Osman mengangkat gelas anggurnya dan bersulang dengan sopan. Siapa pun bisa melihat bahwa suasana hati Osman sedang tidak baik.Bagaimanapun, jika masalah banjir tidak diselesaikan, masalah ini akan merembet ke mana-mana. Akibatnya akan sangat fatal. Dia tidak ingin melihat hasil seperti itu. Faktanya, masalah yang sedang dihadapi oleh Osman juga adalah masalah yang sedang dihadapi oleh Wira.Untuk menuntaskan bencana banjir ini, mereka membutuhkan sejumlah besar uang. Namun, jika menggunakan kas negara, mereka akan kehabisan uang saat perang terjadi. Pada akhirnya, mereka akan kalah telak.Bagaimanapun, tanpa persediaan makanan dan perlengkapan yang tidak lengkap, bagaimana pasukan bisa berperang? Ketika saat itu tiba, bukankah mereka hanya bisa menyerah?Makan malam berakhir. Suasana hati Osman sangat tidak baik. Dalam perjalanan kembali ke kamarnya, dia terus mencari solusi.Trenggi terus menemani. Osman bisa naik takhta berkat Trenggi. Itu sebabnya, Trenggi adalah orang kepercayaan
Di sisi lain, setelah Wira mengantar Agha ke kamar, dia menuju ke kamar Lucy lagi.Begitu tiba di depan pintu, Wira langsung mencium aroma obat tradisional yang kuat. Setelah buka pintu, dia melihat Arifin sedang sibuk memasak obat untuk Lucy.Cedera Lucy terlalu parah. Meskipun sudah membaik sedikit, seseorang masih harus terus menjaga dan merawatnya agar kondisinya tidak memburuk."Dokter Arifin, kamu sudah makan belum? Aku baru dari perjamuan makan malam. Tadi aku ingin mengajakmu, tapi kamu tidurnya sangat nyenyak. Aku merasa nggak enak hati mengganggumu," ujar Wira. Setelah menutup pintu, dia menghampiri Arifin.Arifin tersenyum dan melambaikan tangannya. "Tadi sudah ada yang mengantarkan makanan untukku. Aku sudah makan kok. Kamu nggak usah mengkhawatirkanku.""Selain itu, kita sudah sangat akrab. Kamu nggak usah memanggilku dokter lagi. Panggilan ini terdengar aneh sekali. Panggil saja aku paman."Wira mengangguk. Ada bagusnya juga. Dengan begini, hubungannya dengan Arifin akan
"Ya sudah kalau begitu." Arifin tidak menolak. Sebagai seorang dokter, dia tentu tahu kondisi tubuh sendiri. Jika terus memaksakan diri di sini, takutnya tubuhnya tidak tahan.Lagi pula, Wira masih muda. Bergadang beberapa malam bukan masalah besar baginya.Setelah menyuapi Lucy obat, Arifin berpamitan dengan Wira dan menuju ke kamarnya. Wira pun berjaga di samping ranjang.Sepanjang malam, Wira sama sekali tidak memejamkan mata. Dia terus memantau kondisi Lucy karena takut kondisinya memburuk. Untungnya, malam berlalu tanpa masalah.Keesokan pagi, Arifin dan Agha memasuki kamar Lucy. Agha membawakan sarapan untuk Wira."Kak Wira, jangan bilang kamu nggak tidur semalaman?" tanya Agha saat melihat kantung mata Wira yang hitam. Dia merasa tidak tega melihatnya."Kalau tahu begini, aku pasti menemanimu semalam. Jadi, kamu nggak usah begitu susah payah," ujar Agha sambil menaruh makanan ke atas meja.Wira duduk di depan meja. Sambil menyantap makanannya, dia menggeleng dan menyahut, "Tidur
