Share

4. Kejutan Asta

Penulis: Sasha Adiraya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-30 13:39:57

Mobil terparkir sempurna di halaman rumah Asta yang luas. Kanopi kaca diatas carport memungkinkan Raya dan Gavin untuk keluar dari mobil tanpa kebasahan. Tak jauh di sisi lain carport, sudah berdiri Asta, ditemani Sal dan seorang pria paruh baya, nampak tengah mendiskusikan sesuatu di depan sebuah mobil yang kapnya terbuka. 

Ketiga orang itu menoleh saat Raya dan Gavin mendekat.

"Assalammu'alaikum, Pi." Raya sumringah menyalami Ayah Asta.

Ayah Asta tersenyum. "Wa'alaikumsalam. Apa kabar, nduk?"

"Baik, Pi. Papi apa kabar?"

"Sehat, Alhamdulillah. Abis dari Lombok kata Asta?" Ayah Asta bertanya antusias. Meski sudah berusia lebih dari lima puluh, Ayah Asta masih sangat bugar. Penampilannya sederhana untuk statusnya sebagai pengusaha kopi yang pabrik dan kebunnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Produknya bahkan sudah melanglangbuana hingga mancanegara.

Raya nyengir. "Biasa, Pi. Cuci mata."

"Lo doang kayaknya cewek yang cuci matanya bukan ke mall, Ra." Asta mencibir.

"Dih, siapa bilang gue nggak ke mall? Gue mampir beli underwear ke Tunjungan Plaza." Raya menyebut salah satu mall di Surabaya.

Asta geleng-geleng kepala.

"Kok lama?" tanya Sal pada Gavin.

"Beliin cemilan pak bos dulu tadi." Pria itu mengangkat bungkusan plastik di tangannya. "Lo kapan dateng?"

"Lima belas menit, kayaknya."

"Naik apa?" Pandangan Gavin mengedar ke sekitar. Di garasi keluarga Asta yang pintunya terbuka, terparkir satu motor matic keluaran terbaru, satu motor Royal Enfield, satu Vespa PX Series keluaran tahun 80-an, satu Alphard, satu BMW klasik seri E21, dan satu Mercedes C300. Satu-satunya kendaraan yang tampak 'biasa' adalah yang terparkir di carport dengan kap terbuka ini. Mitsubishi Xpander yang sebenarnya bisa Asta beli secara cash tapi malah ia cicil selama tiga tahun. 

"Naik ojek online, mobil gue dipinjem bokap nganter Shilla ke Bandung." jawab Sal. Menyebut nama adik perempuannya yang masih kuliah di Universitas Padjadjaran.

"Terus ini mobil kenapa?" Gavin menunjuk mobil putih di hadapannya.

Asta menutup kap mobilnya. "Nggak apa-apa, ngecek aja. Biar aman dijalan."

"Nggak pakai mobil gue aja?"

"Mobil lo kan udah abis asuransinya. Lagian mobil gue baru kelar servis kemarin."

"By the way, Pi. Mami mana?" Raya berbisik pada Ayah Asta disela-sela percakapan teman-temannya.

"Oh, Mami lagi di dapur sama Laras siapin makan malam. Masuk gih, kamu ditungguin dari tadi," titah Ayah Asta.

Raya lantas pamit dan masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang yang berada di garasi. Setelah berjalan sedikit melalui lorong yang berdampingan dengan service area, ia tiba di dapur rumah Asta yang besar.

Mengusung tema scandinavian, dapur rumah ini terasa hangat dengan sentuhan serat kayu yang berdampingan dengan warna hijau tosca. Ada lampu gantung di langit-langitnya yang tinggi, menyorot langsung ke island-nya yang lebar sehingga cukup untuk kompor empat tungku dan bar makan. Berbagai elektronik canggih hadir di setiap sudut. Kulkas instaview door-in-door yang bisa menyala hanya dengan di ketuk, dishwasher keluaran terbaru, oven tanam merk Bosch yang Raya tahu harganya tiga kali motor matic masa kini, air purifier yang tergantung di langit-langit. Rasanya cuma dapur keluarga Weasley yang bisa menandingi canggihnya dapur keluarga ini.

"Oh, Raya!" Ibu Asta yang sedang menuang bumbu ke atas wajan menyadari kehadirannya.

"Mam." Raya menyalami tangan Ibu Asta yang tampak cantik dalam balutan maxi dress Dolce Gabbana motif maiolica biru tua, berbalut kerudung segi empat keluaran butik lokal kenamaan.

