Naraya, Afifah dan Anggit sedang duduk di kantin menunggu Ghazanvar menjemput.Dua sahabat Naraya itu telah terinfo mengenai tragedi malam tadi yang membuat Khafi babak belur.Itu pun karena Afifah bertemu Khafi dalam kondisi wajah memar lalu dia membahasnya dengan Naraya yang kemudian menjelaskan apa yang terjadi.Naraya juga memberitahu mereka kalau dia sempat ingin membatalkan pernikahannya dengan Ganzanvar.“Wajar lah Ghaza cemburu, dia ‘kan enggak tanu siapa mas Khafi.” Anggit membela Ghazanvar.“Tapi enggak dengan cara kekerasan juga lah, Git.” Afifah ternyata tidak suka mengetahui Ghazanvar yang kasar.“Namanya juga anak muda ….” Anggit tetap membela Ghazanvar.“Mungkin ke depannya kamu harus sering jujur dan cerita tentang siapa-siapa cowok yang deket sama kamu.” Afifah memberi saran.“Seenggaknya, cemburunya Ghaza itu menunjukkan kalau dia mencintai kamu.” Anggit menyalurkan pikiran positif membuat hati Naraya percaya kalau Ghazanvar memang telah mencintainya.Tidak
Naraya menatap sendu dua gundukan yang baru saja dia taburkan bunga di atasnya.Gadis bermata indah itu ijin kuliah sehari karena banyak yang harus dia urus sebelum hari pernikahan.Ghazanvar juga mengambil cuti kerja, bukan hanya untuk mengantar Naraya ke Bandung tapi juga untuk melakukan banyak persiapan sebelum hari pernikahan yang akan berlangsung besok.Sebelum subuh, Naraya dan Ghazanvar diantar supir pergi ke Bandung untuk mengunjungi makam kedua orang tua Naraya.Naraya baru sempat datang hari ini karena selain kuliah dan latihan untuk lomba, Naraya juga sibuk mempersiapkan pernikahan.Air mata Naraya mengalir tanpa isak tangis, meski begitu napas Naraya memburu menahan gemuruh di dada.“Ibu … Bapak … Nay meminta restu untuk menikah dengan abang Ghaza … maaf Nay enggak bisa memenuhi janji Nay untuk menikah setelah jadi orang sukses … tapi Nay akan tetap berusaha membuat bangga Ibu dan Bapak ….” Naraya mengucapkannya di dalam hati dan dia menjeda
Diakhir lagu, Ghazanvar memutar tubuh Naraya dengan cepat membuat calon istrinya tergelak.Tubuh Naraya berhenti berputar dalam posisi membelakangi Ghazanvar yang kemudian ditarik pria itu hingga jatuh ke atas ranjang.Punggung Naraya bersandar di dada Ghazanvar. Kepalanya menengadah di pundak pria itu dengan napas memburu.Ghazanvar mencuri kecup di pipi Naraya dan tidak mendapat protes.“Kamu mau bulan madu ke mana, Nay?” “Emm … enggak ada ide, Nay suka Paris sebenarnya … ingin banget ke sana tapi kemarin kita udah dari sana ….” Kalimat Naraya menggantung mengingat malam panas di Paris, untuk pertama kalinya dia merasakan pelepasan karena ulah lidah Ghazanvar.Tubuh Naraya tiba-tiba meremang.Kedua tangan Ghazanvar bergerak memeluk Naraya lebih erat.“Nay ….”“Hem?” “Aku tidur di sini ya, janji enggak ngapa-ngapain … kita tidur kaya gini aja.” Punggung Ghazanvar turun hingga menempel pada kasur membawa Naraya ikut serta.Nar
