Seminggu kemudian.
Bolpoin bergerak cepat di atas kertas, membentuk sebuah tanda tangan yang diawali dengan huruf G kecil, menyusul liukan keatas dan kebawah, diakhiri titik diatasnya. Gavin membalik berkas tersebut dan melakukannya lagi. "Kalau ada perubahan, sekecil apapun itu, tolong forward ke saya ya."
Pria bertubuh gempal di hadapannya dengan cepat mengangguk. "Baik, Pak."
"Nanti dari tim arsitek di dampingin siapa?"
"Untuk restoran Siang-Malam, Mbak Raya nunjuk Pak Harris. Tapi untuk rumah Pak Samuel, Mbak Raya bilang langsung ke beliau aja, soalnya Pak Samuel cuma mau rumahnya di follow up sama Mbak Raya."
Gavin manggut-manggut. Sembari memijat-mijat kening, ia menyelesaikan satu tanda tangan terakhir. "Kalau gitu, titip tim operasional buat seminggu ke depan ya, Don. Kabarin kalau ada apa-apa."
"Siap, Pak." Doni mengangguk lagi. Lantas pamit setelah Gavin menyerahkan kembali dokumennya.
Setelah dirasa tidak ada pekerjaan yang tertinggal, Gavin melangkah keluar dari ruangan dan turun ke lantai dasar.
Asta dan Gavin membangun bisnis konstruksi mereka bersama-sama tiga tahun lalu, diatas rumah era kolonial dua lantai yang mengadopsi gaya Hindia-Belanda, milik orang tua Asta. Dikarenakan kondisi Raya yang perlu sering cuti - dan membuatnya kerap kali mendapat surat peringatan dari kantor-kantor sebelumnya - Asta menarik Raya untuk menjadi kepala staf arsitek di kantornya enam bulan kemudian. Sementara Gavin sendiri, menempati posisi manager operasional sekaligus orang nomor dua di kantor mereka.
"Nanti forward ke gue revisiannya ya, thanks!" Suara Raya menghentikan langkah Gavin di depan ruang rapat.
Muncul dari balik pintu, gadis berambut ikal melewati bahu, dengan midi dress putih bermotif bunga merah muda, menenteng buku sketsa di satu tangan.
Gavin tersenyum seketika. "Ra."
"Eh, Vin! Udah kelar?"
"Udah. Mau jalan sekarang?"
"Boleh. Gue ambil tas sebentar ya."
Gavin mengangguk. Manik matanya mengikuti Raya yang berjalan masuk ke ruang arsitek di seberang ruang rapat, lalu kembali tak sampai satu menit dengan tas laptop di tangan kiri dan tumbler hitam di tangan kanan.
"Yuk!"
Langit kelabu saat mereka tiba di parkiran. Kilat muncul lamat-lamat diiringi suara guntur yang bergemuruh. Gerimis turun lima menit setelah Almaz putih Gavin meninggalkan kantor. Bukan waktu yang baik untuk mengawali perjalanan. Tapi dalam hati Raya berdoa semoga ini bukan pertanda buruk untuk perjalanan lintas Sumatera mereka malam nanti.
"Halo, Bos." Raya terlibat sambungan telepon dengan Asta. "Iya, udah keluar kantor. Lo udah dirumah, kan?"
Gavin mengecilkan volume musik mobilnya.
"Lo nitip apa? Oh, oke sip. Tunggu ya."
"Kenapa?" tanya Gavin setelah Raya memasukkan kembali ponselnya ke tas.
"Asta nitip cemilan. Kacang atau apalah gitu katanya, buat nemenin nonton Liverpool malam ini."
Gavin tergelak. "Pantes dari proyek langsung balik, mau tidur dulu ternyata."
Raya memutar bola mata. "Bisa ya, ada orang segitu maniaknya sama bola?"
"Ya kayak elo suka road trip, kenapa?"
"Kebutuhan." Raya nampak berpikir. "Gue bisa gila kalau nggak jalan, Vin."
"So does he. Malamnya Asta pasti sepi banget kalau nggak nonton bola."
Gavin benar. Menjadi anak tunggal kaya raya mungkin tidak semenyenangkan itu.
Gerimis berubah menjadi hujan deras saat mobil berhenti di pelataran parkir minimarket. Petir bersahutan. Gavin condongkan tubuhnya ke samping untuk mengambil payung di jok belakang dan menyerahkannya pada Raya.
