Karna berdiri di teras yang berpagar di rumah Panggung Pak Tandri, menatap jauh ke arah selatan. Matahari yang terbenam menciptakan siluet pegunungan di cakrawala. Angin yang lembut mengelus wajahnya, tetapi ketenangan yang dirasakan oleh rakyat Pinang Selatan, tidak dapat menembus gundah yang meliputi hatinya. Sudah beberapa bulan sejak ia berhasil menghancurkan sekte Bayang Niraka, tetapi rasa damai itu terasa hampa, seperti awan gelap yang enggan pergi sepenuhnya. Sesuatu masih mengintai. Tiba-tiba, pintu kayu di belakangnya terbuka perlahan. Jayanta, sahabat setianya, melangkah masuk sambil membawa sepoci teh hangat. Senyum riangnya seperti biasa memecah keheningan. “Pendekar, kau melamun lagi,” kata Jayanta sambil menuangkan teh ke dalam cangkir. “Jika kau terus seperti ini, aku khawatir kau akan berubah jadi patung yang termenung di teras! Dan seperti yang orang banyak katakan, lebih baik kau terima saja tawaran para penduduk untuk menjadi pemimpin Arjuna!” Karna menunduk
Rushali duduk di bawah pohon beringin besar di halaman belakang rumahnya, memandangi dedaunan yang bergoyang diterpa angin. Kepergian Karna yang tiba-tiba meninggalkan kehampaan dalam hatinya. Meski ia paham betapa pentingnya misi yang diemban Karna, tetap saja rasa khawatir dan kesepian itu menyelimuti dirinya.Ia menggenggam sehelai kain kecil—potongan dari selendang yang pernah Karna gunakan saat melindunginya dari dingin. Tanpa sadar, ia mengelus kain itu, mencoba menenangkan dirinya. Namun, pikirannya terus berputar.Rushali mendesah resah“Apakah dia baik-baik saja? Apa dia terluka? Apa aku egois karena ingin dia tetap di sini?” pikir Rushali, matanya mulai berkaca-kaca.Langkah kaki mendekat, dan suara riang yang sudah akrab terdengar. Jayanta muncul dengan senyumnya yang selalu membawa sedikit keceriaan di tengah kesedihan.“Rushali,” panggil Jayanta, suaranya lembut tapi penuh semangat.Rushali menoleh, mencoba menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. “Oh, Jayanta. Ada apa?”
Pagi itu, aula utama Akademi Kanuragan dipenuhi dengan antusiasme yang tegang. Hari ujian kelulusan kelas penyelidikan telah tiba, momen yang akan menentukan kemampuan setiap murid untuk menyelesaikan misi nyata. Para murid, termasuk Rushali, berdiri dalam barisan rapi, menunggu giliran untuk mengambil gulungan misi mereka dari sebuah kotak kayu tua yang dihias ukiran rumit. Di tengah suasana itu, Rushali merasakan campuran kegugupan dan semangat. Tiga bulan berlalu dengan penuh latihan keras dan pembelajaran mendalam. Dari seorang gadis yang merasa tak berdaya, ia kini berdiri dengan penuh keyakinan, siap menghadapi tantangan apa pun. “Rushali,” panggil Tumenggung Arya, suaranya tegas dan menggetarkan. Rushali melangkah maju, menarik napas dalam-dalam sebelum memasukkan tangannya ke dalam kotak. Jari-jarinya menyentuh gulungan yang terasa hangat, seolah-olah telah menunggu untuk dipilih olehnya. Dengan hati-hati, ia menarik gulungan itu keluar, membuka kertasnya perlahan, dan mu