Seperti panggilan Papi untuk Ayah Asta, Raya juga memanggil Ibu Asta dengan sebutan Mami sesuai permintaan mereka. Biar terasa punya anak perempuan, katanya.

"Kehujanan nggak sayang? Kesini sama siapa?"

"Bareng mobil Gavin, Mam - Hei, Ras." Raya cipika cipiki dengan pacar Asta.

"Berangkat jam tiga pagi ya?" tanya Laras sambil mengambil beberapa piring di rak dan menyusunnya di meja makan.

"Iya. Cowok lo tuh, mau nonton Liverpool dulu."

"Sorry, I can't help." Laras mengangkat tangan, rambutnya yang panjang dikuncir kuda ikut bergoyang saat dia tertawa.

"Nggak apa-apa, kalian kan jadi bisa istirahat dulu - Mbak, tolong." Ibu Asta memerintahkan satu ART untuk menuang makanan di wajan ke piring saji.

Raya yang mau membantu dicegah oleh Ibu Asta. Wanita paruh baya itu malah mendorongnya ke kursi makan. "Duduk, anteng."

Baru Raya akan protes, Laras menyahut, "Simpen aja tenaga lo buat nyetir, Ra." 

Ruang makan Asta berada tepat di tengah-tengah dapur dan ruang keluarga. Mejanya cukup untuk menampung delapan orang sekaligus. Dengan pekerjaan orang tua Asta yang membuat mereka jarang berada dirumah, bayangkan Asta makan sendirian di ruangan sebesar ini.

Meski begitu, orang tua Asta adalah sosok yang hangat. Mereka tak pernah ketinggalan berita soal Asta, termasuk hadir dalam momen-momen penting pria itu. Wisuda, hari ulang tahun, peresmian kantor baru Asta. Termasuk hari ini, ketika Asta bilang akan berkelana bersama ketiga sahabatnya menuju pulau Sumatera, mereka dengan segera kembali ke Jakarta dari pabrik mereka di Semarang untuk membantu Asta berkemas.

“Nanti mau jalan-jalan sampai mana, Ra? Aceh?” tanya Ayah Asta sambil menyendok sayur asem ke piring. 

Raya menggeleng. "Nggak, Pi. Waktunya nggak cukup. Sal cuma dapet cuti seminggu soalnya. Paling-paling cuma sampai Padang."

"Wah, Padang juga seru ya, Pi? Banyak wisata sejarahnya, pemandangannya bagus-bagus, makanannya juga enak-enak. Di Bukittinggi aja kamu bisa dapet semua." Ibu Asta menimpali.

“Kalau kamu mau, Papi ada temen yang punya hotel di sana. Papi bisa minta tolong dia nyiapin kamar buat kalian selama kalian di Padang.” Ayah Asta menawarkan. 

“Wah, Raya sih nggak nolak kalo ada sponsor, Pi." 

“Kapan-kapan, Mami juga mau dong ikut road trip sama kamu. Bosen jalan-jalan berdua Papi terus." Ibu Asta menyenggol lengan Raya yang duduk di sampingnya. 

“Ah Mami, kayak kuat aja duduk di mobil berjam-jam. Sama Asta ke Bandung aja mampir terus ke rest area," ledek putranya sendiri. 

“Kalau itu sih emang pas kebelet aja, Ta. Jaman Mami muda dulu, Mami liputan kemana-mana juga naik mobil.” Ibu Asta tak mau kalah. 

"Gimana kalo Papi sama Mami nyusul kamu ke Padang, Ra? Habis cowok-cowok ini pulang, kita lanjut jalan sampai Aceh. Kebetulan Papi baru buka kawasan agrowisata di kebun kopi Papi di Bener Meriah, kita kesana ya?" Ayah Asta nyengir mendengar ide nyelenehnya sendiri. 

Asta mendelik. “Pi, apaan sih? Nggak usah aneh-aneh deh. Papi kan udah nggak kuat nyetir jauh.”

"Kan ada Raya, ya Ra?"

Raya mengangkat ibu jari. "Siap lahir batin, Pi."

“Raa… Jangan di iyain bisa nggak?” Asta menunjuk Raya dengan sendok di tangannya.

Raya cengengesan. “Ampun.”

"Lagian bulan depan kan ada jadwal penting, Pi. Papi nggak boleh capek-capek, biar seger pas lamaran Asta nanti," lanjut Asta. 

"Hah?!" Sontak Raya, Sal dan Gavin terkejut. Matanya membola melirik Asta dan Laras bergantian.

"Lo bilang apaan tadi?" Sal memastikan.

Laras memandang Asta dan ketiga teman pacarnya dengan bingung. “Kamu belum cerita?”

