Share

3. Hujan

Seminggu kemudian.

Bolpoin bergerak cepat di atas kertas, membentuk sebuah tanda tangan yang diawali dengan huruf G kecil, menyusul liukan keatas dan kebawah, diakhiri titik diatasnya. Gavin membalik berkas tersebut dan melakukannya lagi. "Kalau ada perubahan, sekecil apapun itu, tolong forward ke saya ya."

Pria bertubuh gempal di hadapannya dengan cepat mengangguk. "Baik, Pak."

"Nanti dari tim arsitek di dampingin siapa?"

"Untuk restoran Siang-Malam, Mbak Raya nunjuk Pak Harris. Tapi untuk rumah Pak Samuel, Mbak Raya bilang langsung ke beliau aja, soalnya Pak Samuel cuma mau rumahnya di follow up sama Mbak Raya."

Gavin manggut-manggut. Sembari memijat-mijat kening, ia menyelesaikan satu tanda tangan terakhir. "Kalau gitu, titip tim operasional buat seminggu ke depan ya, Don. Kabarin kalau ada apa-apa."

"Siap, Pak." Doni mengangguk lagi. Lantas pamit setelah Gavin menyerahkan kembali dokumennya.

Setelah dirasa tidak ada pekerjaan yang tertinggal, Gavin melangkah keluar dari ruangan dan turun ke lantai dasar.

Asta dan Gavin membangun bisnis konstruksi mereka bersama-sama tiga tahun lalu, diatas rumah era kolonial dua lantai yang mengadopsi gaya Hindia-Belanda, milik orang tua Asta. Dikarenakan kondisi Raya yang perlu sering cuti - dan membuatnya kerap kali mendapat surat peringatan dari kantor-kantor sebelumnya - Asta menarik Raya untuk menjadi kepala staf arsitek di kantornya enam bulan kemudian. Sementara Gavin sendiri, menempati posisi manager operasional sekaligus orang nomor dua di kantor mereka.

"Nanti forward ke gue revisiannya ya, thanks!" Suara Raya menghentikan langkah Gavin di depan ruang rapat.

Muncul dari balik pintu, gadis berambut ikal melewati bahu, dengan midi dress putih bermotif bunga merah muda, menenteng buku sketsa di satu tangan.

Gavin tersenyum seketika. "Ra."

"Eh, Vin! Udah kelar?"

"Udah. Mau jalan sekarang?"

"Boleh. Gue ambil tas sebentar ya."

Gavin mengangguk. Manik matanya mengikuti Raya yang berjalan masuk ke ruang arsitek di seberang ruang rapat, lalu kembali tak sampai satu menit dengan tas laptop di tangan kiri dan tumbler hitam di tangan kanan. 

"Yuk!"

Langit kelabu saat mereka tiba di parkiran. Kilat muncul lamat-lamat diiringi suara guntur yang bergemuruh. Gerimis turun lima menit setelah Almaz putih Gavin meninggalkan kantor. Bukan waktu yang baik untuk mengawali perjalanan. Tapi dalam hati Raya berdoa semoga ini bukan pertanda buruk untuk perjalanan lintas Sumatera mereka malam nanti.

"Halo, Bos." Raya terlibat sambungan telepon dengan Asta. "Iya, udah keluar kantor. Lo udah dirumah, kan?"

Gavin mengecilkan volume musik mobilnya.

"Lo nitip apa? Oh, oke sip. Tunggu ya."

"Kenapa?" tanya Gavin setelah Raya memasukkan kembali ponselnya ke tas.

"Asta nitip cemilan. Kacang atau apalah gitu katanya, buat nemenin nonton Liverpool malam ini."

Gavin tergelak. "Pantes dari proyek langsung balik, mau tidur dulu ternyata."

Raya memutar bola mata. "Bisa ya, ada orang segitu maniaknya sama bola?"

"Ya kayak elo suka road trip, kenapa?"

"Kebutuhan." Raya nampak berpikir. "Gue bisa gila kalau nggak jalan, Vin."

"So does he. Malamnya Asta pasti sepi banget kalau nggak nonton bola."

Gavin benar. Menjadi anak tunggal kaya raya mungkin tidak semenyenangkan itu.

Gerimis berubah menjadi hujan deras saat mobil berhenti di pelataran parkir minimarket. Petir bersahutan. Gavin condongkan tubuhnya ke samping untuk mengambil payung di jok belakang dan menyerahkannya pada Raya. 

"Tunggu ya," ujar gadis itu sebelum membuka pintu dengan cepat dan berlari kecil menjauhi mobil.

Ada momen yang tak bisa Gavin lupa tiap berkaitan dengan Raya dan hujan lebat. Enam bulan lalu, ketika ia dengar Raya kehilangan sang ayah untuk selamanya.

Gavin ada disana selama seharian penuh, mengawasi Raya yang hanya duduk diam di ujung ruangan dengan tatap mata kosong menatap jenazah sang ayah. Tidak bicara, tidak bergerak, tidak pula menangis. Pun ketika sang ayah dimandikan, dikafani, di bawa masuk ke tempat peristirahatan terakhirnya. Ia hanya berdiri disana dalam diam, enggan menanggapi ratusan kalimat bela sungkawa yang dialamatkan kepadanya. 

