Langit cerah menaungi Kota Paris, ketika Damien dan Majandra keluar dari bandara. Mereka langsung memasuki mobil jemputan yang sengaja Alexandre siapkan. “Selamat siang, Nyonya,” sapa sopir yang tak lain adalah Felix. Majandra menanggapi sapaan tadi dengan anggukan pelan. Dia tak mengatakan apa pun, karena dirinya tak lagi mengenali Felix. Namun, Felix sudah mengetahui kondisi Majandra. Dia tetap bersikap ramah seperti biasa. “Kita akan langsung ke kantor pengacara. Tuan Alexandre sudah menunggu Anda di sana,” ucap pria yang sudah mengabdi sekian lama kepada Alexandre. “Iya,” sahut Majandra pelan. Dia menoleh kepada Damien, yang menatapnya penuh arti. Majandra tersenyum, sambil meremas pelan jemari pria yang sengaja menemani dirinya ke Perancis. Majandra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dulu, dia kerap menjelajahi setiap sudut jalanan Kota Paris. Namun, semua itu sudah terhapus dari ingatannya. Majandra juga tak menyangka, bahwa dirinya akan bercerai dari Alexandre, dal
“Aku akan pulang terlambat hari ini," ucap Alexandre. Pria tampan yang tengah berdiri gagah di depan cermin setinggi dirinya. Alexandre bersiap-siap sebelum berangkat ke kantor, untuk acara penting di sana. Majandra terdiam sembari memperhatikan sang suami yang memasang rapi dasinya. “Apa kau juga tidak akan makan malam di rumah?” tanya perempuan itu seraya mengikuti langkah Alexandre keluar dari kamar. “Kau sudah dengar bahwa aku akan pulang terlambat. Haruskah kujabarkan dengan detail?” Alexandre tertegun sejenak. Dia menoleh sekilas kepada Majandra, lalu kembali melanjutkan langkah tanpa berkata apa pun lagi. “Jadi, jam berapa kau akan pulang?” tanya Majandra kembali bertanya pada suami yang sudah dinikahinya tiga tahun lalu. Dia mengikuti langkah tegap pria itu keluar kamar, bagai anak kecil yang tengah merengek minta uang jajan kepada ayahnya. Lagi-lagi suaminya itu diam. Alexandre seakan malas memberikan penjelasan kepada Majandra. Setibanya di meja makan, Alexandre justru m
Majandra menaikkan sebelah alisnya yang berbentuk indah bak lengkungan pelangi. Dia menatap ragu kepada Agathe, yang justru terlihat sangat percaya diri dengan apa yang dirinya katakan tadi. Majandra tersenyum kecil seraya menggeleng tak percaya. “Jangan mengada-ada, Agathe. Setahuku, Alexandre menjalin hubungan istimewa dengan sekretaris pribadinya yang bernama Louisa. Bukan model yang kau sebutkan tadi,” sanggahnya. Agathe tertawa renyah. “Kurasa, itu hanya permainan suamimu. Alexandre menjadikan sekretarisnya sebagai tameng, untuk menyamarkan sosok wanita selingkuhan dia yang sebenarnya. Itu bukan tidak mungkin. Kecuali, jika suamimu yang tampan memang mengencani mereka berdua bersamaan,” celetuk wanita berambut pirang tersebut begitu enteng, seakan tak memikirkan perasaan Majandra. “Sialan! Jangan bicara sembarangan kau!” sergah Majandra tak suka. Wanita itu melipat kedua tangan di dada sambil menautkan alis. Sepertinya, dia tengah memikirkan sesuatu. “Sudahlah, Sayang. Sebaikn
“Ayo, turun,” ajak Agathe. Dia sudah bersiap melepas sabuk pengaman, yang melintang di dadanya. “Aku ingin melihatmu mencakar dan menjambak wanita itu habis-habisan. Seperti yang kau lakukan tempo hari pada Clarise Lambert. Ah! Itu adegan favoritku,” celoteh wanita berambut pirang tersebut, antusias.Ekspresi Agathe berbanding terbalik dengan Majandra. Wanita bermata abu-abu itu justru tampak cemas. Untuk kali ini, segala keberanian yang dia miliki seakan menguap entah ke mana. Majandra justru terlihat gelisah. “Tidak!” tolaknya tegas. “Aku tidak bisa.” Si pemilik rambut cokelat tadi menggeleng kencang.“Apanya yang tidak bisa?” Agathe menautkan alis, seraya menatap heran pada sahabat dekatnya tersebut. “Jangan katakan bahwa kau sudah menjadi seorang pecundang,” cibirnya.Majandra menyibakkan poni ke belakang. Meski rambut indahnya jadi sedikit acak-acakan, tapi wanita dua puluh lima tahun tersebut tetap terlihat cantik. “Terserah kau, Agathe. Anggap saja begitu,” balasnya. Majandra be
