"Harusnya Mama bilang dulu!" Mariana yang mendapat omelan itu dari Firman pun membuatnya tambah jengkel. Bagaimana tidak, ia yang merasa seorang istri di rumah itu yang selalu dipatuh dan selama ini tak pernah sekalipun dimarahi pun seakan langsung kena mental kala melihat sikap Firman yang jauh berbeda dari biasanya.Isi kepalanya langsung bertanya. 'Apa yang membuatnya sampai seperti ini? Mungkinkah karena hasutan dari Zsalsya?'Namun, Mariana pun tidak bisa berbuat banyak. Sebab, apa yang dilakukannya seolah akan sia-sia. Untuk itulah ia memilih mengalah dan tidak banyak membantah perkataan Firman."Kalau bukan karena dia kaya, aku pasti sudah pergi meninggalkannya sejak lama," batin Mariana dengan tatapan liciknya mengarah kepada Firman. Tetapi, karena tujuannya saat itu belum terlaksana. Ia pun terus mendekati suaminya yang mana saat itu tengah memegang ponsel."Pa, kata Mama mau telepon Zsalsya. Mana? Sampai sekarang Papa belum juga menghubungi dia," kata Mariana.Ia menagih j
Alih-alih menghubungi Zsalsya, kini Firman mencoba untuk menghubungi Rosmala. Sebab, pikirnya bahwa Zsalsya mungkin akan sedikit terganggu jika dihubungi tiba-tiba semacam. Terlebih lagi bila itu menyangkut soal pertemuan antar dua keluarga.Firman dengan sabar terus menunggu Rosmala menjawab teleponnya. Ketika itu, Rosmala tengah dalam keadaan sibuk di kantor. Ia menggantikan posisi sebentar selama Endrick dan Zsalsya berbulan madu. Sekretaris yang mendengar bahwa ada telepon masuk pun langsung memberitahu. "Bu, Pak Firman menghubungi," kata sekretaris kantor.Lantas, Rosmala pun kemudian meminta sesuatu. "Jawab dan berikan ponselnya padaku!" kata Rosmala.Telepon Firman yang dijawab pun membuat sang pemiliknya langsung senang. "Baguslah kalau dia tidak ganti nomor, dengan begini hubungan kami akan semakin baik. Aku akan menjaga silaturahmi dengannya lagi," gumam Firman."Kalau bukan karena keperluan Nana, aku tidak akan pernah mau mengizinkan dirinya menghubungi wanita itu. Bisa-b
Zsalsya yang masih memikirkan bagaimana dengan kondisi Firman di luar sana pun membuatnya tidak bisa makan dengan nyaman. Walaupun ia tahu bahwa Ayahnya itu sudah bisa beraktivitas kembali dan tentunya sudah pulang dari rumah sakit, tetapi ia tahu bahwa penyakitnya belum sepenuhnya sembuh. Ia khawatir jika Mariana berulah dan melakukan yang tidak baik terhadap sang Ayah -- Firman."Habiskan dulu makannya, setelah itu aku akan mengajakmu ke suatu tempat," kata Endrick. Zsalsya yang saat itu tengah melamun pun langsung menoleh ke arah Endrick. Ia menaruh sendoknya di mangkuk. Dan saat itu, ia hanya mengambil sate dari mangkuk bubur tersebut yang kemudian ia santap habis."Sudah, Mas," sahut Zsalsya dalam keadaan mulut penuh. Ia terus mengunyah makanan itu dan bergegas pergi dari sana.Endrick menyodorkan air minum yang ada di hadapannya kepada Zsalsya. "Duduk dulu, terus minum!" Zsalsya yang beranjak dari duduknya pun kemudian duduk kembali karena Endrick menyarankan hal itu dan suami
Jika boleh jujur, Zsalsya sebenarnya tidak berani jika harus naik kuda. Ia takut jatuh karena dirinya pernah melihat atau bahkan mendengar sendiri bahwa kuda tidak mengizinkan sembarang orang naik ke atas punggungnya."Mas, kamu yakin bisa menunggang kuda?" tanya Zsalsya dengan nada berbisik. Endrick yang mendengar bisikan dari Zsalsya itu agak membungkukkan tubuhnya untuk membalas berbisik."Tenang saja, kamu duduk di depan."Sekalipun Endrick memperlihatkan bahwa dirinya mampu menunggang kuda, tetapi tetap saja ia merasa takut. Sebab, sebelumnya ia pernah jatuh dari atas kuda yang ia tunggangi sendirian. Kala itu, Zsalsya penasaran ingin mencobanya. Saat itu ia masih kelas dua SMA, sepulang sekolah untuk menghilangkan penatnya menjalani hidup. Ia pergi ke sebuah tempat yang mana di sana tempat orang-orang berkuda. Sengaja ia pergi karena ingin menghindari Ibu tiri dan saudara tiri yang licik. Jika langsung pulang, setibanya di rumah, ia tidak akan bisa bermain keluar. Begitulah pi