Ghazanvar terperangah menatap calon istrinya yang tengah berjalan anggun mendekat.Jantung Ganzanvar tidak pernah berdetak sekencang ini saat melihat sosok perempuan.Mungkin sosok perempuan yang ini akan menjadi istrinya, atau mungkin jantung Ghazanvar berdetak sangat kencang lantaran membayangkan akan mereguk nikmatnya keperawanan Naraya nanti malam.Naraya sangat cantik dengan make up yang tidak membuat pangling justru lebih menegaskan lagi kecantikannya.Untaian bunga melati tersampir di pundaknya dari mahkota indah yang melingkari kepala, lekukan tubuh Naraya pun terlihat jelas dibalut kebaya berwarna putih.Ghazanvar yakin kalau Naraya adalah jelmaan bidadari.Kurang beruntung apa hidupnya yang bisa menikah dengan gadis secantik Naraya.Venue semi outdoor itu terasa semakin terang benderang karena pancaran aura dari sang mempelai pengantin perempuan.Langkah Naraya berhenti lalu duduk di samping Ghazanvar.Di depan mereka ada paman
Kalimat Ghazanvar itu terngiang terus dalam benak Anasera.Tentu saja Anasera menolak ajakan Ghazanvar untuk menikah, dia tidak mau menikah dengan pria yang tidak mencintainya apalagi pernikahan itu didasari perasaan bersalah.Anasera ingin Ghazanvar mencintainya baru menikahinya tapi mungkin hal tersebut tidak akan pernah terjadi.Ucapan Ghazanvar sulit dipegang dan pria itu juga sulit dipercaya.Entah siapa yang sesungguhnya Ghazanvar cintai.Dan pengalamannya di masa lalu itu membuat Anasera yakin kalau Ghazanvar tidak sepenuh hati menikahi Naraya, dia menikahi Naraya karena perasaan bersalah dan hanya ingin membuat maminya senang. Kasian Naraya yang akan hidup dalam cinta semu Ghazanvar.Tanpa terasa prosesi upacara Naraya dengan Ghazanvar telah berlangsung secara khidmat.Di depan sana Ghazanvar tampak tersenyum lebar dengan binar di mata setiap kali menatap Naraya.Naraya sendiri terus tertunduk malu karena ditatap sedemikian rupa
“Gumuuussssshhh!” Ghazanvar menjawil kedua pipi Naraya gemas.Mereka sedang berada di dalam sebuah ruangan untuk beristirahat dan mengganti pakaian resepsi.Naraya menghela pelan tangan Ghazanvar, ekspresi wajahnya sengaja dibuat kesal lantas membalikan badan dan berjalan menuju sebuah meja dengan kaca besar.Ada kursi di depan meja tersebut, Naraya duduk di sana dan mulai membuka mahkota di kepalanya.“Kok cemberut?” Ghazanvar ternyata mengikuti Naraya dan berdiri tepat di belakang sang wanita yang masih dibalut kebaya pengantin.“Masa?” Naraya balas bertanya dengan nada menyebalkan, dia juga mendelikan mata mempertegas kalau tengah kesal.Ghazanvar tertawa, gadis asing yang dua jam lalu telah berganti status menjadi istrinya ini sedang merajuk dan dia tahu alasannya.Tadi kalimat Svarga terlalu jelas dan raut wajahnya tampak serius sewaktu mengultimatum Ghazanvar agar tidak merebut miliknya lagi karena kini sudah menikah dengan Naraya. “Za
Setelah memutar tubuhnya menjauh, Naraya memutar tubuhnya kembali yang membuatnya kini memunggungi Ghazanvar dengan kedua tangan pria itu melingkar di pinggangnya, memeluknya erat diakhiri sebuah kecupan yang Ghazanvar berikan cukup dalam di pipi Naraya hingga kepala Naraya miring ke samping karena dorongan bibir pria itu.Tepuk tangan mengudara bersama siulan dan riuh suara tawa dari tamu yang ikut merasakan suka cita Ghazanvar dan Naraya di hari bahagia mereka ini.Papi Arkana dan mami Zara saling menatap sambil melempar senyum, sejenis senyum lega karena menganggap kalau Ghazanvar telah mencintai Naraya.Suara MC yang meminta sang mempelai pengantin untuk naik ke atas pelaminan menghentikan Ghazanvar mengecup pipi Naraya.Meski merasa berlebihan tapi Naraya tidak bisa memprotes karena semua mata sedang tertuju pada mereka.Tapi keluarga Ghazanvar tentu sudah tahu karakter asli Ghazanvar yang usil.Mungkin paman Rukmana dan keluarganya akan syok menge