"Tapi, aku sangat penasaran, gimana kamu bisa terluka? Siapa yang melukaimu sampai separah ini?" tanya Wira.Lucy termasuk ahli bela diri. Wira tahu kemampuannya. Apalagi, ada banyak orang yang mengikuti Lucy. Orang-orang itu tidak mungkin membiarkan Lucy terjebak dalam bahaya dan berakhir seperti ini."Sebentar, aku periksa denyut nadinya dulu." Sebelum Lucy berbicara, Arifin mengangkat tangannya dan menyuruh Wira bergeser. Dia maju untuk menggenggam pergelangan tangan Lucy.Sesaat kemudian, Arifin mengangguk dengan puas. Dia juga menyunggingkan senyuman.Wira lantas maju dan bertanya, "Paman, dari ekspresimu, sepertinya kondisi Lucy membaik ya?"Arifin terkekeh-kekeh dan menimpali, "Aku juga nggak nyangka tekadnya akan begitu kuat. Dia baru makan obat beberapa kali, tapi kondisinya sudah berkembang pesat. Kalau memberinya sedikit waktu lagi, dengan tekadnya yang kuat itu, aku rasa luka luarnya juga akan sembuh dengan cepat."Orang yang sakit bukan hanya cuma membutuhkan dokter yang a
Krek! Wira mengepalkan pergelangan tangannya dengan kuat. Tatapannya menjadi suram."Jadi, ada yang membocorkan gerak-gerik kalian? Makanya, orang-orang wilayah barat menyerang kalian?" tanya Wira.Jarak mereka cukup jauh dari wilayah barat. Tidak ada hubungan di antara mereka. Tentu merepotkan jika ingin menyerang wilayah barat.Namun, Lucy terluka sampai separah ini gara-gara mereka. Wira tidak mungkin berpangku tangan. Dia harus memberi Lucy keadilan. Tidak peduli siapa pun yang menyerang Lucy, orang itu harus menanggung konsekuensi yang setimpal!Lucy menggeleng dan menyahut, "Ini bukan karena aku bawahanmu, tapi karena aku dari sembilan provinsi. Orang wilayah barat sepertinya sangat membenci orang-orang seperti kita. Makanya, mereka berprasangka buruk kepada kita.""Mereka menggunakan ilmu sihir. Kalau bukan karena para bawahan melindungiku dan memaksaku untuk pergi, aku nggak mungkin sampai di Kerajaan Nuala dengan selamat. Mungkin sekarang aku sudah mati."Ketika membahas tenta
Wira merasa terharu. Ternyata Lucy punya pemikiran seperti itu. Pantas saja, tekadnya begitu kuat. Meskipun lemah dan kesakitan, dia tetap ingin memberi tahu segalanya tentang wilayah barat.Semua bawahan Wira memang bukan orang sembarangan. Mereka bukan hanya kompeten, tetapi juga setia."Jangan putus asa. Racun ini memang sulit untuk dinetralisasi, tapi bukan berarti nggak ada cara. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meracik penawar racunnya.""Lagi pula, aku memang harus menemukan cara untuk menetralisasi racun ini. Kalau nggak, mungkin dalam waktu dekat ini aku harus mengobati orang yang lagi duduk di depanmu itu." Arifin mengerlingkan matanya dengan kesal.Wira pun menyeringai. Arifin memang memahaminya. Tanpa Wira mengatakannya, Arifin tahu Wira bertekad untuk pergi ke wilayah barat.Bukan hanya untuk membalaskan dendam Lucy, tetapi juga untuk menyelidiki segala hal tentang wilayah barat. Wira juga harus mencari cara untuk mengalahkan Panji. Dia tidak mungkin duduk diam
"Ya sudah, aku turuti apa katamu saja. Nggak usah marah-marah." Agha berjalan ke samping, merasa agak tidak nyaman. Dia jelas-jelas memikirkan kepentingan Wira, tetapi Wira malah marah padanya. Bagaimana mungkin dia tidak merasa sedih?Namun, Wira adalah kakaknya, satu-satunya keluarga yang dimilikinya di dunia ini. Agha hanya bisa menahan diri. Jika itu orang lain, Agha mungkin sudah meledakkan kepala mereka!Setelah melihat Agha mengurungkan niatnya, Wira beralih menatap Arifin dan berkata, "Paman, sekarang kami cuma bisa menaruh harapan padamu. Setelah kamu menemukan cara untuk mengatasi racun aneh itu, aku akan pergi ke wilayah barat untuk memeriksa keadaan orang-orangku.""Seperti yang dibilang Lucy, sekalipun mereka gugur, aku harus membawa jenazah mereka pulang. Mereka harus balik ke kampung halaman."Wira merasa kecewa dan sedih. Semua anggota jaringan mata-mata adalah ahli hebat. Mereka telah melalui berbagai pelatihan. Namun, kali ini jaringan mata-mata malah menderita kerugi