Majandra terpaku beberapa saat. Tatapan tajam Alexandre seakan menjadi senjata yang sangat mematikan, sehingga seluruh kekuatannya seperti terisap habis. Majandra yang tadinya ingin meminta penjelasan tentang apa yang Alexandre lakukan, tiba-tiba membelokkan maksud. “Aku … aku ingin pergi berlibur,” ujarnya terlihat meyakinkan. Padahal, dalam hati dia merasa gugup dan sangat bodoh. Majandra merutuki diri yang selalu menjadi lemah, saat berhadapan langsung dengan Alexandre. Ini sungguh memuakkan baginya. “Ke mana?” tanya Alexandre tanpa ada ekspresi lain. Nada bicaranya pun terdengar sangat biasa. “Maldives. Aku akan pergi ke sana. Aku ingin berjemur.” Lagi-lagi, Majandra merasakan kebodohan yang teramat memalukan. “Astaga.” Alexandre menggeleng pelan. “Pergi saja. Akan kutransfer uang yang kau butuhkan.” Selesai berkata demikian, pria itu berlalu ke dalam walk in closet. Dia berganti pakaian dengan T-Shirt, lalu naik ke tempat tidur. Alexandre tak peduli, meski Majandra masih berdir
Cahaya matahari terasa begitu hangat, menerpa tubuh indah Majandra yang tengah berjemur dalam balutan bikini two piece berwarna putih. Kaca mata hitam ikut membuat wanita berusia dua puluh lima tahun tersebut merasa kian nyaman, karena tak terganggu oleh silaunya sinar sang surya. Sesekali, Majandra menggerakkan kaki jenjangnya. Wanita muda berambut cokelat tembaga itu mengeluh pelan, saat dering panggilan dari telepon genggamnya terus berbunyi.“Astaga! Mengganggu sekali!” gerutu Majandra. Dia meraba meja di dekatnya, lalu mengambil ponsel yang diletakkan dalam dompet khusus keluaran brand ternama dunia. “Hallo,” sapa Majandra dengan gaya bicara anggun dan berkelas. Hal itu menunjukkan status sosial yang wanita cantik tersebut miliki. “Hallo, Nyonya LaRue,” balas suara seorang wanita dari seberang sana. Seseorang yang tak lain adalah Agathe.“Hai, Agathe. Ada apa? Kuharap, kau tidak mengganggu liburanku,” ujar Majandra tak acuh. Dia menaikkan kacamata hitam, meletakkannya di sela-sel
“Damien Curtis?” ulang Majandra. “Baiklah. Aku akan mengingatnya.” Wanita itu merapikan gaun malamnya, kemudian berlalu dari hadapan pria bernama Damien tadi. Majandra pergi begitu saja, tanpa berbasa-basi terlebih dulu. “Hey!” cegah Damien. Dia bergegas menyusul wanita cantik berambut panjang itu. Damien menyejajari langkah Majandra yang bersikap jual mahal terhadapnya. “Kau curang,” ucap pria tampan dengan iris mata abu-abu tersebut. “Kita tidak sedang melakukan permainan apapun,” bantah Majandra tanpa menoleh. Dia melangkah anggun, di antara hiruk-pikuk para penikmat kehidupan malam yang tengah menikmati musik menghentak. “Ya, kau benar. Namun, tadi aku sudah memperkenalkan diri.” Damien tak putus asa mengajak wanita cantik itu berkenalan. “Kenapa kau tidak melakukan hal yang sama. Aku rasa, suamimu tak akan tahu bahwa kau memberitahukan namamu padaku. Kecuali jika dia memiliki mata-mata.” Majandra tertegun sejenak, lalu menoleh. Dia kembal
“Astaga.” Majandra berdecak pelan. Dia tak percaya, karena pria bernama Damie itu benar-benar seorang pemaksa. Majandra menerima buket mawar berukuran besar, yang disodorkan oleh pegawai penginapan tadi.Setelah menutup pintu, wanita cantik bermata abu-abu itu meletakkan kiriman yang diterimanya di atas kasur. Dia memandangi beberapa saat, ratusan kuntum mawar merah yang terlihat segar dan indah. Di antara bunga cantik itu, terselip kartu ucapan bertuliskan tangan atas nama Damien Curtis. [Maaf, aku mengikutimu. Bila makan malam terlalu formal, bagaimana jika minum kopi? Kutunggu di The Sands Cafe sore ini pukul empat. -Damien Curtis-]Majandra meletakkan kembali kartu ucapan tadi ke dalam buket bunga. Dia mengembuskan napas pelan, lalu kembali mengempaskan tubuh ke kasur. “Astaga. Apa-apaan ini?” Wanita cantik berambut cokelat tembaga itu menggeleng tak mengerti. Belum sempat Majandra beranjak dari tempat tidur, suara dering telepon membuat dia semakin nyaman untuk tetap berada di k