“Peh, sini … ikut aku,” kata Radeva sembari menarik tangan Afifah sampai gadis cantik berhidung mancung itu harus terseok menyusul langkah Radeva yang panjang dan terburu-buru.“Mau ke mana, Mas? Aku balik sama Anggit sama Latief … nanti aku ditinggal.” Afifah memberitahu Radeva kalau dia tidak bisa lama-lama.Abah dan mama hanya mengikuti acara akad nikah saja karena masih harus menghadiri undangan pernikahan di tempat lain.“Sebentar aja … nanti aku yang anter kamu pulang ke rumah,” kata Radeva agar Afifah berhenti khawatir.Afifah tidak lagi bersuara, dia menurut dibawa Radeva entah ke mana asal jangan ke kamar hotel.Tapi beberapa saat kemudian langkah Radeva berhenti tepat di samping sebuah meja berisi beberapa orang tua paruh baya dengan pakaian mewah khas para Konglomerat.Ada Gita dan Radit serta Angga dan Bunga di sana.“Pa … Ma … kenalin ini Afifah, pacar Radeva.” Tanpa tedeng aling-aling Radeva mengenalkan Afifah sebagai kekasihnya padah
Naraya menderapkan langkah menyusuri jalan setapak menuju kelas berikutnya.“Nay!” Suara berat seorang pria membut langkahnya berhenti, dia lantas menoleh ke asal suara.“Stop di situ!” Naraya berseru sambil mengangkat tangan.Langkah Khafi seketika terhenti, wajah tampan itu pun melongo bingung.“Mas Khafi chat aja, jangan deket-deket Nay dulu … nanti suami Nay marah, Nay lagi banyak pikiran enggak mau ditambah berantem sama abang juga.” Kedua alis Khafi terangkat hanya bisa diam membeku sembari menatap punggung Naraya yang dengan cepat menjauh.Ada gejolak di dada Naraya rasanya ingin marah-marah.Naraya tidak mengerti, ingin menangis juga sebenarnya tapi lebih besar perasaan ingin marah-marah, entah kenapa, Naraya juga bingung.Dia tidak bicara dengan teman-temannya selama kelas berikutnya berlangsung sampai akhirnya kelas berakhir kemudian Naraya pergi ke parkiran.“Awas aja ya kalau sampai abang Ghaza belum sampe, Nay pulang sendiri …,” ancamnya sembari misuh-misuh.Na
“Lho Nay, mau ke mana?” Ghazanvar yang baru saja keluar dari kamar mandi bertanya dengan kening berkerut tidak suka melihat Naraya memakai pakaian untuk kuliah berupa kemeja dan celana jeans.“Mau kuliah, Bang.” Naraya menjawab sembari menyisir rambut panjangnya tanpa berani menatap mata sang suami.“Tapi kamu ‘kan kemarin malam masih lemes sampai aku gendong dari mobil ke kamar … ijin dulu lah Nay sehari,” pinta Ghazanvar baik-baik demi kesehatan Naraya dan janin yang ada di dalam perutnya.“Enggak bisa Bang, sekarang ada ujian praktek menari—“ Kalimat Naraya terhenti teringat ucapan papi Arkana saat di Singapura.Dia menunduk menatap perutnya yang masih rata kemudian mengusap lembut di sana.“Naaay … gimana kalau kamu cuti dulu sampai melahirkan?” bujuk Ghazanvar, kedua tangannya terulur memeluk Naraya dari belakang.Dia juga ikut mengusap perut Naraya menggunakan kedua telapak tangannya yang besar.Banyak kecupan Ghazanvar berikan di belakang kepala Naraya.“Aku sayang kamu