"Tunggu ya," ujar gadis itu sebelum membuka pintu dengan cepat dan berlari kecil menjauhi mobil.
Ada momen yang tak bisa Gavin lupa tiap berkaitan dengan Raya dan hujan lebat. Enam bulan lalu, ketika ia dengar Raya kehilangan sang ayah untuk selamanya.
Gavin ada disana selama seharian penuh, mengawasi Raya yang hanya duduk diam di ujung ruangan dengan tatap mata kosong menatap jenazah sang ayah. Tidak bicara, tidak bergerak, tidak pula menangis. Pun ketika sang ayah dimandikan, dikafani, di bawa masuk ke tempat peristirahatan terakhirnya. Ia hanya berdiri disana dalam diam, enggan menanggapi ratusan kalimat bela sungkawa yang dialamatkan kepadanya.
Gavin mengantarnya pulang setelah itu. Disaat hujan lebat disertai petir yang bergemuruh. Ia tepikan mobilnya di bahu jalan, melepas seat belt, dan memiringkan tubuh agar bisa lebih mudah melihat gadis di sampingnya.
"Ra..." Gavin putus asa. Ia hanya ingin Raya meresponnya. "Sori gue nggak ngerti rasanya. Tapi gue tahu pasti sesak banget dada lo sekarang."
Raya tak menyahut. Matanya masih menatap lurus pada dentum air yang membentur kaca mobil.
Gavin meraih tangan Raya. Menggenggamnya dengan erat. "Keluarin semuanya, Ra. Lo nggak sendirian."
Di detik itu juga, Gavin bisa melihat setetes air mata mengalir di pipi Raya. Rasa sakit yang ia pendam, sedih yang ia tahan, runtuh seketika dalam genggaman tangan Gavin. Ia menangis.
Gavin lantas merengkuh Raya kedalam pelukannya. Mencoba melakukan sebaik yang ia bisa untuk membuat gadis itu nyaman mengeluarkan seluruh emosinya. Butuh waktu beberapa detik sampai Raya membalas pelukannya, membenamkan wajah di bahunya, dan terisak lirih disana.
"Vin." Sebuah suara membuyarkan lamunan Gavin. Raya - entah sejak kapan, sudah kembali duduk di jok sebelah. Ada cipratan air di beberapa sisi pakaiannya. "Ada masalah?"
"Lo kehujanan?"
"Oh, ini." Raya menepuk-nepuk bagian bajunya yang basah. "Kecipratan sedikit aja. Deres banget diluar."
"Harusnya gue aja yang turun, ya?"
Raya tertawa. "Nggak usah lebay. Buruan jalan, dicariin Asta nanti."
Gavin patuh. Ia turunkan tuas rem, memundurkan mobil, dan kembali melaju di jalanan ibukota.
"Minum?" Raya menyodorkan minuman vitamin C yang tutupnya sudah lebih dulu ia buka.
Gavin meraihnya. "Makasih."
Mendadak hening. Raya sibuk mengunyah sebatang coklat sambil bergoyang pelan mengikuti alunan musik yang terputar di mobil Gavin. Gadis itu terlihat ceria.
"Sebahagia itu mau road trip lintas Sumatera?" tanya Gavin to the point.
"Kelihatan ya?" Raya nyengir. "Agak sedih sih soalnya nggak bisa bawa si Bebeb." Ia teringat BRV putih andalannya yang sedang menginap di bengkel.
"Kenapa sih? Bisa sampai nginep gitu?"
"Bemper belakang gue penyok di seruduk Pajero." Raya tertawa.
"Serius? Kok bisa? Kenapa baru cerita sekarang?" tanya Gavin. Mendadak cemas.
"Temen gue, lagi konvoi, dia nggak sadar gue di depan udah ngerem. Jadilah gue kena tubruk," jawab Raya santai.
"Tapi lo nggak apa-apa, kan?"
"Gue nggak akan disini kalau kenapa-kenapa kan, Vin?"
Gavin melirik Raya. Untuk sesaat, tatap mata mereka beradu.
"Oke." Gavin mengalah.
"Tenang aja, gue aman dijalan."
"I know."
"You know?"
"Lo nggak aman kalau di Jakarta."
Raya tergelak. "Tapi disini kan ada kalian."
