Share

3. Hujan

Author: Sasha Adiraya
last update Last Updated: 2024-08-28 16:16:26

Seminggu kemudian.

Bolpoin bergerak cepat di atas kertas, membentuk sebuah tanda tangan yang diawali dengan huruf G kecil, menyusul liukan keatas dan kebawah, diakhiri titik diatasnya. Gavin membalik berkas tersebut dan melakukannya lagi. "Kalau ada perubahan, sekecil apapun itu, tolong forward ke saya ya."

Pria bertubuh gempal di hadapannya dengan cepat mengangguk. "Baik, Pak."

"Nanti dari tim arsitek di dampingin siapa?"

"Untuk restoran Siang-Malam, Mbak Raya nunjuk Pak Harris. Tapi untuk rumah Pak Samuel, Mbak Raya bilang langsung ke beliau aja, soalnya Pak Samuel cuma mau rumahnya di follow up sama Mbak Raya."

Gavin manggut-manggut. Sembari memijat-mijat kening, ia menyelesaikan satu tanda tangan terakhir. "Kalau gitu, titip tim operasional buat seminggu ke depan ya, Don. Kabarin kalau ada apa-apa."

"Siap, Pak." Doni mengangguk lagi. Lantas pamit setelah Gavin menyerahkan kembali dokumennya.

Setelah dirasa tidak ada pekerjaan yang tertinggal, Gavin melangkah keluar dari ruangan dan turun ke lantai dasar.

Asta dan Gavin membangun bisnis konstruksi mereka bersama-sama tiga tahun lalu, diatas rumah era kolonial dua lantai yang mengadopsi gaya Hindia-Belanda, milik orang tua Asta. Dikarenakan kondisi Raya yang perlu sering cuti - dan membuatnya kerap kali mendapat surat peringatan dari kantor-kantor sebelumnya - Asta menarik Raya untuk menjadi kepala staf arsitek di kantornya enam bulan kemudian. Sementara Gavin sendiri, menempati posisi manager operasional sekaligus orang nomor dua di kantor mereka.

"Nanti forward ke gue revisiannya ya, thanks!" Suara Raya menghentikan langkah Gavin di depan ruang rapat.

Muncul dari balik pintu, gadis berambut ikal melewati bahu, dengan midi dress putih bermotif bunga merah muda, menenteng buku sketsa di satu tangan.

Gavin tersenyum seketika. "Ra."

"Eh, Vin! Udah kelar?"

"Udah. Mau jalan sekarang?"

"Boleh. Gue ambil tas sebentar ya."

Gavin mengangguk. Manik matanya mengikuti Raya yang berjalan masuk ke ruang arsitek di seberang ruang rapat, lalu kembali tak sampai satu menit dengan tas laptop di tangan kiri dan tumbler hitam di tangan kanan. 

"Yuk!"

Langit kelabu saat mereka tiba di parkiran. Kilat muncul lamat-lamat diiringi suara guntur yang bergemuruh. Gerimis turun lima menit setelah Almaz putih Gavin meninggalkan kantor. Bukan waktu yang baik untuk mengawali perjalanan. Tapi dalam hati Raya berdoa semoga ini bukan pertanda buruk untuk perjalanan lintas Sumatera mereka malam nanti.

"Halo, Bos." Raya terlibat sambungan telepon dengan Asta. "Iya, udah keluar kantor. Lo udah dirumah, kan?"

Gavin mengecilkan volume musik mobilnya.

"Lo nitip apa? Oh, oke sip. Tunggu ya."

"Kenapa?" tanya Gavin setelah Raya memasukkan kembali ponselnya ke tas.

"Asta nitip cemilan. Kacang atau apalah gitu katanya, buat nemenin nonton Liverpool malam ini."

Gavin tergelak. "Pantes dari proyek langsung balik, mau tidur dulu ternyata."

Raya memutar bola mata. "Bisa ya, ada orang segitu maniaknya sama bola?"

"Ya kayak elo suka road trip, kenapa?"

"Kebutuhan." Raya nampak berpikir. "Gue bisa gila kalau nggak jalan, Vin."

"So does he. Malamnya Asta pasti sepi banget kalau nggak nonton bola."

Gavin benar. Menjadi anak tunggal kaya raya mungkin tidak semenyenangkan itu.