“An …,” panggil Arnawarma lembut sembari menurunkan sleting gaun Anasera.“Hem?” Anasera mendengung sebagai respon.“Kita buat yang kaya di perutnya Nay, yuk!” bujuknya seperti anak kecil.Anasera terkekeh, membalikan tubuhnya kemudian mendongak menatap sang suami yang tinggi menjulang di depannya.“Kamu enggak bosen? Tiap malam kita bercinta, sampai malam sebelum akad nikah aja kamu menyusup ke kamar aku untuk bercinta … tadi malam juga kita bercinta.” Anasera melapisi sisi wajah Arnawarma.Dan kenapa Anasera baru benar-benar menyadari kalau Arnawarma sangat tampan, bahkan menurut Anasera, Arnawarma paling tampan di antara adik-adik dan kakaknya.“Enggak lah masa bosen.” Arnawarma menurunkan gaun Anasera dari pundaknya.Kini hanya tersisa celana kain berenda menutup bagian inti Anasera sedangkan dua bagian menyembul di dadanya menggantung tampak seksi.Arnawarma meremat lembut salah satu bagian itu dengan sorot mata teduh.“Nawa.” Jemari ramping Anasera membuka satu persatu
Sekembalinya dari rumah sakit, Ghazanvar langsung membawa Naraya ke kamar, tidak kembali ke pesta yang saat itu belum berakhir.Naraya langsung berbaring di ranjang karena tubuhnya terasa lemas sekali.Dia berbaring miring, menekuk kakinya dengan tangan pengusap perut.Tiba-tiba air mata Naraya menetes lagi, dadanya bergemuruh mengakibatkan sesak dan dia mulai terisak.“Sayaaang.” Ghazanvar yang sedang menanggalkan tuxedonya bergegas mendekat.“Are you oke?” Ghazanvar naik ke atas ranjang memeluk Naraya.“Nay enggak apa-apa tapi enggak tahu kenapa ingin nangis.” Naraya bicara di antara isak tangis.“Ingin nangisnya karena apa? Aku salah apa, sayang?” “Enggak, Abang enggak salah … Nay, inget sama ibu dan Bapak.” Ghazanvar memberikan kecupan di puncak kepala Naraya lantas mengeratkan pelukan.“Mereka pergi sebelum sempat melihat cucunya,” sambung Naraya terisak.Ghazanvar mengerti apa yang Naraya rasakan. “Nanti kita datang ke pemakaman kedua orang tua kamu setelah anak kit
Naraya terpana begitu masuk ke dalam Ballroom yang disulap seperti hutan peri.Banyak bunga, pohon-pohon artifisial serta lampu warna-warni.“Bro!“ Radeva merangkul pundak Ghazanvar.“Dari mana, Dev?” tanya Ghazanvar terkejut.“Abis telepon Ipeh.” Radeva menggerakan tangannya yang memegang handphone.“Ini kayanya si Ana berusaha keras banget nutupin jati diri dia yang sebenarnya.” Radeva berpendapat sembari memindai seluruh ruangan Ballroom.“Kenapa? Gara-gara tema dekornya fairythopia?” Ghazanvar menebak dan Radeva menganggukan kepalanya sebagai respon.“Gimana kalau ide tema ini idenya si Nawa?” ujar Ghazanvar lantas tergelak.“Bisa jadi sih! Si Ana ‘kan sukanya warna item dengan tema serba minimalis … enggak kaya pesta ulang tahun anak cewek umur tujuh tahun gini.” Ghazanvar tertawa lagi menanggapi.Lalu suara MC terdengar membuka acara, satu persatu tamu undangan mulai berdatangan.MC yang menggunakan bahas Inggris itu memberi instruksi agar para tamu membuat sebuah li
Ghazanvar berdecak lidah kesal saat melihat Naraya berjalan mendekat.Istrinya tampak cantik sekali mengenakan gaun untuk resepsi pernikahan Arnawarma dan Anasera.“Nay, ah … kamu kenapa cantik-cantik banget sih!” seru Ghazanvar dengan tampang tidak suka.“Ih, kok Abang gitu … istrinya cantik malah protes.” Sebagai seorang perempuan, Aruna tidak suka dengan sikap kasar sang kakak kepada istrinya di depan banyaknya sepupu mereka.“Nanti kalau banyak yang terpesona terus mau ngerebut dia dari Abang, gimana?” Ghazanvar mengungkapkan alasannya.“Kata cowok yang pernah berusaha ngerebut istri dari adik sepupunya sendiri,” celetuk Narashima santai dengan tatapan fokus pada gadgetnya karena sedang main game.Semua lantas tergelak menertawakan Ghazanvar membuat pria itu merotasi bola matanya dan raut wajah Naraya yang tadi menegang pun perlahan melembut.“Duduk, Nay.” Reyzio bangkit dari samping Ghazanvar memberi tempat untuk Naraya.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul di lobby sebuah h
