Wira bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya."Tuan muda, kamu nggak perlu menebak lagi, kamu pasti nggak akan bisa menebak identitas wanita itu. Wanita itu adalah ibu dari suaminya. Tapi, suaminya sudah mati bertahun-tahun yang lalu, jadi sekarang hanya tinggal dia sendirian. Selain itu, ibu mertuanya sudah lama sakit dan terbaring di tempat tidur, makanya kehidupan mereka jadi seperti ini," jelas Lucy.Wira menganggukkan kepala karena dia akhirnya mengerti seluk-beluk masalahnya. Jika begitu, Yuni ini termasuk orang yang cukup baik karena dia setidaknya tetap setia merawat ibu mertuanya, bukannya meninggalkannya begitu saja. Jika dia bisa begitu setia, dia pasti akan lebih berbakti lagi pada orang tuanya sendiri. Sepertinya, kekhawatiran kepala desa sebelumnya memang terlalu berlebihan.Namun, tepat pada saat itu, Wira tidak mendengar teriakan Yuni dengan marah."Labib, kamu masih berani datang ke sini? Kalau bukan karena kamu, suamiku nggak akan mati. Pergi! Aku nggak ingin melih
Setelah ragu sejenak, Wira akhirnya memilih untuk tidak pergi. Dia dan Lucy berdiri di samping sambil terus menatap Labib. Labib terlihat sangat menyedihkan dengan tubuh yang sangat kurus dan tidak tahu sedang bergumam apa sambil duduk di depan pintu rumah. Penampilan Labin terlihat seperti orang yang mengalami histeria."Ceritakan padaku, apa yang sebenarnya telah dialami Yuni?" tanya Wira.Penyakit hati hanya bisa diobati dengan hati. Hanya dengan memahami apa yang telah terjadi pada Yuni, Wira berpikir dia mungkin bisa membantu meredakan rasa sakit di hati Yuni. Dengan begitu, dia bisa membantu Yuni perlahan-lahan membuka hati dan memperbaiki hubungan ayah dan putri itu. Ini satu-satunya hal yang bisa dilakukannya untuk Labib.Setelah ragu sejenak, Lucy berkata, "Setelah Yuni dan Labib berpisah, dia mengikuti suaminya ke Provinsi Yonggu yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Beluana. Karena perang yang berkepanjangan, kehidupan rakyat sangat menderita. Kehidupan Yuni
Ketika Wira dan Lucy masih mengobrol, pintu rumah terbuka lagi dan Yuni berjalan masuk. Yuni berkata dengan kesal, "Ibuku harus tidur. Kamu bisa pergi dari sini nggak? Cepat pergi. Kalau nggak, aku lapor kepada pihak berwajib!"Labib segera maju, lalu berujar, "Putriku, aku nggak bermaksud jahat. Aku tahu kamu butuh uang. Kebetulan aku punya sedikit uang di sini. Pakai saja dulu."Labib meletakkan uang yang telah disiapkannya di depan pintu. Tingkahnya ini membuatnya terlihat sangat rendah diri. Wira sampai tidak tega melihatnya.Yuni melirik uang perak di lantai. Tanpa berpikir sedetik pun, dia langsung mengambil dan berbalik untuk kembali ke kamar."Sebentar!" Wira yang tidak berbicara sejak tadi, tiba-tiba maju."Tuan, bukannya kamu sudah pergi tadi?" tanya Labib dengan heran.Yuni berhenti berjalan dan menatap Wira. Wira tidak meladeni Labib. Amarah dalam hatinya masih berkecamuk. Sang ayah sudah mengalah sedemikian rupa. Sebagai anak, bagaimana bisa Yuni begitu kejam? Apalagi, Lab
"Gimana kalau aku menolak?" Yuni memelototi Wira. Dia sama sekali tidak takut melihat Wira mematahkan tongkatnya.Sejak suaminya meninggal, Yuni mengalami banyak hal selama 3 tahun ini. Kalau dia ketakutan hanya karena masalah sepele, bagaimana dia bisa bertahan sampai sekarang? Sungguh konyol!Labib segera bangkit dan berdiri di antara keduanya. Dia menarik Yuni dan menasihati, "Yuni, cepat minta maaf. Kamu boleh nggak memaafkanku, tapi jangan melibatkan Tuan Wira.""Tuan Wira selalu mengutamakan kesejahteraan rakyat. Tanpa Tuan Wira, aku dan seluruh penduduk desa mungkin sudah mati. Tuan Wira adalah penyelamat kami."Labib khawatir Yuni berkonflik dengan Wira. Bagaimanapun, Wira berstatus tinggi, sedangkan mereka hanya rakyat biasa. Bakti sekalipun takut pada Wira. Bagaimana kalau sampai mereka berselisih dengan Wira?Labib baru bertemu putrinya. Dia yakin asalkan diberi waktu, dia bisa membujuk putrinya. Namun, jika putrinya dibunuh Wira, semuanya akan menjadi sia-sia. Ketika saat i