"Dia bukan hanya bisa menyembuhkan Nona Lucy, tapi juga membantu kalian mencari cara untuk mengatasi racun wilayah barat. Gimana kalau kamu coba temui dia?"Setelah mendengar ada orang seperti itu, Wira tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertemu dengannya. Nyawa Lucy ada di tangan orang itu!Wira segera bertanya, "Apa kamu punya hubungan dengan orang itu?Osman menggeleng dan menyahut dengan tak berdaya, "Aku memang penguasa Kerajaan Nuala, tapi nggak punya hak untuk bicara di hadapan orang itu. Dia juga orang dunia persilatan. Dia nggak pernah ikut campur soal urusan istana.""Sebelumnya aku pernah mengutus orang ke tempatnya, tapi dia nggak pernah menampakkan diri. Aku saja nggak tahu dia pria atau wanita. Aku cuma tahu ada orang seperti itu di Kerajaan Nuala."Ternyata begitu. Sepertinya orang ini punya kepribadian yang aneh. Wira sering berurusan dengan orang-orang seperti ini.Contoh saja, orang-orang yang bergabung dengan Gedung Nomor Satu. Mereka semua memiliki ke
Mendengar itu, Enji mengangguk pelan. Setelah beberapa saat, dia menatap mereka dan tertawa. "Sebelumnya aku memang nggak terpikirkan. Kalau berita ini benar, ini adalah kabar baik."Desa Riwut terletak cukup dekat dengan Pulau Hulu. Jadi, bagi Enji, jika Wira benar-benar membawa orang untuk merebut Pulau Hulu, segalanya akan jauh lebih mudah.Memikirkan hal ini, dia mengernyit dan bertanya, "Baiklah. Kalau begitu, jangan terburu-buru. Ini adalah urusan besar. Setidaknya biarkan kami menyelidikinya terlebih dahulu, 'kan?"Mendengar itu, Adjie tersenyum tipis. Setelah beberapa saat, dia mengangguk dan berujar, "Tentu saja bisa, tapi kita harus bergerak cepat. Kalau sampai melewatkan kesempatan ini, semua akan sia-sia.""Paham! Paham!" Adjie memberi hormat dengan mengepalkan tangan, lalu berbalik dan pergi.Setelah Adjie pergi, Enji dan Guntur berpandangan. Enji berkata, "Sebelumnya aku nggak terlalu memikirkan ini, tapi sekarang aku merasa ini memang peluang yang nyata. Yang paling pent
Mendengar ucapan itu, keduanya sontak termangu. Adjie ini benar-benar berani, sampai berniat merebut Pulau Hulu pada saat seperti ini!Setelah beberapa saat, Enji dan Guntur berpandangan. Meskipun mereka ingin bergabung dengan Wira, kesetiaan mereka masih dipertanyakan.Alasan utama mereka ingin bergabung adalah karena melihat kemungkinan besar pasukan utara akan dihancurkan oleh Wira. Makanya, mereka ingin mengambil kesempatan untuk membelot.Namun, jika harus benar-benar berperang dan merebut Pulau Hulu sebagai hadiah untuk Wira, mereka masih ragu.Setelah berpikir beberapa saat, Enji mengernyit dan berkata, "Adjie, kami harus mempertimbangkan ini dengan matang. Ini bukan perkara kecil. Memang kami merasa ini kesempatan bagus, tapi kita nggak boleh gegabah."Mendengar itu, Adjie terdiam sejenak. Sesaat kemudian, dia tersenyum sambil mengejek, "Jangan-jangan kamu takut?"Mendengar dirinya diragukan, ekspresi Enji langsung berubah. Memang ada sedikit ketakutan dalam hatinya, tetapi dia