“Nay … seriusan aku enggak tahu kalau papi nyumbang buat acara ini.” Ghazanvar membuka pembicaraan setelah beberapa menit semenjak mereka masuk ke dalam mobil—Naraya bungkam seribu bahasa.“Sebenarnya Nay enggak masalah, Bang … cuma Nay khawatir orang-orang bergosip kalau Nay bisa selalu mewakili kampus karena mertuanya penyumbang terbesar setiap acara di kampus.” Naraya terdengar menggerutu, bibirnya mengerucut dengan wajah ditekuk.“Nanti aku bilang sama papi ya untuk enggak selalu andil, tapi kayanya pihak kampus yang ngajuin proposal duluan ke papi … sekarang papi sama Rektornya ‘kan bestian, teman golf.”Naraya menoleh menatap suaminya. “Oh ya?” Kedua alis wanita yang memiliki mata seperti almond itu terangkat.Setelah untuk yang pertama kalinya papi Arkana dan papanya Khafi bertemu di kantor Polisi karena urusan sang putra yang berkelahi dan setelah itu mereka jadi akrab.“Iya sayang … ya masa sama bestie enggak royal,” kata Ghazanvar lagi kemudian tertawa.“Ya kalau git
Ghazanvar sengaja tidak masuk kantor untuk melakukan gladi di kampus Naraya, tapi bukan berarti pria itu tidak bekerja—Ghazanvar masih bertanggung jawab pada pekerjaannya dengan membawa MacBook dan mengerjakan apa yang biasa dia kerjakan di kantor dari kampus Naraya atau lebih tepatnya Aula utama tempat pentas seni akan berlangsung besok.Sesekali matanya mengawasi interaksi antara Naraya dengan Khafi, mereka tampak akrab sekali.Ghazanvar jadi kesal dan dia tidak mau repot-repot menutupi ekspresi benci di wajahnya untuk Khafi.Lihat saja bagaimana tajamnya tatap mata Ghazanvar tertuju pada Khafi saat netra mereka tidak sengaja bersirobok.“Abang Ghaazaaa.” Afifah datang membawa satu cup kopi untuk Ghazanvar.“Ini buat Abang,” katanya manis sekali.“Waaah, curiga nih pasti kamu mau nanya-tanya tentang Radeva ya!” tebak Ghazanvar membuat Afifah menyengir lebar.Ghazanvar tertawa karena tebakannya benar sampai berhasil mengambil alih perhatian Naraya dan Khafi yang berada di atas
Pria itu bangkit dari kursi. “An … aku lewati satu malam dan satu hari tanpa kamu … dan ternyata aku enggak bisa.” Detik berikutnya Anasera berlari ke arah Arnawarma lantas memeluk pria itu erat. Anasera menangis di dada Arnawarma, dia pikir telah kehilangan pria itu. “Maafin aku ya, aku terlalu egois …,” kata Arnawarma padahal yang salah Anasera. Anasera menggelengkan kepala. “Aku yang salah.” Suara Anasera teredam dada Arnawarma. “Enggak sayang, aku yang salah.” Arnawarma bersikeras. Anasera mendongak demi menatap wajah tampan sang tunangan. “Aku yang salah, aku enggak bisa kasih tahu kamu keberadaan aku kemarin.” “Iya enggak apa-apa, harusnya aku percaya sama kamu … jadi aku yang salah.” Arnawarma memaksa. “Ih … enggak Nawa, aku yang salah.” Mereka berdua jadi rebutan menjadi orang yang bersalah dalam masalah ini. Lalu keduanya tertawa, Arnawarma memeluk Anasera kembali,