"Non Zsalsya!" seru Priyatna yang kian tidak sabar ketika tak kunjung ada seorang pun yang mau membukakan pintu untuknya.Namun, Priyatna langsung terdiam sejenak. Ia curiga dengan sesuatu. Sampai setelah menyerukan itu, segera saja ia bersembunyi di balik tembok.Nana dan Arzov yang selalu berdua menjaga pintu pun kemudian langsung saling menatap satu sama lain, ketika mereka tidak mengenal suara itu. Tetapi menyeru Zsalsya dengan panggilan 'Non Zsalsya'."Kamu juga dengar, 'kan? Tahu tidak itu siapa?" tanya Arzov kepada Nana.Nana langsung menggelengkan kepala, karena ia sendiri pun tidak tahu. "Kenapa kamu tanya aku? Aku 'kan bukan Zsalsya yang selalu bertemu orang itu!" balas Nana dengan geram. Kalimatnya terdengar ketus dan seolah tidak mau ditanya hal semacam itu."Kamu yang tinggal di rumah ini, bagaimana mungkin bisa tidak tahu begitu.""Aku bukan Mamanya!" tegas Nana dengan nada berbisik.Arzov pun tidak membalas perkataannya lagi. Ia memikirkan sedikit apa yang kemudian me
"Coba kulihat lagi," gumam Zsalsya di balik pintu kamar itu. Sebelumnya, ia sempat mendengar suara langkah kaki.Karena rasa penasaran yang semakin memuncak, ia pun kemudian membalikkan badannya dan membuka pintu itu kembali secara perlahan. Ia membukanya perlahan karena tidak mau jika sampai ada yang mendengar suara pintu.Dengan pintu yang sedikit terbuka itu, ia mengintip. Matanya mengedar ke seluruh penjuru ruang tamu yang cukup luas itu."Perasaanku memang tidak pernah salah. Aku harus segera pergi sekarang," ucapnya dengan nada berbisik.Walaupun di sisi lain ia juga penasaran dengan kondisi Minah yang entah bagaimana dan sedang apa. Tetapi, yang terpenting baginya saat ini adalah ia sendiri agar bisa keluar dari tempat tinggal yang menjerat kebebasannya itu.Begitu kakinya baru satu langkah keluar dari pintu, ia teringat pada ponsel dan tasnya yang masih tertinggal di dalam kamar."Aku harus mengambilnya dengan cepat," gumamnya. Tanpa menunggu lama, ia pun berjalan masuk kemba
"Bawa dia ke rumah!" perintah Endrick lewat telepon dan Zsalsya pun mendnegarnya dengan baik meski pelan. Terlebih lagi, ketika tak ada pembicaraan lain yang membuat suara via telepon itu terdengar ke telinga."Baik, Tuan!"Endrick tidak langsung mematikan telepon. Telepon di antara mereka terus tersambung dan Priyatna pun sengaja tidak mematikannya, supaya Endrick bisa tahu tanpa harus memberikannya kabar lagi melalui pesan."Nona, Tuan Endrick mau anda ke rumahnya. Tidak masalah, 'kan? Saya pikir supaya di sana Nona merasa aman." Zsalsya sama sekali tidak keberatan. Ia sudah mulai terbiasa dengan keadaan rumah Endrick. Sebab, sebelumnya pun ia pernah tinggal di sana. Mengenal semua pelayan di rumah Endrick rasanya tidak terlalu penting, karena ia sudah cukup mengenal Rosmala -- Ibu Kandung Endrick sebagai orang yang ramah dan bersahaja. Meski di balik semua itu ada sesuatu yang terkadang membuatnya tidak nyaman. Ketika dirinya merasa terlalu banyak meminta tolong kepada orang lain
Arzov memegang gagang pintu dan begitu ia dorong langsung terbuka begitu saja. "Lho!" ucapnya aneh. Keanehan itu membuat Arzov membelalak. Ia curiga jika Zsalsya tidak ada di dalam sana. Begitu dibuka dan memang benar saja, Zsalsya sudah tidak ada. Ia langsung masuk ke dalam kamar, lalu mencari ke sana kemari keberadaan Zsalsya yang entah ada di mana. "Zsa! Zsalsya! Jangan sembunyi!" kata Arzov. Tetapi rupanya, di cari ke berbagai sudut kamar itu tetap tidak ada. Arzov melihat ke arah piring yang sebelumnya sempat ia bawakan makan untuk Zsalsya. Nasi, lauk dan sambalnya tak tersentuh sama sekali. Itu masih utuh ada pada sebuah meja kecil. "Heh! Bisa-bisanya dia kabur dari sini!" gumam Arzov dengan seringai di bibir. "Awas saja kalau sampai tertangkap lagi!" Tetapi, karena Nana yang tidak menurut kepadanya sebab tidak menjaga Zsalsya agar tidak kabur pun membuatnya marah. Kepalanya langsung menoleh kepada Nana dengan mata membelalak kesal. Bibirnya mengatup rapat dengan wajah