“Oh iya, lupa.” Asta garuk-garuk kepala. Cengar-cengir tanpa rasa bersalah. Pria itu lantas bangkit setelah memasukkan sesendok nasi ke mulutnya. “Bentar ya, gue ambilin sesuatu.”

Mata Sal mengekor Asta yang naik ke lantai atas melalui tangga yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga. Ia berusaha mencari jawabannya pada Laras. “Apa sih?”

Laras senyum-senyum. Menggendikkan bahu. “Tunggu Asta aja, ya.”

Asta kembali dalam dua menit, membawa tiga paperbag berisi kotak yang terbungkus rapi. Ia bagikan masing-masing satu pada Sal, Raya dan Gavin, lalu berdiri di belakang Laras. “Buka deh,” perintahnya. 

“Apaan nih?” Raya sempat melirik pada orang-orang yang hadir di ruang makan sebelum membuka isinya. 

Kotak itu berukuran sedang, berwarna putih, diikat oleh pita hitam dan bertuliskan nama masing-masing mereka dalam tinta perak yang di grafir tegak dan tebal. Setelah membuka kancing magnetnya, mereka menemukan secarik kertas bertuliskan:

Will you come to our engagement? 

In love, Prahasta & Larassati. 

Seketika, mata Raya melebar. Sal dan Gavin yang juga selesai membaca isi kertas tersebut ikut melihat Asta tidak percaya. 

“Ini… serius?” Sal melongo. 

“Dua minggu lagi, dateng ya. Tiada kesan tanpa kehadiranmu.” Asta terkekeh. 

“Kok baru bilang?” ganti Gavin bertanya. 

"Tadinya gue mau bilang pas kita di Nuansa kemari. Tapi kata Raya, Sal baru putus. Nggak jadi deh. Daripada dia sedih."

Sal menyipitkan mata. Mulutnya membentuk sebuah kata tanpa bersuara. "Tai."

Gavin menilik lagi isi kotaknya. Dibalik tumpukkan shredded paper, ada secarik kain batik dan lipatan bahan katun berwarna abu-abu. Tak sampai disitu, saat ia mengangkat kainnya, ia dapati sebuah kotak kecil berikut selembar kertas lain tersembunyi disana. Selembar kertas berisi foto mereka berempat di sebuah restoran sushi di mall dekat kampus. Tepat di hari masa orientasi mereka berakhir, sekaligus awal mula persahabatan mereka, sepuluh tahun lalu.

Gavin lalu dibuat terkejut saat melihat isi kotak kecil tadi. Jam tangan Breitling dalam koleksi Superocean Heritage model stainless strap Milanese Breath, dengan dial dan bezel hitam, yang Gavin tau harganya cukup untuk DP rumah baru. Terlalu mewah untuk masuk dalam set style groomsmen, tapi rasanya tak mungkin juga Asta memberikannya tanpa maksud tertentu.

“Ini… apa, Ta?” Gavin bisa melihat Sal memegang benda yang sama. Sementara Raya, mengangkat gelang emas putih dengan deretan berlian kecil melingkari sebagian permukaannya. 

“Buat kalian. Anggep aja ini hadiah ten years anniversary kita dari gue.” Asta tersenyum. Berjalan mendekati Raya dan memakaikan gelang tersebut ke pergelangan gadis itu. “Suka nggak?” 

“Suka banget, Ta…” Raya terenyuh. Ia amati gelang yang kini melingkari tangannya lalu menatap Asta penuh haru. Matanya mendadak memerah. “Makasih banyak ya. Lo udah sering ngasih kita macem-macem, tapi gue belum bisa ngasih lo apa-apa.”

“Kata siapa lo belum ngasih gue apa-apa. Lo masih ada disini aja gue udah seneng banget, Ra. Gue jadi nggak sendirian lagi. Gue jadi tau gimana rasanya punya saudara.” Asta mengusap kepala Raya, kemudian mengangkat wajahnya, memandang Sal dan Gavin bergantian. “Makasih udah mau jadi temen gue sampai hari ini, ya. Dibanding hadiah-hadiah ini, you guys mean a lot.”

Tanpa aba-aba, Sal bangkit dari tempat duduk, merentangkan tangan, dan memeluk Asta dari belakang. “Yang pertama dan terakhir, gue nggak akan meluk lo lagi setelah ini," katanya seraya membenamkan wajah di bahu Asta.

Asta tertawa. Menoyor kepala Sal. “Nggak usah gengsi, bilang aja lo sayang sama gue.”