Gerimis berubah menjadi hujan deras saat mobil berhenti di pelataran parkir minimarket. Petir bersahutan. Gavin condongkan tubuhnya ke samping untuk mengambil payung di jok belakang dan menyerahkannya pada Raya. 

"Tunggu ya," ujar gadis itu sebelum membuka pintu dengan cepat dan berlari kecil menjauhi mobil.

Ada momen yang tak bisa Gavin lupa tiap berkaitan dengan Raya dan hujan lebat. Enam bulan lalu, ketika ia dengar Raya kehilangan sang ayah untuk selamanya.

Gavin ada disana selama seharian penuh, mengawasi Raya yang hanya duduk diam di ujung ruangan dengan tatap mata kosong menatap jenazah sang ayah. Tidak bicara, tidak bergerak, tidak pula menangis. Pun ketika sang ayah dimandikan, dikafani, di bawa masuk ke tempat peristirahatan terakhirnya. Ia hanya berdiri disana dalam diam, enggan menanggapi ratusan kalimat bela sungkawa yang dialamatkan kepadanya. 

Gavin mengantarnya pulang setelah itu. Disaat hujan lebat disertai petir yang bergemuruh. Ia tepikan mobilnya di bahu jalan, melepas seat belt, dan memiringkan tubuh agar bisa lebih mudah melihat gadis di sampingnya.

"Ra..." Gavin putus asa. Ia hanya ingin Raya meresponnya. "Sori gue nggak ngerti rasanya. Tapi gue tahu pasti sesak banget dada lo sekarang."

Raya tak menyahut. Matanya masih menatap lurus pada dentum air yang membentur kaca mobil.

Gavin meraih tangan Raya. Menggenggamnya dengan erat. "Keluarin semuanya, Ra. Lo nggak sendirian."

Di detik itu juga, Gavin bisa melihat setetes air mata mengalir di pipi Raya. Rasa sakit yang ia pendam, sedih yang ia tahan, runtuh seketika dalam genggaman tangan Gavin. Ia menangis. 

Gavin lantas merengkuh Raya kedalam pelukannya. Mencoba melakukan sebaik yang ia bisa untuk membuat gadis itu nyaman mengeluarkan seluruh emosinya. Butuh waktu beberapa detik sampai Raya membalas pelukannya, membenamkan wajah di bahunya, dan terisak lirih disana.

"Vin." Sebuah suara membuyarkan lamunan Gavin. Raya - entah sejak kapan, sudah kembali duduk di jok sebelah. Ada cipratan air di beberapa sisi pakaiannya. "Ada masalah?"

"Lo kehujanan?"

"Oh, ini." Raya menepuk-nepuk bagian bajunya yang basah. "Kecipratan sedikit aja. Deres banget diluar."

"Harusnya gue aja yang turun, ya?"

Raya tertawa. "Nggak usah lebay. Buruan jalan, dicariin Asta nanti."

Mobil kembali melesat dijalanan ibukota. Genangan yang diciptakan oleh hujan lebat sore itu menimbulkan kemacetan di berbagai titik. Mobil-mobil merangkak lambat di depan. Sejumlah kendaraan roda dua terparkir sembarang di pinggir jalan sementara pengendaranya berteduh di deretan toko yang berdiri di belakang trotoar.

“Bunga matahari, Vin," tunjuk Raya ke salah satu toko bunga yang terselip di antara deretan toko tersebut.

A symbol of hope." Gavin turut melihat ke arah toko.

“Maksudnya?"

“Ada berbagai filosofi menarik tentang bunga matahari. Tapi dari yang gue baca, kebanyakan budaya di dunia menganggap bunga matahari sebagai simbol kesetiaan dan penantian. Konon katanya, memberikan bunga matahari ke seseorang, berarti pertanda kita punya harapan besar untuk bertemu lagi dengan orang tersebut. That's why it's called a symbol of hope, and also known as a symbol of loyalty.

So sweet," gumam Raya. Masih memandangi bunga matahari yang pelan-pelan tertinggal di belakang. Mobil mulai melaju dalam kecepatan normal. “Kalo gue mati, gue mau dikasih bunga matahari.”

Kening Gavin berkerut. “Kenapa nunggu mati? Gue bisa beliin sekarang kalau lo mau.”

“Kalau sekarang sih, gue juga bisa beli sendiri.” Raya mengeluarkan botol minuman vitamin C dari dalam kantung belanjaannya, membuka tutupnya, dan menyerahkannya pada Gavin. “Tapi kalau udah mati kan, enggak.”