Langit cerah menaungi Kota Paris, ketika Damien dan Majandra keluar dari bandara. Mereka langsung memasuki mobil jemputan yang sengaja Alexandre siapkan. “Selamat siang, Nyonya,” sapa sopir yang tak lain adalah Felix. Majandra menanggapi sapaan tadi dengan anggukan pelan. Dia tak mengatakan apa pun, karena dirinya tak lagi mengenali Felix. Namun, Felix sudah mengetahui kondisi Majandra. Dia tetap bersikap ramah seperti biasa. “Kita akan langsung ke kantor pengacara. Tuan Alexandre sudah menunggu Anda di sana,” ucap pria yang sudah mengabdi sekian lama kepada Alexandre. “Iya,” sahut Majandra pelan. Dia menoleh kepada Damien, yang menatapnya penuh arti. Majandra tersenyum, sambil meremas pelan jemari pria yang sengaja menemani dirinya ke Perancis. Majandra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dulu, dia kerap menjelajahi setiap sudut jalanan Kota Paris. Namun, semua itu sudah terhapus dari ingatannya. Majandra juga tak menyangka, bahwa dirinya akan bercerai dari Alexandre, dal
“Damien …,” desah Majandra pelan, setelah pria tampan bermata abu-abu itu melumat mesra bibirnya. “Oh ….” Desahan manja meluncur begitu saja, ketika Damien menjalarkan ciuman lembut penuh godaan ke leher. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu, membuat Majandra memejamkan mata sambil menggigit pelan bibirnya. “Berbaliklah,” bisik Damien setelah puas mencium mesra Majandra. Majandra tersenyum. Dia membalikkan badan. Wanita itu menebak apa yang akan Damien lakukan. Majandra mengangkat tangan lurus ke atas.Perlahan, Damien menaikkan T-Shirt longgar yang Majandra kenakan. Dia melepas, lalu melempar kaos polos berwarna putih tadi ke lantai. Begitu juga dengan tali bra berwarna hitam yang melintang di sana. Kini, Majandra hanya mengenakan pakaian dalam, masih dalam posisi membelakangi pria tampan tersebut. “Aku menyukai warna kulitmu,” ucap Damien pelan sambil mengecup pundak Majandra. Perlakuan sederhana, yang seketika menimbulkan desiran aneh dalam dada wanita berambut panjang itu. Ma
Majandra sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih rapi dan segar, meski masih ada beberapa sisa luka di wajahnya. Namun, itu tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita asal Meksiko tersebut. Sementara, Alexandre juga sudah melunasi seluruh biaya administrasi. Dia bahkan telah kembali ke kamar rawat Majandra. Alexandre begitu terpesona, melihat kecantikan sang istri yang tak lama lagi akan dirinya ceraikan. Namun, sesaat kemudian pria itu tersadar. Sang pemilik La Bougenville tadi harus membuang jauh segala ketertarikan serta perasaan indah, yang baru dia persembahkan terhadap Majandra. “Kita pergi sekarang?” tanya Damien yang sudah datang menjemput, sambil mendorong kursi roda ke dekat sofa di mana Majandra berada.“Untuk apa kursi roda ini?” tanya Majandra dengan tatapan heran, kepada Damien yang berdiri di dekatnya. “Tentu saja untukmu,” jawab Damien enteng, diiringi senyuman kalem. Majandra menautkan alisnya. Dia menatap semua yang ada d
Majandra terdiam beberapa saat, setelah mendengar penuturan Alexandre. Dia menatap Miguel sekilas, lalu beralih kepada Amelia. “Tolong tinggalkan kami bertiga,” pinta wanita cantik itu. Meski dalam keadaan hilang ingatan, ternyata tak membuat Majandra kehilangan aura tegasnya.“Sayang ….” Amelia seakan hendak melakukan protes.Namun, Miguel memberi isyarat. Pria itu menggeleng samar. Dia langsung meraih tangan sang istri, lalu mengajaknya keluar kamar.Kini, di dalam sana hanya ada Majandra bersama dua pria tampan yang mencintainya. Wanita berambut cokelat itu awalnya memandang lekat Alexandre, lalu beralih kepada Damien. Lagi-lagi, dia seperti tak kuasa mengalihkan pandangan dari sosok berparas rupawan dengan warna mata sama seperti dirinya.