Gavin mengantarnya pulang setelah itu. Disaat hujan lebat disertai petir yang bergemuruh. Ia tepikan mobilnya di bahu jalan, melepas seat belt, dan memiringkan tubuh agar bisa lebih mudah melihat gadis di sampingnya.

"Ra..." Gavin putus asa. Ia hanya ingin Raya meresponnya. "Sori gue nggak ngerti rasanya. Tapi gue tahu pasti sesak banget dada lo sekarang."

Raya tak menyahut. Matanya masih menatap lurus pada dentum air yang membentur kaca mobil.

Gavin meraih tangan Raya. Menggenggamnya dengan erat. "Keluarin semuanya, Ra. Lo nggak sendirian."

Di detik itu juga, Gavin bisa melihat setetes air mata mengalir di pipi Raya. Rasa sakit yang ia pendam, sedih yang ia tahan, runtuh seketika dalam genggaman tangan Gavin. Ia menangis. 

Gavin lantas merengkuh Raya kedalam pelukannya. Mencoba melakukan sebaik yang ia bisa untuk membuat gadis itu nyaman mengeluarkan seluruh emosinya. Butuh waktu beberapa detik sampai Raya membalas pelukannya, membenamkan wajah di bahunya, dan terisak lirih disana.

"Vin." Sebuah suara membuyarkan lamunan Gavin. Raya - entah sejak kapan, sudah kembali duduk di jok sebelah. Ada cipratan air di beberapa sisi pakaiannya. "Ada masalah?"

"Lo kehujanan?"

"Oh, ini." Raya menepuk-nepuk bagian bajunya yang basah. "Kecipratan sedikit aja. Deres banget diluar."

"Harusnya gue aja yang turun, ya?"

Raya tertawa. "Nggak usah lebay. Buruan jalan, dicariin Asta nanti."

Gavin patuh. Ia turunkan tuas rem, memundurkan mobil, dan kembali melaju di jalanan ibukota.

"Minum?" Raya menyodorkan minuman vitamin C yang tutupnya sudah lebih dulu ia buka.

Gavin meraihnya. "Makasih."

Mendadak hening. Raya sibuk mengunyah sebatang coklat sambil bergoyang pelan mengikuti alunan musik yang terputar di mobil Gavin. Gadis itu terlihat ceria.

"Sebahagia itu mau road trip lintas Sumatera?" tanya Gavin to the point.

"Kelihatan ya?" Raya nyengir. "Agak sedih sih soalnya nggak bisa bawa si Bebeb." Ia teringat BRV putih andalannya yang sedang menginap di bengkel.

"Kenapa sih? Bisa sampai nginep gitu?"

"Bemper belakang gue penyok di seruduk Pajero." Raya tertawa.

"Serius? Kok bisa? Kenapa baru cerita sekarang?" tanya Gavin. Mendadak cemas.

"Temen gue, lagi konvoi, dia nggak sadar gue di depan udah ngerem. Jadilah gue kena tubruk," jawab Raya santai.

"Tapi lo nggak apa-apa, kan?"

"Gue nggak akan disini kalau kenapa-kenapa kan, Vin?" 

Gavin melirik Raya. Untuk sesaat, tatap mata mereka beradu.

"Oke." Gavin mengalah. 

"Tenang aja, gue aman dijalan."

"I know."

"You know?"

"Lo nggak aman kalau di Jakarta."

Raya tergelak. "Tapi disini kan ada kalian."

Mobil berhenti di lampu merah. Gavin menoleh pada Raya. "Kalau nggak ada gue, gimana?"

Dahi Raya berkerut. Ia tak suka pertanyaan itu. "Kok nanyanya gitu?"

"Seandainya." Gavin menghela nafas. Menopang dahi dengan satu tangan. "Siapa tahu gue dapet kerja diluar kota lagi?"

Raya menerawang. Gavin memang pernah bekerja setahun di Surabaya sebelum membuka kantornya bersama Asta. 

"Ya gampang kan? Tinggal gue samperin aja kayak kemarin." Raya melempar tubuhnya ke sandaran kursi. Mengigit kembali coklat berbungkus ungu ditangannya. "Malah gue jadi ada alasan buat road trip tiap bulan. Silaturahmi, gitu?"

Gavin tertawa. "Ra... Simpel banget hidup lo."

"Hidup gue udah banyak masalah, Vin. Nggak usah dibawa ribet." Raya ikut tertawa.

Lampu kembali menyala hijau. Gavin berbelok ke kanan. Masuk ke areal perumahan mewah di bilangan Jakarta Timur.

"Bagus deh. Gue seneng kalau pemikiran sederhana lo itu bisa bikin lo ketawa terus."

"Kenapa emangnya?"

Sebelum berhenti di depan salah satu rumah, Gavin menoleh pada Raya sekilas dan tersenyum hangat.

"Because happiness looks good on you."

---

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status