Setelah berpikir sejenak, mereka yakin Adjie memang berasal dari selatan. Sebagian besar pengungsi saat ini juga berasal dari selatan, jadi masuk akal jika dia mengetahui banyak hal.Menyadari hal ini, Enji melambaikan tangan dan bertanya, "Adjie, apa yang sebenarnya terjadi di selatan? Apa kamu tahu?"Adjie maju, memberi hormat dengan tangan terkatup, lalu menyahut, "Sebenarnya aku nggak tahu terlalu banyak. Aku cuma dengar Tuan Wira tampaknya muncul di selatan dan berencana untuk melakukan serangan balasan. Tapi, itu cuma desas-desus.""Apa? Tuan Wira benar-benar sudah datang?" Guntur terkejut, menoleh ke arah Enji. Jelas, mereka mengetahui sesuatu.Melihat reaksi mereka, Adjie sedikit terkejut. Perkembangan situasi ini tampaknya di luar dugaannya. Jangan-jangan ada sesuatu yang bahkan dia sendiri enggan untuk membicarakannya?Sesaat kemudian, Enji berkata dengan penuh semangat, "Bagus kalau itu benar! Semua orang tahu Tuan Wira adalah orang yang sangat setia dan berprinsip. Kalau ki
Mendengar ini, Adjie berpura-pura bodoh dan bertanya dengan ekspresi terkejut, "Apa maksudmu? Sekarat gimana? Jangan bilang dia sudah mati?"Guntur menghela napas. Sepertinya menjelaskan semuanya sekarang akan terlalu panjang, jadi dia hanya menyahut dengan suara rendah, "Sepertinya kamu belum tahu, Zaki mengalami kekalahan besar beberapa waktu lalu dan sekarang mundur ke Pulau Hulu dalam kondisi sekarat. Kalau kita menyerangnya sekarang, bukankah ini akan menjadi kemenangan yang mudah?"Adjie berpura-pura terkejut, menatap Guntur dengan ekspresi penuh kebingungan. Setelah beberapa saat, seolah-olah menyadari sesuatu, dia berujar, "Kalau memang begitu, bisa jadi ini kesempatan bagus. Tapi, aku pernah dengar kalau Zaki sangat kuat."Tak disangka, Guntur malah tertawa dan menimpali, "Kenapa kalau kuat? Kak, kamu mungkin belum tahu, wilayah utara ini dulunya adalah daerah kekuasaan Bobby."Mendengar nama Bobby disebut, Adjie sebenarnya ingin mencari tahu lebih banyak tentang keadaannya sa
Melihat situasi ini, Adjie langsung berseru. Guntur pun termangu, tetapi dia langsung memahami maksud Adjie. Jelas, ini adalah cara untuk menunjukkan statusnya.Mau tak mau, Guntur memaksakan senyuman dan menyapa, "Hehe, Kak Adjie? Mau ke mana?"Adjie melambaikan tangan dan menoleh menatap Tora dan Bajra. Dengan nada tenang, dia berkata, "Kalian berdua pergi dulu, ini bukan urusan kalian. Guntur, temani aku jalan-jalan."Guntur tertegun sesaat. Sebenarnya, dia tidak terlalu ingin mengikuti Adjie. Kemarin, cara Adjie bersikap benar-benar membuatnya merasa tertekan. Namun, melihat wajah Adjie yang tegas, Guntur hanya bisa menghela napas dan mengikutinya keluar.Begitu mereka tiba di tempat yang lebih sepi, Adjie bertanya dengan pelan, "Jadi, aku dengar kamu punya hubungan yang cukup baik dengan Kunaf? Apa itu benar?"Guntur tertegun lagi. Reaksi pertamanya adalah mengira Adjie mendengar percakapan mereka kemarin.Namun, setelah beberapa saat, Adjie melanjutkan dengan suara ringan, "Saat
Mendengar kata-kata Enji, Guntur tersenyum tipis. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Boleh dicoba. Tapi, saat ini yang paling penting adalah memastikan agar dia nggak tahu rencana ini. Selebihnya, kita bisa merencanakan dengan matang."Enji mengangguk serius. Setelah memastikan semuanya, dia berujar, "Baiklah. Kalau begitu, besok aku akan mengurus hal ini. Kamu rahasiakan dulu, besok kita buat keputusan akhir.""Baik!" Guntur tersenyum mendengarnya. Menurutnya, jika semua berjalan sesuai rencana, ini adalah kesempatan bagus. Yang harus dipastikan pertama adalah kekuatan mereka saat ini. Begitu waktunya tiba besok, dia bisa langsung menyingkirkan Adjie.Di luar, Adjie yang mendengar percakapan itu ikut tersenyum. Setelah beberapa saat, melihat Guntur hendak keluar, dia segera berdiri dan pergi lebih dulu.....Keesokan harinya, Adjie sudah lebih dulu tiba di aula utama Desa Riwut. Dalam perjalanannya, banyak orang menyapanya dengan ramah. Jelas, mereka benar-benar menganggap Adjie seb