Semua berkumpul. Endrick, Zsalsya, dan Rosmala, mereka duduk bersama di sofa ruang tamu. Sedangkan saat itu Priyatna berdiri. "Jadi bagaimana ceritanya?" tanya Rosmala serius sambil tumpang kaki dan tubuh condong ke arah Endrick.Endrick pun langsung mengatakannya dengan percaya diri Walaupun ia sendiri tidak tahu dan tidak melihat kejadiannya, tetapi ia menceritakan apa yang didengarnya saja. Sekaligus, ia ingin agar Rosmala yakin bahwa alasannya sangat jelas."Mas Endrick 'kan tidak tahu semuanya, bagaimana ia visa bercerita sama Ibunya," batin Zsalsya seraya memandangi Endrick.Namun, Zsalsya tidak tahu jika dirinya saat ini ingin membuat Rosmala percaya dan tidak marah dengan alasan keduanya akan menikah dalam waktu yang sangat dekat ini."Jadi bagaimana? Kenapa kamu diam saja?""Begini, Ma .... Mama tahu sendiri 'kan keadaannya bagaimana. Tadi ada yang mengurung Zsalsya di kamarnya, katanya ...."Endrick menoleh ke arah Zsalsya. Ia ingin mengarang, tetapi dirinya pun tidak mau s
"Papa kangen kumpul di rumah dengan Zsalsya!" kata Firman dengan santainya."Apa yang Nana bilang itu apa benar Zsalsya sudah kabur, ya? Kalau belum, bisa-bisa berbahaya," batin Mariana dalam diamnya. Ia merasa kecewa karena rencana yang dibuat Arzov kali ini pun masih tetap gagal.Zsalsya mampu lolos dari sesuatu yang mengganggu. Padahal, Mariana berharap jika Zsalsya batal menikah dengan Endrick. Namun, ia tidak tahu bahwa di dunia ini Ada takdir yang tidak bisa dilawan ataupun ditentang. Seberapa besar rintangan yang ada, jika memang berjodoh, maka akan saling menemukan jalannya sendiri. Itulah hidup, tetapi Mariana terlalu memaksakan keinginannya dan tidak percaya dengan takdir."Kamu kenapa diam?" tanya Firman ketika melihat istrinya yang membereskan pakaian di ruangan itu, tetapi dengan pandangan kosong, seolah tengah memikirkan sesuatu.Mariana langsung terkesiap. "Ah, tidak, Pa!" Ia lanjut membereskannya kembali. Setelah itu, ia pun kemudian langsung duduk kembali."Papa mau
[Baik, kalau begitu saya turut senang kalau ini menjadi masalah bagi Pak Firman. Tenang saja, saya akan menjaganya dengan baik. Zsalsya akan terjamin bersama saya di sini.] [Saya percaya dengan Bu Rosmala. Ya sudah, katakan saja pada Zsalsya kalau saya Papanya setuju.][Baik, nanti saya sampaikan padanya.]Tuutt.Setelah pembicaraan berakhir, Firman pun mematikan teleponnya. "Kenapa Papa main setuju-setuju saja!" kata Mariana yang tidak senang dengan cara Firman karena kini lebih mau menuruti keinginan Zsalsya. Padahal, sebelumnya Firman selalu menentangnya.Mariana memicingkan matanya curiga. "Hmm. Apa yang telah terjadi dengan waktu itu, kenapa setelah itu dia menjadi lebih menuruti keinginan Zsalsya," batin Mariana dengan segala dugaan yang tidak lepas dari berbagai macam prasangka.Firman tersenyum. "Sepertinya aku semakin sehat setelah mengetahui kalau anakku mendapat keluarga baru yang baik," celetuk Firman sembari tersenyum senang. Berbeda dengan Firman, Mariana justru menyi
Seberapa besar cara Zsalsya untuk menyembunyikan kelemahannya. Pada akhirnya, hati lembutnya pun terlihat jelas. Sekalipun niatnya adalah untuk membalas dendam. Tetapi, ia selalu tidak bisa menahan diri kala teringat pada sesuatu hal yang menyakitkan."Aku tidak bisa terus begini. Ikhlas, ayo ikhlas, Zsa. Kamu sudah menemukan sosok yang jauh lebih baik," batin Zsalsya. Ia berupaya menenangkan tangisnya. Rupanya, semakin lama menjalani hidup semakin dirinya sadar. Bahwa dendam tidak akan menyelesaikan segalanya. Itu tidak akan membuat puas, malah akan semakin menyakiti diri sendiri karena menyimpan dendam dalam waktu yang lama.Hatinya ingin bebas. Pikirannya pun ingin tenang tanpa menyimpan dendam apapun. Sebab, dendam itulah yang membuatnya tidak tenang.Dengan tubuh yang masih dalam pelukan Rosmala, ia menyeka air matanya yang terus mengalir keluar itu."Bisa. Bisa. Aku pasti bisa. Tidak apa-apa, aku harus ikhlas. Tidak semua orang menyukai, tetapi pasti ada orang yang memberimu ba