"Yuni, kamu kenapa? Kenapa tampar wajahmu sendiri? Apa ada masalah? Kalau ada masalah, beri tahu saja aku. Jangan dirahasiakan," ujar mertua Yuni.Yuni menggigit bibirnya sambil mengangguk. Air mata tak kuasa berlinang. Yuni adalah orang yang menghargai hubungan. Jika tidak, mana mungkin dia merawat mertuanya?Jika mertuanya tidak menjadi penghambatnya, kehidupan Yuni pasti bisa lebih baik. Dia tidak akan hidup dalam kemiskinan."Nggak ada kok. Istirahatlah. Kamu cuma perlu menjaga kesehatanmu sekarang. Sisanya nggak usah dipikirkan," sahut Yuni.Yuni menyeka air matanya, lalu mengambil uang-uang di atas meja dan berjalan keluar. Mertuanya butuh nutrisi yang cukup. Karena dia sudah punya uang, dia akan membeli bahan obat yang bagus.Setelah nutrisi mertuanya tercukupi, mertuanya pasti akan sembuh!....Saat ini, Wira dan lainnya telah kembali ke kediaman jenderal.Labib yang berdiri di depan pintu segera berkata, "Tuan, aku nggak akan ikut kalian masuk lagi. Aku bukan siapa-siapa. Aku
"Aku ...." Danu menggaruk kepalanya. Dia tidak bodoh, jadi tentu tahu maksud perkataan Wira."Tuan, hal ini agak sulit bagiku. Aku benaran nggak tahu harus membiarkan mereka tinggal di mana. Selain itu, aku takut akan ada makin banyak orang yang datang ke Provinsi Yonggu. Masa kita bakal terima semua orang yang mau pindah kemari?""Takutnya, dalam waktu dekat, Provinsi Yonggu akan menjadi penuh. Gimana ini? Kalau kita nggak sanggup menghidupi mereka, bukankah kita akan kehilangan kepercayaan rakyat?"Danu meneguk anggurnya, lalu mengungkapkan semua pemikirannya. Dia bukan ingin membantah perintah Wira, tetapi mempertimbangkan keuntungan untuk Wira.Jika makin banyak orang yang datang kemari, entah berapa banyak orang yang akan ikut. Situasi ini benar-benar rumit. Tidak mungkin tempat ini dijadikan pengungsian, 'kan?Wira larut dalam pikirannya. Dia menggoyang gelas anggur dan terdiam untuk sesaat."Tuan, sebenarnya ada satu hal yang mungkin kamu nggak kepikiran. Orang-orang itu bisa sa
Wira sudah minum beberapa gelas sejak tadi, tetapi tidak mabuk. Dia juga mendengar nama Labib, makanya menghentikan prajurit itu.Prajurit itu segera berkata, "Tuan, ada yang namanya Labib di luar. Katanya dia teman Jenderal Danu. Dia menyuruhku memanggil Jenderal. Katanya ada urusan penting. Tapi, Jenderal bilang nggak kenal."Danu berujar, "Aku sudah sering bertemu orang seperti ini. Mereka cuma ingin meminta bantuanku. Entah sudah berapa banyak orang yang mengaku mengenalku sejak aku datang kemari. Aku sudah terbiasa. Biarkan saja, Kak. Kita minum-minum saja."Danu tampak tidak peduli. Namun, Wira segera menyahut, "Dia temanku. Dia mungkin tahu aku ada di sini, jadi bilang mengenal jenderal di sini. Aku keluar lihat dulu."Sekarang sudah larut malam. Labib pasti datang karena urusan penting. Wira tidak mungkin tidak menemuinya."Apa perlu kusuruh bawahanku urus saja? Kita lanjut minum-minum saja, Kak. Kamu nggak perlu repot-repot," ucap Danu segera.Danu punya dua saudara, yaitu Wir
"Rupanya begitu. Tenang saja. Selama bisa diatasi dengan uang, itu bukan masalah. Serahkan saja kepadaku. Aku akan pergi bersamamu," ucap Wira.Ekspresi Labib dipenuhi rasa syukur. Baginya, bertemu Wira adalah hal paling beruntung di hidupnya. Dia bukan hanya menemukan putrinya kembali, tetapi juga mendapat bantuan besar dari Wira. Utang budi ini tidak akan bisa terbayar.Namun, Labib tidak sempat mempertimbangkan begitu banyak hal lagi. Dia harus menolong putrinya.Keduanya segera berangkat. Di bawah pimpinan Labib, tidak sampai sejam, mereka tiba di sebuah klinik.Meskipun sudah tengah malam, klinik masih terang benderang. Seorang dokter terlihat sibuk mencari bahan obat.Ketika melihat Labib, seorang dokter bertanya, "Uangnya sudah disiapkan?"Satu kalimat ini langsung membuat Wira tidak menyukainya. Dokter seharusnya mengutamakan keselamatan pasien. Kenapa dokter ini malah memprioritaskan uang? Masa dia sanggup melihat orang mati di depannya? Di mana letak etika kedokterannya?Labi