Gavin meraihnya. “Kalau gue yang mati duluan gimana?"

“Berarti gue yang harus kasih lo bunga matahari.”

"Emang lo masih mau ketemu gue kalo udah mati?”

“Emang lo nggak mau?”

“Mau.” Gavin mengangguk yakin. “Reinkarnasi ratusan kali pun gue mau ketemu sama lo lagi.”

Raya tersenyum. Tangannya yang tadi sedang membuka bungkus coklat berwarna ungu berhenti bekerja. Tubuhnya dimiringkan sedikit agar bisa lebih mudah melihat wajah Gavin. “Kenapa?”

Gavin memberi jeda, meneguk minumannya. “Karena gue bangga bisa kenal sama lo, Ra."

Mendadak hening. Raya mengigit coklatnya dengan gusar. Pikirannya terbang diantara tetes air hujan yang menabrak kaca jendela. “Emang ada yang bisa dibanggain dari penderita bipolar yang keluarganya berantakan kayak gue?”

“Nggak ada manusia manapun yang mau keluarganya berantakan, Ra. Itu terjadi diluar kuasa lo. Bukan salah lo kalo bokap lo pergi. Bukan salah lo kalo nyokap lo benci sama lo. Lo nggak selalu bisa ngatur jalan hidup orang lain sekalipun itu orang tua lo sendiri. Lo nggak menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi di hidup lo aja, udah cukup bikin gue bangga sama lo."

“Tapi gue berkali-kali hampir bunuh diri, Vin. Apa itu bukan menyalahkan Tuhan namanya?” Kali ini intonasi Raya terdengar meninggi.

“Setiap orang punya caranya masing-masing untuk mengkespresikan lelah di titik terendah mereka, Ra. Dan dengan bipolar yang lo punya, begitu cara lo mengekspresikan rasa capek lo. And again, nggak ada yang salah dengan itu. Menjadi kuat bukan berarti lo nggak boleh nangis meraung-raung, atau merasa gila di satu waktu. Lo juga manusia, punya perasaan. Dan nggak sepantasnya perasaan lo menanggung beban berlebih. Harus ada yang dikeluarin supaya tetep ada ruang kosong buat perasaan yang lain. Cinta, misalnya.”

Raya terdiam. Memandangi Gavin yang masih fokus menyetir. Coklat ditangannya sudah jatuh ke pangkuan. Ia tak lagi berselera. “Menurut lo… gue masih bisa jatuh cinta nggak, Vin?”

Lampu di persimpangan jalan berubah merah. Gavin menaikkan tuas rem, memiringkan tubuhnya ke kiri dan menatap Raya lekat-lekat. 

You're in love right now, Ra." 

Raya tak menjawab. Tatap mata Gavin yang teduh selalu berhasil membiusnya untuk tetap diam dan mendengarkan tanpa menyela.

“Lo mau keluar dari rumah, road trip ke tempat-tempat yang menurut lo bagus, adalah cara lo mencintai diri lo sendiri. Lo punya niat untuk sembuh, lo punya harapan soal masa depan, adalah pertanda kalau lo sedang menyiapkan diri untuk bisa mencintai dan dicintai oleh orang lain.”

"Emang gue bisa sembuh, Vin?”

“Bisa, Ra," jawab Gavin, lembut sekali. “Gue yakin obatnya ada di salah satu tempat dalam perjalanan kita malam ini." Gavin tersenyum hangat. Ia taruh tangan kirinya diatas tangan Raya yang mengepal kuat, dan mengelusnya perlahan. "Kita cari bareng-bareng, ya?”

Sentuhan Gavin tak bisa membuat Raya menahan senyumnya. Pria itu selalu berhasil membuatnya tenang. Membuatnya percaya kalau dunianya masih berjalan sebagaimana mestinya. Kalau ia punya kesempatan untuk memiliki akhir yang bahagia meski hatinya nyaris hancur tak bersisa. Meski tak tau kapan akhir bahagia itu datang, yang penting, jalani dulu saja. 