Mobil berhenti di lampu merah. Gavin menoleh pada Raya. "Kalau nggak ada gue, gimana?"
Dahi Raya berkerut. Ia tak suka pertanyaan itu. "Kok nanyanya gitu?"
"Seandainya." Gavin menghela nafas. Menopang dahi dengan satu tangan. "Siapa tahu gue dapet kerja diluar kota lagi?"
Raya menerawang. Gavin memang pernah bekerja setahun di Surabaya sebelum membuka kantornya bersama Asta.
"Ya gampang kan? Tinggal gue samperin aja kayak kemarin." Raya melempar tubuhnya ke sandaran kursi. Mengigit kembali coklat berbungkus ungu ditangannya. "Malah gue jadi ada alasan buat road trip tiap bulan. Silaturahmi, gitu?"
Gavin tertawa. "Ra... Simpel banget hidup lo."
"Hidup gue udah banyak masalah, Vin. Nggak usah dibawa ribet." Raya ikut tertawa.
Lampu kembali menyala hijau. Gavin berbelok ke kanan. Masuk ke areal perumahan mewah di bilangan Jakarta Timur.
"Bagus deh. Gue seneng kalau pemikiran sederhana lo itu bisa bikin lo ketawa terus."
"Kenapa emangnya?"
Sebelum berhenti di depan salah satu rumah, Gavin menoleh pada Raya sekilas dan tersenyum hangat.
"Because happiness looks good on you."
---
Mobil terparkir sempurna di halaman rumah Asta yang luas. Kanopi kaca diatas carport memungkinkan Raya dan Gavin untuk keluar dari mobil tanpa kebasahan. Tak jauh di sisi lain carport, sudah berdiri Asta, ditemani Sal dan seorang pria paruh baya, nampak tengah mendiskusikan sesuatu di depan sebuah mobil yang kapnya terbuka. Ketiga orang itu menoleh saat Raya dan Gavin mendekat."Assalammu'alaikum, Pi." Raya sumringah menyalami Ayah Asta.Ayah Asta tersenyum. "Wa'alaikumsalam. Apa kabar, nduk?""Baik, Pi. Papi apa kabar?""Sehat, Alhamdulillah. Abis dari Lombok kata Asta?" Ayah Asta bertanya antusias. Meski sudah berusia lebih dari lima puluh, Ayah Asta masih sangat bugar. Penampilannya sederhana untuk statusnya sebagai pengusaha kopi yang pabrik dan kebunnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Produknya bahkan sudah melanglangbuana hingga mancanegara.Raya nyengir. "Biasa, Pi. Cuci mata.""Lo doang kayaknya cewek yang cuci matanya bukan ke mall, Ra." Asta mencibir."Dih, siapa
"Pakaian, alat mandi..." Sal menilik ransel-ransel di kakinya lalu mengangkatnya masuk ke dalam bagasi. "Drone, DSLR, charger, RC...""Itu di jok belakang aja." Gavin meraih tas selempang berisi perlengkapan fotografi dan memasukkannya ke mobil. "Portable power station sama batrai cadangan biar di bagasi.""Siap." Sal meraih benda yang lain. "Gitar, tenda, sleeping bag... Eh, ini kita bawa tenda, Ra?"Raya yang sejak tadi bersandar di sisi bagasi mengangguk. "Buat jaga-jaga aja, siapa tahu kita nggak dapet penginapan."Sal meringis. Untuknya yang punya prinsip 'healing itu untuk ngilangin pusing bukan bikin tambah rungsing', membayangkan berkemah jelas membuatnya merinding. Paling tidak hotel bintang tiga, atau bintang dua yang dekat dengan pusat jajanan. Atau glamping minimal, dengan catatan keharusan toilet yang bersih dan akses wara wiri yang nyaman.Mengingat Raya yang merencanakan ini, sepertinya Sal harus buang jauh-jauh ekpekstasi penginapan nyaman tersebut."Udah, percaya aja