Malam itu, kabut tipis turun menyelimuti hutan di kaki gunung Haridra. Udara dingin menggigit kulit, menciptakan suasana yang sunyi dan mistis.Di dalam sebuah ceruk kecil, altar batu kuno berdiri dengan sederhana, nyaris tersembunyi di antara akar pepohonan yang menjalar. Sebuah tempat berteduh yang Karna dirikan di sebelah altar itu, Rushali termenung melihat Pedang itu. Di atas altar itu, sebuah pedang berkilau dengan nyala api kemerahan tampak hidup, berpendar redup seperti jantung yang berdetak. Pedang itu bukan pedang biasa—ia adalah Pedang Api, pusaka legendaris yang menyimpan kekuatan luar biasa, dan sekarang berada dalam penjagaan Rushali.Rushali berdiri di sana, tubuhnya tampak kecil di antara bayangan pohon-pohon raksasa. Cahaya lembut dari pedang menyinari wajahnya yang penuh rasa khawatir dan keraguan. Suara Karna—atau Arjuna, seperti yang ia kenal sekarang—masih menggema di benaknya."Rushali, aku harus pergi bermeditasi. Tiga hari kedepan aku akan meninggalkanmu. Jag
“Aku peringatkan sekali lagi untuk pergi!” teriak Rushali Namun sebelum bencana itu terjadi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Karna, yang sebelumnya hanya berdiri terpaku, tiba-tiba mengulurkan tangannya ke depan. Matanya bersinar tajam, penuh keyakinan. Suara beratnya bergema di tengah keheningan. "Datanglah kepadaku." Pedang pusaka yang terbaring di altar batu seketika bergetar hebat. Api di bilahnya membesar, lalu dengan kecepatan kilat pedang itu melesat melampaui udara malam, tertarik kuat menuju genggaman Karna. Rushali hanya bisa memandang dengan mata terbelalak saat pedang itu menempel di tangan Karna, seolah telah lama menantikan panggilan tuannya. Dalam sekejap, Karna melompat tinggi, tubuhnya melampaui Rushali dan berada di antara gadis itu dan serigala yang siap menyerang. Pedang Api bersinar terang di genggaman Karna, memantulkan cahaya merah yang menyebar ke seluruh area. Namun sebelum pertarungan benar-benar pecah, sebuah suara berat muncul dari balik punggung
Rushali berjalan beberapa langkah di belakang Karna. Mata gadis itu menatap punggung lelaki yang tegap itu dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Sejak tadi malam, Karna tak banyak bicara setelah membangunkannya dari tidur. Namun, langkah pemuda itu begitu pasti, seolah ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.Tak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Rushali akhirnya membuka suara."Arjuna..." panggilnya pelan, namun cukup jelas untuk membuat Karna menoleh.Karna melambatkan langkahnya, menatap gadis itu dengan mata yang selalu tampak tegas namun menyimpan ketenangan. "Ada apa, Rushali?"Rushali menghela napas dalam, berusaha mencari kata yang tepat. "Aku ingin tahu… ke mana kita sebenarnya setelah ini? Kau belum mengatakan apa pun sejak kita meninggalkan tempat itu."Karna berhenti, memandang ke kejauhan di mana kabut perlahan menipis. Cahaya mentari pagi mulai menyinari wajahnya, menampakkan sosok seorang pemuda yang tampak jauh lebih dewasa dari usianya. Setelah bebe
Gerbang kegelapan berdiri kokoh menjulang seperti mulut neraka yang siap melahap apa saja. Di hadapannya berdiri sesosok raksasa bertubuh gelap dengan mata merah menyala, menatap Karna dengan penuh kebencian. Udara sekitar terasa pekat, penuh dengan aura kematian, yang menyelimuti setiap sudut tempat itu.“KRAAAARGHH!” Raksasa itu meraung melompat ke arah Karna dengan cakar runcingnya yang mengkilat seperti baja.Karna menghindar gesit, tubuhnya meliuk, nyaris saja cakar raksasa itu merobek dadanya.“Sial, makhluk ini terlalu kuat” gumamnya sambil menggenggam pedang Agni erat-erat. Api dari pedang itu menyala terang, seolah hendak menjawab kegelisahan tuannya.“Karna.. kelemahan makhluk itu ada di bagian tubuhnya. Amatilah pergerakannya, dia seperti melindungi satu bagian tubuh.” bisik Pedang Agni padanya.Namun, Karna tak sempat menjawab, raksasa itu sudah mengayunkan tinjunya.“BOOM!”Tanah itu terguncang, menciptakan lubang besar tepat di tempat Karna berdiri, beberapa saat yang l