“Gue juga sayang banget sama kalian.” Raya menambahkan kehangatan di ruang makan tersebut dengan ikut memeluk mereka berdua. Sementara Gavin, berdiri di tempatnya duduk. Mengabadikan momen tersebut melalui kamera ponselnya. 

Ibu Asta mengamit lengan suaminya. Matanya malah sudah sembab sejak tadi. “Yang akur sampe tua ya, anak-anak Mami..."

Laras yang turut hanyut dalam romantisme persahabatan kekasihnya, mengaminkan keras-keras doa calon ibu mertuanya. 

“Terus… hadiah dari gue,” kata Sal setelah melepaskan pelukannya. “Sori gue cuma bisa ngasih surat cuti buat kita jalan-jalan ke Sumatera. Tapi gue janji, kita akan buat core memory paling menyenangkan di road trip kali ini.”

We will.” Asta mengangguk sembari merangkul Raya. Senyumnya mengembang lebar. “Tapi tunggu ya, gue nonton Liverpool dulu.”

---

Bab terkait

  • Perjalanan Patah Hati   5. Menuju Bakauheni

    "Pakaian, alat mandi..." Sal mencermati ransel-ransel di kakinya lalu mengangkatnya masuk ke dalam bagasi. "Drone, DSLR, charger, RC...""Itu di jok belakang aja." Gavin meraih tas selempang berisi perlengkapan fotografi dan memasukkannya ke mobil. "Portable power station sama batrai cadangan biar di bagasi.""Siap." Sal meraih benda yang lain. "Gitar, tenda, sleeping bag... Eh, ini kita bawa tenda, Ra?"Raya yang sejak tadi bersandar di sisi bagasi mengangguk. "Buat jaga-jaga aja, siapa tahu kita nggak dapet penginapan."Sal meringis. Untuknya yang punya prinsip 'healing itu untuk ngilangin pusing bukan bikin tambah rungsing', membayangkan berkemah jelas membuatnya merinding. Paling tidak hotel bintang tiga, atau bintang dua yang dekat dengan pusat jajanan. Atau glamping minimal, dengan catatan keharusan toilet yang bersih dan akses wara wiri yang nyaman.Mengingat Raya yang merencanakan ini, sepertinya Sal harus buang jauh-jauh ekpekstasi penginapan nyaman tersebut."Udah, percaya aj

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-18
  • Perjalanan Patah Hati   6. Way Kambas

    Menara Siger yang menyambut dari kejauhan menjadi pertanda mereka telah tiba di Lampung dengan selamat. Pukul enam pagi saat mobil turun dari kapal dan mereka akhirnya mendarat di Pulau Sumatera."Wohoo! Gue di Lampung!" Sal berseru bangga. Kamera ponselnya merekam pemandangan diluar jendela.Asta yang duduk di sebelahnya memukul lengan Sal. "Berisik lo, Raya lagi nelfon." "Iya, Bli. Aku udah keluar Bakauheni." Raya mengangguk dengan wajah serius. "Ke desa apa? - Oh, oke aku tunggu share loc nya. Makasih, Bli.""Gimana?" Gavin yang kebagian duduk di balik setir melirik saat Raya mematikan sambungan telepon."Ke Desa Braja Harjosari, Vin. Kita lewat lintas timur.""Temen lo nunggu disana?""Iya, di homestay. Sampe udah disiapin kamar karena dia pikir kita berangkat malem. Nggak taunya nungguin yang nonton Liverpool dulu," sindir Raya."Nggak sia-sia kan tapi nungguin gue nonton bola? Kapan lagi lo bisa liat sunrise di kapal." Kepala Asta nyembul diantara mereka berdua."Terus, itu teme

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-20
  • Perjalanan Patah Hati   7. Menyapa Para Gajah

    Ada satu tempat di antara padang savana ini, terlindung di balik hutan kecil dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, sebuah bangunan sederhana dari kayu. Dengan tempat duduk-duduk, dapur kecil dekat bangunan utama, juga bangunan kayu lain yang lebih tinggi sebagai tempat pengecekan rutin terhadap para gajah. Disebut sebagai ERU atau Elephant Response Unit, tempat ini dibangun untuk menangani konflik yang terjadi antara gajah liar dengan masyarakat sekitar."ERU ini, dibentuk beberapa tahun lalu, guna melakukan patroli untuk menjaga gajah-gajah tersebut masuk ke pemukiman warga, sekaligus menjaga kawanan gajah dari aktivitas perburuan liar,” jelas Bli Toni pada rombongan. "Biasanya, seorang mahot akan ditemani satu gajah jinak yang sudah terlatih saat melakukan patroli.""Mahot itu tugasnya apa, Bli?" Seorang pemuda yang tadi memegang kamera berlensa tele bertanya."Elephant sitter, anggap saja begitu. Karena seorang mahot biasanya hanya akan melatih dan mengurus satu gajah samp