Mendengar hal itu, Guntur tertegun sejenak, agak bingung dengan perkataan Enji. Beberapa saat kemudian, Enji berkata, "Hehe, tak disangka kita mendapatkan harta kali ini. Bukankah saudara yang kamu sebut sebelumnya juga bekerja di pasukan utara?"Guntur tersenyum tipis mendengar itu. Setelah beberapa saat, dia perlahan menyahut, "Jangan dibahas lagi. Aku sudah lama nggak bisa menghubunginya. Entah apa yang terjadi. Terakhir kali pasukan utara berencana menuju perbatasan kota, tapi mereka dijebak. Sekarang mereka semua mundur ke daerah Pulau Hulu."Enji mengangguk. Dalam hatinya, dia mulai menebak identitas Adjie. Setelah beberapa saat, seolah-olah terpikirkan sesuatu, dia berkata pelan, "Apa kamu memperhatikannya? Kemampuan Adjie cukup luar biasa. Aku sampai merasa dia mungkin pernah menjadi tentara."Enji mengangguk lagi, merasa semakin yakin. Tidak berselang lama, Guntur yang berdiri di samping tiba-tiba juga mengangguk seperti teringat sesuatu.Dia mendongak menatap Enji dan berkata
Melihat pemandangan itu, Enji tersenyum dan berkata, "Sebelumnya aku masih nggak yakin. Tapi, dilihat dari situasi sekarang, kamu memang bisa diandalkan. Semuanya, cepat beri hormat pada Kak Adjie kalian ini"Adjie juga terkejut saat mendengar perkataan itu. Dia benar-benar tidak menyangka orang-orang ini begitu sopan sampai memberi hormat padanya.Melihat ekspresi Adjie yang terlihat canggung, Enji tertawa dan berkata, "Hehe. Kamu nggak perlu gugup, ini memang tradisi di tempat kita. Lagi pula, ini juga penting untukmu."Mendengar perkataan itu, semua orang menganggukkan kepala. Bagi mereka, ini memang hal yang wajar dan harus dilakukan.Guntur juga segera bangkit dan berkata, "Semuanya, jangan basa-basi lagi. Cepat maju dan bersujud pada Kak Adjie."Mengingat adegan sebelumnya di mana Adjie membunuh orang dengan begitu tegas, Guntur benar-benar merasa trauma. Dia merasa dirinya sudah cukup kejam, ternyata Adjie malah lebih kejam lagi.Beberapa saat kemudian, Adjie akhirnya berkata, "
Mendengar perkataan itu, semua orang tertegun sejenak. Mereka benar-benar tidak tahu masalah apa yang dimaksud Enji.Pada saat itu, Guntur yang duduk di bawah berkata, "Bos, langsung katakan saja."Melihat Guntur berkata seperti itu, Enji tersenyum. Dia menunjuk ke arah Adjie dan berkata sambil tersenyum, "Semuanya, mulai sekarang Adjie ini akan menjadi wakil pertama kita. Jadi, kalau kelak kalian bertemu dengannya, jangan lupa memberi hormat."Begitu mendengar perkataan itu, semua orang yang duduk di bawah langsung mulai berdiskusi. Mereka benar-benar tidak menyangka Adjie akan menjadi wakil pertama.Namun, dua anak buah yang sebelumnya membawa Adjie ke sini, saling memandang dengan ekspresi gembira. Menurut mereka, kesempatan mereka akhirnya datang juga. Saat ini, mereka berada di posisi terbawah di Desa Riwut ini. Oleh karena itu, mereka merasa sangat senang karena merasa mulai sekarang kehidupan mereka akan menjadi lebih baik.Pada saat itu, salah seorang di antara kerumunan tiba-t