---

Related chapters

  • Perjalanan Patah Hati   4. Kejutan Asta

    Mobil terparkir sempurna di halaman rumah Asta yang luas. Kanopi kaca diatas carport memungkinkan Raya dan Gavin untuk keluar dari mobil tanpa kebasahan. Tak jauh di sisi lain carport, sudah berdiri Asta, ditemani Sal dan seorang pria paruh baya, nampak tengah mendiskusikan sesuatu di depan sebuah mobil yang kapnya terbuka. Ketiga orang itu menoleh saat Raya dan Gavin mendekat."Assalammu'alaikum, Pi." Raya sumringah menyalami Ayah Asta.Ayah Asta tersenyum. "Wa'alaikumsalam. Apa kabar, nduk?""Baik, Pi. Papi apa kabar?""Sehat, Alhamdulillah. Abis dari Lombok kata Asta?" Ayah Asta bertanya antusias. Meski sudah berusia lebih dari lima puluh, Ayah Asta masih sangat bugar. Penampilannya sederhana untuk statusnya sebagai pengusaha kopi yang pabrik dan kebunnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Produknya bahkan sudah melanglangbuana hingga mancanegara.Raya nyengir. "Biasa, Pi. Cuci mata.""Lo doang kayaknya cewek yang cuci matanya bukan ke mall, Ra." Asta mencibir."Dih, siapa b

    Last Updated : 2024-08-30
  • Perjalanan Patah Hati   5. Menuju Bakauheni

    "Pakaian, alat mandi..." Sal mencermati ransel-ransel di kakinya lalu mengangkatnya masuk ke dalam bagasi. "Drone, DSLR, charger, RC...""Itu di jok belakang aja." Gavin meraih tas selempang berisi perlengkapan fotografi dan memasukkannya ke mobil. "Portable power station sama batrai cadangan biar di bagasi.""Siap." Sal meraih benda yang lain. "Gitar, tenda, sleeping bag... Eh, ini kita bawa tenda, Ra?"Raya yang sejak tadi bersandar di sisi bagasi mengangguk. "Buat jaga-jaga aja, siapa tahu kita nggak dapet penginapan."Sal meringis. Untuknya yang punya prinsip 'healing itu untuk ngilangin pusing bukan bikin tambah rungsing', membayangkan berkemah jelas membuatnya merinding. Paling tidak hotel bintang tiga, atau bintang dua yang dekat dengan pusat jajanan. Atau glamping minimal, dengan catatan keharusan toilet yang bersih dan akses wara wiri yang nyaman.Mengingat Raya yang merencanakan ini, sepertinya Sal harus buang jauh-jauh ekpekstasi penginapan nyaman tersebut."Udah, percaya aj

    Last Updated : 2024-09-18
  • Perjalanan Patah Hati   6. Way Kambas

    Menara Siger yang menyambut dari kejauhan menjadi pertanda mereka telah tiba di Lampung dengan selamat. Pukul enam pagi saat mobil turun dari kapal dan mereka akhirnya mendarat di Pulau Sumatera."Wohoo! Gue di Lampung!" Sal berseru bangga. Kamera ponselnya merekam pemandangan diluar jendela.Asta yang duduk di sebelahnya memukul lengan Sal. "Berisik lo, Raya lagi nelfon." "Iya, Bli. Aku udah keluar Bakauheni." Raya mengangguk dengan wajah serius. "Ke desa apa? - Oh, oke aku tunggu share loc nya. Makasih, Bli.""Gimana?" Gavin yang kebagian duduk di balik setir melirik saat Raya mematikan sambungan telepon."Ke Desa Braja Harjosari, Vin. Kita lewat lintas timur.""Temen lo nunggu disana?""Iya, di homestay. Sampe udah disiapin kamar karena dia pikir kita berangkat malem. Nggak taunya nungguin yang nonton Liverpool dulu," sindir Raya."Nggak sia-sia kan tapi nungguin gue nonton bola? Kapan lagi lo bisa liat sunrise di kapal." Kepala Asta nyembul diantara mereka berdua."Terus, itu teme

    Last Updated : 2024-09-20
  • Perjalanan Patah Hati   7. Menyapa Para Gajah

    Ada satu tempat di antara padang savana ini, terlindung di balik hutan kecil dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, sebuah bangunan sederhana dari kayu. Dengan tempat duduk-duduk, dapur kecil dekat bangunan utama, juga bangunan kayu lain yang lebih tinggi sebagai tempat pengecekan rutin terhadap para gajah. Disebut sebagai ERU atau Elephant Response Unit, tempat ini dibangun untuk menangani konflik yang terjadi antara gajah liar dengan masyarakat sekitar."ERU ini, dibentuk beberapa tahun lalu, guna melakukan patroli untuk menjaga gajah-gajah tersebut masuk ke pemukiman warga, sekaligus menjaga kawanan gajah dari aktivitas perburuan liar,” jelas Bli Toni pada rombongan. "Biasanya, seorang mahot akan ditemani satu gajah jinak yang sudah terlatih saat melakukan patroli.""Mahot itu tugasnya apa, Bli?" Seorang pemuda yang tadi memegang kamera berlensa tele bertanya."Elephant sitter, anggap saja begitu. Karena seorang mahot biasanya hanya akan melatih dan mengurus satu gajah samp