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-21
  • Perjalanan Patah Hati   8. Mimpi Buruk

    Asta merebahkan tubuh di teras setibanya mereka di homestay. Kaos Boss hitamnya sudah basah dipenuhi peluh. Rambutnya berantakan. Usianya yang menjelang tiga puluh, ditambah bobot tubuhnya yang nyaris menyentuh angka delapan puluh, membuatnya lelah lebih cepat. Apalagi setelah pulang dari ERU tadi, Bli Toni masih mengajak mereka mampir ke satu tempat budidaya lebah madu trigona milik warga. Kini betisnya jadi terasa sedikit berdenyut."Olahraga makanya," kata Gavin, menyandarkan tubuh ke tembok di sebelah Asta. "Punya sepeda mahal-mahal nggak di pake.""Belum, bukannya nggak." Asta membela diri. "Lo juga mulai jarang nge-gym gue perhatiin.""Jogging sekarang. Lagi males nge-gym." "Kenapa?""Di godain om-om." Gavin tertawa.Asta terbahak-bahak.Diantara tiga pria ini, Gavin memang yang terbilang punya gaya hidup paling sehat. Ia tidak minum kopi jika benar-benar ingin, tidak merokok, jarang mengkonsumsi junk food dan rutin minum vitamin. Tingginya mungkin tiga centi dibawah Sal, tapi p

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-24
  • Perjalanan Patah Hati   9. Petuah

    "Lingkaranku kerap bertanya. Mengapa ku tampak biasa-biasa saja."Sal melirik Raya yang duduk di sampingnya. Tengah memejamkan mata menyanyikan lagu Juicy Luicy yang terputar melalui music player di mobil. Kepalanya bergoyang pelan, duduknya tegap, tangannya terangkat mengikuti alunan lagu."Jalani hari dan tertawa, apa selama ini ku tak benar cinta?"Raya mengepalkan tangan. Mengarahkannya ke depan mulut Sal, seolah-olah ada mic yang ia sodorkan pada penontonnya. Mereka bernyanyi bersama."Tak harus ku alirkan air mata, untuk tunjukkan derita. Dia tinggalkanku, seketika. Tak perlu ku terus-terus bertanya, apa alasannya? Mungkin dia bukan orangnya!"Sal dan Raya saling melakukan tos diiringi gelak tawa penuh kebanggaan. Suara Sal yang maskulin, cocok sekali beradu dengan suara Raya yang ringan dan lembut. Lagunya juga terbilang pas untuk Sal yang baru saja putus cinta. Asta bertepuk tangan di jok belakang, sementara Gavin tetap terlelap.Satu jam berlalu sejak mereka meninggalkan homes

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-25
  • Perjalanan Patah Hati   10. Dua Rahasia

    Lampung terik. Tapi entah bagaimana, ubin masjid seakan punya teknologi mutakhir yang mampu membuatnya tetap dingin dan sejuk di tengah cuaca seperti ini. Termasuk selasar Masjid Taqwa Kota Metro yang siang itu berubah jadi oase dan menarik banyak orang untuk sekedar meluruskan kaki atau tidur-tidur ayam. Termasuk, Raya. Hampir tiga menit ia melamun memandangi pantulan sinar matahari yang mentereng dahsyat di halaman masjid sampai sebuah panggilan masuk mengubah raut wajahnya yang tenang jadi se-sumpek udara siang itu dalam sepersekian detik. Ia pandangi nama di layar ponselnya untuk beberapa saat, sebelum menggeser tombol hijaunya."Halo?" Raya menyapa orang diseberang dengan malas. "Dimana, Kak?"Basa basi sekali, Raya membatin."Ada apa?""Ibu minta kirimin uang, buat beli token sama bayar arisan."Kan, ia tak perlu menjawab. Toh, info lokasinya tak pernah penting bagi keluarganya. "Nanti di transfer.""Sama uang jajanku, kan?" Suara pria di seberang terdengar cemas.Setidaknya ia

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-27
  • Perjalanan Patah Hati   11. Ingatan