Tak mendapat sahutan apapun dari sang peluncur panah. Mata elang Karna masih terus beredar melihat dan memeriksa sekeliling. Rushali mencabut anak panah itu mengamatinya dengan pasti. “Siapa yang telah menghujani kita dengan anak panah ini?” Serangan tak bertuan itu membuat ujung hari mereka tak tenang. Setelah mendapatkan potongan artefak yang pemiliknya diduga dari 50 tahun lalu itu. Rushali pun menyimpulkan,”Akankah pemilik serangan ini, adalah anggota baru Bayang Niraka?” Rushali menemukan sebuah tanda,”lihat ini Arjuna, anak panah yang sama seperti yang kau tangkap waktu itu..sewaktu aku mengobati para petani.. apa kau ingat!” Karna memastikan ucapan Rushali dan mengamati anak panah itu,”Rupanya kita telah diikuti oleh mata-mata mereka, Bayang Niraka..!” Pergerakan yang dilakukan mereka berdua entah bagaimana dapat tercium oleh Bayang Niraka. “Dalam penyelidikan ini sepertinya kita tidak boleh percaya kepada sembarang orang Arjuna.. siapapun yang melihat kita menai
“Awas Rushali!!” Karna bergegas menubruk Rushali supaya Rushali terhindarkan dari serangan makhluk itu.Duarr!!Api timbul di antara serpihan bebatuan yang meledak karena kekuatan makhluk itu yang berniat melukai Rushali.Entah mengapa, mahkluk itu membaca bahwa Rushali menganggu konsentrasi nya. Sasaran empuk, yang merupakan kelemahan Karna. Tapi niat makhluk itu bisa dihentikan.“Hoshh.. hosh.. !” Karna menarik nafas panjang, menatap tajam lawannya“Tak akan aku biarkan kau menyentuh Rushali walau sehelai rambut pun!” ujarnya sambil mengangkat pedangnya, yang segera menyala dengan api biru.Dia kembali memasang badan, melindungi gadis manis yang setia bersamanya. Rushali memahami situasi yang ada. Dia kemudian mencari pohon atau apapun yang lebih besar dari tubuhnya untuk bersembunyi.Rushali memegang dadanya yang sesak, degup jantung yang memburu membuat nafasnya tersengal. Dibalik batu besar dirinya bersandar menyembunyikan tubuh mungilnya. Sambil menahan rasa khawatir akan Karna
Lorong itu membawa Karna ke sebuah ruang terbuka yang luar biasa. Di hadapannya terhampar sebuah kota yang bersinar, seolah-olah seluruhnya terbuat dari kristal bercahaya. Pilar-pilar tinggi berdiri menjulang dengan ukiran-ukiran kuno, sementara sungai-sungai cahaya mengalir di antara bangunan-bangunan yang tampak seperti fatamorgana.Namun, keindahan kota ini memiliki nuansa asing dan suram. Udara terasa berat, dan di kejauhan, Karna dapat mendengar suara langkah kaki makhluk yang bergerak di balik bayang-bayang.Karna: (berbisik pada dirinya sendiri) "Kota ini... apakah ini nyata? Atau hanya ilusi?"Dia melangkah perlahan, matanya awas terhadap gerakan di sekitarnya. Tiba-tiba, dari balik sebuah gerbang kuno, muncul makhluk-makhluk aneh. Ada yang memiliki tubuh menyerupai manusia dengan kepala hewan, ada pula yang tampak seperti bayangan hidup dengan mata bercahaya. Mereka tidak menyerang, tetapi mengamati Karna dengan rasa ingin tahu yang hampir mengintimidasi.Salah satu makhluk y