    Last Updated : 2024-09-21
  • Perjalanan Patah Hati   8. Mimpi Buruk

    Asta merebahkan tubuh di teras setibanya mereka di homestay. Kaos Boss hitamnya sudah basah dipenuhi peluh. Rambutnya berantakan. Usianya yang menjelang tiga puluh, ditambah bobot tubuhnya yang nyaris menyentuh angka delapan puluh, membuatnya lelah lebih cepat. Apalagi setelah pulang dari ERU tadi, Bli Toni masih mengajak mereka mampir ke satu tempat budidaya lebah madu trigona milik warga. Kini betisnya jadi terasa sedikit berdenyut."Olahraga makanya," kata Gavin, menyandarkan tubuh ke tembok di sebelah Asta. "Punya sepeda mahal-mahal nggak di pake.""Belum, bukannya nggak." Asta membela diri. "Lo juga mulai jarang nge-gym gue perhatiin.""Jogging sekarang. Lagi males nge-gym." "Kenapa?""Di godain om-om." Gavin tertawa.Asta terbahak-bahak.Diantara tiga pria ini, Gavin memang yang terbilang punya gaya hidup paling sehat. Ia tidak minum kopi jika benar-benar ingin, tidak merokok, jarang mengkonsumsi junk food dan rutin minum vitamin. Tingginya mungkin tiga centi dibawah Sal, tapi p

    Last Updated : 2024-09-24
  • Perjalanan Patah Hati   9. Petuah

    "Lingkaranku kerap bertanya. Mengapa ku tampak biasa-biasa saja."Sal melirik Raya yang duduk di sampingnya. Tengah memejamkan mata menyanyikan lagu Juicy Luicy yang terputar melalui music player di mobil. Kepalanya bergoyang pelan, duduknya tegap, tangannya terangkat mengikuti alunan lagu."Jalani hari dan tertawa, apa selama ini ku tak benar cinta?"Raya mengepalkan tangan. Mengarahkannya ke depan mulut Sal, seolah-olah ada mic yang ia sodorkan pada penontonnya. Mereka bernyanyi bersama."Tak harus ku alirkan air mata, untuk tunjukkan derita. Dia tinggalkanku, seketika. Tak perlu ku terus-terus bertanya, apa alasannya? Mungkin dia bukan orangnya!"Sal dan Raya saling melakukan tos diiringi gelak tawa penuh kebanggaan. Suara Sal yang maskulin, cocok sekali beradu dengan suara Raya yang ringan dan lembut. Lagunya juga terbilang pas untuk Sal yang baru saja putus cinta. Asta bertepuk tangan di jok belakang, sementara Gavin tetap terlelap.Satu jam berlalu sejak mereka meninggalkan homes

    Last Updated : 2024-09-25
  • Perjalanan Patah Hati   10. Dua Rahasia

    Lampung terik. Tapi entah bagaimana, ubin masjid seakan punya teknologi mutakhir yang mampu membuatnya tetap dingin dan sejuk di tengah cuaca seperti ini. Termasuk selasar Masjid Taqwa Kota Metro yang siang itu berubah jadi oase dan menarik banyak orang untuk sekedar meluruskan kaki atau tidur-tidur ayam. Termasuk, Raya. Hampir tiga menit ia melamun memandangi pantulan sinar matahari yang mentereng dahsyat di halaman masjid sampai sebuah panggilan masuk mengubah raut wajahnya yang tenang jadi se-sumpek udara siang itu dalam sepersekian detik. Ia pandangi nama di layar ponselnya untuk beberapa saat, sebelum menggeser tombol hijaunya."Halo?" Raya menyapa orang diseberang dengan malas. "Dimana, Kak?"Basa basi sekali, Raya membatin."Ada apa?""Ibu minta kirimin uang, buat beli token sama bayar arisan."Kan, ia tak perlu menjawab. Toh, info lokasinya tak pernah penting bagi keluarganya. "Nanti di transfer.""Sama uang jajanku, kan?" Suara pria di seberang terdengar cemas.Setidaknya ia