    Pukul sepuluh malam saat Gavin menerima pesan masuk dari Asta, lampiran video berdurasi lima belas detik yang membawanya melesat cepat dari kasurnya yang hangat menuju sebuah apartemen di bilangan Jakarta Selatan. Dalam rekaman CCTV itu terlihat Raya, melangkah gusar, berkali-kali menjatuhkan kunci apartemennya saat hendak membuka pintu, dan dengan tubuh bergetar hebat terhuyung masuk ke unitnya. Raut wajahnya dipenuhi oleh beragam emosi yang sulit di gambarkan. Sebuah pertanda buruk yang Gavin hapal betul saat gadis itu mencapai puncak episode depresinya.Gavin tiba di lantai delapan apartemen tersebut dengan nafas tersengal. Sudah ada Sal di sana, berkacak pinggang di depan pintu dengan nafas memburu yang sama.“Dikunci, gue bisa denger suara benda jatuh tapi dia nggak mau buka pintu.” Sal menjelaskan situasinya. Gavin mengetuk pintu. “Raya, ini gue, Gavin. Please buka pintunya, Ra! Lo nggak bisa sendirian,” serunya, tetap berusaha setenang mungkin. “Gue temenin jalan malem ini, R

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-27
  • Perjalanan Patah Hati   12. Jagat Raya

    Raya dengan segera melangkah keluar dari mobil setelah kendaraan terparkir sempurna di lahan parkir yang tersedia di bawah jembatan. Wajahnya sumringah. Matanya berkilat penuh semangat. Tangannya menggenggam erat buku sketsa di dada. Kakinya berlari-lari kecil tanpa memperdulikan panggilan Sal dan Asta di belakang."Tunggu, Ra!""Pelan-pelan, Ra!"Suara kedua pria itu menyatu dengan deru mobil dan percakapan banyak orang. Tidak terdengar. Raya tetap menaiki anak tangga dan baru berhenti setelah tiba di puncaknya. Gadis itu tersenyum lebar. Mengatur nafasnya yang tersengal."Hati-hati dong, Ra! Kalau lo-""Sssh!"Kalimat Sal menggantung di udara. Ada telunjuk Raya yang menempel di bibirnya. Dengan gerakan kepala, ia meminta pria itu mengikuti arah pandang matanya.Seketika, Sal menganga terpesona.Langit berwarna jingga keunguan berpadu cantik dengan Sungai Musi yang mengalir tenang dibawah mereka. Di permukaannya, hilir mudik kapal-kapal tongkang serta perahu kecil yang berdampingan d

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01

Bab terbaru

  • Perjalanan Patah Hati   26. Ajakan Pernikahan

    Udara dingin yang menusuk membangunkan Sal dari tidur lelapnya. Dengan tubuh yang sedikit menggigil ia duduk, memasukkan tangan ke saku jaket yang ia kenakan saat tidur, dan mendapati selimut yang membalut tubuhnya semalam sudah berpindah ke tubuh pria lain di sebelahnya. Padahal Asta sudah menggunakan sweater juga selimut miliknya sendiri. Masih saja main asal tarik selimut Sal.Satu kasur lipat berukuran single bergeser beberapa centi di sebelah Asta. Terdorong oleh kaki pria itu, sepertinya. Diatasnya, terbaring Gavin, meringkuk, membungkus diri dibalik sleeping bag hijau yang dipinjam dari Raya.Sal tak lagi bisa terpejam. Ia putuskan untuk keluar dari kamar setelah mencium wangi semerbak bumbu dapur dan mendengar suara lidi bergesekan dengan lantai beton di halaman.Pekarangan rumah Nenek Raya ternyata jauh lebih luas dari yang bisa Sal tangkap saat gelap semalam. Terisi oleh kebun herbal dan pohon buah-buahan. Kolam ikan di sisi kiri rumah, bersebelahan dengan antena parabola dan

  • Perjalanan Patah Hati   25. Rumah Nenek

    Selalu ada yang magis dari rumah nenek. Sesuatu yang bisa mengubahmu kembali menjadi anak kecil hanya dengan duduk di ruang tamunya yang besar, sembari menghirup aroma furnitur kayu tua yang bercampur dengan wangi tanah setelah hujan, berselang seling dengan semerbak wangi makanan di dapur. Belum lagi pigura-pigura yang menempel di dinding, yang fotonya masih terbatas pada warna hitam putih atau sephia, yang dengan itu menampilkan deret bahagia kehidupan di masa lampau seperti film yang terputar secara acak dalam proyektor.Sampai pada bagian dimana kamu menyadari beberapa orang dalam film itu berubah, tak lagi sama, tak lagi ada, maka kamu akan menangis sejadi-jadinya dan merindukan itu semua. Menyesali betapa naif nya kita saat kecil dulu karena meminta dewasa datang lebih cepat. Kecuali bisa membeli apapun yang kita inginkan - jika ada uangnya - menjadi dewasa, ternyata tidak semenyenangkan itu."Minum dulu, Ra."Bang Faris datang dan menyodorkan segelas teh hangat pada Raya yang s