Di salah satu sisi, gerbang batu telah terbuka, memperlihatkan celah yang mengarah pada kegelapan tak berujung. Namun, dari balik celah itu, terdengar gemuruh berat, seperti langkah makhluk raksasa.Rushali memegang lengan Karna erat-erat."Apa kau mendengar itu? Dia menyebut namamu."Karna menatap celah dengan tenang, meski hatinya mulai waspada."Tetap di belakangku. Kita tidak tahu apa yang akan muncul."Dari kegelapan, muncul sesosok makhluk besar dengan kulit keras menyerupai batu, matanya bersinar seperti bara api. Suaranya dalam dan menggema saat ia berbicara."Siapa yang berani melangkah ke tempat suci ini? Apa tujuan kalian?"Karna berdiri tegak, menyembunyikan identitasnya dengan sikap percaya diri."Kami hanyalah pengelana yang mencari jawaban atas misteri kuno. Tempat ini... dulunya milik seorang raja besar, bukan?"Makhluk itu menggeram, suaranya seperti gemuruh longsoran."Raja besar? Dia adalah kehancuran. Tempat ini adalah sisa-sisa dari kebodohannya. Siapa kalian yang
Kepingan artefak di tangan Karna bersinar lembut, memancarkan cahaya biru keemasan yang seolah menembus kabut malam. Sorotan itu mengarah ke depan, memberikan petunjuk arah tanpa kata. Langkah-langkah Karna mantap namun sunyi, hanya ditemani oleh gemerisik tanah kering di bawah kakinya. Persimpangan demi persimpangan ia lewati, membiarkan cahaya artefak menjadi satu-satunya penuntun. Di tengah perjalanan, sesuatu mengusik pikirannya. Bukan hanya tentang keberadaan artefak berikutnya, tetapi juga soal perasaan bahwa ada seseorang yang mengamatinya. Ia melirik sekeliling, tetapi bayangan-bayangan hanya bergeming dalam kegelapan. Ketika ia sampai di sebuah bukit yang menjulang, cahaya dari artefak semakin terang. Karna mendongak, dan pandangannya tertuju pada sebuah gerbang besar yang setengah tertimbun oleh reruntuhan. Batu-batu besar yang menutupi sebagian gerbang itu dihiasi ukiran kuno, simbol-simbol yang tampak menceritakan kisah yang telah lama terlupakan. Namun, gerbang it
Karna duduk bersila di tengah pelataran Pura Gunung Haridra. Udara dingin menggigit kulit, namun ia tetap diam, seperti patung batu yang tak tergoyahkan oleh waktu. Di tangannya, sebuah artefak kecil tergenggam erat—sebuah benda yang membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Artefak itu tampak sederhana pada pandangan pertama, potongan logam berbentuk abstrak dengan ukiran aksara kuno di tengahnya. Namun, semakin lama ia menatapnya, semakin berat beban yang ia rasakan, seolah benda itu mengandung rahasia yang bisa mengubah segalanya. "Rushali..." Nama itu tiba-tiba terlintas di benaknya, mengusik konsentrasinya yang hampir mencapai puncak meditasi. Karna membuka matanya perlahan, menatap artefak itu dengan tatapan yang campur aduk—antara rasa bersalah, keraguan, dan penyesalan. Ia mengingat saat terakhir mereka bersama, di hutan gunung Haridra. Rushali berdiri di hadapannya dengan wajah penuh harapan, memintanya untuk membiarkan dia ikut dalam perjalanan ini. Namun, dalam k
Tak mendapat sahutan apapun dari sang peluncur panah. Mata elang Karna masih terus beredar melihat dan memeriksa sekeliling. Rushali mencabut anak panah itu mengamatinya dengan pasti. “Siapa yang telah menghujani kita dengan anak panah ini?” Serangan tak bertuan itu membuat ujung hari mereka tak tenang. Setelah mendapatkan potongan artefak yang pemiliknya diduga dari 50 tahun lalu itu. Rushali pun menyimpulkan,”Akankah pemilik serangan ini, adalah anggota baru Bayang Niraka?” Rushali menemukan sebuah tanda,”lihat ini Arjuna, anak panah yang sama seperti yang kau tangkap waktu itu..sewaktu aku mengobati para petani.. apa kau ingat!” Karna memastikan ucapan Rushali dan mengamati anak panah itu,”Rupanya kita telah diikuti oleh mata-mata mereka, Bayang Niraka..!” Pergerakan yang dilakukan mereka berdua entah bagaimana dapat tercium oleh Bayang Niraka. “Dalam penyelidikan ini sepertinya kita tidak boleh percaya kepada sembarang orang Arjuna.. siapapun yang melihat kita menai