    Last Updated : 2024-09-27
  • Perjalanan Patah Hati   11. Ingatan

    Pukul sepuluh malam saat Gavin menerima pesan masuk dari Asta, lampiran video berdurasi lima belas detik yang membawanya melesat cepat dari kasurnya yang hangat menuju sebuah apartemen di bilangan Jakarta Selatan. Dalam rekaman CCTV itu terlihat Raya, melangkah gusar, berkali-kali menjatuhkan kunci apartemennya saat hendak membuka pintu, dan dengan tubuh bergetar hebat terhuyung masuk ke unitnya. Raut wajahnya dipenuhi oleh beragam emosi yang sulit di gambarkan. Sebuah pertanda buruk yang Gavin hapal betul saat gadis itu mencapai puncak episode depresinya.Gavin tiba di lantai delapan apartemen tersebut dengan nafas tersengal. Sudah ada Sal di sana, berkacak pinggang di depan pintu dengan nafas memburu yang sama.“Dikunci, gue bisa denger suara benda jatuh tapi dia nggak mau buka pintu.” Sal menjelaskan situasinya. Gavin mengetuk pintu. “Raya, ini gue, Gavin. Please buka pintunya, Ra! Lo nggak bisa sendirian,” serunya, tetap berusaha setenang mungkin. “Gue temenin jalan malem ini, R

    Last Updated : 2024-09-27

Latest chapter

  • Perjalanan Patah Hati   26. Ajakan Pernikahan

    Udara dingin yang menusuk membangunkan Sal dari tidur lelapnya. Dengan tubuh yang sedikit menggigil ia duduk, memasukkan tangan ke saku jaket yang ia kenakan saat tidur, dan mendapati selimut yang membalut tubuhnya semalam sudah berpindah ke tubuh pria lain di sebelahnya. Padahal Asta sudah menggunakan sweater juga selimut miliknya sendiri. Masih saja main asal tarik selimut Sal.Satu kasur lipat berukuran single bergeser beberapa centi di sebelah Asta. Terdorong oleh kaki pria itu, sepertinya. Diatasnya, terbaring Gavin, meringkuk, membungkus diri dibalik sleeping bag hijau yang dipinjam dari Raya.Sal tak lagi bisa terpejam. Ia putuskan untuk keluar dari kamar setelah mencium wangi semerbak bumbu dapur dan mendengar suara lidi bergesekan dengan lantai beton di halaman.Pekarangan rumah Nenek Raya ternyata jauh lebih luas dari yang bisa Sal tangkap saat gelap semalam. Terisi oleh kebun herbal dan pohon buah-buahan. Kolam ikan di sisi kiri rumah, bersebelahan dengan antena parabola dan

  • Perjalanan Patah Hati   25. Rumah Nenek

    Selalu ada yang magis dari rumah nenek. Sesuatu yang bisa mengubahmu kembali menjadi anak kecil hanya dengan duduk di ruang tamunya yang besar, sembari menghirup aroma furnitur kayu tua yang bercampur dengan wangi tanah setelah hujan, berselang seling dengan semerbak wangi makanan di dapur. Belum lagi pigura-pigura yang menempel di dinding, yang fotonya masih terbatas pada warna hitam putih atau sephia, yang dengan itu menampilkan deret bahagia kehidupan di masa lampau seperti film yang terputar secara acak dalam proyektor.Sampai pada bagian dimana kamu menyadari beberapa orang dalam film itu berubah, tak lagi sama, tak lagi ada, maka kamu akan menangis sejadi-jadinya dan merindukan itu semua. Menyesali betapa naif nya kita saat kecil dulu karena meminta dewasa datang lebih cepat. Kecuali bisa membeli apapun yang kita inginkan - jika ada uangnya - menjadi dewasa, ternyata tidak semenyenangkan itu."Minum dulu, Ra."Bang Faris datang dan menyodorkan segelas teh hangat pada Raya yang s