  • Perjalanan Patah Hati   24. Pulang

    Lagu End of The Road-nya Boz II Men melantun merdu. Mengisi keheningan di dalam mobil yang melintas dijalanan gelap dan berliku. Awan yang sejak tadi menggantung berubah warna jadi kelabu. Beriringan dengan gemuruh guntur dan cahaya berkilat di langit. Sejurus kemudian, milyaran tetes air turun. Sal melamun. Matanya memandang lurus pada hujan lebat di luar jendela, tapi pikirannya masih berada pada percakapannya dengan Gavin beberapa menit lalu. Saat pria itu mengatakan bahwa ia sekarat, dan Sal masih berusaha tersenyum, berharap Gavin hanya membual. Tapi kemudian pria itu terbatuk kencang beberapa kali, disertai darah yang keluar dari mulutnya, pertanda ia tak berdusta soal kondisi tubuhnya yang sekarat itu."Kita obrolin lagi nanti," kata Sal, memandang Gavin khawatir. "Lo masih bisa jalan, kan?"Gavin mengangguk lemah. Ia lepaskan tangan Sal yang menyangga bahunya, dan dengan langkah sedikit terseret keluar dari hutan sawit. Sal bisa melihat Gavin berusaha menegakkan tubuh, merap

  • Perjalanan Patah Hati   23. Rahasia untuk Sal

    "Ini ada pempek bakar, buat kalian nyemil di jalan." Umak menutup kotak bening berukuran sedang dihadapannya. Tubuhnya masih berbalut mukena putih, baru selesai sholat dzuhur. Raya dan Asta yang duduk di kiri dan kanannya memperhatikan dengan seksama.Mereka kembali dari Air Terjun Temam satu jam yang lalu. Lantas makan siang, sholat, dan bersiap untuk meninggalkan Lubuklinggau. Semua ransel dan barang bawaan telah rapi, sedang dimasukkan oleh Gavin dan Sal ke bagasi."Nah yang ini, ayam goreng sama malbi. Jaga-jaga kalau kalian kemalaman di jalan. Jalur ke Kerinci ndak ada restoran buka lepas maghrib." Umak menunjuk kotak-kotak yang lain. Raya membantu dengan menutup salah satunya."Makasih ya Umak. Harusnya Umak nggak perlu repot-repot begini.""Ndak apo. Dah lamo rumah Umak ndak ramai macam ini. Umak cuma berdua abangnya Rahman dirumah. Rahman baru balik dari Padang satu atau dua bulan sekali. Umak senang kalian datang."Raya mengelus-ngelus lengan Umak, terharu mendengar kalimat w

  • Perjalanan Patah Hati   22. Air Terjun Temam

    Langkah kaki Raya berhenti tepat di pijakan terakhir anak tangga. Persis di pinggiran sungai yang dibatasi oleh pagar setinggi pinggang orang dewasa. Di hulu sungai itu, mengalir deras air terjun setinggi 12 meter yang muka alirannya melebar sepanjang 25 meter. Dikelilingi oleh susunan bebatuan besar yang dari celah-celahnya, mencuat berbagai variasi lumut dan tanaman paku-pakuan. Kedalaman sungainya sekitar 4 meter di beberapa titik, dan lebih rendah di titik-titik yang lain. Ada gua kecil di balik air terjun itu, yang bisa digunakan untuk duduk-duduk sembari merasakan langsung hempasan angin bercampur partikel air. Pohon-pohon karet dan pepohonan liar yang tinggi menjulang, memberi nuansa sejuk diantara sinar matahari menyelinap diam-diam. "Tadi apa namanya, Man? Air terjun demam?" Asta bertanya setelah menurunkan ranselnya. Ia regangkan tangannya tinggi-tinggi di atas kepala."Temam, Ta." Sal memutar bola mata. "Kalau demam lo ceburin paracetamol biar sembuh."Asta pura-pura terta