“Ya, Tuhan.” Amelia langsung menghambur ke dalam pelukan Miguel. Dia tak mampu membayangkan, andai Majandra mengalami amnesia secara permanen. “Apa dosaku, Sayang? Kenapa Tuhan menegurku dengan cara seperti ini?” Amelia tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. “Tenangkan dirimu, Sayang,” ucap Miguel seraya menepuk-nepuk punggung sang istri. “Apa yang terjadi pada Majandra, bukanlah karena kesalahanmu atau siapa pun. Tak ada hukuman dari dosa seseorang, yang dialihkan pada orang lain,” ucap pria paruh baya itu lembut. Sementara, Alexandre hanya diam. Terlebih, karena dia tak mengerti apa yang mertuanya itu bicarakan. Alexandre baru bereaksi, saat dirinya menerima satu pesan masuk. Dia langsung membalas pesan tadi.[Kemarilah]Sesaat kemudian, Alexandre berdiri. Dia menyambut kehadiran seseorang yang sedang dirinya tunggu. “Kupikir kau tak akan datang,” ucap pria berambut cokelat tembaga itu, pada seseorang yang tak lain adalah Damien. “Itu sudah merupakan satu jawaban bagiku,” ucapnya
Damien menyambut kedatangan Alexandre. Dia bahkan mengarahkan tangannya ke kursi, agar suami Majandra tersebut duduk. “Aku sudah memesankan kopi untukmu. Kuharap, kau menyukainya,” ucap Damien tenang. “Kita satu selera,” balas Alexandre. Ucapannya menyiratkan banyak makna.“Ya. Kau benar.” Damien tersenyum samar. Pria itu terdiam sejenak, saat seorang pelayan menghampiri mereka. Dua cangkir kopi pesanan Damien tersaji di meja. Tanpa dipersilakan, Alexandre langsung mencicipi kopi yang Damien pesan tadi. Entah karena haus, atau sekadar untuk menanggulangi gugup yang tiba-tiba menyergap. Alexandre bahkan beberapa kali mengembuskan napas pendek, demi menetralkan perasaan.“Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu?” tanya Damien membuka percakapan. “Aku ingin membahas sesuatu tentang Majandra,” jawab Alexandre datar.Raut wajah Damien seketika berubah. Kali ini, gilirannya yang merasa gugup. Damien meraih gagang cangkir, lalu meneguk kopi yang sama. Sesaat kemudian, barulah pria tampan b
“Apa? Aku?” Damien melayangkan tatapan protes.“Ayolah, Kawan. Siapa tahu kau menemukan teman hidup di sana. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian,” ujar Robert setengah membujuk.“Omong kosong.” Damien beranjak dari sofa. Dia menuju dapur dengan sekat dinding setengah, sehingga Robert masih bisa melihat apa yang pria itu lakukan. “Aku belum terpikir untuk pergi jauh dari Eropa. Kau jangan menjadikan statusku sebagai senjata untuk ….” Pria tampan bermata abu-abu itu menggantungkan kalimatnya. Benak putra bungsu Julien Curtis tersebut, seketika tertuju kepada Majandra.“Boleh kupikir-pikir dulu? Aku ingin meminta pendapat ayahku sebelum mengambil keputusan,” ucap Damien sesaat kemudian. Dia meraih gagang cangk
“Bagaimana mungkin aku tak tahu nama sendiri?” Majandra menatap sayu, pada dokter yang duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi padaku, Dokter?” Dia terdengar begitu resah.“Tenangkan diri dulu, Nyonya. Kita masih harus melakukan beberapa tes, untuk memastikan kondisi Anda yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan diagnosa secara sembarangan,” ujar sang dokter seraya berdiri. Dia menatap satu per satu, semua yang ada di sana.“Kami akan menjadwalkan serangkaian tes. Semua itu harus dilakukan, demi mendapat hasil pemeriksaan yang lebih akurat,” ucap dokter itu lagi. Membuat semua yang ada di sana kembali diliputi rasa khawatir. “Untuk permulaan, kami akan melakukan tes darah serta tes kognitif terhadap Nyonya Majandra LaRue. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan serangkaian tes lainnya."
Refleks, Damien berlari ke dalam kamar rawat. Setelah berada di sana, dia tertegun. Pria itu melangkah perlahan ke dekat ranjang. Dia melihat Majandra sudah membuka mata. Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Damien tak tahu harus berkata apa. Dia hanya berdiri mematung, sampai seorang perawat masuk ke sana. “Tolong keluar dulu, Tuan,” pinta sang perawat sopan. Damien tidak menyahut. Pria itu tampak kebingungan. Dia menanggapi ucapan perawat tadi dengan anggukan samar, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Damien sempat menoleh pada perawat yang tengah memeriksa kondisi Majandra. Setelah berada di luar kamar, Damien tersadar. Dia tertegun mendapati Miguel, Amelia, dan Alexandre yang serempak menatap ke arahnya. “Ah, maaf. Aku tadi hanya refleks.” Pria tampan bermata abu-abu tadi menjadi salah tingkah. Damien mengacak-acak rambutnya, sebagai penghalau rasa kikuk yang mendera. “Kau terlihat sangat bahagia mendengar Majandra telah siuman,” ucap Miguel dengan sorot pe