Gerbang kegelapan berdiri kokoh menjulang seperti mulut neraka yang siap melahap apa saja. Di hadapannya berdiri sesosok raksasa bertubuh gelap dengan mata merah menyala, menatap Karna dengan penuh kebencian. Udara sekitar terasa pekat, penuh dengan aura kematian, yang menyelimuti setiap sudut tempat itu.“KRAAAARGHH!” Raksasa itu meraung melompat ke arah Karna dengan cakar runcingnya yang mengkilat seperti baja.Karna menghindar gesit, tubuhnya meliuk, nyaris saja cakar raksasa itu merobek dadanya.“Sial, makhluk ini terlalu kuat” gumamnya sambil menggenggam pedang Agni erat-erat. Api dari pedang itu menyala terang, seolah hendak menjawab kegelisahan tuannya.“Karna.. kelemahan makhluk itu ada di bagian tubuhnya. Amatilah pergerakannya, dia seperti melindungi satu bagian tubuh.” bisik Pedang Agni padanya.Namun, Karna tak sempat menjawab, raksasa itu sudah mengayunkan tinjunya.“BOOM!”Tanah itu terguncang, menciptakan lubang besar tepat di tempat Karna berdiri, beberapa saat yang l
Rushali berjalan beberapa langkah di belakang Karna. Mata gadis itu menatap punggung lelaki yang tegap itu dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Sejak tadi malam, Karna tak banyak bicara setelah membangunkannya dari tidur. Namun, langkah pemuda itu begitu pasti, seolah ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.Tak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Rushali akhirnya membuka suara."Arjuna..." panggilnya pelan, namun cukup jelas untuk membuat Karna menoleh.Karna melambatkan langkahnya, menatap gadis itu dengan mata yang selalu tampak tegas namun menyimpan ketenangan. "Ada apa, Rushali?"Rushali menghela napas dalam, berusaha mencari kata yang tepat. "Aku ingin tahu… ke mana kita sebenarnya setelah ini? Kau belum mengatakan apa pun sejak kita meninggalkan tempat itu."Karna berhenti, memandang ke kejauhan di mana kabut perlahan menipis. Cahaya mentari pagi mulai menyinari wajahnya, menampakkan sosok seorang pemuda yang tampak jauh lebih dewasa dari usianya. Setelah bebe
“Aku peringatkan sekali lagi untuk pergi!” teriak Rushali Namun sebelum bencana itu terjadi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Karna, yang sebelumnya hanya berdiri terpaku, tiba-tiba mengulurkan tangannya ke depan. Matanya bersinar tajam, penuh keyakinan. Suara beratnya bergema di tengah keheningan. "Datanglah kepadaku." Pedang pusaka yang terbaring di altar batu seketika bergetar hebat. Api di bilahnya membesar, lalu dengan kecepatan kilat pedang itu melesat melampaui udara malam, tertarik kuat menuju genggaman Karna. Rushali hanya bisa memandang dengan mata terbelalak saat pedang itu menempel di tangan Karna, seolah telah lama menantikan panggilan tuannya. Dalam sekejap, Karna melompat tinggi, tubuhnya melampaui Rushali dan berada di antara gadis itu dan serigala yang siap menyerang. Pedang Api bersinar terang di genggaman Karna, memantulkan cahaya merah yang menyebar ke seluruh area. Namun sebelum pertarungan benar-benar pecah, sebuah suara berat muncul dari balik punggung