Menara Siger yang menyambut dari kejauhan menjadi pertanda mereka telah tiba di Lampung dengan selamat. Pukul enam pagi saat mobil turun dari kapal dan mereka akhirnya mendarat di Pulau Sumatera."Wohoo! Gue di Lampung!" Sal berseru bangga. Kamera ponselnya merekam pemandangan diluar jendela.Asta yang duduk di sebelahnya memukul lengan Sal. "Berisik lo, Raya lagi nelfon." "Iya, Bli. Aku udah keluar Bakauheni." Raya mengangguk dengan wajah serius. "Ke desa apa? - Oh, oke aku tunggu share loc nya. Makasih, Bli.""Gimana?" Gavin yang kebagian duduk di balik setir melirik saat Raya mematikan sambungan telepon."Ke Desa Braja Harjosari, Vin. Kita lewat lintas timur.""Temen lo nunggu disana?""Iya, di homestay. Sampai udah disiapin kamar karena dia pikir kita berangkat malem. Nggak taunya nungguin yang nonton Liverpool dulu," sindir Raya."Nggak sia-sia kan tapi nungguin gue nonton bola? Kapan lagi lo bisa liat sunrise di kapal." Kepala Asta nyembul diantara mereka berdua."Terus, itu te
Ada satu tempat di antara padang savana ini, terlindung di balik hutan kecil dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, sebuah bangunan sederhana dari kayu. Dengan tempat duduk-duduk, dapur kecil dekat bangunan utama, juga bangunan kayu lain yang lebih tinggi sebagai tempat pengecekan rutin terhadap para gajah. Disebut sebagai ERU atau Elephant Response Unit, tempat ini dibangun untuk menangani konflik yang terjadi antara gajah liar dengan masyarakat sekitar."ERU ini, dibentuk beberapa tahun lalu, guna melakukan patroli untuk menjaga gajah-gajah tersebut masuk ke pemukiman warga, sekaligus menjaga kawanan gajah dari aktivitas perburuan liar,” jelas Bli Toni pada rombongan. "Biasanya, seorang mahot akan ditemani satu gajah jinak yang sudah terlatih saat melakukan patroli.""Mahot itu tugasnya apa, Bli?" Seorang pemuda yang tadi memegang kamera berlensa tele bertanya."Elephant sitter, anggap saja begitu. Karena seorang mahot biasanya hanya akan melatih dan mengurus satu gajah sam
Sal melirik kembali jam tangan digitalnya. Hari jumat, pukul tujuh malam. Dan siapapun pasti tahu Jakarta - entah lalu lintasnya, trasnportasi umumnya, restorannya, kafenya - padat sekali di waktu-waktu seperti ini. Tidak terkecuali tempat yang kini ia singgahi, sebuah kafe bertema industrialis di pinggiran Kemang, dengan baliho grand opening Nuansa Kafe terpampang besar di depan pagar."Sal, sori gue masih wara-wiri." Seorang pria dengan apron hijau menghampiri mejanya. Ada tulisan Suseno di bordir bagian kiri atas. Ia menyerahkan sepiring kentang goreng lengkap dengan saus keju."Apaan nih? Gue kan nggak pesen.""Compliment buat pelanggan setia." Alis Seno naik turun. "Yang lain belum dateng?""Asta sama Gavin udah otw dari kantor. Raya baru masuk tol dalam kota." Sal menjawab."Abis roadtrip lagi dia?" Seno bertanya soal Raya.Sal mengangguk. Ia comot satu kentang goreng, mencocolnya ke saus keju, dan memasukkan ke mulutnya. "Lombok.""Gila juga itu anak." Seno berdecak kagum. Seju
Sal meraih tumbler diatas meja, meneguk isinya, lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Matanya tak lepas dari layar komputer yang menampilkan Microsoft Excel dengan ratusan kolom berisi angka-angka desimal. Pointer di layar bergerak naik turun, lalu berhenti pada sebuah kolom. Sal mengetik sebuah formula pada kolom tersebut, lalu menggerakkan pointer nya lagi, mencari kolom yang lain. Begitu terus sejak tadi."Dor!""Anjrit!" Seorang pria bertubuh kecil dengan rambut cepak tiba-tiba muncul di samping kubikel. Nyengir kuda. "Lembur lho, Sal?" tanya Mas Bian, menunjuk jam tangan digital merk Cina di tangannya. Jam delapan malam.Sal masih elus-elus dada. "Iya, ada dokumen kontrak yang harus gue cek buat rapat bareng vendor besok pagi. Lo sendiri baru balik?""Iku loh, drafter banyak yang cuti. Jadi ghue deh yang disuruh back up kerjaan."Mas Bian ini baru delapan bulan pindah dari Semarang ke Jakarta, dengan dalih beradaptasi, lucu sekali mendengarnya bicara lo-gue diantara logat J