keluar dari ruangan da