Waktu tak terasa begitu cepat berlalu. Langit jingga mulai memperlihatkan keindahannya, tetapi Endrick masih betah dengan suasana ini."Kita pulang nanti saja, ya? Langitnya masih sangat indah. Kamu suka senja juga, tidak?" tanya Endrick.Ia melihat wajah Zsalsya yang tampak serius melihat langit jingga. Sepertinya, tanpa dijawab pun harusnya sudah tahu apa jawabannya.Zsalsya menoleh ke arah Endrick. "Mas, langitnya sangat indah. Bagaimana mungkin ada orang yang tidak menyukai warna seindah senja. Bahkan, pelangi pun kalah indahnya. Banyak orang yang mengagumi senja dan mereka selalu menunggu pada waktu yang sama hanya demi melihat keindahannya lagi," tutur Zsalsya.Endrick mengangguk sembari tersenyum setuju dengan perkataan Zsalsya. "Sama seperti aku yang selalu menunggu cantiknya senja hatiku," sahut Endrick sembari memandangi wajah Zsalsya, terus bagian bulu mata Zsalsya yang tampak lentik."Eh." Zsalsya menoleh ke arah Endrick dengan wajah polos dan mulut agak terbuka. "Apa yan
Makanan yang dipesan pun datang dan tersaji di hadapan mereka. Zsalsya yang tidak terlalu berselera untuk makan pun cukup hanya memandanginya saja.Endrick tidak bisa memaksa Zsalsya yang tampaknya sedang menginginkan makanan yang lain. Walau sampai kini ia belum tahu makanan apa diinginkan istrinya tersebut. Ia hanya memandangi Zsalsya yang terus diam tanpa menyantap satenya.Zsalsya yang merasa bahwa dirinya tengah diperhatikan oleh Endrick pun langsung menoleh dan bertanya. "Mas, kenapa belum dimakan?" tanya wanita itu dengan santainya. Ia sama sekali tidak tahu jika sebenarnya Endrick terdiam dan terus melihat ke arahnya karena sedang berpikir sekaligus mencoba menebak-nebak apa yang diinginkan oleh istrinya itu."Mau, kok, Mas. Sebentar lagi, nunggu agak dingin," jawabnya.Padahal, saat itu Zsalsya memang sedang tidak ingin makan apa-apa. Ia hanya membayangkan makanan yang ingin ia kunyah. Dan itu bukan makanan berat, melainkan hanya makanan ringan."Sudah lama sekali aku tidak
"Mas, sudah habis," ucap Zsalsya dengan wajah tersenyum.Makanan yang enak itu cukup membuat suasana hati Zsalsya baik. Namun, meskipun begitu, ia masih merasa belum cukup karena apa yang diinginkannya belum kunjung ia rasakan."Apa sekarang?" tanya Endrick.Refleks Zsalsya menoleh. "Hah? Apanya, Mas?""Mau apa lagi setelah makan ini?" tanya Endrick sembari beranjak dari duduknya. Ia melangkah pergi dari warung makan itu untuk membayar semuanya ke kasir.Zsalsya hanya tersenyum dengan bibir mengatup rapat. Ia masih belum bisa memberanikan dirinya untuk mengatakan apa yang diinginkannya saat itu.Tangannya mengepal itu, ia mencoba untuk membuka mulutnya. Tetapi, saat itu ia masih tidak berani juga untuk berkata.Usai membayar semua makanan yang sudah mereka santap berdua, kini Endrick kembali menghampiri Zsalsya dengan pertanyaan yang serupa. "Mau makan apa?" tanya Endrick.Endrick terus memperhatikan raut wajah istrinya saat itu. Ia merangkul Zsalsya dari samping, mencoba membuatnya
"Nana, aku datang! Kamu tidak akan bisa pergi ke mana-mana lagi!" ujar Arzov dengan percaya dirinya. Ia segera turun dari dalam mobil dan langsung berjalan ke teras. Arzov menekan bel pintu rumah, hingga tak lama kemudian pintu pun dibuka. Melihat bahwa ternyata itu adalah Arzov, sepasang mata Minah membelalak. Tampak sekali ia sedang menahan takut melihat sosok Arzov."Aku mau bertemu Nana. Bilang padanya kalau ada aku datang ke sini!" pinta Arzov dengan santainya sembari memegang jam tangan. Kala itu, udah pukul 20.14, ia sudah terlambat sekitar enam belas menit yang lalu. "N-Non Nana sedang keluar dengan Tuan dan Nyonya. Mungkin akan pulang nanti malam," jawab Minah dengan agak gemetar ketakutan.Perlahan ia nyaris menutup pintu itu kembali, tetapi Arzov menahannya sebentar. "Tunggu dulu!" "Kenapa, Pak Arzov? Apa ada sesuatu yang bisa saya sampaikan?""Tidak. Ini bukan soal itu. Tapi ...."Arzov menunduk dan mendekatkan wajahnya kepada Minah. "Mbok tidak mengatakan apapun yang