  • Perjalanan Patah Hati   24. Pulang

    Lagu End of The Road-nya Boz II Men melantun merdu. Mengisi keheningan di dalam mobil yang melintas dijalanan gelap dan berliku. Awan yang sejak tadi menggantung berubah warna jadi kelabu. Beriringan dengan gemuruh guntur dan cahaya berkilat di langit. Sejurus kemudian, milyaran tetes air turun. Sal melamun. Matanya memandang lurus pada hujan lebat di luar jendela, tapi pikirannya masih berada pada percakapannya dengan Gavin beberapa menit lalu. Saat pria itu mengatakan bahwa ia sekarat, dan Sal masih berusaha tersenyum, berharap Gavin hanya membual. Tapi kemudian pria itu terbatuk kencang beberapa kali, disertai darah yang keluar dari mulutnya, pertanda ia tak berdusta soal kondisi tubuhnya yang sekarat itu."Kita obrolin lagi nanti," kata Sal, memandang Gavin khawatir. "Lo masih bisa jalan, kan?"Gavin mengangguk lemah. Ia lepaskan tangan Sal yang menyangga bahunya, dan dengan langkah sedikit terseret keluar dari hutan sawit. Sal bisa melihat Gavin berusaha menegakkan tubuh, merap

  • Perjalanan Patah Hati   23. Rahasia untuk Sal

    "Ini ada pempek bakar, buat kalian nyemil di jalan." Umak menutup kotak bening berukuran sedang dihadapannya. Tubuhnya masih berbalut mukena putih, baru selesai sholat dzuhur. Raya dan Asta yang duduk di kiri dan kanannya memperhatikan dengan seksama.Mereka kembali dari Air Terjun Temam satu jam yang lalu. Lantas makan siang, sholat, dan bersiap untuk meninggalkan Lubuklinggau. Semua ransel dan barang bawaan telah rapi, sedang dimasukkan oleh Gavin dan Sal ke bagasi."Nah yang ini, ayam goreng sama malbi. Jaga-jaga kalau kalian kemalaman di jalan. Jalur ke Kerinci ndak ada restoran buka lepas maghrib." Umak menunjuk kotak-kotak yang lain. Raya membantu dengan menutup salah satunya."Makasih ya Umak. Harusnya Umak nggak perlu repot-repot begini.""Ndak apo. Dah lamo rumah Umak ndak ramai macam ini. Umak cuma berdua abangnya Rahman dirumah. Rahman baru balik dari Padang satu atau dua bulan sekali. Umak senang kalian datang."Raya mengelus-ngelus lengan Umak, terharu mendengar kalimat w

  • Perjalanan Patah Hati   22. Air Terjun Temam

    Langkah kaki Raya berhenti tepat di pijakan terakhir anak tangga. Persis di pinggiran sungai yang dibatasi oleh pagar setinggi pinggang orang dewasa. Di hulu sungai itu, mengalir deras air terjun setinggi 12 meter yang muka alirannya melebar sepanjang 25 meter. Dikelilingi oleh susunan bebatuan besar yang dari celah-celahnya, mencuat berbagai variasi lumut dan tanaman paku-pakuan. Kedalaman sungainya sekitar 4 meter di beberapa titik, dan lebih rendah di titik-titik yang lain. Ada gua kecil di balik air terjun itu, yang bisa digunakan untuk duduk-duduk sembari merasakan langsung hempasan angin bercampur partikel air. Pohon-pohon karet dan pepohonan liar yang tinggi menjulang, memberi nuansa sejuk diantara sinar matahari menyelinap diam-diam. "Tadi apa namanya, Man? Air terjun demam?" Asta bertanya setelah menurunkan ranselnya. Ia regangkan tangannya tinggi-tinggi di atas kepala."Temam, Ta." Sal memutar bola mata. "Kalau demam lo ceburin paracetamol biar sembuh."Asta pura-pura terta

  • Perjalanan Patah Hati   21. Arti Perjalanan

    Sal terbangun setelah merasa tubuhnya diguncang kasar oleh seseorang. Beriringan dengan bunyi dering telpon dan suara pria yang menyerukan namanya dengan nada kesal."Sal! Bangun! Hape lo bunyi daritadi tuh."Meski matanya belum sepenuhnya terbuka, dan sel-sel saraf di otaknya belum tersambung semua, Sal tahu itu Asta. Dengan malas ia meraih ponselnya yang tersimpan di bawah bantal, dan mengangkatnya tanpa melirik layar."Halo." Suaranya masih terdengar parau. "Iya, gue balik minggu depan." Sal berdeham, memastikan suaranya lebih nyaman di dengar. "He-eh, pake aja." Ia mengangguk. Sempat mengatakan 'iya' beberapa kali sebelum mengucapkan salam, lalu bangkit perlahan dan duduk bersandar ke dinding."Siapa?" tanya Asta, basa basi. "Abang gue, mau minjem mobil.""Oh."Setelah beberapa menit terdiam untuk memproses pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatannya, Sal akhirnya menoleh ke kiri. Mendapati Asta sedang duduk bersila tak jauh darinya, dengan tangan kanan menggenggam sebung