  • Perjalanan Patah Hati   21. Arti Perjalanan

    Sal terbangun setelah merasa tubuhnya diguncang kasar oleh seseorang. Beriringan dengan bunyi dering telpon dan suara pria yang menyerukan namanya dengan nada kesal."Sal! Bangun! Hape lo bunyi daritadi tuh."Meski matanya belum sepenuhnya terbuka, dan sel-sel saraf di otaknya belum tersambung semua, Sal tahu itu Asta. Dengan malas ia meraih ponselnya yang tersimpan di bawah bantal, dan mengangkatnya tanpa melirik layar."Halo." Suaranya masih terdengar parau. "Iya, gue balik minggu depan." Sal berdeham, memastikan suaranya lebih nyaman di dengar. "He-eh, pake aja." Ia mengangguk. Sempat mengatakan 'iya' beberapa kali sebelum mengucapkan salam, lalu bangkit perlahan dan duduk bersandar ke dinding."Siapa?" tanya Asta, basa basi. "Abang gue, mau minjem mobil.""Oh."Setelah beberapa menit terdiam untuk memproses pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatannya, Sal akhirnya menoleh ke kiri. Mendapati Asta sedang duduk bersila tak jauh darinya, dengan tangan kanan menggenggam sebung

  • Perjalanan Patah Hati   20. Gavin

    Suara petik gitar melantun merdu memecah keheningan yang membungkus malam. Bersahut-sahutan dengan suara jangkrik dan kepak sayap kelelawar. Di teras rumah Rahman yang remang, Sal ditemani Asta dan Arip, masih asik berbincang ringan sambil sesekali menyanyikan sebuah lagu. Sementara Gavin terlihat dari pintu yang terbuka, tengah duduk di kasur yang digelar di ruang tamu sembari menonton sesuatu di ponselnya."Bentar bentar, nggak dapet nadanya." Sal membetulkan kembali posisi jarinya. Mencari chord yang tepat untuk lagu Two Is Better Than One-nya Boys Like Girls ft. Taylor Swift yang di request Asta barusan. "Terus, tau Andalas dari mana?" Asta kembali pada Arip sembari menunggu Sal selesai dengan lagunya. Ia katupkan jaketnya rapat-rapat untuk menghalau angin dingin yang berhembus."Dari temen, Bang. Dia bilang mau lanjut kuliah disini, pas saya udah daftar, nggak taunya dia malah bilang nggak jadi. Yaudah, terlanjur deh. Nggak bisa di cancel juga," jawab Arip sambil terkekeh getir.

  • Perjalanan Patah Hati   19. Malam di Lubuklinggau

    Langit sudah gelap saat mereka tiba di Lubuklinggau. Jalanan lengang. Di minimarket pertama yang mereka temui di kota itu, Raya menepi."Tunggu ya, orangnya belum dateng. Kalau kalian ada yang mau dibeli, sekalian aja," jelas Raya sembari menaikkan tuas rem. Ia raih ponselnya yang terselip di saku pintu, dan mengabari seseorang melalui pesan singkat.Sal lantas turun dari mobil. Mampir ke depan mesin ATM, lalu menyusuri rak berisi perlengkapan mandi untuk membeli sikat gigi lantaran teringat sikat giginya tertinggal di hotel tadi. Setelah memilih satu merk, pria itu lalu berjalan lagi menuju kulkas berisi minuman dingin. Sudah ada Gavin di sana, berdiri di depan pintu kulkas kaca yang masih tertutup, sambil menimbang-nimbang minuman apa yang ingin ia beli.“Tumben nggak beli vitamin c,” ujar Sal saat menyadari Gavin ternyata memperhatikan kulkas yang isinya minuman berkafein.“Lagi pengen aja,” jawab Gavin tanpa menoleh pada Sal sedikit pun. Dibukanya pintu kulkas tersebut, lalu ia amb

  • Perjalanan Patah Hati   18. Melanjutkan Perjalanan

    Rasanya baru semalam Sal duduk-duduk di Jembatan Ampera, memuaskan hasratnya makan pempek Palembang langsung di Palembang, menghabiskan pagi di Benteng Kuto Besak, makan siang diatas Sungai Musi dengan menu pindang pegagan yang nikmatnya masih melekat di lidah. Kini, diantara sayup-sayup adzan maghrib, dengan latar langit jingga yang begitu memanjakan mata, ia sudah berada di SPBU daerah Musi Rawas, meregangkan otot-otot yang kaku setelah empat jam berada dalam mobil sembari menghabiskan Martabak HAR yang tadi sempat Raya beli sebelum meninggalkan Palembang.Seluas penglihatan matanya, tak ada yang mencolok dari tempat tersebut, kecuali pohon-pohon besar yang mengitari SPBU – yang tentu saja tak pernah ia temui SPBU dengan latar hutan seperti ini di wilayah Jabodetabek, jalan utama selebar tujuh meter yang hanya terisi dua-tiga kendaraan sejak tadi, dan sebuah rumah warga yang lampu depannya terlihat redup di seberang jalan tersebut. Masih sekitar 60 kilometer lagi menuju pemberhentia

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status