  • Perjalanan Patah Hati   20. Gavin

    Suara petik gitar melantun merdu memecah keheningan yang membungkus malam. Bersahut-sahutan dengan suara jangkrik dan kepak sayap kelelawar. Di teras rumah Rahman yang remang, Sal ditemani Asta dan Arip, masih asik berbincang ringan sambil sesekali menyanyikan sebuah lagu. Sementara Gavin terlihat dari pintu yang terbuka, tengah duduk di kasur yang digelar di ruang tamu sembari menonton sesuatu di ponselnya."Bentar bentar, nggak dapet nadanya." Sal membetulkan kembali posisi jarinya. Mencari chord yang tepat untuk lagu Two Is Better Than One-nya Boys Like Girls ft. Taylor Swift yang di request Asta barusan. "Terus, tau Andalas dari mana?" Asta kembali pada Arip sembari menunggu Sal selesai dengan lagunya. Ia katupkan jaketnya rapat-rapat untuk menghalau angin dingin yang berhembus."Dari temen, Bang. Dia bilang mau lanjut kuliah disini, pas saya udah daftar, nggak taunya dia malah bilang nggak jadi. Yaudah, terlanjur deh. Nggak bisa di cancel juga," jawab Arip sambil terkekeh getir.

  • Perjalanan Patah Hati   19. Malam di Lubuklinggau

    Langit sudah gelap saat mereka tiba di Lubuklinggau. Jalanan lengang. Di minimarket pertama yang mereka temui di kota itu, Raya menepi."Tunggu ya, orangnya belum dateng. Kalau kalian ada yang mau dibeli, sekalian aja," jelas Raya sembari menaikkan tuas rem. Ia raih ponselnya yang terselip di saku pintu, dan mengabari seseorang melalui pesan singkat.Sal lantas turun dari mobil. Mampir ke depan mesin ATM, lalu menyusuri rak berisi perlengkapan mandi untuk membeli sikat gigi lantaran teringat sikat giginya tertinggal di hotel tadi. Setelah memilih satu merk, pria itu lalu berjalan lagi menuju kulkas berisi minuman dingin. Sudah ada Gavin di sana, berdiri di depan pintu kulkas kaca yang masih tertutup, sambil menimbang-nimbang minuman apa yang ingin ia beli.“Tumben nggak beli vitamin c,” ujar Sal saat menyadari Gavin ternyata memperhatikan kulkas yang isinya minuman berkafein.“Lagi pengen aja,” jawab Gavin tanpa menoleh pada Sal sedikit pun. Dibukanya pintu kulkas tersebut, lalu ia amb

  • Perjalanan Patah Hati   18. Melanjutkan Perjalanan

    Rasanya baru semalam Sal duduk-duduk di Jembatan Ampera, memuaskan hasratnya makan pempek Palembang langsung di Palembang, menghabiskan pagi di Benteng Kuto Besak, makan siang diatas Sungai Musi dengan menu pindang pegagan yang nikmatnya masih melekat di lidah. Kini, diantara sayup-sayup adzan maghrib, dengan latar langit jingga yang begitu memanjakan mata, ia sudah berada di SPBU daerah Musi Rawas, meregangkan otot-otot yang kaku setelah empat jam berada dalam mobil sembari menghabiskan Martabak HAR yang tadi sempat Raya beli sebelum meninggalkan Palembang.Seluas penglihatan matanya, tak ada yang mencolok dari tempat tersebut, kecuali pohon-pohon besar yang mengitari SPBU – yang tentu saja tak pernah ia temui SPBU dengan latar hutan seperti ini di wilayah Jabodetabek, jalan utama selebar tujuh meter yang hanya terisi dua-tiga kendaraan sejak tadi, dan sebuah rumah warga yang lampu depannya terlihat redup di seberang jalan tersebut. Masih sekitar 60 kilometer lagi menuju pemberhentia

DMCA.com Protection Status